Perut itu semakin membuncit, bukan hal biasa jika mengandung dua janin sekaligus apalagi dengan tubuh mungil seperti tubuh Anggi. Dengan susah payah, wanita yang mengenakan denim jumper dress itu berjalan menuju ruang makan VVIP di sebuah restoran di Bandung.
"Kenapa sih nggak di rumah aja?" tanyanya namun dengan mendumel.
"Perutnya gede banget," kekeh Shesa yang sedang menyuapi Naima.
"Iyalah Kak, kan di kasih makan sama bapaknya," ujar Anggi sebal lalu dia menoleh ke kanan ke kiri. "Mas Pandu mana?"
"Dih, mana tau," jawab Alvin mengangkat kedua bahunya. "Suami situ," kekeh Alvin di balas tepukan di bahu oleh Shesa.
"Kakaknya situ," balas Shesa.
"Iya juga, ya." Alvin lalu tertawa lagi.
"Dia belum dateng?" Anggi mendelik, lalu merogoh tasnya mengambil ponsel.
"Suami isrti yang aneh," ujar Wulan mengusap bibir Naima yang sudah belepotan dengan biskuitnya.
"Ya udah, ini udah di tungguin," ujar Anggi yang ber
Enjoy reading 😘
Pandu berjalan tergopoh-gopoh memasuki koridor rumah sakit. Setengah jam yang lalu dia di telpon Wulan untuk langsung datang ke rumah sakit karena Anggi mengeluh sakit pada perutnya. Jadwal melahirkan Anggi masih tiga minggu lagi seharusnya. Saat ini usia kandungannya masih delapan bulan, untung saja selesai acara keluarga tiga minggu lalu, Wulan memutuskan untuk tinggal bersama mereka mengingat kandungan Anggi yang sudah membesar. Apalagi kehamilan bayi kembar lebih-lebih tidak bisa di prediksi kapan akan lahirnya. Dokter saat pemeriksaan terakhir dua minggu lalu menyarankan untuk Anggi melakukan operasi secar, namun Anggi bersikeras ingin melahirkan normal. "Gimana, Ma?" tanya Pandu pada Wulan yang berdiri di depan ruang bersalin. "Ndu, kamu cepat siap-siap, temui suster temani Anggi," ujar Wulan terlihat panik. "I-iya, Ma. Pandu masuk dulu ya, Mama tolong hubungi keluarga," kata Pandu. Memasuki ruang dingin itu dengan baju yang suda
"Wah, selamat ya, Ndu. Langsung dua keren banget gimana bikinnya itu?" tanya Windu yang siang itu di telpon oleh Pandu, mengabarkan kalau Anggi sudah melahirkan. "Ya bikin aja, Win. Masa perlu gue ajarin." Pandu terkekeh. "Gimana Soraya?" "Sehat dia, tapi ya gitu ... apa memang begitu ya kalo perempuan lagi hamil?" "Emang gimana?" tanya Pandu, "eh, sebentar gue ubah mode video call aja, ini ada yang ribet pengen ikut ngobrol." Windu tertawa, hubungan tiga orang lelaki ini semakin hari semakin akrab. "Gimana? Coba di ulang lagi." Alvin meminta Windu mengulang perkataannya. "Iya, banyak banget maunya, belum sensitifnya, belum lagi minta yang nggak-nggak," keluh Windu. "Minta yang aneh dalam hal itu, nggak?" tanya Alvin tertawa. "Iya, Vin. Kok lo tau? Shesa juga?" tanya Windu penasaran. "Ya kali gue cerita, Win." Alvin tertawa. "Kapan lahiran?" tanya Pandu. "Masih lima bulan lagi," ujar Windu.
