Share

4. Jatah Makan

Narsih merasakan sakit di sekujur tubuhnya saat ia membuka mata. Adzan shubuh yang mengalun merdu membangunkan dirinya dari peraduan penuh luka dan nestapa. Betapa tidak, lelaki yang berstatus suaminya, kini telah berhasil merenggut keperawanannya dengan cara kejam. Bahkan untuk bernafas pun ia harus mengeluarkan air mata. 

Setelah pingsan, kemudian sadar, maka Devano kembali menggagahinya, hingga pingsan kembali, dan dengan santainya lelaki laknat ini, masih berada di alam mimpi sambil memeluk pinggangnnya.

Puk!

Narsih menghempaskan kasar tangan Devano, bukannya bangun, lelaki itu malah semakin erat memeluk Narsih, hingga wanita itu mencebik kasar, lalu menghempaskan lagi lengan kasar suaminya. Tertatih ia bangun dari peraduan, kedua kaki sebenarnya tak kuat melangkah, tetapi ia harus segera membersihkan seluruh tubuhnya dari bekas sentuhan menjijikan sang suami.

Bagaikan robot, Narsih berjalan dengan merapatkan kedua pahanya, jika bergesek terlalu kasar, maka dapat dipastikan organ intimnya kembali terluka.

Sabun kering yang masih bisa digunakan itu, ia pakai untuk membersihkan seluruh tubuhnya. Tidak hanya untuk badan, Narsih juga membersihkan rambutnya dengan sabun batangan yang berwarna merah itu. Suara kran air yang terlalu deras diputar oleh Narsih, ternyata membangunkan singa yang tengah tertidur sangat lelap.

Dengan mengucek kedua matanya, lelaki itu mengedarkan pandangan, di mana ia kini berada. Kenapa tubuhnya sakit semua saat ini? Matanya turun menjelajah di mana tubuhnya rebah saat ini. Hanya selembar kasur busa yang tidak terlalu tebal, dengan bercak merah tanda ia telah berhasil memerawani istrinya.

"Ha ha ha ... gila gue. Lima kali nikah, baru ini berhasil memerawani istri, pembantu pula," umpat Devano sambil menertawakan dirinya sendiri. Suara guyuran air, membuat Devano kini tersadar, dengan langkah gontai ia berjalan mendekati pintu yang tertutup rapat di sana.

Bugh!

Bugh!

"Buka!" teriaknya di balik pintu. Narsih kaget, gayung yang ia pakai sampai terhempas di lantai kamar mandi. Saat ini, ia sudah selesai mandi dan sedang memakai baju kausnya.

"Buka, denger gue ga!" teriak Devano lagi. Membuat Narsih ketakutan, dia gemetar ia membuka pintu kamar mandi sambil menunduk, Narsih mencoba melewati Vano, namun sayang, lelaki itu menghalangi jalannya.

"Wangi banget," goda Devano membaui curuk leher Narsih, membuat wanita itu bergidik ngeri. Langkahnya mundur, masuk kembali ke dalam kamar mandi, maksud hati hendak menutup pintu kembali, namun, lagi-lagi Devano berhasil menahan pintu dengan kakinya.

"Temani aku mandi," bisik Devano dengan suara serak.

****

Pak Broto sudah menunggu di ruang makan, menanti anaknya yang tak kunjung turun padahal sudah pukul setengah delapan pagi. Aneka sarapan sudah tersedia, Pak Broto melirik ke lantai dua, tempat kamar anaknya berada. Pria tua itu menautkan alisnyaz tumben sekali sudah sesiang ini belum bangun. Pikirnya.

"Bos kamu ke mana ini, sudah siang belum bangun? Mabuk lagi ya semalam?" tanya Pak Broto pada Samsul, supir dari Devano.

"Masih betah di atas, Tuan. Kelonan," ledek Samsul sambil menyeringai.

"Hah? Beneran?" Pak Broto menatap Samsul tak percaya.

"Iya. Coba saja nanti lihat, pasti turun dengan wajah bersinar dan rambut basah."

"Ha ha ha ha ..." tawa keduanya menggema.

