Aminarsih, atau biasa dipanggil Narsih, adalah wanita yang biasa bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Namun, sudah hampir empat tahun ini ia diterima bekerja sebagai karyawan warung Masakan Padang. Ia yang hanya mengenyam bangku sekolah sampai tingkat SLTP, tentu saja susah mendapat pekerjaan yang layak. Apalagi waktu itu, dia sempat jadi gelandangan dengan pakaian pernikahan yang masih ia kenakan. Untung saja, saat ia mencari makan di tempat sampah sebuah warung Masakan Padang, sang pemilik warung melihatnya dengan iba, dan kemudian mempekerjakannya sebagai karyawan, dengan tugas mencuci piring, dan juga mencuci alat masak, serta melayani pembeli.
"Kak, nasi padang satu, pakai ayam bakar yang paha ya!" pinta seorang pembeli pada Narsih.
"Mau paha yang mulus apa yang kisut, Dek?" tanya Narsih menggoda anak remaja SLTP yang memesan tadi.
"Yang mulus dong, Kak, ha ha ha ...," sahut si remaja sambil tertawa.
Cekatan Narsih mengambil nasi di dalam ricecooker besar bewarna silver, dua centong penuh ia taruh di atas daun yang sudah di alas kertas nasi bewarna coklat. Setelah nasi, lalu ia menuangkan kuah gulai bewarna kuning, kemudian kuah gulai yang bewarna orange, juga bumbu rendang, sambal hijau, tak lupa ayam bakar paha sesuai pesanan pembeli. Ia membungkusnya dengan rapi, lalu memberikannya kepada remaja itu.
"Berapa, Kak?"
"Lima belas ribu."
"Makasih, Kak."
Narsih membalasnya dengan senyuman. Lalu melanjutkan aksi melamunnya. Belum ada pembeli lagi, karena masih pukul sepuluh pagi, bos pemilik warung Masakan Padang, yang bernama Bu Rini sedang kurang sehat, dan sedang beristirahat di dalam.
Kios warung berada persis di pekarangan rumah Bu Rini, lahan parkirnya juga cukup luas untuk parkir dua mobil besar dan tiga motor. Warung Masakan Padang yang bernama 'Rindu Kampuang' ini, cukup dikenal dan laris di lingkungan sekitar.
"Kak Narsih, beli nasi padang pake ayam," ucap seorang anak perempuan kecil pada Narsih.
"Ayamnya mau yang masih hidup atau yang sudah mati, De?" goda Narsih.
"Ha ha ha ... kukuruyuk dong nanti aku, Kak," sahut si anak kecil sambil terbahak.
"Nih, dua belas ribu," kata Narsih sambil memberikan bungkusan nasi padang pada anak perempuan kecil itu.
Sebuah mobil terparkir, di seberang jalan warung padang tempat Narsih bekerja. Dua orang lelaki dengan kaca mata hitam, serta menggunakan jas hitam, menyebrang jalan menuju arah Narsih. Dalam hati, Narsih bersorak, jarang-jarang ada tamu dengan mobil bagus, mampir di warungnya. Sambil berpura-pura mengibas-ngibaskan tangannya di atas aneka lauk. Ia melirik dua orang tersebut yang masuk tanpa senyum.
"Mau pe..."
"Mmm...mmm..."
Tanpa ada yang menyadari, Narsih sudah dibius dengan sapu tangan, hingga ia pingsan. Kemudian, dibawa oleh dua orang berpakaian hitam itu, masuk ke dalam mobil Jeep besar.
****
Devano sudah berada di rumahnya, begitu dapat kabar dari orang suruhannya, bahwa wanita yang bernama Narsih sudah ditemukan, ia memilih langsung pulang, dan menyambut wanita yang membawa kesialan pada dirinya. Pak Broto pun sudah menunggu, duduk di depan Devano yang terlihat tak sabar. Berkali-kali Devano mengepalkan tangannya, sambil menyingkap gorden jendela, berharap mobil yang ditunggu segera sampai."Sudah satu jam, lama sekali orang suruhanmu," keluh Pak Broto pada puteranya.
"Telepon saja! Keburu wanita itu sadar, bisa repot!" titah Pak Broto pada Devano. Langsung saja Devano mengeluarkan ponsel dari saku celananya, memencet nomor orang suruhannya dengan tak sabar.
[Hallo, di mana lu?]
[Di jalan, Tuan.]
