Tuk!
Tuk!Tuk!"Vano...Giyem! Buka pintunya!" teriak Jelita dari luar kamar Devano. Jelita menunggu dengan gelisah, sambil menggigit kukunya dengan kasar, ia kembali mengetuk pintu kamar Devano.
Bugh!
Bugh!Kali ini ia menggunakan kepalan tangannya untuk menggedor pintu kamar Devano dengan keras.
"Non, sini!" Pak Samsul menarik Jelita menjauh dari depan kamar majikannya.
"Lepas! Ngapain sih, pegang-pegang?" Jelita menghempaskan tangan Pak Samsul yang memegang lengannya.
"Ck, jangan ganggu Tuan dan Nyonya Devano," bisik Pak Samsul dengan ekor mata melirik kamar Devano.
"Maksud kamu apa? Siapa yang nyonya di sini?"
"Itu Narsih, istri Tuan Devano."
"Siapa Narsih?"
"Narsih itu yang Non panggil Giyem. Dia istri sah Tuan Devano baru seminggu nikah."
"Lha, bukannya Devano duda?"
"Siapa bilang? Tuan Devano sudah menikah kembali sepekan yang lalu dengan Aminarsih."
"Tahu gak, kenapa Tuan Devano menikah dengan Aminarsih?"
Bahu Jelita melemah, ternyata Devano berbohong. Bukannya ia mengaku duda dan belum menikah kembali. Kenapa sekarang malah ia sudah menikah dengan pembantu.
"Kenapa?" tanya Jelita tanpa minat lagi.
"Setiap wanita yang dinikahi Tuan Devano meninggal, setelah dua hari menikah. Ada yang terpeleset di tangga, ada yang serangan jantung, gantung diri karena kesambet jin. Serreem deh pokoknya!" cerita Pak Samsul antusias sambil bergidik ngeri.
"Hanya Narsih yang panjang umur. Non harus hati-hati sama Narsih, siapa tahu dia punya jampe," bisik Pak Samsul menakut-nakuti Jelita.
Bukan hanya Pak Samsul yang bergidik, Jelita pun ikut bergidik ngeri, kakinya melangkah masuk ke dalam kamar tamu, lalu memasukkan pakaian yang sudah ia taruh dalam lemari. Dengan wajah sedikit pucat dan gerakan secepat kilat, ia meninggalkan rumah Devano. Bahkan tanpa menoleh lagi ke belakang.
"Non, mau ke mana?" tanya Pak Samsul saat menghampiri Jelita yang sudah memegang pintu pagar.
"Mau pulang saja. Saya takut, masa ia udah mati, baru dua hari nikah. Tobat aja belum," sahut Jelita sambil memencet aplikasi ojek online di ponselnya. Pak Samsul menahan tawa, matanya memperhatikan tas yang dibawa oleh Jelita. Kenapa terisi penuh? Apa memang pacar majikannya ini membawa banyak baju? gumam Pak Samsul dalam hati.
"Sampaikan pada majikan kamu, dia punya utang pada saya satu juta, belum dibayar. Segera ditransfer hari ini juga!" titah Jelita ketus pada Pak Samsul. Lelaki itu mengangguk paham.
Ojek online pun sampai di depan rumah Devano, lalu membawa pergi Jelita dari sana. Pak Samsul menarik nafas lega, ia tidak bisa menolong Narsih secara terang-terangan. Biar dengan cara seperti ini saja ia membantu mengurangi kesulitan Narsih.
Sementara itu di kamarnya, Devano masih terlelap sangat pulas. Tali pengikat Narsih telah ia lepaskan saat tahu wanita itu pingsan. Ia tak sadar, saat Narsih dengan tertatih menahan sakit di pangkal paha, serta luka lebab di pipinya akibat tamparannya, berjalan keluar kamar dari kamarnya, dengan sangat pelan dan hati-hati. Ia menarik selimut tebal yang menutupi tubuh Devano, untuk menutupi tubuh telanjangnya.
Dengan membiarkan pintu kamar terbuka lebar, pemandangan Devano tidur menyamping tanpa sehelai benang pun pasti membuat mata yang melihatnya bergidik ngeri. Narsih sengaja membiarkan pintu itu tidak tertutup lagi, ia memilih berjalan masuk ke dalam kamar lalu membersihkan diri.
