Mundur perlahan, dari pada aku dibuat malu dan di maki di depan umum oleh Mas Arfan. Sungguh emosi saat melihat Ayu bersama dengan Pak Erik. Bagaimana tidak, Ayu meminta cerai dan hari ini aku melihatnya dengan bosku.
Aneh bukan? Namun, kali ini aku tidak berhasil mengungkap perselingkuhan mereka. Lihat saja Ayu, kalau sampai benar dugaanku, hak asuh Bagas dan Anita akan kuambil. Getar ponsel menghentikan langkahku. Pesan dari Arman membuat aku tertegun.[Bro, di mana? Gila Lo, main kabur aja. Kerjaan belum kelar. Mana main baku hantam si bos pula! Mati aja karir Lo]Aku mengacak rambut kasar. Sial sekali hari ini. Cemburu buta membuat aku tak berpikir siapa yang aku hantam tadi. Ayu, kenapa kamu buat aku seperti orang gila? Melangkah cepat untuk ke parkiran dan langsung melajukan mobil kembali ke kantor. Harap-harap cemas dengan apa yang sudah kulakukan. Sial sekali hidupku saat ini, kehilangan istri, bahkan sepertiMba Laras dan Mas Anton sudah menungguku di depan UGD rumah sakit. Sementara, Ibu sepertinya berada di dalam menemani Asih sebab tidak terlihat berada di sana."Asih kenapa?" tanyaku.Wajah Mba Laras tak begitu enak di pandang. Ada sesuatu yang membuat dia seperti itu, pastinya Asih berulah sampai dia kesal."Seharusnya kita tidak usah peduli. Bikin waktu Mba terbuang saja." Bukannya menjawab pertanyaanku, Mba Laras malah terus ngedumel."Ada apa, Mba?" Aku mencoba bertanya lagi."Temannya bilang, Asih di hajar orang," ujar Mas Anton.Mendengar itu, aku merasa geram. Siapa yang berani berbuat hal separah itu pada Asih, adikku."Siapa?""Nggak usah emosi, Asih yang salah. Lagian pacaran sama laki orang. Resiko dihajar istri sah sama anaknya. Heran, masih muda kok ada ya, pikiran jadi pelakor! Nggak ada otaknya!" Mba Laras terus saja mengumpat."Apa? Jadi, Asih jalan sa
POV AYUAku dan Mas Arfan menemui Pak Erik di kantornya. Namun, aku sama sekali tidak melihat Mas Damar. Ah, biarkan sajalah. Toh, kami sudah harus berpisah.Kedatanganku untuk meminta maaf pada Pak Erik tentang kejadian beberapa hari lalu. Memang dia bilang tidak masalah, tetapi kami merasa tidak enak.Mas Arfan pun mengajakku datang ke kantor itu. Walau beberapa orang menatap aneh, aku tak peduli. Mungkin masih masalah kemarin, sungguh Mas Damar membuat keributan yang sangat parah."Saya, kan sudah bilang nggak masalah Pak Arfan. Bukan Bu Ayu yang salah, tapi Damar yang salah," ujar Pak Erik."Saya tetap nggak enak, gara-gara adik ipar saya. Dan maaf juga karena saya nggak bilang kemarin, kalau Damar suami Ayu karena saya pikir tidak usahlah. Toh, mereka akan berpisah."Aku menyenggol Mas Arfan. Tidak usahlah masalah seperti itu dibahas. Lagi pula, tidak baik juga."Damar sudah mengundurk
"Bu, nggak masak?" Aku bertanya kala bangun tidur belum ada sarapan untukku.Malas pulang akhirnya memilih menginap di rumah ibu saja. Lagi pula pulang ke rumah pun tidak ada yang dirindukan. Kangen anak-anak juga. Mau bagaimana lagi, Ayu tetap kekeh meminta cerai."Bu, kok ditanya malah diam saja." Kembali aku menyapa Ibu."Kamu, kan belum kasih jatah bulan ini. Bagaimana bisa makan?""Emang masak mie atau beli nasi uduk aja nggak ada uang, Bu? Harus nunggu jatah bulanan gitu? Ibu tahu aku lagi nggak kerja." Kuambil uang di kantung, 2 lembar 10.000."Beli apa segini?" tanyanya dengan wajah kesal."Nasi uduk aja, dapat 4 kalau masih 5.000-an," jawabku asal.Tanpa menjawab ibu pergi dari hadapanku. Pusing juga kalau nasi uduk yang murah saja harus aku yang mengeluarkan uang. Duh, nasib otw bujang.Sejak tadi notifikasi grup alumni SMA tak kunjung berhenti. Sejenak aku tengok sudah 300
Kurapihkan baju yang sudah kuletakan di lemari bajuku. Lalu, kembali kumasukan ke dalam koper."Loh, kamu mau ke mana?" tanya ibu yang menyumbul dari balik pintu."Pulanglah." Aku menjawab santai."Loh, kok pulang? katanya mau lama di sini? Lagian, kan di rumahmu nggak ada siapa-siapa, Mar." Ibu membujukku agar aku mau tetap tinggal.Namun, maaf, Bu. Aku tidak bisa karena aku sudah pusing melihat kondisi rumah ini. Setiap saat hanya uang dipikiran ibu."Aku mau nginep di rumah Mba Laras. Pusing sama Ibu sebentar-sebentar minta uang," kataku kesal.Wajah ibu masam mendengar penuturan dariku. Sudah tahu anaknya sedang kesusahan, bukannya berhenti meminta uang. Ini malah kaya kesempatan."Terus, yang ngasih Ibu uang siapa?" tanyanya."Nikah lagi Aja cari kakek-kakek kaya. Biar Ibu ada yang nafkahi," jawabku asal.Aduh, dengan kesal ibu menoyor kepalaku. Apa yang salah, a
