Pagi itu Shesa berjalan sedikit terburu-buru bersama Reta. Memasuki ruangan rapat yang sudah di penuhi oleh banyak orang di dalamnya. Shesa hari itu mengenakan rok sepan hitam sebatas lutut dengan kemeja berwarna baby pink, dan laptop di tangan kanan serta tas yang berada di kiri lengannya.
Duduk di meja yang bertuliskan namanya , mata Shesa seperti mencari seseorang. Mata itu bersitatap dengan obyek yang dia cari. Alvin sedang menatapnya, lelaki itu melempar senyuman. Meeting hari kedua ditujukan pada masing-masing divisi untuk melakukan presentasi di bagian masing-masing. Dan, hari ini divisi yang Shesa tempati mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kelebihan serta bagaimana mereka membantu perusahaan agar selalu di pandang baik sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di negara ini.
Shesa di tunjuk sebagai pembicara dari divisi Humas, wanita berumur 27 tahun itu berjalan sangat anggun. Aura model papan atas yang dulu sempat membawanya di kenal banyak orang masih begitu terasa. Sebagian orang-orang yang hadir pun berbisik satu sama lain seakan lebih tahu akan kehidupan Shesa sebelum ini.
Shesa memulai membacakan presentasinya mengenai kualitas kain yang di tawarkan ke pasar internasional, lalu kepercayaan customer pada perusahaan serta tugas dari divisinya menjalin hubungan baik dan kerjasama dengan perusahaan lain sebagai investor tetap di perusahaan mereka.
"Jadi menurut kami sebagai divisi yang ditunjuk oleh perusahaan, tugas kami tidak hanya untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap perusahaan, namun juga untuk meningkatkan penjualan produk," ujar Shesa. "Sekian dari divisi Humas, untuk ke depannya kami akan memberikan yang terbaik lagi untuk perusahaan." Tepuk tangan mengiringi langkah kaki Shesa kembali ke tempat duduknya.
Meeting kali ini memakan waktu hampir tiga jam, pukul 12 waktu Bali peserta meeting satu per satu keluar dari ruangan itu. Shesa dan Reta serta Robby atasan mereka duduk di satu meja yang sama. Membicarakan hasil meeting yang mereka bahas tadi.
"Gak salah si kalo HRD nerima kamu masuk ke tim kita, aku rasa kamu gak cocok jadi junior PR, malah sebaliknya kamu bisa jadi di atas aku, Sha," ujar Reta.
"Bisa aja," jawab Shesa tersenyum.
"Tapi bener kata Reta, Sha ... pertama kali aku interview kamu saat itu, aku udah yakin kamu bakal mampu mengemban tugas kita, selain kamu mantan model, cara kamu bicara itu meyakinkan orang loh," ujar lelaki berumur 45 tahun yang menjabat sebagai manager PR di perusahaan itu.
"Boleh gabung?" tanya suara yang berdiri tepat di sebelah kanan Shesa.
"Pak Alvin ... silahkan, silahkan gabung," ujar Pak Robby yang seketika berdiri memberikan satu tempat lagi untuk Alvin bergabung dengan mereka.
"Setelah ini masih ada sesi acara?" tanya Alvin pada Pak Robby.
"Masih Pak, sepertinya pemberian reward bagi beberapa staf yang sudah memberikan kontribusi terbaik di perusahaan."
"Setelahnya acara bebas, Pak," ujar Reta seraya bercanda.
"Itu yang di cari kan, Bu Reta," ujar Alvin melirik Shesa yabg sedang menyendokkan makanan ke dalam mulutnya.
"Jelas banget, Pak ... kapan lagi jalan-jalan ke Bali terus dapat fasilitas dari kantor," ujar Reta lagi.
"Bukan begitu, Shesa?"
"Hah?"
"Setelah acara kamu mau kemana, di tanya Pak Alvin," ujar Reta.
"Oh ... belum tau, Mbak Reta kemana?"
"Pak Robby ngajakin cari oleh-oleh buat anak istrinya, aku juga mau cariin buat keluarga di rumah, kamu mau ikut?"
"Liat nanti deh," ujar Shesa lalu kembali menikmati makan siangnya.
*****
Acara berlanjut hingga pukul setengah empat sore, Shesa berjalan lebih dulu dari Reta yang masih bergabung dengan beberapa staf berlevel manager di sana, karena Shesa merasa tidak ada kepentingan lagi, maka dia memilih untuk undur diri lebih dulu. Memasuki lift, Shesa merogoh ponselnya di dalam tas. Satu pesan masuk yang membuat alisnya terangkat satu sisi.
"Aku tunggu di basemen, sekarang. Alvin"
Mata Shesa terbelalak saat menerima pesan itu. Tahu darimana dia nomer ponselnya, seingat Shesa dia tidak pernah memberikan nomer ponselnya pada Alvin.