Devano tersentak dari tidurnya, tepat saat Pak Samsul pun berdiri di depan kamar Devano yang terbuka lebar.
"Waduh, mana selimut saya ini?" Devano gelagapan mencari selimut yang tidak ada di sekelilingnya. Pak Samsul memalingkan wajah karena malu sendiri, melihat lelaki telanjang gelagapan mencari penutup tubuh.
"Tutup dong pintunya, Pak!" titah Devano yang kini menutupi tubuhnya dengan dua bantal. Pak Samsul berjalan medekati pintu, berniat menutupnya. Namun, sebelum tertutup rapat, Pak Samsul meledek, "oh, segitu doang. Kirain segeda apa? Ha ha ha .."
Buugh!
Devano mencebik kesal sambil melemparkan bantal ke arah pintu yang kini tertutup.
"Sial!" umpatnya kesal, lalu turun dari atas ranjang dan bergegas ke kamar mandi.
Guyuran air dingin di kepalanya turun ke badan hingga kakinya, terasa sangat segar dinikmati oleh kulit tubuhnya yang bewarna kecoklatan. Matanya turun pada senjatanya yang masih terkulai lemas. Kenapa bisa dengan Narsih, nafsunya begitu cepat tersulut? Sedangkan dengan Jelita tidak berasa apapun, padahal Jelita begitu mahir di ranjang. Bukannya terangsang, dirinya malah tertidur kepulesan saat dibelai oleh Jelita.
Cepat ia membilas tubuh, lalu keluar kamar mandi dengan melilitkan handuk di pinggangnya. Matanya menyapu kamar yang sangat berantakan akibat ulahnya yang menyiksa Narsih di ranjang.
"Narsiihh...!" teriaknya dari dalam kamar, namun, Narsih tak segera datang. Wanita itu masih duduk di atas kasur busa sambil meneteskan air mata. Kakinya kini melangkah pelan menuju jendela, memperhatikan keadaan sekitar rumah Devano yang merupakan susunan bangunan tinggi, yang takkan mudah terdengar bila ada orang berteriak minta pertolongan. Bagaimana caranya ia bisa keluar dari sini?
"Narsih!" teriak Devano semakin kencang. Wanita itu mengalah, dari pada harus disodok tanpa ampun, lebih baik dia menurut. Dengan langkah malas, ia berjalan menuju kamar suaminya.
"Ada apa?" tanya Narsih ketus saat pintu kamar terbuka.
"Lama sekali kamu, seperti siput saja! Cepat bereskan semua ini!" titah Devano sambil menunjukkan kekacauan yang dibuat oleh dirinya. Narsih masuk ke dalam kamar, melemparkan satu per satu bantal serta guling ke lantai, hingga mengenai kaki Devano.
"Pelan dong!" sergah Devano tak suka.
"Ya, kamu geser! Jangan di situ! Siapa suruh berdiri di situ?" omel Narsih tanpa memperhatikan wajah Devano yang merah karena kesal. Lelaki itu tidak menyahut, namun ia menurut, menggeser tubuhnya menjauh dari Narsih yang kini sibuk mengganti seprei. Aroma percintaan yang sangat menggoda indera penciuman, membuat Devano memperhatikan gerak-gerik Narsih dari sofa.
Apa yang membuat senjatanya selalu bangun saat berhadapan dengan Narsih? Cantik tidak, montok apalagi, orang kurus ceking begitu. Kulit hitam bagai budak. Terus di mana daya tariknya? Devano bergumam dalam hati sambil memijat pelipisnya.
"Geser!" titah Narsih pada Devano.
"Mau apa?" tanya Devano tak paham.
"Saya mau ambil celana dalam saya yang kamu duduki!" Reflek Devano berdiri kaget, menoleh ke arah sofa. Benar saja, ada celana dalam Narsih yang ia baru saja duduki. Tepatnya celana dalam Sekar yang ia pinjamkan pada Narsih.
Dengan serampangan, Narsih keluar dari kamar Devano sambil membanting pintu.
Blaaam!
"Kembali menjadi babu dan budak ranjang, dari lelaki tak waras!" gerutu Narsih sambil memutar mesin cuci.
