Share

Part 7. Dipalak Preman

Adzan magrib sudah berkumandang dari pengeras suara di sebuah mesjid yang tidak begitu jauh dari bangunan kosong tempat tinggal para tuna wisma dan anak jalanan.

Mohzan dan rombongannya baru saja memasuki bangunan yang agak tua itu. Bangunan terbengkalai itu nampaknya akan dibangun sebuah Mall. Tapi karena pihak pengelola tidak bisa menyelesaikan izin membuat bangunan dari pemerintah, maka bangunan besar itu sampai kini terbengkalai begitu saja. Karena kosong, tempat itu akhirnya menjadi rumah bagi para tuna wisma.

Hari sudah mulai gelap pertanda malam akan segera menjelang. Puluhan anak-anak jalanan nampak tengah berwudhu dengan air yang ada didalam beberapa drum plastik. Drum plastik itu memang sengaja digunakan untuk menampung air hujan. Air itu digunakan oleh mereka yang tinggal disana untuk mandi dan keperluan sehari-hari. Tapi jika musim panas tiba, maka sudah barang tentu mereka tidak bisa menampung air. Tapi syukurlah tidak jauh dari gedung tua itu ada sebuah danau. Walau air danau itu sedikit keruh tapi lumayan, bisa mereka gunakan sekedar untuk mandi dan mencuci pakaian.

Mohzan sudah bersiap menjadi imam untuk melakukan sholat magrib berjamaah. Dibelakangnya sudah berjejer puluhan anak-anak yang sudah ia ajari tata cara melakukan sholat. Beberapa anak yang beragama lain nampak duduk dengan tertib disudut ruangan yang remang-remang karena hanya diterangi oleh sebuah lampu teplok yang kecil. Mereka juga diajarkan oleh Mohzan untuk saling menghargai agama orang lain.

Mohzan menoleh kebelakang untuk memastikan kesiapan para makmumnya. Lalu ia mulai membaca takbir.

"Allahu akbar..!!"

Semua anak-anak mengikuti dengan khusuk.

=====

"Abang pulang dulu ya, Abang udah ditunggu nih... Malam ini Abang ada janji mengajar matematika pada beberapa orang siswa." Setelah selesai sholat magrib bersama, Mohzan langsung berpamitan untuk pulang.

"Hati-hati Bang." Jawab anak-anak lalu kemudian satu persatu menyalami Mohzan dan mencium punggung tangannya sebagai tanda hormat. Mohzan mengusap kepala satu persatu adik-adik angkatnya yang menyalaminya. Terakhir Arya menyalami Mohzan. Arya dianggap abang kedua bagi anak-anak yang tinggal disitu, karena Arya bertugas menjaga mereka. Arya sudah berumur 16 tahun. Dibawah Arya ada Dika yang berusia 14 tahun. Arya disebut abang kedua sedangkan Dika dianggap abang ketiga. Mereka berdua yang bertugas menjaga anak-anak yang ketika Mohzan tidak berada disana. Anak-anak yang lain umumnya masih kecil-kecil. Usia mereka rata-rata dibawah 10 tahun.

"Jaga adik-adik Ar..!" Ujar Mohzan kepada Arya sambil beradu kepalan tinju berdua.

"Iya Bang. Abang hati-hati..!" Jawab Arya.

Mohzan selalu merasa berat meninggalkan anak-anak yang sudah menjadi bagian dari hidupnya itu. Walaupun tidak mengalir darah yang sama, tapi Mohzan sudah menganggap mereka semua bagaikan adik-adik kandungnya.

