Narsih terbangun dari tidurnya, saat adzan shubuh berkumandang. Dengan malas ia menoleh pada lelaki yang menjadi suaminya kini, ada air liur yang menetes di sudut bibir lelaki itu karena tidur dengan mulut terbuka. Mati-matian Narsih menahan tawanya. Dasar aneh! Pikirnya. Dengan perlahan, Narsih masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka dan juga menyikat giginya dengan telunjuk. Karena sikat gigi pesanan Narsih tidak dibeli oleh Jelita. Setelahnya, ia kemudian berwudhu dan melaksanakan sholat shubuh seadanya karena tidak ada mukena di rumah keluarga Devano ini.
Devano masih terlelap, sambil sesekali tersenyum dalam tidurnya. Narsih yang memperhatikan tingkah suaminya, tentu saja tersenyum kecil. Mulut saja yang pedas, wajah polosnya seperti anak PAUD lagi mimpi dibelikan es krim, gumam Narsih sebelum ia akhirnya keluar kamar. Narsih melewati kamar wanita calon istri kedua suaminya. Masih sepi tiada suara apapun di sana.
Narsih melanjutkan aktifitasnya menyalakan mesin cuci, sambil memasak air untuk diisi ke dalam termos air panas. Ia menyalakan kompor yang masih kosong, merebus air di dalam panci, dengan maksud membuat mie goreng.
"Mau masak apa?"
"Allahu Akbar!" pekik Narsih kaget saat Jelita dengan baju tidur seksi menghampirinya di dapur.
"Kaget saya. Mau masak mie goreng, Nya," jawab Narsih sambil mengiris bawang.
"Bikin yang banyak ya. Saya lapar, kemaren malam hanya makan peyek saja."
"Apalagi saya, Nya. Minum air putih doang, orang Peyeknya dihabiskan Nyonya sama Paduka," jawab Narsih.
Kening Jelita berkerut, saat memandang leher Narsih yang kemerahan di beberapa titik. Rambut basah Narsih yang digelung handuk, membuat warna kemerahan hampir coklat itu membuat pandangan Jelita terganggu.
Jelita yang memang sudah pakar dalam urusan ranjang, tentu saja tahu itu tanda apa. Namun, ia tidak mau berburuk sangka. Tidak mungkin Devano pelakunya, karena saat ini Devano masih tertidur di kandang anjing.
"Leher kamu kenapa, Gi?" tanya Jelita penuh selidik.
"Eh, emang kenapa, Nya?" Narsih meraba lehernya. Tidak terasa apapun di sana, tidak gatal ataupun sakit. Memangnya kenapa dengan lehernya. Narsih tidak paham.
"Warna merah di leher kamu itu seperti bekas dihisap," tunjuk Jelita.
Narsih tersadar, ia baru saja paham maksud pembicaraan Jelita. Tanda merah yang telah dibuat oleh Devano di sekujur tubuhnya.
"Siapa yang melakukannya?" desak Jelita sambil menatap sorot mata Narsih.
"Nyonya belum tahu satu rahasia ya. Rumah ini ada jin penunggunya, tubuhnya tinggi besar. Rambutnya gondrong, ada tahi lalat di dekat ujung ketiaknya. Dia yang suka mendatangi saya malam hari," bisik Narsih dengam ekspresi meyakinkan.
"Hah? Serius?"
"Ck, benar Nya. Nyonya pernah ga saat tidur, tahu-tahu seperti ditindih tubuhnya oleh sesuatu yang besar, sampai bernafas saja tidak bisa?"
"I-iya, pernah."
"Nah, itu dia Nya, kalau jin di rumah ini suka sama yang dekil kayak saya, ga bakalan nyentuh Nyonya yang mulus seperti ini. Jadi Nyonya tidak perlu takut," terang Narsih sambil tersenyum.
"Serem juga ya, duh...saya jadi takut mau mandi di atas. Temani yuk!" Jelita menarik lengan Narsih.
