Share

3. Terpaksa Melayani Devano

Narsih tidak punya pilihan lain, setelah Devano menampar dan mencekik lehernya hingga ia hampir mati tadi pagi di dalam gudang. Meskipun ia memelas memohon pengampunan, Devano tidak melepasnya. Lelaki itu tetap memaksa agar ia mau menikah lagi dengannya. Di sinilah ia sekarang, duduk di kursi pengantin yang sudah dihias alakadarnya, dinikahkan secara siri dengan Devano oleh seorang ustadz. 

Ada beberapa keluarga Devano yang datang sore ini, memberikan selamat pada Narsih. Tentu saja dengan tatapan penuh remeh, pada tubuhnya yang kurus, kering, dan hitam ini. Tak ada ekspresi apapun yang keluar dari wajah Narsih, yang ada hanyalah penyesalan demi penyesalan. Andai saja empat tahun lalu, ia menolak menjadi pengganti Yasmin di pelaminan, tentulah saat ini hidupnya tenang menjadi asisten rumah tangga.

Nasi sudah jadi bubur, mempermainkan pernikahan yaitu janji suci yang diucapkan atas nama Tuhan, telah membuatnya tertimpa begitu banyak ujian hidup. 

"Masuk sana!" Devano mendorong tubuh Narsih untuk berjalan cepat ke gudang. Acara pernikahan sudah selesai, dan kini Narsih dikembalikan ke tempat yang pantas untuknya.

"Kalau aku tidak mau?" tantang Narsih dengan kilatan netra berapi-api.

"Tidur di kandang Molly!" tunjuk Devano keluar, di mana Molly, seekor anjing Rottweiler miliknya berada.

"Ck, kalian semua yang ada di sini, manusia laknat!" Narsih pergi dari hadapan Vano, ia melangkah lebar masuk ke dalam gudang kembali. Belum makan dan belum minum apapun, lelaki itu begitu kejam memperlakukannya.

Narsih kembali meneteskan air mata, sambil memegang perutnya yang lapar. Matanya menatap saklar lampu yang tertempel di dinding. 

Klik

Ia menyalakannya. Gudang yang sangat kotor dan berdebu. Ada banyak barang tidak terpakai teronggok tak beraturan di sana. Tunggu! Matanya menangkap sebuah pintu di dalam gudang, ia berjalan ke arahnya, lalu membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. 

Kamar mandi? Narsih menghembuskan napas lega, ia mencoba menyalakan air, dan berhasil. Air itu mengalir cukup deras. Narsih membuka pakaian pengantin sederhananya, lalu menggantinya dengan pakaian yang ia pakai saat diculik. 

Ia menyikat kamar mandi terlebih dahulu, untung saja ada cairan pembersih lantai yang hampir habis, tetapi masih bisa ia gunakan. Ada juga sabun batangan yang sudah mengecil dan kering, tampak ini dahulunya bukan gudang, melainkan sebuah kamar tidur.

Narsih melanjutkan membersihkan ruangan tempat ia tidur. Aneka koper, kardus-kardus besar, lemari yang sangat berdebu, ia bersihkan hingga tuntas. Ia susun rapi agar tidak terlalu berantakan, kasur busa yang teronggok di lantai, ia juga bersihkan.

Sayang sekali tidak ada kain pel, sehingga ia menggunakan pakaian pernikahan brukat putih sebagai kain untuk membersihkan ruangan itu. Begitu semangat Narsih mengerjakannya, hingga tidak terasa, sudah pukul delapan malam. Perutnya sudah sangat keroncongan dan juga haus.

Bug!

Bug!

"Hei, buka! Aku lapar!"

Bug!

Bug!

"Hei ... suami gila! Bukaaaa!"

Sudah setengah jam Narsih menggedor pintu kamarnya, tapi tidak juga ada yang membukakan. Perutnya sudah sangat lapar. Dengan payah, ia berjalan masuk ke dalam kamar mandi yang sudah bersih kembali, menyalakan air dengan deras, ia membuka mulutnya lebar. Dengan linangan air mata, ia meminum air mentah dari kran air. Berharap lapar, dahaga, dan kepedihan hidupnya segera sirna.