[Iya gue tahu, di jalan. Masa lu di kuburan. Maksud gue, udah sampe mana?]
[Sampai perumahan udah, dikit lagi sampai, Tuan.]
[Lama sekali.]
[Iya, Tuan. Saya juga buru-buru, udah kebelet pipis.]
[Jangan banyak bicara, udah cepat!]
Dua menit berlalu, pintu pagar besar rumah Devano terbuka lebar, tak lama mobil Jeep besar memasuki pekarangan rumahnya, dan berhenti tepat di samping mobil Audi terbaru milik Vano.
Dua orang lelaki berpakaian hitam tadi, turun dari mobil. Seorang lelaki tinggi, tambun, kini menggendong Narsih bak karung beras. Mereka berjalan masuk ke dalam rumah majikan mereka.
Dengan kasar, Narsih diturunkan di atas sofa besar milik Vano, kedua matanya masih tertutup, tidak sadarkan diri.
"Bagus, sudah sana pergi! Sisa uang kalian akan saya transfer," ujar Vano pada kedua orang suruhannya.
"Eh, tunggu! Tolong angkat wanita dekil ini naik ke atas, masukkan ke dalam gudang yang ada di ujung lorong!" titah Vano pada orang suruhannya. Dengan cepat, keduanya kembali menggotong tubuh Narsih, membawanya ke gudang yang sudah ditunjukkan oleh Vano.
****
Narsih meraba kepalanya yang sangat sakit, tubuhnya terasa begitu lemah dan tidak bertenaga. Susah payah ia membuka mata, memastikan ada di mana ia saat ini. Keduanya matanya memicing, saat berada di dalam ruangan temaram yang kotor dan berbaring di atas kasur tipis. Narsih tersadar, ia membuka mulutnya lebar, saat menyadari ia ditempat asing, pasti dua orang lelaki tadi yang membawanya ke sini. Ia kumpulkan tenaga untuk bangun dari tiduranya, lalu setengah berlari ke arah pintu.Buugh!
Buugh!"Bukaaa!""Tolong, buka!"
"Bukaa, hei!"
"Tolooong!"
Narsih terus saja menggedor pintu kamar yang lebih mirip gudang itu, dengan keras. Air matanya turun membasahi pipi, ada ujian apa lagi yang harus ia jalani kini.
Narsih terduduk masih dengan tergugu sendu, air mata tak juga berhenti mengalir, perutnya juga lapar, tenggorokannya haus, seketika kilatan kisah saat ia berhari-hari jadi gelandangan, memungut sampah untuk mengisi perutnya yang lapar, membuat Narsih bergidik ngeri. Berkali-kali ia menggelengkan kepalanya dengan kasar.
"Ibu, Bapak, tolong Asih," gumam Narsih sangat pelan, berharap kedua orang tuanya yang sudah meninggal dapat membantunya.
Suara langkah kaki dengan sepatu terdengar semakin mendekat, Narsih mencoba berdiri dengan bertumpu pada dinding pintu, sambil meringis menahan lapar perutnya.
Kleeek
KleeekSuara kunci diputar, pintu dibuka pelan dan lebar.
"Kamu ..." Mata Narsih terbelalak saat lelaki yang tidak mau ia temui seumur hidupnya, kini berdiri tegak di depan matanya. Wajahnya semakin tampan, dan terlihat dewasa, hanya saja bagi Narsih, lelaki di depannya ini, tidak lebih berharga dari tikus got.
"Hallo, kita bertemu lagi. Siapa nama kamu? Aku lupa," ucap Vano tanpa tahu malu.
"Kalau nama gue aja lu ga tahu, urusan apa gua bisa ada di sini? Bang***t!"
"Woow, wanita yang kasar ternyata," ledek Vano dengan langkah lebar masuk ke dalam gudang. Narsih mundur beberapa langkah saat Vano semakin mendekat.
"M-mau apa lu?"
"Aku mau, kamu menikah lagi denganku."
"Apa? Oh, tidak! Lo sudah gila, Lo sakit!
