Share

6. Giyem

Narsih masih terlelap di atas peraduan Devano dengan sangat lelap. Begitu juga dengan Devano yang kini tengah memeluk pinggang Narsih. Tubuh keduanya berselimutkan kain tebal dan hangat, sehingga AC kamar yang dinyalakan cukup dingin, tidak menggangu kenyamanan tidur mereka. Tanpa sadar, Devano malah menarik tubuh Narsih agar semakin dekat padanya. 

"Sekar," gumamnya dengan mata tertutup.

Suara yang ternyata membuat Narsih membuka matanya pelan, wanita itu menepuk keningnya setelah ia sadar di mana ia saat ini dan sedang apa.

"Ih... berat!" keluh Narsih sambil melemparkan lengan Vano yang masih melingkar manis di pinggangnya. Devano tersentak kaget, lelaki itu langsung terduduk dengan tubuh atasnya yang polos. Dengan kuat, ia mengucek kedua matanya, memastikan keadaan apa yang baru saja terjadi.

"S-siapa kamu?" tanya Vano dengan mata menyipit melihat Narsih.

"Nenek Grandong," sahut Narsih sebal. Perlahan ia turun dari ranjang suami jadi-jadiannya.

"Kamu Narjikan?"

"Saya Wendy." Narsih benar-benar sebal dengan setiap kalimat yang keluar dari mulut Devano, benar-benar sakti.

"Eh, kamu Narsih ya? Sana cepat keluar!" Devano baru saja sadar, tangannya terangkat mengusir Narsih untuk segera keluar dari kamarnya.

"Iya, sebentar! Ini lagi pake baju dulu,"sahut Narsih ketus.

"Ayo cepat!" Devano semakin tak sabar. Jangan sampai ia menerkam istri dekilnya iji lagi, jika wanita di depannya ini terlalu lama drama memakai baju.

"Tadi saja, aduh enak, aduh enak, lagi-lagi," cemooh Narsih dengan wajah sebal melihat Devano. Lelaki itu tak bisa menyahut lagi, ia hanya membuang pandangannya dari Narsih.

"Cepat!" teriaknya lagi.

"Iya, ini juga cepat! Siapa suruh nelanjangin saya?" ketus Narsih sesaat setelah memakai pakaian lengkapnya.

Susah payah ia berjalan ke arah pintu kamar Devano. Organ intimnya sakit dan terasa bengkak. Namun, dari pada dia harus mendesah lagi, lebih baik ia keluar dari kamar Devano. Sebelum membuka pintu, kepalanya menoleh, pada tumpukan  baju almarhumah istri Devano yang bernama Sekar. Sebelum mandi tadi, Narsih sempat memilih beberapa baju Sekar yang ada di lemari. Menaruhnya di atas meja kecil yang ada di dalam kamar suaminya.

Tanpa permisi, Narsih membawa tumpukan baju Sekar keluar dari kamar Devano.

"Hei, kenapa kamu bawa baju istri saya? Kembalikan ke tempatnya!" teriak Vano dengan mata berkilat merah. Langkah Narsih terhenti. Ia berbalik badan, memandang Devano dengan tatapan tak kalah garang.

"Aku ga punya baju, kalau baju ini aku pakai setiap hari tanpa dicuci, aku yakin papa kamu di bawah sana bisa mati kebauan!" ketus Narsih sambil menunjuk kaus yang ia pakai.

"Tidak bisa! Kembalikan pakaian istriku?!" titiah Vano pada Narsih.

"Terus, aku ini apa?!" tantang Narsih sambil tajam mata Devano.

"Ha ha ha Kamu itu pelacur dekil, bau lagi," tawa Devano menggema di dalam kamarnya.

Narsih menahan air matanya agar tidak tumpah, ia tidak tahu harus bagaimana dengan lelaki yang bernama Devano ini. Mencoba perlahan mengatur nafasnya yang memburu karena sakit hati dengan ucapan lelaki yang di mata agama, sah sebagai suaminya.

"Nih! Ambillah!" Narsih melemparkan tumpukan pakaian yang sudah ia pegang ke wajah Devano, hingga membuat lelaki itu berjengkit kaget.