"Aku tunggu di mobil." Kembali pesan itu datang, saat Shesa sudah memasuki kamarnya.
Shesa kembali melangkahkan kakinya keluar dari kamar setelah meletakkan tas dan laptopnya, dia keluar dari lift langsung menuju basemen. Shesa terdiam di depan pintu keluar, sebuah mobil berwarna putih mengedipkan lampu ke arahnya, Shesa berjalan menghampiri.
"Masuk," ujar Alvin.
"Mau kemana?"
"Jalan-jalan ... ayo," kata Alvin lagi.
"Mau kemana sih?" tanya Shesa lagi sambil memasang sabuk pengamannya.
"Pantai Pandawa, udah pernah?" tanya Alvin.
"Sudah ...."
"Aku lupa lagi kalo Bali seperti rumah kedua buat kamu."
Shesa tersenyum. "Biasanya orang-orang seperti kamu lebih menikmati menghabiskan waktu di tempat seperti private villa, resort-resort gitu atau club' di pinggir pantai, di kelilingi cewek-cewek cantik," ujar Shesa.
"Bosen ... lagi pengen yang biasa, lagian gak butuh cewek cantik, yang di sebelah aku jauh lebih cantik." Alvin tertawa. "By the way, biasa ya?"
"Apa?"
"Nemenin atau gabung sama anak-anak pengusaha atau pengusaha-pengusaha di negara ini?"
Shesa mengerucutkan bibirnya lalu mengangguk, "tapi dulu ... sekarang udah gak."
"Hhmm, tobat?"
"Begitulah."
Mereka lalu terdiam, terhanyut pada pikiran masing-masing.
"Kamu sendiri? Sering juga dong di temenin model-model atau cewek-cewek cantik, kan anak pengusaha," ujar Shesa menarik sudut bibirnya.
"Gak usah aku jawablah ya," ujar Alvin tertawa menoleh kepada Shesa.
"Satu sama kalo gitu," ujar Shesa membalas tatapan mata Alvin.
Mobil berhenti di tepian jalan, jauh di bawah sana hamparan laut lepas begitu indah. Senja mulai datang ketika mereka sampai di sana. Cahaya matahari sedikit menyakitkan mata menembus kaca jendela mobil Alvin.
"Silau?" tanya Alvin, Shesa mengangguk. "Turun aja, mau?"
Duduk di atas kap mobil, sambil memandangi cahaya senja sore itu, deburan ombak terdengar begitu merdu, ombak yang saling berkejaran seakan tak sampai-sampai pada tujuan.
"Besok penerbangan jam berapa?"
"Jam 10, kenapa?"
"Hhmm ... ketemu di kantor dong." Shesa hanya mengangguk. "Kamu gak mau balik jadi model lagi?" Lagi-lagi Shesa menggeleng. "Kenapa?"
"Pengen aja, cari pengalaman buat hidup yang lebih baik lagi."
"I see."
"Kenapa ngajakin aku keluar?"
"Ngajak makan malem."
"Kan kemarin udah."
"Kali ini reward," ujar Alvin.
"Reward?"
"Presentasi kamu bagus."
"Oh ... biasa aja."
"So ...."
"Apa?"
"Makan malam, lagi."
Shesa tertawa lalu mengangguk, "kamu yang traktir kan?"
*****
"Makasih makan malamnya, Pak Alvin," ujar Shesa saat mobil Alvin terparkir di basemen hotel.
"Sama-sama," ujar Alvin menyandarkan kepalanya pada jok mobil itu.
"So ...."
"So?" Alvin menoleh pada Shesa yang sudah melepaskan sabuk pengamannya.
"Ketemu lagi ... di Jakarta," ujar Shesa.
"Iya ...."
"Vin ... pintunya," ujar Shesa meminta Alvin membuka lock system otomatis.
"Mau turun sekarang?"
"Iya, mau ngapain lagi?" Shesa tersenyum.
Alvin menggerakkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya pada wajah Shesa yang sudah tersudut.
Mata Alvin begitu sendu, tatapan matanya turun pada bibir Shesa yang seksi. Lelaki itu membelai lembut pipi Shesa, Shesa kebingungan dengan perlakuan Alvin yang secara tiba-tiba itu.
"Kamu mau ngap—"
Bibir Alvin sudah bertaut pada bibir Shesa, mata Shesa terbelalak saat Alvin menciumnya. Lumatan lembut itu begitu menghanyutkan, tangan Shesa yang tadinya menegang mencengkeram lengan Alvin perlahan melembut. Shesa membalas ciuman itu, ciuman yang entah untuk apa. Lidah Alvin sudah membuka rongga mulut Shesa, lidah mereka saling membelit, ciuman lembut itu semakin liar, tidak ada yang mau saling berhenti. Hingga jok mobil itu diubah posisinya menjadi posisi tertidur.
