“Dia benar-benar sedang keluar, kan?” Venus bergumam sendiri.
Gadis itu tinggal di Koba, Bangka Tengah, di mana semua hal terasa begitu dekat jaraknya. Ia baru saja pulang dari sekolah, berganti pakaian, dan langsung menuju dapur. Hari ini acaranya cuma kerja bakti, dan para penjual di kantin memutuskan untuk libur berjamaah. Hanya ada satu, dan penjual keliling itu sama sekali tidak menyediakan makanan berat seperti nasi. Untung saja kerja bakti ini tak sampai tengah hari.
Meski begitu, entah mengapa Venus berpendapat makan di rumah lebih baik, daripada makan di sebuah kedai dan membuang-buang uang saku. Selain itu, dia juga yakin bahwa ibu tirinya sedang keluar. Salah satu teman Venus mengaku melihat ibu tiri Venus menumpang mobil teman arisannya. Apapun itu, Venus tetap waswas. Ia memutuskan untuk menyerah saja, meski tidak terlalu yakin.
Tentu saja, menyerah itu pertanda buruk.
“Ah, Sayang. Apa yang kau lakukan?”
Suara itu begitu manis, kalau saja tidak berasal dari ibu tiri Venus, Sella. Ia adalah wanita yang berusaha terlihat cantik, dalam wajahnya yang mengerikan. Putih palsu seperti nenek sihir. Wanita itu muncul begitu saja dari pintu belakang. Ia mengambil piring Venus dan meletakkannya kembali di susunan rak.
“Aku tahu, aku tahu,” dendang Sella, “kau lapar, ya? Hei, memangnya di sekolah tak ada kantin? Kenapa tidak makan di sana?”
“Hari ini kantin libur,” kata Venus agak geram. Ditahannya emosi yang tiba-tiba menggelegak.
“Oh, ya ampun,” kata Sella berpura-pura simpati, “aku mengerti. Hanya saja, aku bingung. Cuma gara-gara itu, lantas kau berniat mencuri makanan di lemari makananku? Lagipula, kau ini sudah lima belas tahun, masa tidak berani makan di warung sendiri?”
“Aku nggak mencuri!” sembur Venus merasa terhina. “Dan, sejak kapan makan di rumah sendiri dikategorikan sebagai mencuri?!”
“Aha!” Mata Sella berkilat jahat, tetapi kata-katanya tetap semanis madu palsu. “Jangan jadi jahat begitu. Bukankah tadi pagi kau mendengarku bicara saat aku menelepon temanku? Aku berencana memasak untuk teman-temanku yang sebentar lagi akan datang. Seharusnya kau mendengar, mengingat kau berada tak jauh dariku. Lagipula, maaf karena aku bahkan tak menganggapmu sepenuhnya ada. Dan, toh, ayahmu juga tidak terlalu peduli. Jadi, mengapa aku harus bersusah payah?”
Dada Venus tiba-tiba naik turun karena emosi. Ayah kandungnya memang tak pernah peduli, bahkan saat Venus mengadu tentang bagaimana tidak adilnya Sella pada anaknya sendiri. Suara Sella yang semanis madu tetapi mengandung racun, membuat semuanya makin buruk. Venus benar-benar tak tahan lagi.
“Kau nggak seharusnya memperlakukanku seperti ini!” Venus berteriak marah, tak peduli jika ayahnya tetap mengabaikan dia. “Kau hanya beruntung saja saat menikah dengan Ayah! Kau memanfaatkan segala hal tentang Ayah seperti ular! Coba pikir sebentar, Sella. Andai saja Ayah tak menjadikanmu bagian dari keluarga Samudera, kau akan berakhir jadi apa? Jalang di jalanan? Karena kupikir itulah yang seharusnya!”
Venus diam-diam merasa tercengang dengan kata-katanya sendiri. Namun, momen yang paling membanggakan adalah ekspresi Sella. Mimik wajah wanita itu seperti ditampar berkali-kali dengan tutup tong sampah dari besi. Dan lagi, si anak perempuan yang mata hitamnya kini nyalang itu belum selesai.
“Pikirmu kau siapa?! Kau bisa hidup juga dari hasil kerja keras Ayah! Kau bahkan nggak mengerjakan apapun selain merapikan kuku dan bergosip! Pikirmu aku ini siapa? Lalat tak berguna, begitu? Selama ini aku menghormatimu hanya karena Ayah! Apa kau kira aku juga menerimamu sepenuhnya?! Dan kalau kau belum lupa, aku lebih berhak menendangmu! Kau—”
PLAK!
Venus terhuyung ke belakang dan hampir saja terjatuh, tetapi Venus menyeringai pada Sella dengan air muka penuh kemenangan. Mata Venus basah oleh air mata kemarahan. Kini, giliran dada Sella yang naik turun tersulut emosi, seakan-akan yang tadi berteriak adalah dia, bukan Venus. Venus tahu apa yang ia katakan tadi benar, dan Sella tampak benci mengakui bahkan pada dirinya sendiri.