Setelah dirasa perutnya cukup kenyang, bukan kenyang, tepatnya kembung air mentah. Ia pun kembali menggelar kasur busa di lantai yang sudah bersih, ia mencari-cari kain yang kiranya bersih, agar dapat ia gunakan sebagai alas tidurnya. 

Satu per satu kasdus ia buka, berharap ada pakaian, atau kain di dalamnya. Benar saja, setelah membuka lima kardus, akhirnya ia menemukan selimut bulu tipis yang memudar warnanya. Ia ambil satu, lalu ia bentangkan di atas kasur busa yang akan ia pakai tidur malam ini. 

Ia sudah berwudhu dan mau salat, tetapi tidak ada mukena, dalaman saja masih ia pakai, walaupun sudah tak nyaman. Akhirnya, Narsih memutuskan  memakai selimut bulu tadi, untuk menutup seluruh tubuhnya, ia salat dalam keadaan seadanya, tentu dengan linangan air mata. 

Kreek

Narsih menoleh saat pintu dibuka, matanya menatap nanar seorang Devano yang kini tengah sempoyongan memegang pintu kamar Narsih.

"Wow, sudah bersih,huh?"

"Tentu saja. Aku lupa aku menikahi siapa? Seorang pembantu dekil yang pasti bisa beres-beres rumah. Ha ha ha ha... dunia memang gila," oceh Vano tak jelas. Lelaki yang telah mabuk itu memutuskan untuk mendekat pada Narsih yang masih duduk di atas kasur busa. 

Kilatan marah di netranya, tak gentar menatap sorot mata Vano yang kini merah menyeramkan. 

"Mau apa kamu?"

"Keluar! Aku mau tidur!" usir Narsih pada lelaki yang menjadi suami jadi-jadiannya.

"Eh, eh, eh... sudah berani sekali kau Cacing Kremi!" umpat Vano kini berjalan sempoyongan ke arah Narsih yang terjebak di  tembok kamar. Nafas Vano semakin dekat dengan indera penciumannya, mati-matian Narsih menahan mual saat bau alkohol itu begitu menyengat.

"Mau apa kau? Sampah!" hardik Narsih sambil mendorong tubuh Vano dengan sekuat tenaga. Apalah daya, bukannya menjauh, Devano malah semakin mendekat, tenaga Narsih bukanlah tandingannya, apalagi wanita itu masih kelelahan sehabis membereskan gudang dan kamar mandi. Ditambah rasa lapar yang kini kembali mendera, sungguh ia benar tidak bertenaga melawan Vano. 

Dengan kasar, lelaki itu menganggkat tubuh Narsih, bagaikan karung beras. 

"Hei! Maau apa kau?"

Buugh

Narsih dihempaskan di atas kasur busa, Devano sudah menindihnya.

"Jangan, Tuan. Saya mohon, jangan apa-apakan saya!" Narsih menggeleng keras, saat Devano sudah mencium curuk lehernya.

Ia tidak bisa melawan, tidak ada yang bisa ia lakukan saat ini. Tenaganya sudah habis, benar-benar lemah, matanya mengerjap beberapa kali saat lelaki itu memasuki dengan kasar dan tanpa ampun. Jangan tanyakan sederas apa air matanya, tangisan itu tertahan, dadanya bagai tertusuk belati tajam tanpa ampun.

Ada sepasang mata mengintip Vano menggagahi istrinya secara kasar, mata itu menatap iba pada wanita yang kini juga melihat padanya, netra penuh air mata itu seakan meminta pertolongannya. Namun, ia bisa apa, ia hanya supir dari Devano. Lelaki paruh baya itu tak sanggup melihat lagi, ia memilih pergi, meninggalkan Devano dengan istrinya.

Narsih sudah tidak kuat untuk membuka mata. "Ya Allah, aku ikhlas jika Engkau mencabut nyawaku saat ini juga. Biarkan aku berkumpul dengan ibu, ayah, dan adikku," bisik Narsih dalam hati, hingga matanya tak lama tertutup rapat.

****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Itu supirnya kenapa gak mau nolongin ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status