"Vin," lirih Shesa. "Hhmm." Alvin membuka satu per satu kancing kemeja Shesa, tangannya meraba dada Shesa sementara tautan bibirnya tak berhenti. Alvin menikmati permainan lidah Shesa di dalam rongga mulutnya. Ciuman Shesa begitu menghanyutkan, mereka sama-sama terbuai. Hingga akhirnya Alvin menarik mundur tubuhnya, menata mata Shesa yabg masih sendu. Kemeja Shesa sudah terbuka, buah dadanya begitu sempurna, pandangan Alvin turun pada dada yang masih terbalut bahan berenda berwarna nude itu. Alvin mengecupi dada Shesa, tubuh Shesa menegang ketika perlahan Alvin membuka pembungkus dadanya. "Vin,"lirih Shesa membusungkan dadanya. Alvin hanya bergumam, dia lebih memilih menikmati permainan lidahnya di puncak dada Shesa dan mendengarkan lenguhan suara Shesa yang merdu di telinganya. "Sha ... aku mau kamu," ujar Alvin, tangan lelaku itu turun menyusuri perut datar milik Shesa sampai pada pembatas rok yang Shesa kenakan. "Jangan," ujar Shesa
Sebuah minibus mengantarkan Shesa dan beberapa orang menuju Bandara I Gusti Ngurah Rai. Shesa tak habis pikir atas apa yang dilakukan oleh Alvin saat terakhir mereka bertemu tadi, tiba-tiba menarik tubuhnya lalu mendaratkan ciuman yang sama seperti malam sebelumnya. Shesa menggeleng lalu tersenyum, sudah dipastikan wajahnya merona merah. Jatuh cinta? Apa itu? Shesa belum pernah merasakannya sedalam ini bahkan dengan Catur si brengsek itu sekalipun. Senyum samar itu seketika hilang saat mengingat nama Catur kembali hinggap di benaknya "Sha, ayo ... siap-siap boarding," ujar Reta yang berjalan di depan Shesa. "Hari Senin, Pak Alvin gosipnya sudah bergabung di perusahaan kita," kata Reta menghempaskan tubuhnya duduk di sebelah Shesa. "Oh, selama ini ... maksud aku sebelumnya dia dimana?" "Gak tau ... gak jelas juga, ada yang bilang dia punya usaha sendiri di luar negeri ada yang bilang menghamburkan uang keluarga, entah mana yang benar."
"Membicarakan apa?" tanya Alvin yang langsung saja masuk ke ruangan sekretaris sang Ayah. "Pak Alvin, silahkan duduk," ujar Bu Sinta. "Biar di sini saja, Bu Sinta ... tadinya saya ingin meminta bantuan untuk mencarikan file produk, ternyata Bu Sinta sedang ada tamu." Alvin berdiri di samping Shesa. "Ah ... hanya berbincang mengenai posisi kosong sebagai sekretaris Pak Alvin, sudah ada dua kandidat dan satu lagi saya menawarkan posisi itu pada Shesa." "Hasilnya?" tanya Alvin melirik Shesa dengan ekor matanya. "Saya pikirkan dulu, Pak Alvin ... saya baru bekerja hitungan minggu di perusahaan ini, jadi saya tidak ingin gegabah mengambil keputusan, apalagi untuk posisi yang di tawarkan pada saya bukan lah bidang yang saya geluti," ujar Shesa. Alvin hanya mengangguk, "ok ... silahkan dipikirkan," ucap Alvin lalu berlalu keluar dari ruangan itu. "Sebaiknya dipikirkan lagi, Sha ... aku lebih tertarik sama kamu di banding yang lain, ta
"Sha." Suara itu terdengar lirih, seakan meminta sesuatu yang menjadi candunya. Alvin semakin mendekatkan tubuhnya, sapuan nafasnya semakin terasa hangat menerpa wajah Shesa. Alvin menautkan bibirnya pada bibir Shesa, menyesapnya lama. Shesa menikmati setiap gigitan-gigitan kecil di bibirnya, matanya terpejam sedangkan tangannya membelai lembut rahang lelaki itu. Alvin menarik pagutannya, matanya menatap sendu mata Shesa yabg baru terbuka saat ciuman itu berakhir. "Aku gak tau ini apa, tapi aku ngerasa sesuatu berbeda saat pertama kali ketemu kamu," bisik Alvin di telinga Shesa. Alvin kembali menautkan bibirnya, kali ini lidah mereka saling menari di dalam sana, tangan Alvin menahan tengkuk leher Shesa, menciumnya semakin dalam. Tangan lelaki itu turun ke dada Shesa, payudara wanita itu terasa padat di tangan kekar milik Alvin. Shesa melenguh saat cengkraman itu semakin kuat meremas dadanya. "Vin ...." Shesa menarik dirinya,
Suara ketukan di pintu membuyarkan konsentrasi Alvin dalam mengerjakan pekerjaannya. Budiman Atmaja, ayah Alvin datang menemui putranya bersama seorang wanita berkulit putih bening, bermata indah dan mempunyai rambut berwarna coklat keemasan. "Hai, Alvin," sapa Soraya. Wanita dengan tinggi badan 165 sentimeter itu berjalan mendekati Alvin dan memberikan kecupan di pipi lelaki itu. "Papa kesini mau nganterin Soraya, ajak Soraya makan malam ya ... jauh-jauh dari Bali sudah pasti harus kamu jamu dengan baik," ujar Budiman pada Alvin. "Kenapa gak Papa sama mama aja yang makan malam sama Soraya? Alvin masih banyak pekerjaan." Alvin berusaha menolak, jelas dia ingat sekali janjinya pada Shesa malam ini. "Papa masih ada urusan, kalo mama kamu ... tau sendiri lah jadwalnya padat, kan." Budiman menepuk pundak Soraya. "Soraya, Om tinggal dulu ya ... butuh apa-apa selama di sini, bilang aja sama Alvin." Budiman lalu melangkah pergi meninggalkan ruangan itu.