Suara air kolam renang membuat Narsih menoleh, sudah ada Pak Samsul di sana sedang menguras kolam renang. Dengan mengendap-ngendap, Narsih menghampiri Pak Samsul sambil membawa sapu, seolah-olah ia sedang menyapu teras kolam.
Setelah mengintip keadaan sekitar yang terlihat aman, Narsih melambaikan tangan pada Pak Samsul tanpa suara.
Psst...
Psst...Siul Narsih pelan, saat Pak Samsul tak kunjung menyadari keberadaannya. Lelaki setengah baya itu menoleh, lalu berjalan menghampiri Narsih.
"Ada apa, Mbak?" tanya Pak Samsul pelan.
"Bapak bisa bantu saya kabur dari sini?"
"Apa?!"
"Saya bisa mati disiksa, Pak. Kalau saya tidak kabur. Tolong saya, Pak. Saya janji akan pergi sangat jauh, agar Devano tak bisa menemukan saya," pinta Narsih dengan cucuran air mata. Hanya Pak Samsul orang yang kiranya menyelamatkan dirinya dari sangkar emas Devano.
"Maaf, Mbak. Saya tidak berani," sahut Pak Samsul dengan wajah iba menatap Narsih.
"Bantu saya, Pak. Hiks...hiks..." Pak Samsul akhirnya mengangguk pelan, ia tidak tega dengan air mata yang mengalir begitu deras membasahi kedua pipi istri majikannya.
Rencana telah disusun oleh Samsul, agar Narsih bisa kabur. Wajah Narsih yang sendu, kini mendadak bersinar terang, seakan ada harapan malam ini ia bisa lari dari rumah Devano. Rumah juga telah sepi, Devano sedang berkumpul bersama teman-temannya di sebuah club yang diantar oleh Pak Samsul.
Keadaan yang seakan mendukung dirinya untuk segera kabur dari rumah Devano. Berbekal uang dua ratus ribu pemberian Pak Samsul, Narsih kini sudah turun dari lantai dua. Semua lampu sudah ia matikan, seakan-akan semua penghuninya sudah terlelap. Dengan mengendap-endap, Narsih berjalan keluar dari pintu samping, agar tidak terlihat oleh anjing peliharaan Devano. Tanpa memakai alas kaki, ia berjalan ke tembok yang sudah ada tumpukan batang pohon palem yang belum lama ditebang oleh Pak Samsul.
Berusaha tanpa suara, ia meraih ujung tembok tinggi.
Bismillah
Hup.
Dengan keringat bercucuran, ia berusaha naik ke atas tanpa suara. Pandangannya mengabur saat berada di atas tembok, karena jujur ia takut ketinggian.
Narsih menghela nafas lega, saat memperhatikan kanan dan kiri yang sepi. Hanya ada sebuah mobil terparkir jauh dari rumah Devano.
Buugh!!
Narsih menjatuhkan badannya di jalan aspal. Ia meringis, saat merasakan perih di lutut dan juga kedua telapak tangannya.
Alhamdulillah
Dengan cepat ia berdiri, kaki yang tanpa alas membuat ia ingin secepatnya meninggalkan kediaman Vano.
"Narsih, berhenti kamu!"
****
Hayo...siapa yang memergoki Narsih?