****
Narsih tidak punya pilihan lain, setelah Devano menampar dan mencekik lehernya hingga ia hampir mati tadi pagi di dalam gudang. Meskipun ia memelas memohon pengampunan, Devano tidak melepasnya. Lelaki itu tetap memaksa agar ia mau menikah lagi dengannya. Di sinilah ia sekarang, duduk di kursi pengantin yang sudah dihias alakadarnya, dinikahkan secara siri dengan Devano oleh seorang ustadz.Ada beberapa keluarga Devano yang datang sore ini, memberikan selamat pada Narsih. Tentu saja dengan tatapan penuh remeh, pada tubuhnya yang kurus, kering, dan hitam ini. Tak ada ekspresi apapun yang keluar dari wajah Narsih, yang ada hanyalah penyesalan demi penyesalan. Andai saja empat tahun lalu, ia menolak menjadi pengganti Yasmin di pelaminan, tentulah saat ini hidupnya tenang menjadi asisten rumah tangga.Nasi sudah jadi bubur, mempermainkan pernikahan yaitu janji suci yang diucapkan atas nama Tuhan, telah membuatnya tertimpa begitu banyak ujian hidup."Masuk
Narsih merasakan sakit di sekujur tubuhnya saat ia membuka mata. Adzan shubuh yang mengalun merdu membangunkan dirinya dari peraduan penuh luka dan nestapa. Betapa tidak, lelaki yang berstatus suaminya, kini telah berhasil merenggut keperawanannya dengan cara kejam. Bahkan untuk bernafas pun ia harus mengeluarkan air mata.Setelah pingsan, kemudian sadar, maka Devano kembali menggagahinya, hingga pingsan kembali, dan dengan santainya lelaki laknat ini, masih berada di alam mimpi sambil memeluk pinggangnnya.Puk!Narsih menghempaskan kasar tangan Devano, bukannya bangun, lelaki itu malah semakin erat memeluk Narsih, hingga wanita itu mencebik kasar, lalu menghempaskan lagi lengan kasar suaminya. Tertatih ia bangun dari peraduan, kedua kaki sebenarnya tak kuat melangkah, tetapi ia harus segera membersihkan seluruh tubuhnya dari bekas sentuhan menjijikan sang suami.Bagaikan robot, Narsih berjalan dengan merapatkan kedua pahanya, jika bergesek terlalu
Narsih sudah menghabiskan sepiring nasi goreng dan juga tiga lembar roti tawar lapis selai. Secangkir teh manis hangat juga sudah tandas melewati tenggorokannya. Betapa leganya rasa, kini perutnya terasa begitu kenyang. Sambil mengusap sudut bibirnya yang terasa berminyak, Narsih memilih membuka jendela kecil di dalam gudang itu.Pandangannya menyapu ke area pekarangan rumah Devano, ada kolam renang besar yang di pinggiran kolamnya ditanami oleh pohon palem. Ada pohon buah rambutan juga di sana, sedang berbuah merah. Sayang sekali, jendela kecil itu memakai teralis besi, jika tidak, tentu saat ini dengan berani ia akan melompat ke bawah.Narsih bingung mau melakukan apa, ia memilih duduk kembali di atas kasur busanya, sambil melamun Narsih memikirkan bagaimana nasibnya ke depan. Ya Tuhan, benar-benar ujian yang tidak berkesudahan.****Devano tengah mengendarai mobilnya menuju kantor. Sang papa hari ini tidak berangkat karena ingin istirahat di rumah katany
Narsih masih terlelap di atas peraduan Devano dengan sangat lelap. Begitu juga dengan Devano yang kini tengah memeluk pinggang Narsih. Tubuh keduanya berselimutkan kain tebal dan hangat, sehingga AC kamar yang dinyalakan cukup dingin, tidak menggangu kenyamanan tidur mereka. Tanpa sadar, Devano malah menarik tubuh Narsih agar semakin dekat padanya."Sekar," gumamnya dengan mata tertutup.Suara yang ternyata membuat Narsih membuka matanya pelan, wanita itu menepuk keningnya setelah ia sadar di mana ia saat ini dan sedang apa."Ih... berat!" keluh Narsih sambil melemparkan lengan Vano yang masih melingkar manis di pinggangnya. Devano tersentak kaget, lelaki itu langsung terduduk dengan tubuh atasnya yang polos. Dengan kuat, ia mengucek kedua matanya, memastikan keadaan apa yang baru saja terjadi."S-siapa kamu?" tanya Vano dengan mata menyipit melihat Narsih."Nenek Grandong," sahut Narsih sebal. Perlahan ia turun dari ranjang suami jadi-jadian
Narsih memilih keluar dari ruang makan, ia berjalan menuju taman belakang, untuk mengangkat jemuran yang kemarin ia jemur. Sesekali melirik ke dalam ruang makan, sambil tersenyum licik. "Makan tuh iler gue," ledeknya sambil menahan tawa. Ia kembali melanjutkan aktifitasnya dengan menyetrika pakaian yang ada di dalam keranjang. Entah berapa abad sang suami laknat tidak menyetrika pakaiannya. Tumpukan pakaian begitu banyak di dalam empat bak besar bewarna hitam.Huk!Huk!Suara batuk-batuk wanita terdengar dari ruang makan. Narsih tersenyum sambil memainkan matanya, barisan gigi kuningnya ia perlihatkan pada tumpukan pakaian yang audah mengantre minta disetrika."Alhamdulillah," gumamnya, lalu melanjutkan aktifitas main mobil-mobilan.Huk!Huk!Kini suara batuk Devano yang terdengar nyaring, bahkan kini keduanya saling batuk bersahutan."Emang enak, kena corona, ha ha ha hi hi hi," Narsih tertawa geli menutup mulutnya."Giyem!