"Saya mau masak sarapan, Nya," Narsih enggan, ia menahan tubuhnya.
"Narsiiiih...!" teriak Devano dari lantai atas, membuat Narsih dan Jelita menoleh.
"Siapa Narsih?" tanya Jelita pada Narsih.
"Kamu cari siapa, Sayang?! suara Jelita sedikit berteriak menjawab panggilan Vano. Lelaki itu menepuk jidatnya, ia lupa kalau Narsih ia ganti nama dengan Giyem.
"Narsih...guk..guk...!" Devano berakting memanggil anjing peliharannya.
"Oh, anj**ng. Namanya lucu juga ya. Nama pinggiran," gumam Jelita pada Narsih.
Dengan wajah geram, Narsih kembali memasak. Tak dipedulikannya Jelita yang kini menghampiri Devano di atas sana. Tidak ada cinta, maka tidak ada cemburu. Jika bisa bercerai saat ini juga, tentu ia lebih memilih bercerai dari lelaki seperti Devano.
Narsih memasukkan empat bungkus mie instan ke dalam air yang sudah mendidih. Mengaduknya sebentar, lalu menuangkan bumbu ke dalam mangkuk besar.
Cup
Narsih berjengkit saat Devano tiba-tiba mencium pipinya, wanita itu menatap horor ke arah Devano. Lalu ia bergegas ke wastafel untuk mencuci pipinya yang baru saja dicium Devano. Tidak ada Jelita di sana, sehingga buaya darat ini bisa melakukan semauanya pada Narsih.
"Narsih itu nama saya ya, bukan nama an**ng!" ketus Narsih pada Devano.
"Ha ha ha ... bukannya kamu juga sama seperti itu, mau saja saya suruh ini-itu, tanpa pakaian pula," tawa Devano menggema. Lelaki itu merasa menang dengan Narsih.
Sekuat tenaga Narsih menahan air mata atas hinaan Devano yang mengumpamakan dirinya dengan seekor binatang peliharaan. Ia tidak mau menoleh pada Devano, hatinya sakit, seluruh tulangnya seakan lepas dari persendian saat kalimat menyakitkan itu keluar dari mulut Devano.
"Kalau saya seperti anj*ng, kenapa masih anda pakai?"
"Bukankah itu tandanya anda lebih rendah dari pada binatang itu?"
Narsih mengusap air matanya kasar di depan Devano. Ingin sekali rasanya, pisau yang kini ia pegang, ia tusukkan saja ke perut lelaki yang berdiri terdiam di depannya ini.
"Kamu harus bersukur, walau jelek, kurus tinggal tulang, dan kumal, aku masih mau menidurimu," bisik Devano dengan suara meremehkan.
Narsih tidak menanggapi lagi ucapan Devano, hingga lelaki itu pergi dari hadapannya. Narsih melanjutkan memasak mie goreng, lalu ia menyajikannya di atas meja makan. Tak lupa seteko air teh manis untuk Devano dan Jelita. Jangan dikira ia lupa untuk memberikan ludahnya pada teko air teh. Bahkan ia meludahi sepuluh kali air teh tersebut.
Narsih memilih sarapan di taman belakang. Mencoba menyuapkan sendok demi sendok mie goreng ke dalam mulutnya, namun sangat sulit untuk ia telan. Mie itu tertahan di dalam mulutnya, hingga pipinya menggembung. Air mata masih saja turun, tanpa bisa dibendung, bahkan air bening itu, kini membasahi piring yang masih ada terisi mie goreng.
Kelakar yang terdengar dari ruang makan, membuat hatinya panas. Ia benar-benar tidak dianggap , hanya sebagai peliharaan dan babu yang bisa dipakai oleh lelaki yang bernama Devano dalam status halal di mata agama.
"Mbak, kenapa?" tanya Pak Samsul yang baru saja masuk ke taman belakang.
