Aku meletakkan handphone di atas meja ruang tamu rumahku. Setelah Riana memutuskan sambungan telpon itu. Apa yang Riana ucapkan membuatku merasa khawatir. Dia tidak mau menikah denganku tanpa restu dari Mama. Sedangkan aku mengenal betul watak Mama. Sekali dia bilang tidak, maka akan tetap seperti itu pendiriannya. Apapun yang akan aku lakukan untuk membujuknya akan sia-sia.
Ucapan Riana tadi seakan meruntuhkan impianku yang begitu besar untuk bisa membina rumah tangga dengan wanita yang selama ini selalu aku cintai. Ya, Riana adalah satu-satunya wanita yang sangat aku cintai. Dari semasa kuliah aku sudah menaruh hati padanya. Bahkan jauh hari sebelum aku dan dia jadian, aku sudah mencintainya.
Sebenarnya, bukan maksud hatiku dulunya untuk menjauh dari Riana setelah kami wisuda. Aku hanya ingin mencari pekerjaan yang bagus sebelum memberanikan diri untuk melamar Riana. Tapi, semuanya terlambat. Saat aku sudah mempunyai pekerjaan yang bagus, aku baru menemui
Seperti ancamannya, Mbak Lisa ternyata menggunakan Mama untuk memuluskan jalannya. Dengan menghasut Mama agar tidak merestui aku dengan Riana. Hatiku rasanya sangat geram melihat Mbak Lisa tengah memasak di dapur bersama dengan Mama.Perkataan kasar Mama pada Riana tadi, aku yakin sekali itu akibat dari hasutan dari Mbak Lisa."Candra, ayo makan! Semua sudah terhidang di meja makan!" Panggil Mbak Lisa padaku dengan suara di buat semerdu mungkin. Aku melengos jengah melihat tatapan matanya padaku."Aku tidak lapar!" jawabku dengan ketus. Tanpa menghiraukan wajahnya yang berubah seketika, aku langsung memasuki kamar.Rasanya aku tidak ingin menikmati sedikitpun makanan yang sudah dia buat. Walaupun di bantu oleh Mama. Aku tidak ingin memberikan sedikitpun harapan padanya. Karena aku tidak akan bersedia menikah dengannya apapun bujuk rayu Mama dan Papa."Nak, ayo makan! Nak Lisa sudah susah payah memasak makanan kesukaanmu, kamu jangan bertindak
Jika ada yang bilang cinta itu harus di perjuangkan, aku setuju dengan ujaran itu. Tapi bagiku, cinta itu tak harus menimbulkan derita bagi orang lain. Aku tak ingin menyakiti hati perempuan lain untuk menciptakan kebahagiaanku sendiri. Itu terkesan egois bagiku, apalagi dengan semua derita yang pernah aku alami. Itu semakin membuatku tak mau menyakiti hati perempuan lain. Biarlah aku yang mengalah. Aku tak akan memperjuangkan Mas Candra.Jika dia adalah jodohku, aku yakin Tuhan akan menyatukan kami. Aku hanya ingin menyerahkan semuanya pada takdir. Apapun yang terjadi, aku tidak akan berkecil hati. Walau Mas Candra sudah berjanji untuk mendapatkan restu dari Mamanya, tetap saja aku tak menaruh harapan yang berlebihan. Walau di dalam sudut hatiku yang terdalam, aku mendoakan Mas Candra.Pagi harinya aku tetap menjalankan aktifitasku seperti biasa, untuk menghilangkan rasa jenuh aku berencana untuk membawa Adam dan Bi Inah berbelanja ke swalayan. Apalagi, sudah banyak k
Aku tak henti mengucapkan rasa syukur, setelah Mas Candra dan kedua orang tuanya pergi dari rumahku. Restu yang Mama Mas Candra berikan membuat hidupku seakan kembali semangat. Aku tak sabar ingin segera menjadi istrinya Mas Candra. Seseorang yang sudah membuatku merasakan semangat untuk menjalani kehidupan ini.Sesuai janjinya, Mas Candra menjemputku keesokan harinya untuk menemui Paman dan Bibi. Aku sengaja membawa Adam dan Bi Inah. Pasti Paman dan Bibi rindu pada Adam. Aku sengaja tidak memberi kabar pada paman bahwa aku dan Mas Candra serta keluarganya akan datang mengunjungi mereka. Aku hanya menanyakan apa yang akan mereka lakukan hari ini. Dan syukurnya, Paman dan Bibi hari ini sedang di rumah. Paman tidak ke kantor karena sekarang hari sabtu.Saat mobil Mas Candra masuk ke halaman rumah Paman, aku segera turun di ikuti oleh yang lainnya. Bibi yang tengah menyiram tanaman di halaman depan rumahnya, terlihat sangat kaget dan langsung menghampiri kami."Rum