Memang dasar wanita, tubuh masih terasa panas, serta terus saja terbatuk-batuk, tetap tidak menyurutkan semangatnya untuk berbelanja di mall. Apalagi sudah memegang kartu sakti unlimited, maka ia akan berbelanja sepuasnya dan penyakitpun hilang.Sambil mendorong troli belanja yang sudah penuh barang belanjaan, sesekali juga ia mengecek ponselnya, belum ada kabar dari Devano, padahal lelaki itu berjanji menjemputnya. Tidak mungkin ia membawa berkantong-kantong belanjaan barang dapur sambil membeli baju dan sepatu."Ck,mana sih?" matanya terus saja mencari keberadaan Devano yang tidak kunjung terlihat."Dasar Giyem aneh! Masa calon majikan disuruh beli udang, ikan, telur, gula, beras, dan masih banyak lagi. Hadeeeh," gerutu Jelita sambil menggelengkan kepala.Jelita memutuskan untuk masuk ke antrean kasir yang sudah kosong, dengan mahir sang kasir menghitung satu per satu barang belanjaan Jelita, lalu dimasukkan ke dalam goodie bag besar sebanyak tiga kanto
Narsih terbangun dari tidurnya, saat adzan shubuh berkumandang. Dengan malas ia menoleh pada lelaki yang menjadi suaminya kini, ada air liur yang menetes di sudut bibir lelaki itu karena tidur dengan mulut terbuka. Mati-matian Narsih menahan tawanya. Dasar aneh! Pikirnya. Dengan perlahan, Narsih masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka dan juga menyikat giginya dengan telunjuk. Karena sikat gigi pesanan Narsih tidak dibeli oleh Jelita. Setelahnya, ia kemudian berwudhu dan melaksanakan sholat shubuh seadanya karena tidak ada mukena di rumah keluarga Devano ini.Devano masih terlelap, sambil sesekali tersenyum dalam tidurnya. Narsih yang memperhatikan tingkah suaminya, tentu saja tersenyum kecil. Mulut saja yang pedas, wajah polosnya seperti anak PAUD lagi mimpi dibelikan es krim, gumam Narsih sebelum ia akhirnya keluar kamar. Narsih melewati kamar wanita calon istri kedua suaminya. Masih sepi tiada suara apapun di sana.Narsih melanjutkan aktifitasnya menyalakan me
Tuk!Tuk!Tuk!"Vano...Giyem! Buka pintunya!" teriak Jelita dari luar kamar Devano. Jelita menunggu dengan gelisah, sambil menggigit kukunya dengan kasar, ia kembali mengetuk pintu kamar Devano.Bugh!Bugh!Kali ini ia menggunakan kepalan tangannya untuk menggedor pintu kamar Devano dengan keras."Non, sini!" Pak Samsul menarik Jelita menjauh dari depan kamar majikannya."Lepas! Ngapain sih, pegang-pegang?" Jelita menghempaskan tangan Pak Samsul yang memegang lengannya."Ck, jangan ganggu Tuan dan Nyonya Devano," bisik Pak Samsul dengan ekor mata melirik kamar Devano."Maksud kamu apa? Siapa yang nyonya di sini?""Itu Narsih, istri Tuan Devano.""Siapa Narsih?""Narsih itu yang Non panggil Giyem. Dia istri sah Tuan Devano baru seminggu nikah.""Lha, bukannya Devano duda?""Siapa bilang? Tuan Devano sudah menikah kembali sepekan yang lalu dengan Aminarsih.""Tahu gak, kenapa Tuan