“Keluar dari sini,” desisnya mengancam, kehilangan kontrol dirinya yang serba manis, “dan jangan pulang sebelum ayahmu pulang! Kita lihat apakah amarahmu bisa meluluhkan hatinya. Pergi sekarang, sebelum aku habis kesabaran. Pergi! Pergi!”
Desisannya berubah menjadi bentakan liar. Venus baru saja akan memakinya, tetapi gadis itu menggeleng pelan, sadar betul betapa kebencian begitu menggelayut di hatinya. Tidak akan ada pengaruh jika pun ia membasuh mulut dengan melontarkan kata-kata kasar pada Sella. Emosi-emosi yang sedari dulu Venus tahan, kini menggumpal menjadi awan gelap dalam hatinya. Ingin sekali gadis itu meluapkan semuanya, tetapi ia tahu itu percuma. Yang tersisa nantinya hanyalah kesia-siaan.
Venus berlari naik menuju kamarnya untuk mengambil ransel. Bukan untuk kabur, tetapi lebih karena ia terbiasa ke mana-mana membawa tas. Kalau pun ingin kabur, memangnya ia harus ke mana?
Venus menyugar rambut hitam sebahunya dengan napas berat, saat kemudian ia tiba di garasi. Menghela napas dengan gemetar, gadis itu menaiki sepedanya. Ia kayuh roda angin tersebut, sambil menahan panas pada bekas tamparan di pipinya.
Selang beberapa menit kemudian, setelah acara makan sendiri yang semuram awan kelabu, Venus sudah berada di Pantai Tanjung, tak jauh dari tempatnya semula. Anak perempuan itu duduk di salah satu batang pohon yang sudah tumbang. Di sebelahnya tumbuh beberapa pohon yang ia tak tahu persis apa namanya. Semilir angin membawa serta aroma asin air laut, membuai pikiran siapa saja yang menghirupnya. Samar-samar tercium bau amis dari air laut di bibir pantai yang berwarna kecokelatan itu.Venus menoleh dan melihat beberapa orang sedang berlutut di tepi pantai agak jauh darinya. Tiga anak kecil tampak berkejar-kejaran. Tawa gembira mereka terbawa serta oleh angin, bahkan ketika mereka menceburkan diri ke air yang agak keruh itu. Mereka yang berlutut tampaknya sedang mengorek-orek pasir, dan sesekali memasukkan sesuatu ke dalam wadah berupa kantong plastik atau stoples. Venus menebak mereka sedang mencari remis. Salah satu dari mereka menoleh memandang Venus. Wanita itu sepertinya meny
Suara berisik tiba-tiba membangunkan Venus. Gadis itu bersusah-payah membuka matanya dan berkedip-kedip memandang jam dinding. Pukul delapan malam.Venus mengeluh dan merutuk dalam hati sambil memeluk kembali bantal gulingnya. Sedetik kemudian ia duduk terkaget saat pintu kamarnya digedor dari luar.“VENUS!”Venus mengeluh lagi. Itu suara ayahnya. Dalam dan besar.Gadis itu tersaruk-saruk menuju pintu untuk membukanya.“Apa-apaan kau ini?!” bentak sang ayah begitu melihat Venus.Venus mengucek mata sambil mencoba merapikan rambutnya menggunakan tangan. Gadis itu merengut sebal pada sosok tegap nan galak di depannya.“Yang apa-apaan itu Ayah,” gerutu Venus. “Kenapa, sih, membangunkan aku malam-malam begini?”“Rapikan dirimu, ganti baju dan sandalmu, lalu pergi ke kamar Ayah.”Ekspresi datar sang ayah mengganggu Venus. Apa ia akan dihukum karena sudah membentak Se
Venus tersentak bangun kala tubuhnya meluncur keluar dari sesuatu yang terasa seperti seluncur tabung. Atau setidaknya ia pikir begitu. Venus menginjak permukaan tanah dengan goyah, dan pasti akan tersungkur seandainya tak ada tangan-tangan yang menolongnya. Venus menatap tanah yang ia pijak dengan wajah semringah.“Wah, aku nggak jadi mati, nih!” cetus Venus senang sambil tersenyum lebar, menyederhanakan perasaan bahagia yang sebenarnya.Venus menatap lingkaran putih tempat ia keluar. Lingkaran bercahaya itu kini suram. Venus mendongak ke atas dan hanya mendapati kegelapan. Penglihatannya beralih pada dua orang yang menolongnya. Seorang pria dengan ekspresi galak dan seorang wanita berwajah ramah. Wanita itu tersenyum. Venus tak pernah melihat mereka sebelumnya.“Apa ini?” Venus bertanya ragu-ragu, “Teknologi baru yang bisa dipesan siapa saja atau bagaimana?”Si Pria Galak menyahut dengan agak dongkol, “Aku tak t