Aku lupa jika mereka pernah bersitegang. Mba Laras tidak menyukai Erika. Bagaimana jika dia tahu aku akan bertemu dengannya? Apalagi mendapat pekerjaan di kantor tempat ia bekerja. Ah, aku tak peduli hal itu, yang penting bisa bekerja dahulu mengumpulkan pundi uang untuk biaya hidup. Apalagi semakin hari ibu semakin banyak permintaan. Sudah lama aku tidak menikmati sarapan pagi, terakhir saat Ayu masih berada di rumah itu pun hanya telur goreng. Setelah itu ya, dengan nasi goreng. Walau itu lagi, itu lagi yang penting irit deh. Kenapa aku jadi memikirkan Ayu? Sedang apa dia? Bagaimana responnya saat aku akan mengenalkannya dengan Erika? Dia harus tahu jika aku akan baik-baik saja saat dia pergi. Kamu pikir aku tidak bisa mencari yang lebih baik. Hanya karena uang bulanan saja kamu marah. Lagi pula dia tidak aku dengan ibuku. Semoga saja Erika bisa akur dengan ibu. Itu, kan yang ibu mau mendapat menantu yang bekerja. Pastilah ibu akan senang. “Mar, mau
Aku cukup menarik, dengan wajah menawan, pasti Erika akan tertarik padaku. Interview kali ini harus berhasil karena aku pun butuh uang. Namun, bagaimana pun hasilnya, memang semua ketentuan Allah.Senang sekali rasanya bisa satu kantor dengan Erika. Memang Ayu saja yang sudah move on? Lihat saja, Yu, aku akan perkenalkan kamu dengan Erika.Pukul 07.00 aku sudah berada di kantor tempat Erika bekerja. Demi cepat sampai, aku tidak sempat sarapan dan bertemu dengan Mba Laras.Netraku melihat sosok cantik yang datang menghampiri. Senyumnya membuat pagi semakin cerah"Kamu sudah lama menunggu, ya?" tanya Erika."Iya, ngak apa-apa." Demi apa pun, kamu cantik Erika.Dengan blouse cokelat dan netra dengan soft lance. Duh bikin aku ingin kembali ke masa lalu. Bodoh sekali pria yang menceraikannya. Wanita seperti Erika dia sia-siakan."Yuk, ketemu bos aku," ujar Erika."Eh, iya."Berdoa sembari berharap dapa
POV AyuMencoba tegar dan memang seharusnya seperti itu. Gugatan cerai saja belum sampai ke tangannya, ini sudah memperkenalkan wanita yang dulu pernah menjadi kekasihnya.Dia pikir aku akan cemburu atau marah. Namun, aku sudah berjanji pada diri sendiri jika tidak ada namanya lemah di hadapan Mas Damar. Pria itu harus tahu kalau aku bisa tanpa dia.Aku tidak perlu menguras energi untuk marah atau memaki karena sudah terwakilkan oleh Mba Laras. Sepertinya mereka pernah kenal dan bermasalah. Bodohnya, Mas Damar tidak mengerti.Aku meredam emosi sesaat dengan cokelat hangat yang kupesan. Siang ini memang ada jadwal bertemu klien baru. Namun, tidak tahu malah dipertemukan oleh calon mantan suami.Aku tahu di sengaja duduk di tempat itu. Agar bisa memantau aku mungkin."Gila emang, nggak suka aku sama mantannya si Damar itu," ujar Mba Laras."Kenapa memang?" Aku mencoba mencari tahu.Mba Laras menarik n
Tangan ini mengepal keras saat Ayu mengatakan banyak yang menunggunya menjadi janda. Sial sekali, pantas saja dia berani menggugat cerai dariku.Belum lagi mereka semua pria yang lebih mapan dariku. Kesal aku dibuatnya hari ini. Niat hati membuat dia kesal, malah aku yang merasa terbakar hati ini.Dia masih istriku, tapi kenapa seolah-olah sudah berpisah dariku. Belum lagi Mba Laras yang berada di pihaknya. Semakin menjadi saja dia sepertinya.Harusnya, dia marah dan cemburu. Semua di luar dugaanku. Aku harus cari tahu dari Mba Laras siapa Pak David itu. Apa hanya sekadar klien atau memang sudah kenal dari dulu, tapi malah aku tidak tahu.Memang semenjak menikah, aku membatasi pergaulannya. Smaa sekali tidak boleh berkomunikasi dengan teman prianya. Dan Ayu pun menuruti kemauanku.Asataga, aku lupa kalau Erika menungguku di lobi kantor. Gara-gara mengejar Ayu, aku lupa segalanya. Awas saja kamu, Ayu.Kulih