Suara ponsel Shesa berbunyi kala dua sahabat itu sedang membahas tentang masalah percintaan yang dialami oleh Shesa. "Siapa?" tanya Nina. "Alvin," jawab Shesa dengan mata yang terbelalak lalu menatap Nina. "Nin ... gimana?" "Eh, gimana? malah nanya gue." Nina mengangkat kedua bahunya. "Angkat aja." Shesa meletakkan jari telunjuk di bibirnya memberikan isyarat pada Nina untuk diam. "Halo," sapa Shesa dengan wajah yang datar. "Kamu dimana?" "Kenapa?" "Aku tanya kamu dimana, jangan balik bertanya," ujar Alvin. "Sedang di suatu tempat, kenapa?" "Aku jemput, katakan dimana?" "Aku lagi sama teman-teman," ujar Shesa. "Lain kali saja ...." "Sha ...." "I got to go now, bye (aku pergi dulu)" ujar Shesa menutup telponnya. "Ish ... kejam lo," ujar Nina. "Biar gak kebiasaan maenin hati anak perawan," ujar Shesa terkekeh meski hatinya perih. "Anak perawan, njiirr." Nina
Alvin menatap Shesa dengan tatapan tajam saat Shesa meminta izin meninggalkan ruangan kerjanya. Sedangkan Soraya masih asyik mengingat ingat, semahal apa bayaran Shesa hingga mantan model itu memutuskan untuk bekerja di perusahaan Alvin."Aku keluar sebentar," ujar Alvin beranjak dari kursinya."Kemana?""Ke ruangan Ibu Sinta," bohong Alvin yang sebenarnya ingin mengejar Shesa.Langkah lebar Alvin keluar dari ruangannya mengejar Shesa sampai ke depan pintu lift, dan nasib baik berpihak padanya. Wanita itu masih berada di depan lift, pintu lift terbuka Alvin berlari kecil dan berhasil menahan pintu lift dengan tangannya."Tunggu!" seru Alvin.Shesa memutar tubuhnya saat satu kakinya baru saja masuk ke dalam lift, cepat-cepat dia menekan tombol close namun kalah cepat dengan Alvin yang buru-buru ikut masuk ke dalam."Dengerin dulu," ujar Alvin meraih tangan Shesa."Apa-apa sih," sungut Shesa menepis tangan Alvin.Alvin men
Shesa baru saja turun dari mobilnya saat dia melihat Alvin memasuki apartemen tempat Shesa tinggal. Wanita itu mengerutkan kedua alisnya, darimana Alvin tahu dimana tempat tinggalnya, pikir Shesa. Barulah dia tersadar jika dia mengaktifkan GPS pada ponsel yang Shesa gunakan. "Ck, kenapa harus kesini sih," gumam Shesa lalu masuk lagi ke dalam mobilnya. Rencananya untuk menukar pakaiannya terlebih dahulu baru pergi lagi menuju ke sebuah Mall pun kandas. Shesa menonaktifkan GPS ponselnya, lalu mengemudikan mobilnya ke tempat yang dia tuju. Lelah mencari sesuatu yang dia butuhkan, Shesa masuk ke restoran Jepang yang berada di Mall itu. Setelah memesan makanannya, Shesa kembali menggulir layar ponselnya, beberapa pesan masuk termasuk dari Nina dan Alvin. "Shesa? Hai ... Shesa," sapa dua orang wanita dengan postur tubuh yang tak kalah tinggi darinya dengan paper bag yang berisi barang-barang branded, dua wanita itu bergabung duduk bersama Shesa di sana. "Lo