"Eh, ga papa, Pak," jawab Narsih kikuk. Lalu dengan cepat menghapus air matanya.
"Pak Samsul sudah makan? Masih ada mie goreng di dalam, mau tidak?" tawar Narsih pada supir Devano.
"Sudah tadi di rumah, kalau ada teh manis, saya mau itu saja," sahut Pak Samsul.
"Baik, Pak. Tunggu sebentar!" Narsih meletakkan piringnya di meja, lalu bergegas masuk ke dapur untuk membuatkan teh untuk Pak Samsul.
Tak butuh waktu lama, Narsih sudah kembali ke taman belakang dengan satu cangkir teh manis hangat. Lalu memberikannya pada Pak Samsul. Pemandangan yang sedari tadi diperhatikan oleh Devano dan ia tidak suka, saat Narsih terlihat tersenyum pada supirnya.
"Giyeeem!" Jelita menoleh.
"Ada apa, Sayang?"
"Ah, tidak. Aku lupa memberitahu Giyem, kalau kamar mandi di kamarku harus segera disikat," kilah Devano.
"Ya, Paduka. Ada apa?" dengan tergopoh Narsih menghampiri Devano.
"Ikut saya ke atas! Lihat kamar mandi saya belum kamu sikat!" belum sempat Narsih menjawab, Devano sudah menarik dengan kasar tangan Narsih hingga sampai di kamarnya di lantai dua.
Bugh!
Narsih dihempaskan ke lantai oleh Devano.
"Apa lagi kali ini salah saya?" tanya Narsih lirih dengan menahan nyeri di lututnya.
"Aku tidak suka peliharaanku, berbicara manis pada lelaki lain," ujar Devano sambil mencubit dagu Narsih.
"Cih...cemburu?" tantang Narsih dengan berani menatap wajah Devano.
"Mimpi!" Narsih kembali terjerembab di lantai, saat Devano mendorong keningnya dengan cukup kuat.
"Aku bersumpah tidak akan pernah memaafkan semua perbuatan biadabmu," janji Narsih pada dirinya, saat kini kedua tangannya diikat di kepala ranjang Devano.
Lelaki itu menggagahinya Narsih kasar dengan kedua tangan terikat. Berkali-kali Devano menghentak Narsih, membuat Narsih hampir saja hilang kesadaran.
"Tolong, bunuh saja aku!" lirih Narsih sesaat sebelum ia pingsan.
****
Tuk!Tuk!Tuk!"Vano...Giyem! Buka pintunya!" teriak Jelita dari luar kamar Devano. Jelita menunggu dengan gelisah, sambil menggigit kukunya dengan kasar, ia kembali mengetuk pintu kamar Devano.Bugh!Bugh!Kali ini ia menggunakan kepalan tangannya untuk menggedor pintu kamar Devano dengan keras."Non, sini!" Pak Samsul menarik Jelita menjauh dari depan kamar majikannya."Lepas! Ngapain sih, pegang-pegang?" Jelita menghempaskan tangan Pak Samsul yang memegang lengannya."Ck, jangan ganggu Tuan dan Nyonya Devano," bisik Pak Samsul dengan ekor mata melirik kamar Devano."Maksud kamu apa? Siapa yang nyonya di sini?""Itu Narsih, istri Tuan Devano.""Siapa Narsih?""Narsih itu yang Non panggil Giyem. Dia istri sah Tuan Devano baru seminggu nikah.""Lha, bukannya Devano duda?""Siapa bilang? Tuan Devano sudah menikah kembali sepekan yang lalu dengan Aminarsih.""Tahu gak, kenapa Tuan