"Narsih! Berani sekali kamu!" bentak Devano dengan amarah memuncak. Namun, wanita yang ia panggil, kini suda tidak ada di hadapannya.

Narsih berjalan cepat masuk ke dalam gudang kembali, dengan air mata yang berlinang. Ia membanting pintu, lalu mengunci kamar itu dari dalam. Tubuhnya meluruh di lantai, kedua kakinya gemetar menahan sakit di dadanya yang bagai tertusuk belati.

"Pelacur dekil katanya," gumam Narsih pilu.

"Gue dekil dan bau gini masih lu genjot aja. Sial!" ocehnya lagi.

"Dasar gila!" umpat Narsih kesal, dengan susah payah ia berjalan masuk ke dalam kamar mandi, membuka pakaiannya dengan kasar, lalu mengguyur seluruh tubuhnya, berharap bekas usapan sang suami laknat ikut hanyut bersama busa sabun.

Narsih memilih mencuci pakaiannya dengan sabun mandi, begitu juga dengan pakaian dalamnya. Ia berpikir, biarlah untuk sementara, ia tidak memakai baju. Tubuhnya akan ia tutupi selimut saja, berharap besok baju yang ia cuci akan kering. Ia menjemur pakaiannya di teralis jendela.

Malam pun menjelang, perut Narsih kembali keroncongan. Maklum saja, sehabis digagahi oleh Devano, ia tentu kehabisan tenaga. Diliriknya piring makan yang masih tersisa mie goreng tadi pagi yang belum sempat ia habiskan semuanya. Narsih memilih menghabiskan mie goreng dinging yang mengeras untuk mengisi perut laparnya. Bahkan ia menjilati piring itu mie goreng sampai licin dan bersih. Setelahnya, Narsih kembali masuk ke dalam kamar mandi sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. Rasa dahaga yang sangat menyiksa membuat Narsih nekat kembali minum air mentah di kamar mandi.

Sementara itu, Devano kini tengah duduk di teras rumahnya bersama dengan Jelita, seorang wanita yang dahulu pernah menjadi teman kencannya selama dua bulan, saat ia betugas di Malang. Jelita adalah wanita malam yang sangat cantik dan memesona. Dua hari lalu, tanpa sengaja keduanya bertemu di sebuah pom bensin. Dari situlah mereka kembali bertukar nomor ponsel dan saling berbalas pesan.

"Rumah kamu besar sekali, kamu tinggal sendirian di sini?" tanya Jelita.

"Iya. Terkadang ada papa yang menginap di sini," jawab Vano.

"Kamu tidak punya pembantu?"

"Ada, lagi di kamar atas. Cape aku habis suruh bersih-bersih," jawab Vano sambil melirik sekilas ke dalam rumah, tepatnya ke lantai dua.

"Aku turut berduka cita ya atas kematian istri kamu, Sekar."

"Iya, terimakasih. Tetapi hidup harus terus berjalan, Ta. Jadi aku sekarang fokus untuk mencari pendamping lagi. Sayang sekali, jika  rumah besar seperti ini tidak mempunyai ratu, apalagi rajanya setampan aku," ujar Vano sambil tersenyum dan menatap sendu wajah Jelita yang kini bersemu merah.

"Ya, cari atuh."

"Ini, wanitanya sedang ada di hadapanku," goda Devano yang kini sudah menarik jemari Jelita, lalu menciumnya dengan lembut. Entah siapa yang memulai, keduanya tengah beradu bibir di teras rumah.

"Kamu maukan menjadi istriku?" tanya Devano saat baru saja melepas pagutan bibirnya, pada Jelita.

Wanita itu mengangguk malu-malu. Kini, Devano sudah menggendong Jelita masuk ke dalam rumah, membawa wanita itu ke kamar tamu. Jika wanita dan pria berada di dalam kamar bersama, tanpa ikatan pernikahan, tahukan apa yang terjadi selanjutnya?