"Kasian anak saya, Sul. Pertama kali menikah, pengantinnya kabur, diganti sama pembantu. Trus pembantu yang baru dua hari jadi istri, udah ditalak. Nikah lagi dengan Suci, Laras, dan dua minggu lalu Sekar, semua meninggal dalam usia pernikahan dua hari, dan tak ada satu pun dari keempat wanita itu yang berhasil digagahi Vano," cerita Pak Broto panjang lebar.

"Lha, kok bisa, Tuan?"

"Karena semua sedang datang bulan saat hari pernikahan. Nah, wanita yang ini itu, istri pertama Vano, pembantu yang ia cerai baru dua hari nikah. Ck, sekarang saja, sudah tahu enaknya malah tidak turun-turun dari kamar," cerita Pak Broto sambil tersenyum remeh. Pak Samsul manggut-manggut paham sekarang.

Lelaki yang baru saja mereka bicarakan, tidak lama turun dari lantai dua. Rambutnya basah, wajahnya bersinar, dan ada garis bibir tipis tertarik di sana. Langkahnya begitu ringan menuruni anak tangga satu per satu, menuju meja makan.

"Pak Samsul, bawakan sedikit makanan untuk dia!" titah Devano pada Samsul menunjuk lantai dua dengan dagunya.

"B-buat istri bapak maksudnya?"

"Iya," sahut Vano malas.

Sang pesuruh, begitu cepat memasukkan aneka makanan ke dalam piring. Ada nasi goreng, sosis bakar, roti bakar, mie goreng, dan potongan buah melon. Tak lupa satu gelas air teh hangat ia ambilkan juga.

"Segitu banyak, untuk jatah makan tiga hari. Bilang padanya, Pak," ujar Devano dengan ketus, membuat  Samsul dan ayahnya tergugu.

"Maksud kamu, mau menyiksa wanita itu hingga mati pelan-pelan?" sindir sang Papa pada anaknya.

"Begitulah," sahut Devano singkat sambil mengangkat bahunya.

"Ck, kapan tobatnya kamu?" Pak Broto berdecih, ia melanjutkan sarapannya kembali, sedangkan Devano tengah melirik Samsul yang kini tengah menaiki anak tangga, sambil membawa nampan.

Tuk!

Tuk!

"Non, buka pintunya," panggil Samsul dari balik pintu. Narsih yang terkulai lemas di atas kasur busa, kini sudah mencoba bangun. Ia tahu, bukan suara Vano yang ada di sana. Dengan cepat ia berjalan walau perih, membuka pintu dan melihat siapa yang mengetuk pintunya.

Mata Narsih membulat sempurna, saat melihat nampan berisi aneka makanan, dan juga satu gelas besar teh manis hangat. Samsul dengan senyum tipis, memberikan nampan tersebut pada Narsih.

"Habiskan, Non. Nanti saya bawakan lagi, tapi mungkin malam. Jika saya ketuk pelan dua kali, tandanya itu saya ya," bisik Samsul pada Narsih. Kepala wanita itu hanya mengangguk kaku, lalu menerima nampan berisi makanan.

"Pak, bisa bawa saya keluar dari sini?" pinta Narsih sambil berbisik dengan wajah memelas.

"Maaf, Non. Percuma, pasti nanti Non ditemukan kembali," jawab Samsul kembali berbisik.

"Samsul!" teriak Devano dari lantai bawah.

"Udah ya, Non. Makan yang banyak. Iya...Tuan!" dengan tergopoh, Samsul berlari turun ke lantai bawah, nampan makan ia biarkan di kamar istri majikannya.

"Bicara apa kalian? Kenapa kamu lama sekali di atas?" tanya Devano penuh selidik, saat Samsul sudah kembali berdiri di hadapannya.

"Wow, apakah ini pertanyaan dari seorang suami yang cemburu? ha ha ha ..." sindir Pak Broto sambil terbahak.

"Pa, jangan mulai! Potong tangan Vano kalau sampai Vano menaruh perasaan pada wanita menjijikan itu," tantang Vano pada sang papa.

****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yunita Anisyah
jijik tapi nambah mulu tempur nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status