Plaak!Plaak!"Berani sekali kamu mau kabur, hah!" teriak Devano di depan wajah Narsih. Dua tamparan dari sang suami membuat kedua sudut bibirnya mengeluarkan darah segar. Narsih tak gentar, walau darah semakin banyak menetes mengotori lantai. Narsih dengan berani menatap wajah lelaki yang masih berstatuskan suaminya. Mencari sorot rasa kasihan di sana, namun sayang, Narsih tidak menemukannya. Lelaki itu benar-benar membenci dan hanya memanfaatkannya saja.Pak Broto yang memergoki Narsih saat hendak kabur, hanya memperhatikan perlakuan anaknya dari balik kaca mata, tanpa komentar. Ia membiarkan Devano melakukan apapun pada wanita yang berstatus istri siri dari anaknya itu."Berani kamu tatap saya!" bentaknya lagi, bahkan tangannya kini mencengkeram dagu Narsih dengan kuat."Saya sudah bilang, kenapa tidak kamu bunuh saja saya?" tantang Narsih berbicara dengan mulut yang sangat sakit."Oke, kalau itu mau kamu. Saya akan bunuh kamu, tapi perlaha
Rumah besar yang terlihat kokoh itu, kini rata dengan tanah. Semua barang hangus terbakar, tidak ada yang dapat diselamatkan termasuk berkas-berkas penting, dua mobil mewah Devano, satu motor Harley miliknya, serta satu mobil sport milik Pak Broto, semua hangus terbakar dilalap si Jago Merah. Bahkan memerlukan enam mobil pemadam kebakaran untuk mematikan api tersebut. Tetapi anehnya, begitu api sangat besar melahap rumah Devano beserta isinnya, namun tidak mengenai bangunan tetangga kanan dan kirinya, bahkan asapnya saja tidak tercium para tetangga."Kapan kebakarannya? Kok kita tidak tahu," celetuk seorang ibu dari depan rumahnya."Iya, Nya. Padahal lima belas menit lalu, saya buang sampah di depan, Nya, tetapi tidak ada api," sahut pembantu si ibu sambil bergidik ngeri."Seram ya, Ma. Ayo kita masuk!" sela seorang lelaki muda pada ibunya."Dibakar jin kali," celetuk tetangga yang lainnya.Semua tetangga satu per satu meninggalkan Devano yan
Narsih terbangun dari tidurnya, saat mendengar suara klakson mobil begitu nyaring. Sigap ia berdiri, untuk melihat siapa yang ada di luar sana. Jauh sekali, itu yang dilihat oleh Narsih saat ini. Sepertinya rumah tempat ia berada saat ini berada di atas gunung, sehingga pemandangan area sekitar terlihat berada di bawah.BughBugh"Tolong!" teriak Narsih."Tolong!" teriaknya lagi.Namun, bagaikan angin saja yang menangkap suaranya. Tidak ada siapa pun yang menyahut. Dari tempat Narsih berpijak saat ini, dapat dilihat dengan jelas, begitu banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Walaupun tidak seramai ibu kota, tetapi tetap saja keadaan ramai. Mobil, motor, orang bersepeda, bahkan para pejalan kaki tampak jelas di mata Narsih. Sungguh di sayangkan, mereka sangat jauh dari jangkauan. Hanya dengan TOA masjid mungkin, baru akan terdengar.Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Gumam Narsih kembali dengan air mata yang jatuh satu per s
"Cih, dasar belagu! Dasar kamunya aja yang ga bisa membuat senjataku naik," umpat Devano setelah wanita penghibur itu keluar dari kamar yang disewa Devano.Cepat lelaki itu mengambil ponselnya, lalu memencet nomor Mami yang biasa ia gunakan sebagai perantara untuk mendapatkan kepuasan ranjang.[Hallo, Mi. Kirim lo***e yang benar dong. Masa amatiran yang dikirim ke saya. Mami kan dah saya bagi panjer dua juta.][Lho, dia bintangnya di rumah Mami lho, masa gak bisa bikin kamu puas?][Iya, senjataku tidak mau bangun lagi][Ada yang sumpahin kali. Ha ha ha ha... bercanda Vano. Tunggu sebentar ya. Lima belas menit lagi Mami kirim yang paling bagus]Vano melemparkan ponselnya ke atas ranjang. Ia memilih memejamkan mata sesaat, sebelum bertempur dengan wanita penghibur. Baru mulai terlelap, suara bel kamarnya berbunyi. Masih tanpa busana, Devano berjalan ke arah pintu, lalu membukanya lebar."Masuk!" titahnya pada wanita cantik nan seksi yan