Saat ini Mohzan tengah mengumpulkan uang. Ia berniat untuk membeli tanah dan membangun sebuah asrama bagi adik-adiknya itu. Niat itu belum kesampaian karena dana yang dimiliki Mohzan belum mencukupi. Sumbangan yang diterima Mohzan sebagai imbalan ia mengajar, sebagian besar ia belanjakan untuk membiayai sandang dan pangan adik-adik angkatnya itu. Memiliki lebih dari tiga puluh adik angkat tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tapi Mohzan tetap semangat berjuang menghidupi mereka semua. Apalagi niat baiknya didukung penuh oleh ibu dan neneknya. Mohzan semakin ikhlas menjalani hidupnya yang berjuang demi orang banyak.

Masya Allah.. sungguh lelaki muda belia ini berhati malaikat..😒😒😒

Mohzan menstarter motornya yang ia parkir dihalaman gedung tua itu. Hari sudah mulai gelap. Lampu jalanan terletak agak sedikit jauh sehingga halaman itu hanya bercahaya remang-remang.

Beberapa saat ia mengendarai motornya, tiba-tiba dari belakang bangunan sebuah ruko kosong yang agak gelap, Mohzan dicegat lima orang preman. Dari mulut mereka tercium bau alkohol yang menyengat.

Mohzan terpaksa menghentikan laju motornya yang memang berjalan lambat.

"Keluarin duit lu..!!" Perintah seorang lelaki berbadan cukup gempal. Dua orang lainnya menyusul memegang stang motor yang dikendarai Mohzan. Mohzan sadar kalau ia dalam bahaya. Dengan tenang Mohzan mematikan mesin motornya dan menyimpan kunci motor kedalam tas selempang kecil yang melintang didadanya.

"Woow..!! mau melawan kau rupanya..!!?" Hardik salah seorang dari mereka terkekeh. Sebuah tinju melayang menuju batok kepala Mohzan. Mohzan menangkap batang tangan lelaki itu dan menghadiahkan sebuah tendangan ke perutnya dengan telak. "Huuuh..!!" Lelaki itu mengaduh tertahan. Tubuhnya terlempar sekitar tiga meter.

Keempat kawannya terperanjat menyaksikan gerakan santai Mohzan mampu melumpuhkan serangan kawan mereka. Padahal kawan mereka yang satu ini dulunya adalah seorang pelatih karate. Tentu saja serangannya tidak main-main. Kuda-kudanya kuat dan pukulannya bertenaga dalam yang terlatih.

Mereka berempat berpandangan sejenak penuh keraguan. Salah seorang memberikan isyarat untuk mengeroyok Mohzan yang telah bersiap menghadapi serangan selanjutnya.

"Hiiiyaaaaa...!!!" Empat serangan meluncur sekali gus menuju kepala dan bagian dada Mohzan. Mohzan terkurung diantara empat kepalan tinju yang siap meremukkan tubuhnya.

Namun tiba-tiba tubuh Mohzan berputar seperti gasing. Angin bertiup menyertai putaran tubuhnya lalu mengangkat tubuh Mohzan hingga kakinya melampaui kepala empat lelaki yang menyerangnya.

"Haaap..!" Kedua kaki Mohzan kemudian  hinggap di atas kepala penyerangnya. Secepat kilat Mohzan melompat ke udara lalu kakinya mendarat kembali dengan keras di atas batok kepala empat kaki tadi. Masing-masing merasakan kerasnya hantaman telapak kaki Mohzan yang mendarat di atas kepala mereka.

Lelaki pertama yang sudah lebih dahulu menerima tendangan maut dari Mohzan nampak membelalakkan mata. Sebagai orang yang berpengalaman didunia bela diri dan dunia preman, ia belum pernah melihat jurus yang dimainkan Mohzan. Jurus yang diperagakan Mohzan biasanya hanya ditemui di buku-buku atau novel pendekar seperti Wiro Sableng. Tapi kali ini ia melihat nyata dengan mata kepalanya sendiri.

"Jangan-jangan dia bukan manusia..!" Seru lelaki itu dengan bulu kuduk berdiri.

Keempat kawannya nampak linglung setelah kepalanya menerima hantaman dari kaki Mohzan yang mendarat persis diatas ubin-ubun mereka. Mohzan tertawa geli melihat perangai empat orang lelaki itu. Mereka seperti orang yang baru saja mabuk miras oplosan.