****

Sayup-sayup, suara adzan shubuh berkumandang. Narsih membuka matanya perlahan dengan tubuh masih ditutupi selimut. Dengan tertatih ia bangun, lalu berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Menenggak air mentah itu kembali, hingga menyegarkan ternggorokannya yang terasa begitu kering. Setelah kenyang, ia pun mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat shubuh semampunya dalam keadaan darurat.

Tuk!

Tuk!

"Buka, Narsih!" suara seseorang dari balik pintunya. Narsih memutar bola mata malasnya, dengan enggan dia berjalan membukakan pintu.

"Ada apa?" tanyanya langsung.

Devano menarik lengan Narsih masuk, lalu menutup pintu kamar. Di tangannya ada sepotong pakaian. "Pakaiklah! Buatkan sarapan untukku dan calon istriku!" titah Devano sambil melemparkan kasar pakaian itu ke depan wajah Narsih. 

"Maksudnya?"

"Aku akan menikahi Jelita, wanita itu ada di dalam kamar tamu. Jangan sampai dia tahu, kamu adalah istriku. Ingat, kamu itu pembantuku," ujar Vano setengah berbisik.

"Oke."

Narsih dengan kasar mendorong tubuh Devano keluar dari kamarnya, entah tenaga dari mana, sehingga ia mampu dengan kuat mendorong Devano hingga hampir terhempas di lantai.

"Kurang ajar kamu!" pekik Devano sambil melotot tajam. Namun, sayang sekali, Narsih sudah menutup pintu kamarnya, lalu kembali menguncinya. Wanita itu mencoba mengatur nafasnya, memikirkan baik-baik ucapan Vano barusan. Ingat, dia hanya pembantu, bukan istri! Narsih mengusap air mata yang kini turun membasahi pipinya. 

Ia harus kuat, lelaki itu memang di mata agama adalah suaminya, tetapi di dalam kepalanya, lelaki itu adalah manusia sampah.

Narsih memakai pakaian yang diberikan Devano. Baju model terusan sampai betis, berbahan katun. Ada juga dalaman lengkap dengan branya. Setelah ia rapi berpakaian, Narsih langsung saja turun menuju dapur. Ia mengecek isi kulkas, masih ada dua butir telur. Dengan cepat ia menggoreng telur sambil memasak nasi. Dengan cekatan, ia juga membuatkan teh untuk Devano dan juga wanita yang katanya akan menjadi istri sah Devano.

"Cuih." Narsih meludahi teh hangat di dalam teko, lalu mengaduknya dengan cepat, sambil sesekali melirik ke atas. Jangan sampai Devano tahu apa yang baru saja ia lakukan. Narsih juga meletakkan piring nasi hangat dengan telur goreng di bawah roknya. Entah apa maksud dirinya melakukan hal ini, bisik hatinya yang terlanjur sakit membuat ia nekat melakukan hal yang tidak baik.

"Semoga, kedua orang yang minum air teh ini dan makan nasi ini, ketiban sial sepanjang hari," rapal Narsih sangat pelan.

Untung saja, ia sempat membuat mie rebus tadi. Juga membuat teh manis untuk dirinya. Sehingga rasa lapar di perutnya dapat mereda, saat ia menghabiskan sarapannya dengan cepat. Bahkan ia memasukkan dua bungkus mie instan ke dalam celananya, buat stok nanti siang, jika ia tidak diberi makan lagi.

Devano turun dari lantai dua sambil menggandeng mesra wanita cantik. Apa Narsih cemburu? tidak! Malah ia sangat mengasihani wanita yang mungkin tidak akan berumur lama setelah pernikahannya dengan Devano.

"Makanannya sudah siap, Giyem?" tanya Devano pada Narsih yang telah mengganti nama Aminarsih menjadi Giyem. Narsih tersenyum miris sambil menahan kesal.

****

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Casmuroh Casmuroh
Hahahah...sempet"nya Narsih meludahi teh dan memantrai nasinya Devano dengan memasukannya ke area terlarang..hahahahaha..ngakak sumpah
goodnovel comment avatar
Esti Wulan
Diludahi tehnya bisa makin lengket wkwkwk
goodnovel comment avatar
Luhfie90
ya ampunnn lawak pisan si narsih ............
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status