"Tuan, apa tidak sebaiknya ada yang melihat keadaan Mbak Narsih di Puncak? Ini sudah tiga bulan dan kalau benar ia meninggal, biar dimakamkan. Jangan sampai orang lain yang tahu lebih dulu. Nanti Tuan terlibat masalah," ujar Pak Samsul memberi nasehat."Uuauuaauaaaa," ujar Pak Broto sambil mengangguk. Dari bahasa tubuhnya, ia pun menyetujui saran dari Samsul."Begitu ya, ya sudah. Pak Samsul sama Joko ke sana. Kalau dia masih hidup, langsung saja tinggalkan lagi. Tapi kalau sudah mati, bawa mayatnya, lalu kubur di perkuburan umum," putus Devano akhirnya, setelah menimbang perkataan Pak Samsul."Mmm...maaf, Tuan. Apa tidak sebaiknya Mbak Narsih dibebaskan saja atau mungkin bekerja di sini lagi?" Sedikit ragu, Pak Samsul kembali memberi masukan. Ucapan Pak Samsul barusan, membuat leher Devano menegang, lelaki itu terlihat tak suka dengan ucapan Pak Samsul."Jangan ikut campur urusan saya! Kerjakan saja apa yang menjadi tugasmu!" ujar Devano ketus dengan net
"Pak Samsul, ayo antar saya ke Ki Emmoh!""Siapa itu, Tuan?""Gak perlu tahu kamu.""Oh, oke.""Sekarang, Tuan?""Minggu depan. Ya, sekarang!""Eh, iya. Saya panaskan dulu mobilnya." Pak Samsul bergegas ke garasi. Sedangkan Devano memilih memainkan ponselnya.Ayu[Aku kangen, Mas. Kapan kita bertemu? Sudah enam bulan lho.]Pucuk dicinta ulam pun tiba.Devano mengetik balasan pesan untuk Ayu. Wanita yang pernah menjadi pacar bahkan hampir saja ia nikahi[Malam ini bagaiamana sayang? Pakai lingerie seksi ya. Aku akan menghukum kamu karena sudah lama tak menampakkan diri][Ha ha ha ... Aku suka kamu yang kasar. Ah, aku kangen senjatamu sayang.]Devano menelan salivanya saat membaca balasan pesan dari Ayu yang terdengar begitu bernafsu. Lekas Devano berdiri, lalu melangkah ke kamarn
Devano menatap Ayu yang tengah meliuk-liuk di depannya. Wanita itu sedang menghibur Devano dengan tarian striptis yang pasti menggiurkan kaum lelaki. Dengan pose setengah jongkok, menungging, bahkan pose kayang pun bisa ia lakukan sambil menjulurkan lidahnya. Devano sampai berdecak kagum dengan kemampuan Ayu dalam menari."Bagaimana, Sayang? Apa sudah siap bertarung malam ini?" Ayu mengeluarkan satu tali tambang dari dalam tasnya, kemudian berjalan menggoda sambil mengigit temali tersebut menghampiri Devano yang tengah menganga kagum. Lelaki itu berkali-kali menelan salivanya, dilanjutkan dengan mengintip celana dalamnya masih masih kempis. Tidak ada pergerakan di sana."Masih bobok aja sih? Bangun yuk!" goda Ayu membuat Devano blingsatan. Sayang sekali, jurus apapun yang dikeluarkan oleh Ayu tak mampu membuat Devano bangkit. Sudah dua jam Ayu bekerja keras, namun tidak ada hasil, hingga wanita itu kelelahan."Kamu sakit? Kenapa dengannya?"