"Sayaaang," seru Anggi dari dalam kamarnya. Pandu menaiki tangga tergopoh-gopoh, membawa tiga bungkus pampers berukuran besar dan satu plastik besar. Setengah jam yang lalu, Anggi menyuruhnya membeli perlengkapan bayi yang dia butuhkan termasuk susu dan Pampers untuk si kembar. "Sayang," seru Anggi lagi. "Iya, aku di sini," jawab Pandu masuk ke dalam dan melihat kesibukan Anggi mengurus bayi mereka yang berumur lima bulan. "Apa lagi yang harus aku bantu?" tanya Pandu dengan napas tersengal-sengal. "Bikinin susu untuk Aira, aku mau gantiin pampers Arya dulu," jawab Anggi meletakkan Aira ke tempat tidur bayinya, lalu mengangkat pelan tubuh Arya yang sudah menunggu antrian untuk di gantikan popoknya. "Siap!" jawab Pandu lantang, lalu melangkah ke sudut ruangan yang sudah lengkap dengan semua peralatan susu bayi kembar mereka. "Nggi." Wulan memanggilnya di ambang pintu. "Iya, Ma." "Kita berangkat setelah makan siang
Taman samping rumah Shesa sudah di penuhi keluarga Atmaja dan Gunawan. Malam ini adalah perayaan kembalinya Gunawan setelah melewati masa hukumannya di penjara atas perbuatannya. Shesa dan Anggi duduk di sisi para suaminya, Gunawan dengan seksama mendengarkan cerita dari putri-putrinya melewati hari mengurus buah hati mereka. Sementara Wulan dan Paula sudah menjadi kebiasaan dua nenek ini menyiapkan segala sesuatu di meja makan. "Ini yang mau di bakar apa?" tanya Pandu dengan polosnya. "Jangan rumah gue," seloroh Alvin diiringi tawa semua anggota keluarga. "Kita tunggu satu keluarga lagi untuk bergabung," ujar Budiman. "Papa sengaja mengundang mereka." "Selamat malam." Semua orang menoleh ke asal suara, lelaki tampan bermata sipit berkulit putih, merangkul seorang wanita dengan perut yang membesar. "Aya, Windu," sahut Shesa yang tak percaya jika yang di maksud Budiman adalah Soraya dan Windu serta Citra yang berdi
Lelaki itu turun dari tubuh Shesa yang membuatnya melayang ke angkasa malam itu. Menjadikan lengan kekarnya sebagai bantalan untuk kepala sang gadis. Tak berapa lama, lelaki itu menatap langit-langit kamar, sementara Shesa di sebelahnya masih sibuk membuat lingkaran dengan jari jemarinya di dada lelaki itu. "Sha ... aku mau jujur sama kamu," ujarnya dengan wajah serius namun tangannya masih memberikan belaian lembut di pundak Shesa. "Aku sebenernya— aku sudah menikah," ujar Catur ragu-ragu. "Whattt?" Shesa menarik selimut agar menutupi seluruh tubuhnya, lalu berdiri. "Gila lo ya ... Pergi lo!" Seru gadis itu lantang, "segila gilanya gue, gue anti maen sama laki orang... Pergi lo!" "Maaf, Sha ... maaf aku baru mengatakannya sekarang, aku gak bisa membohongi diriku sendiri, aku suka hubungan kita tapi—" "Pergi ... sebelum gue panggil keamanan kesini ..
"Kurang ajar juga si Catur ya, gue kira dia single." Nina menepuk jidatnya. "Jangankan elo, gue aja masih gak percaya sampe detik ini... Astaga Nin, itu laki orang, gue gak pernah maen sama laki orang, gue kira tiga bulan ini gue udah beneran tobat, Catur nerima gue apa adanya, ternyata dia sama brengseknya dengan yang lain." "Yang gue heran, kenapa sama lo dia jujur ya Sha? bilang kalo dia udah nikah... Njiiirrr bini nya baru lahiran dua bulan lalu." "Dua bulan lalu baru ngelewatin masa nifas Nin, berarti selama tiga bulan sama gue, dia lampiasin hasratnya sembari nunggu bini nya kelar masa nifas, emang gak ada otak." Wajah Shesa memerah menahan marah. Untung saja coffeeshop milik Nina pagi ini masih sepi, jadi mau sekeras apapun suara Shesa menyalurkan kemarahannya juga tidak ada yang perduli. "Cariin gue kerjaan deh Nin, gue capek jadi model begini, kesenangan yang g
Bunyi jam weker menggema di kamar Shesa. Tepat pukul lima pagi, suara itu membuat matanya harus terbuka. Jika saja hari ini bukan jadwalnya dia harus berangkat ke Bali mungkin dia akan terbangun pukul tujuh dan masih menyempatkan dirinya untuk menikmati secangkir kopi latte di meja makan. Shesa harus bergegas, dia harus sampai di bandara pukul sembilan sedangkan situasi jalan di pagi hari kota besar ini begitu padat merayap, belum lagi Shesa harus menunggu orang bengkel untuk mengambil kunci di apartemennya, agar bisa membawa mobilnya ke bengkel. "Mas nya dimana? Atau gini aja deh, saya taruh kunci mobil di lobby apartemen ya ... nanti Mas bilang aja sama resepsionisnya, atas nama saya," ujar Shesa pada orang bengkel di seberang sana. Terburu-buru Shesa masuk ke dalam taksi yang akan mengantarkan dia ke bandara pagi ini. Jika saja urusan mobil bisa dia selesaikan semalam mungmjn dia tidak akan telat untuk urusan kunvu saja.
Meeting selesai dalam waktu hampir dua jam, dengan agenda jika besok akan di mulai kembali. Dan perusahaan membebaskan acara malam ini untuk para staff. Shesa berjalan menuju lift seorang diri, seperti biasa Reta selalu meninggalkannya dengan alih masih harus membahas beberapa poin saat meeting tadi, padahal sebenernya besok pun masih bisa di lakukan. "Jangan di tutup," seru suara dari luar lift saat Shesa sudah menekan tombol close, buru-buru Shesa menahannya. "Makasih," ujar lelaki itu. "Astaga, dia lagi," gumam Shesa. Lelaki itu bersandar di dinding lift, dengan satu tangan berada di kantung celananya memperhatikan Shesa yang menggulir layar gawainya. "Ketemu lagi kita," ujarnya membuka pembicaraan. "Iya, padahal aku udah berdoa, semoga gak ketemu lagi," kata Shesa dengan senyum tipis. "