Beberapa menit kemudian mereka tiba di depan pintu gerbang hitam yang terbuka. Pintu itu terlalu kecil jika dibandingkan temboknya, tetapi juga lebih besar dari pintu gerbang pada umumnya. Di depan pintu tersebut berdiri seorang cowok pendek dengan wajah seperti bayi.“Hei, mana Penjaga Portal yang seharusnya mengantarmu?” tanya Lan khawatir.Cowok itu menyusupkan tangan di saku celananya.“Temannya yang sedang menjaga portal agak kesulitan, jadi dia menyuruhku untuk menunggu di sini dan ikut penjaga lain jika ada yang lewat,” jelas si cowok dengan telinga agak memerah.“Dasar orang tak bertanggung jawab,” dengus Meres sebal, “bisa-bisanya main titip-titipan.”Lan memukul lengan Meres pelan.“Kadang kita juga melakukan hal yang sama, kan?” tegurnya sambil tertawa. “Misalnya, saat aku harus pergi ke toilet karena keadaan benar-benar mendesak?”Lan mengedipkan sebel
Venus pikir mereka juga akan diantarkan ke dalam bangunan itu setelah Meres membuka pintu. Namun, ternyata ada seseorang yang sudah menunggu di balik pintu untuk menyambut, atau lebih tepat, mencoba mengintimidasi mereka. Orang itu adalah seorang lelaki paruh baya berbadan besar dan kekar. Tatapannya begitu dingin dengan bibir yang senantiasa merengut. Di mata Venus, Meres bahkan tampak lebih ramah dibandingkan orang ini.“Sudah selesai?” Pria itu bertanya pada Meres dengan suara berat.Meres cuma mengangguk, lalu ia keluar bersama Lan tanpa berkata apapun. Dan, dengan berani Venus mengganggu pria seram berpakaian serba putih di depannya itu. Tentu saja dengan perasaan agak keder.“Siapa Anda?” Suara Venus terdengar kecil, tapi ia tak peduli.Lelaki itu memandangnya, seketika menguarkan hawa dingin yang menakutkan. Gawat, Venus bakal ditelannya bulat-bulat!“Rokuga.”Venus membuang napas lega tanpa kentara
“Ehem!”Dengan kaget Venus menoleh dan melihat seorang cowok berbadan kekar sedang berdiri di samping Virzash. Wajah pendatang itu lumayan kekanak-kanakan, tapi Venus sama sekali tidak menganggapnya seperti bayi. Kulitnya sedikit gelap. Rambutnya yang berwarna agak cokelat itu dipotong sedemikian rupa, dengan belahan tengah dan poni. Seingat Venus, itu gaya idol-idol Korea di Bumi Pertama. Ada noda merah mencurigakan di bagian depan kausnya yang putih polos.Intinya, cowok itu sudah terlihat keren tanpa harus berusaha. Seandainya Virzash si cowok bayi merasa iri, Venus tak akan merasa kaget.“Aku duduk di sini, ya?” Si pendatang bertanya. Suaranya terdengar jail.“Berdiri pun kami tidak peduli,” sahut Lou ketus.Cowok tadi tertawa dan duduk di satu-satunya kursi yang tersedia.“Kalian berani, ya, duduk di sini,” ujar si cowok itu seraya nyengir pada kedua juniornya yang baru.&l
Bu Mana memindai tabletnya dengan konsentrasi, dan kemudian mulai memanggil nama anak-anak baru secara acak. Anak pertama bernama Kirka Sorawa. Gadis itu bertubuh kecil dan kurus, dengan wajah berbintik yang khas. Ia berjalan tersaruk-saruk dan hampir saja tersandung podium. Padahal Venus memperkirakan tinggi podium itu tidak sampai sejengkal. Venus begitu tegang, sampai-sampai kulit kepalanya pun terasa gatal. Benar-benar mengganggu.“Berdiri di tengah, Sayang,” kata Bu Mana sok manis.Dengan gugup Kirka menurut. Venus tak bisa melihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan Bu Mana, selain bahwa sedari tadi ia cuma menotol-notol layar tabletnya. Namun, tiba-tiba dari bawah podium terdengar bunyi desing halus, mengagetkan Kirka. Leher Venus melongok-longok seperti jerapah, dan bahkan harus berdiri gara-gara tempat duduk yang tidak strategis.Dari tepi bulatan podium itu, menyembullah setidaknya sembilan macam benda aneh beserta seekor gagak yang mema
Virzash berjalan dengan langkah-langkah cepat, diiringi tatapan para krona yang hampir semuanya tampak khawatir. Wajahnya memerah.Ada apa ini?“Seaneh itukah Bakat Ganda?” Venus langsung bertanya begitu Virzash tiba di kursinya.Virzash menggaruk telinganya sembari bertopang di atas meja. Wajahnya agak menunduk, menghindari tatapan anak-anak lain; junior maupun senior.“Ini Bakat langka,” katanya pelan. “Kurasa aku mendapatkan warisan Bakat ini dari nenekku yang ketiga.”“Hah? Bagaimana?” sambar Venus tak mengerti. “Nenek ketiga bagaimana?”“Neneknya nenek nenekku,” jawab Virzash membingungkan.Rupanya dia melihat ekspresi Venus yang kosong, sebab ia lantas menjelaskan, “Nenekku punya nenek. Nah, neneknya nenekku ini punya nenek lagi. Nenek itulah yang kumaksud.”Shad berdecak kesal.“Itu tidak penting, tahu?!” Shad menukas s