"Ngapain Bang..?? Kok muter-muter..?" Seru Mohzan sambil melipat kedua tangan di dadanya. Ia seperti seorang penonton yang sedang menyaksikan pertunjukkan kuda lumping.

"Kabuuuuur...!!!" Si lelaki pertama yang masih tersungkur di tanah memberi komando. Dengan susah payah ia berdiri dan terseok melarikan diri. Keempat anak buahnya pun menyusul kabur. Tapi karena kepala mereka puyeng, mereka malah bertabrakan satu sama yang lainnya. Mohzan semakin cekikikan melihat adegan lucu dihadapannya.

"Jalan kabur kesana Bang..!!" Ujar Mohzan memutar badan seorang lelaki yang sempoyongan sambil menunjuk kearah jalan yang harus dilalui. Kelima preman itu dengan langkah sempoyongan meninggalkan Mohzan yang nampak masih tertawa cekikikan.

"Bang Mohzan hebaaaat..!!" Tiba-tiba terdengar sebuah suara dan tepukkan tangan. Mohzan menoleh dan ia melihat Arya mendekat ke arahnya. "Eh, kamu Arya..? Kok kamu ngikutin Abang..?" Tanya Mohzan.

"Arya khawatir Abang kenapa-kenapa. Perasaan Arya tidak enak begitu Abang pergi makanya Arya berlari menyusul kesini. Mohzan terharu melihat perhatian salah satu adik angkatnya itu.

Ia tahu kalau mereka semua sangat menyayangi dirinya seperti ia menyayangi mereka. Sampai disini Arya lihat Abang lagi berantem... Waaah... Jurus Abang paten Bang... Abang belajar dimana sih. Kok Arya belum pernah melihat jurus yang Abang mainkan di jenis beladiri apapun..?" Arya memberondong Mohzan dengan pertanyaan. Mohzan juga bingung untuk menjelaskan. Ia tidak pernah belajar ilmu beladiri secara nyata. Tapi yang ia ingat suatu malam seorang kakek berjenggot putih mengajarinya beberapa jurus. Anehnya jurus-jurus itu melekat begitu saja di jiwanya. Walau tiada berlatih tapi jurus itu akan keluar dengan sendirinya bila keadaan memaksa.

"Abang kok diem, Abang nggak mau ngajarin Arya..?!" Ujar Arya sedikit kecewa.

"Bukan begitu Arya. Apa sih yang tidak mau Abang ajari pada kalian ? Tapi Abang juga bingung dari mana Abang mendapatkan jurus-jurus tadi." Jawab Mohzan menjelaskan agar adik angkatnya itu tidak kecewa padanya.

Kening Arya nampak berkerut mendengar penjelasan Mohzan.

"Aneh..!!" Gumamnya.

"Iya, memang aneh..!" Ujar Mohzan juga menyetujui pendapat adik angkatnya itu.

"Oh pantas ketua preman tadi bilang Abang bukan manusia." Kata Arya yang teringat ucapan laki-laki yang mendapat tendangan pertama kaki dari Mohzan tadi. Mohzan hanya mengangkat bahu dan tertawa.

"Hahahaha.. kalau Abangmu ini bukan manusia lalu apa..?" Tanya Mohzan kembali cekikikan.

"Hantu kali Bang..!!" Seru Arya juga ikut cekikikan. Mereka tertawa geli di keremangan tempat itu.

"Ya sudah, Abang pulang dulu." Seru Mohzan yang kini sudah berada diatas sadel motornya.

"Hati-hati Bang..!" Jawab Arya sambil bersiap pergi. Mohzan mengendarai motornya menuju pulang kerumahnya, sedangkan Arya berbalik arah kembali menuju gedung tua tempat dimana ia dan puluhan tuna wisma tinggal.

********

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status