Berhasilkan ia kabur?Plaak!Plaak!"Berani sekali kamu mau kabur, hah!" teriak Devano di depan wajah Narsih. Dua tamparan dari sang suami membuat kedua sudut bibirnya mengeluarkan darah segar. Narsih tak gentar, walau darah semakin banyak menetes mengotori lantai. Narsih dengan berani menatap wajah lelaki yang masih berstatuskan suaminya. Mencari sorot rasa kasihan di sana, namun sayang, Narsih tidak menemukannya. Lelaki itu benar-benar membenci dan hanya memanfaatkannya saja.Pak Broto yang memergoki Narsih saat hendak kabur, hanya memperhatikan perlakuan anaknya dari balik kaca mata, tanpa komentar. Ia membiarkan Devano melakukan apapun pada wanita yang berstatus istri siri dari anaknya itu."Berani kamu tatap saya!" bentaknya lagi, bahkan tangannya kini mencengkeram dagu Narsih dengan kuat."Saya sudah bilang, kenapa tidak kamu bunuh saja saya?" tantang Narsih berbicara dengan mulut yang sangat sakit."Oke, kalau itu mau kamu. Saya akan bunuh kamu, tapi perlaha
Rumah besar yang terlihat kokoh itu, kini rata dengan tanah. Semua barang hangus terbakar, tidak ada yang dapat diselamatkan termasuk berkas-berkas penting, dua mobil mewah Devano, satu motor Harley miliknya, serta satu mobil sport milik Pak Broto, semua hangus terbakar dilalap si Jago Merah. Bahkan memerlukan enam mobil pemadam kebakaran untuk mematikan api tersebut. Tetapi anehnya, begitu api sangat besar melahap rumah Devano beserta isinnya, namun tidak mengenai bangunan tetangga kanan dan kirinya, bahkan asapnya saja tidak tercium para tetangga."Kapan kebakarannya? Kok kita tidak tahu," celetuk seorang ibu dari depan rumahnya."Iya, Nya. Padahal lima belas menit lalu, saya buang sampah di depan, Nya, tetapi tidak ada api," sahut pembantu si ibu sambil bergidik ngeri."Seram ya, Ma. Ayo kita masuk!" sela seorang lelaki muda pada ibunya."Dibakar jin kali," celetuk tetangga yang lainnya.Semua tetangga satu per satu meninggalkan Devano yan
Narsih terbangun dari tidurnya, saat mendengar suara klakson mobil begitu nyaring. Sigap ia berdiri, untuk melihat siapa yang ada di luar sana. Jauh sekali, itu yang dilihat oleh Narsih saat ini. Sepertinya rumah tempat ia berada saat ini berada di atas gunung, sehingga pemandangan area sekitar terlihat berada di bawah.BughBugh"Tolong!" teriak Narsih."Tolong!" teriaknya lagi.Namun, bagaikan angin saja yang menangkap suaranya. Tidak ada siapa pun yang menyahut. Dari tempat Narsih berpijak saat ini, dapat dilihat dengan jelas, begitu banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Walaupun tidak seramai ibu kota, tetapi tetap saja keadaan ramai. Mobil, motor, orang bersepeda, bahkan para pejalan kaki tampak jelas di mata Narsih. Sungguh di sayangkan, mereka sangat jauh dari jangkauan. Hanya dengan TOA masjid mungkin, baru akan terdengar.Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Gumam Narsih kembali dengan air mata yang jatuh satu per s
"Cih, dasar belagu! Dasar kamunya aja yang ga bisa membuat senjataku naik," umpat Devano setelah wanita penghibur itu keluar dari kamar yang disewa Devano.Cepat lelaki itu mengambil ponselnya, lalu memencet nomor Mami yang biasa ia gunakan sebagai perantara untuk mendapatkan kepuasan ranjang.[Hallo, Mi. Kirim lo***e yang benar dong. Masa amatiran yang dikirim ke saya. Mami kan dah saya bagi panjer dua juta.][Lho, dia bintangnya di rumah Mami lho, masa gak bisa bikin kamu puas?][Iya, senjataku tidak mau bangun lagi][Ada yang sumpahin kali. Ha ha ha ha... bercanda Vano. Tunggu sebentar ya. Lima belas menit lagi Mami kirim yang paling bagus]Vano melemparkan ponselnya ke atas ranjang. Ia memilih memejamkan mata sesaat, sebelum bertempur dengan wanita penghibur. Baru mulai terlelap, suara bel kamarnya berbunyi. Masih tanpa busana, Devano berjalan ke arah pintu, lalu membukanya lebar."Masuk!" titahnya pada wanita cantik nan seksi yan