"Ma, besok mas pulang ke rumah. Bersihin kamar tamu sekalian ya? Mas bawa seseorang" "Siapa mas? Keluarga mas ikut kesini?" "Sudah, besok aja mas jelasin. Mas tutup telponnya ya?" "Ya, mas"Aku penasaran siapa yang akan mas Yoga bawa. Mas Yoga dinas diluar kota sudah seminggu ini. Dia sering keluar kota. Di sana ada keluarga ayahnya. Apa mungkin yang akan mas Yoga bawa sepupunya?Aku segera ke kamar tamu, mengganti seprai dan sarung bantal. Juga meletakkan selimut baru di atas ranjang. Menyapu lantainya dengan bersih lalu merentangkan karpet. Sepertinya tamu itu istimewa, sampai-sampai mas Yoga langsung memerintahkan untuk membersihkan kamar tamu.Kembali ke kamar ku, menatap test pack bergaris dua yang sengaja ku letakkan di atas nakas disamping tempat tidur. Ya, akhirnya aku hamil juga. Setelah tujuh tahun m
"Ma, aku mohon. Cobalah untuk menerima Rindu. Sekarang dia juga istriku, dia sama berhaknya denganmu atas diriku, ma?""Tidak mas, dia berbeda denganku. Aku wanita terhormat sedangkan dia wanita perebut suami orang!""Sudahlah ma, sudahi ini semua. Mas pusing mendengar kamu sejak tadi selalu marah!""Aku marah padamu, mas! Menikah diam-diam tanpa sepengetahuan diriku""Mas kan sudah jelaskan alasannya, sekarang cobalah mengerti Riana!""Kalian menikah secara siri kan?""Iya, ma! Karena status mas dan tidak mendapatkan izin darimu kami menikah siri""Baguslah, aku tidak akan pernah memberikan izin. Selamanya perempuan ini akan menjadi istri siri mu!""Apa maksud mbak bicara seperti itu?" Perempuan itu menatapku dengan penuh tanda tanya. Dasar bodoh. Mau saja dijadikan istri siri.
Hari menjelang sore, aku mondar mandir di depan teras. Suami yang ku tunggu tak kunjung datang. Jangan bilang di pulang ke rumah perempuan jalang itu. Tanganku mengepal menahan amarah.Aku tak akan memaafkannya, jika malam ini dia kembali bersama perempuan itu. Seharusnya dia juga memikirkan ku. Aku juga hamil, istrinya yang sudah menemaninya selama tujuh tahun. Sedangkan perempuan itu baru menjadi istrinya. Aku yang menemani suamiku berusaha dari nol, dari yang tak punya apa-apa sampai punya jabatan yang sebagus sekarang ini.Rasanya ini tidak adil, hanya beralasan keturunan dia tega menduakan ku. Lalu sekarang mencoba tak berlaku adil. Padahal aku sudah bersusah payah mencoba untuk ikhlas.Jika malam ini, dia tak pulang ke rumahku, awas saja. Aku akan kembali menghajar perempuan jalang itu.Emosiku sudah membuncah, hari sudah menjelang magrib. Tapi mas Yoga belum pulang juga. Aku tak tau harus berbuat ap
Suara mobil mas Yoga memasuki bagasi rumah, aku segera membukakan pintu. Akhirnya dia pulang juga.Mas Yoga memasuki rumah, tapi wajahnya seperti memendam kemarahan. Aku tau, mungkin dia marah setelah kejadian tadi."Mas marah padaku?""Iya, mas sangat marah Riana!""Seharusnya aku yang marah, kamu bilang ibu yang memaksa menikahi perempuan itu, nyatanya apa? Semua itu karena kamu tergoda akan rayuannya?""Ya, aku memang tergoda akan rayuannya. Tapi ibu juga merestui pernikahan kami! Karena dia ingin secepatnya punya cucu""Sekarang aku telah hamil, aku bisa memberikan cucu untuk ibu dan anak untukmu, aku mau kamu tinggalkan dia!""Tidak semudah itu Riana, dia juga hamil, di perutnya ada calon anak ku juga!""Lalu mas mau beristri dua selamanya?""Iya, mau bagaimana lagi? Semua ini sudah terlanjur!""Tapi aku tidak sudi hidup seperti ini!"&n
Saat mobil mas Yoga berhenti di klinik kandungan, aku turun dengan enggan. Rasanya malu sekali. Diperlakukan seperti ini.Karena mas Yoga sudah membuat janji, jadi kami tidak terlalu lama menunggu. Suster memanggil nama suamiku, kami sontak berdiri. Masuk ke ruang pemeriksaan. Bertiga, jalan beriringan. Aku tidak tau apa yang dipikirkan oleh suster, yang menatap aneh pada kami."Baik, pak Yoga. Kita periksa dulu. Yang mana yang akan saya periksa?""Keduanya dokter, mereka istriku. Dan sama-sama hamil keduanya""Beruntung sekali pak Yoga, punya istri dua hamil pula keduanya" Dokter tersenyum menatap aku dan perempuan itu. Rasanya malu sekali. Suster yang tadi memanggil nama suamiku, terlihat mengulum senyum.Mereka pasti mentertawakan kami. Ah, ingin rasanya keluar berlari untuk menyembunyikan mukaku. Tapi perempuan itu masih bisa tersenyum bahagia, dasar tidak punya malu.