Lima bulan berlalu begitu cepat. Kini, Ayu memulai semuanya dengan baik. Kabar pernikahan David pun membuat ia senang, walau tidak secara besar-besaran, pernikahan CEO itu mengundang banyak kontroversi karena anak yang di bawa Viola.
Aku mengitari sebuah mall untuk membeli perlengkapan untuk kedua anaknya. Tanpa sengaja ia bertemu dengan Viola.Viola mengajak untuk berbincang di sebuah tempat makan. Ia pergi sendiri karena Gista bersama Oma Meria."Terima kasih, Yu. Kamu memberikan hari bahagia untuk anakku. Berkat kamu, anakku kembali tersenyum. Setiap malam tidur bersama ayahnya." Sembari menggenggam tangan Ayu, manik mata Viola itu meneteskan air mata."Maaf, aku mengambil kebahagiaanmu," ucap Viola lagi."Nggak, kok. Aku bahagia, memang aku dan David nggak berjodoh. Untuk apa memaksakan. Memang dia ada untuk kalian, bukan aku. Aku senang bisa memberikan kebahagiaan untuk kalian." Senyum tulus Ayu membuat dirinya semakin bersMenunggu jawaban dari Ayu membuat Damar tak sabar. Ia kembali bertanya dengan dada yang begitu berdebar.Sorot mata Ayu mengisyaratkan ia ingin kembali, tetapi keraguan kembali membuncah di dada."Yu, bagaimana? Demi aku dan anak-anak?" Lagi, pertanyaan itu terus mendesak Ayu.Batinnya pun tersiksa saat Damar memutuskan untuk tetap pergi ke Surabaya. Terkadang berkirim pesan dengan mengatas namankan anak membuatnya sedikit lega melihat aktivitas sang mantan suami."Yu, mau nggak? Kalau mau, nanti aku bawa keluarga aku untuk datang kembali, dan semoga saja ibu sudah bisa lebih baik.""Mas, apa kamu yakin?""Kalau aku nggak yakin, buat apa aku datang.""Aku--aaku, mau, Mas. Dengan syarat," ucap Ayu."Full gaji di transfer gitu?" Damar menaikkan kedua alisnya."Nggak, tapi janji, kamu mau berubah, tidak seperti dulu.""Janji, sih, mudah. Kamu bantu aku mengingatkan, bagim
Ibu Andar terduduk di teras rumah. Sudah semingguan acara pernikahan Damar berlangsung. Ia merasa lega karena kini penyesalan dirinya sudah terbayarkan.Ia menyesal karena dirinya, kebahagiaan anak-anaknya hilang. Mulai dari Laras, hubungan mereka renggang saat ia ikut campur dalam rumah tangga sang anak. Kedua, rumah tangga Damar yang hancur olehnya. Ketiga, masalah Asih yang membuatnya sangat bersalah.Ia teringat lima bulan yang lalu saat ia bertengkar hebat dengan tetangga beberapa gang dari rumahnya."Ya ampun, Bu Andar lihat, deh. Ini anakmu bagaimana, sih. Masa istri barunya jadi pemeran video porno. Iki, loh," tujuk Bu Sentot sambil memperlihatkan video Erika bersama Yuda.Wajah Bu Andar memerah menahan malu juga amarah. Lalu, ia merampas ponsel milik Bu Sentot dan menghapus videonya."Ih, Bu Andar, lancang sekali, sih. Ini hape saya, nggak ada tatakrama sekali, main ambil saja. Pantas saja anak-anak ibu pada
"Loh, Ma, kamu dari mana?" tanyaku saat istriku pulang dengan beberapa tentengan di tangan."Ada kumpul-kumpul sama teman. Papa sudah pulang?" Istriku berbalik bertanya."Ya, Mama lihatnya bagaimana?"Istriku tersenyum, kemudian berlalu begitu saja tanpa memperdulikan aku yang baru saja pulang. Bukannya bertanya suaminya sudah makan apa belum, ini malah begitu saja melewati aku.Dia punya uang dari mana? Padahal, uang yang kuberikan tidak banyak. Kenapa dia bisa setiap hari pulang malam dan membawa banyak barang?Aku teringat ibu tempo hari bilang kalau istriku kerap menitipkan anak-anak pada ibu. Sementara, ia tidak bilang mau ke mana. Hanya bilang akan kembali sore hari dan ibu pun sama curiga seperti aku.Apa yang dilakukan istriku, apa dia main serong? Dengan dada yang bergemuruh, aku bergegas
Seperti bumerang, aku serba salah menghadapi Ayu. Istriku sekarang malah lebih tegas dan membalikkan semua perkataanku. Bahkan, kali ini saja aku dibuat bungkam olehnya."Maaf kalau Mas salah. Mas hanya---""Berbakti pada orang tua? Membuat ibu senang karena ibu yang merawat dan membuat Mas hebat seperti ini, kan? Damar Prakoso, IT ternama dan terpecaya di sebuah perusahaan besar di Jakarta. Benar bukan?"Hal yang aku takutkan begitu nyata. Senyumnya membuat diri ini merasa bersalah. Apa istriku tidak waras? Kenapa dia seperti itu? Senyumnya pun terpaksa gitu. Bersyukur deh, dia tahu apa yang aku pikirkan."Sudah, bersihkan wajahmu. Mas risih melihatnya."Ayu berlalu begitu saja. Ia ke kamar mandi membersihkan wajah seperti apa yang aku perintahkan.Saat ke luar kamar mandi, auranya semakin cantik. Membuat hasrat lelakiku bergairah, sepertinya aku akan bersenang-senang malam ini."Sayang,