"Tuan, apa tidak sebaiknya ada yang melihat keadaan Mbak Narsih di Puncak? Ini sudah tiga bulan dan kalau benar ia meninggal, biar dimakamkan. Jangan sampai orang lain yang tahu lebih dulu. Nanti Tuan terlibat masalah," ujar Pak Samsul memberi nasehat."Uuauuaauaaaa," ujar Pak Broto sambil mengangguk. Dari bahasa tubuhnya, ia pun menyetujui saran dari Samsul."Begitu ya, ya sudah. Pak Samsul sama Joko ke sana. Kalau dia masih hidup, langsung saja tinggalkan lagi. Tapi kalau sudah mati, bawa mayatnya, lalu kubur di perkuburan umum," putus Devano akhirnya, setelah menimbang perkataan Pak Samsul."Mmm...maaf, Tuan. Apa tidak sebaiknya Mbak Narsih dibebaskan saja atau mungkin bekerja di sini lagi?" Sedikit ragu, Pak Samsul kembali memberi masukan. Ucapan Pak Samsul barusan, membuat leher Devano menegang, lelaki itu terlihat tak suka dengan ucapan Pak Samsul."Jangan ikut campur urusan saya! Kerjakan saja apa yang menjadi tugasmu!" ujar Devano ketus dengan net
"Pak Samsul, ayo antar saya ke Ki Emmoh!""Siapa itu, Tuan?""Gak perlu tahu kamu.""Oh, oke.""Sekarang, Tuan?""Minggu depan. Ya, sekarang!""Eh, iya. Saya panaskan dulu mobilnya." Pak Samsul bergegas ke garasi. Sedangkan Devano memilih memainkan ponselnya.Ayu[Aku kangen, Mas. Kapan kita bertemu? Sudah enam bulan lho.]Pucuk dicinta ulam pun tiba.Devano mengetik balasan pesan untuk Ayu. Wanita yang pernah menjadi pacar bahkan hampir saja ia nikahi[Malam ini bagaiamana sayang? Pakai lingerie seksi ya. Aku akan menghukum kamu karena sudah lama tak menampakkan diri][Ha ha ha ... Aku suka kamu yang kasar. Ah, aku kangen senjatamu sayang.]Devano menelan salivanya saat membaca balasan pesan dari Ayu yang terdengar begitu bernafsu. Lekas Devano berdiri, lalu melangkah ke kamarn
Devano menatap Ayu yang tengah meliuk-liuk di depannya. Wanita itu sedang menghibur Devano dengan tarian striptis yang pasti menggiurkan kaum lelaki. Dengan pose setengah jongkok, menungging, bahkan pose kayang pun bisa ia lakukan sambil menjulurkan lidahnya. Devano sampai berdecak kagum dengan kemampuan Ayu dalam menari."Bagaimana, Sayang? Apa sudah siap bertarung malam ini?" Ayu mengeluarkan satu tali tambang dari dalam tasnya, kemudian berjalan menggoda sambil mengigit temali tersebut menghampiri Devano yang tengah menganga kagum. Lelaki itu berkali-kali menelan salivanya, dilanjutkan dengan mengintip celana dalamnya masih masih kempis. Tidak ada pergerakan di sana."Masih bobok aja sih? Bangun yuk!" goda Ayu membuat Devano blingsatan. Sayang sekali, jurus apapun yang dikeluarkan oleh Ayu tak mampu membuat Devano bangkit. Sudah dua jam Ayu bekerja keras, namun tidak ada hasil, hingga wanita itu kelelahan."Kamu sakit? Kenapa dengannya?"
Devano kini sudah mendapat perawatan intensif setelah mengalami kecelakaan shubuh tadi. Untunglah Devano dan teman wanitanya dapat segera tertolong karena mulai banyaknya orang yang melewati tempat kejadian. Hanya saja, mobil Ayu rusak parah. Semua kaca mobil pecah, cap mobil dan juga bampernya peyot.Mobil itu rusak parah, karena terguling berkali-kali hingga menabrak trotoar dan juga tiang listrik, tepat saat adzan shubuh selesai berkumandang. Orang-orang berdatangan menyelamatkan penumpang mobil, lalu membawanya ke rumah sakit.Bau obat-obatan dan disinfektan menyeruak tajam ke dalam hidung, membuat Devano yang masih pingsan, terbangun. Kepala dan tubuhnya sakit semua, bahkan ia tidak merasai di mana tangan kanannya. Matanya menyipit mencari keberadaan seseorang yang mungkin ia kenal."Pak Samsul," panggil Devano saat merasakan yang aneh pada tubuhnya. Ia mengenali sosok lelaki dewasa yang kini tengah tertidur sambil menunduk di kursi