"Kata siapa?" Ayu yang lembut dan tenang kini berteriak seolah-olah aku bukan suaminya.Aku menahan sesak, gemuruh di dada begitu memuncak. Emosi pun kian membuat aku semakin panas berdebad dengan Ayu. Bisa-bisanya dia berteriak di hadapan suaminya."Kata Siapa aku berselingkuh, Mas?" Lagi, ia mempertanyakan padaku. Wajahnya semakin memerah menahan marah.Tidak mungkin aku mengatakan jika ibu dan Arman mengira-ngira saja karena mendengar ceritaku. Ini belum pasti, tetapi aku tak dapat mengontrol emosi."Bukan kata siapa-siapa, mana mungkin kamu bisa membeli beberapa barang. Apalagi lagi kamu sempathangoutbersama teman-teman kamu. Sedangkan--""Sedangkan kamu hanya memberikan sisa uang gaji setelah kamu berikan pada ibumu dan untuk kau pegang, kan?"Posisi ini membuat aku serba salah. Tak bertanya, tapi penasaran. Saat bertanya, malah menjadi bumerang untukku. Kenapa lagi-lagi membahas uang gaji, s
Apalagi ini? Ayu tampil sangat cantik. Dengan gamis maron senada dengan hijabnya yang baru aku lihat dan wajahglowing. Ini benar-benar istriku? Cantik sekali ia hari ini. Dada serasa cenat cenut melihatnya seperti itu. Astaga, kapan ia meminta uang untuk membeli gamis?"Mas, sudah jam 09.00. Jadi berangkat, nggak?" tanya Ayu."Eh, iya. Mas ambil kunci dulu." Aku melangkah masuk dengan kikuk, sampai aku tersandung meja. Apa ini namanya jatuh cinta sama istri sendiri. Untung saja masih istri sahku. Duh, kenapa jadi seperti ini, sih. Bisa-bisanya Ayu cantik seperti itu. Jadi pangling aku.Isi kepala penuh dengan bayangan wajah Ayu. Sampai lupa menaruh kunci mobil di mana. Astaga, Darma, gila kali ini, masa sampai lupa menaruh kunci mobil. Aku menepuk kening sendiri.Suara Ayu sudah terdengar tak sabar di luar. Juga suara anak-anak yang sudah kepanasan.Untung saja ketemu kuncinya. Gegas aku menghampiri mereka d
Kurampas cepat kartu nama yang bertuliskan CV Buana. Benar, ini atas nama Ayu Ningtias. Nama yang kusebut dalam ijab kabul sembilan tahun lalu, hanya saja tidak ada bintinya."Maen ambil aja, sih," keluh Arman dan mengambil kartu nama itu.Aku diam membisu. Selama ini Ayu menyembunyikan sesuatu dariku. Dia bekerja tanpa izin suaminya. Mana bisa seperti itu! Sudah jelas aku melarangnya bekerja, kenapa malah dia diam-diam dariku? Pantas saja dia seperti tak membutuhkan aku.Aku mendekati Arman yang memulai menelepon Ayu. Beberapa menit ia berbicara, tapi aku masih diam dan tak mengatakan jika itu benar istriku."Oke, Bu Ayu. Kami tunggu datanganya. Kalau bisa datang ke kantor dan bertemu langsung dengan HRD atau CEO kita, bagaimana?" Arman bertanya pada Ayu. Namun, aku tidak tahu apa jawabannya."Oke, pukul 15.00. siap, nanti saya kirim alamat kantor kami." Lagi, Arman mengakhiri pembicaraan.Jadi, hari ini
POV AyuAku menarik napas panjang, untuk menghadapi suami macam Mas Damar. Harus banyakistighfardan sabar. Merki bin kodot (pelit) dari dulu kenapa tidak hilang juga dari raganya. Bahkan semakin parah.Wajahnya memerah saat mendengar penuturanku. Panik bukan? Kamu pikir aku main-main dengan ancamanku? Lihat, apa yang akan kamu lakukan."Maksud kamu apa bicara hal itu? Aku nggak suka dengan apa yang kamu katakan." Mas Damar membela diri lagi. Sejak tadi dia mencoba berargumentasi denganku, tetapi dia tetap kalah telak."Masa kamu nggak ngerti. Apa harus aku perjelas. Ceraikan saja aku, Mas. Kembalikan pada keluargaku. Aku capek, punya suami kaya nggak ada. Kerja pontang panting, lelah, aku yang merasakan."Semua unek-unek itu akhirnya keluar juga. Dada ini terasa sesak saat ia menghabiskan banyak uang untuk keperluan keluarganya. Apalagi saat Asih mulai kuliah satu tahun lalu dan itula