Share

Bumi Kedua

Venus tersentak bangun kala tubuhnya meluncur keluar dari sesuatu yang terasa seperti seluncur tabung. Atau setidaknya ia pikir begitu. Venus menginjak permukaan tanah dengan goyah, dan pasti akan tersungkur seandainya tak ada tangan-tangan yang menolongnya. Venus menatap tanah yang ia pijak dengan wajah semringah.

“Wah, aku nggak jadi mati, nih!” cetus Venus senang sambil tersenyum lebar, menyederhanakan perasaan bahagia yang sebenarnya.

Venus menatap lingkaran putih tempat ia keluar. Lingkaran bercahaya itu kini suram. Venus mendongak ke atas dan hanya mendapati kegelapan. Penglihatannya beralih pada dua orang yang menolongnya. Seorang pria dengan ekspresi galak dan seorang wanita berwajah ramah. Wanita itu tersenyum. Venus tak pernah melihat mereka sebelumnya.

“Apa ini?” Venus bertanya ragu-ragu, “Teknologi baru yang bisa dipesan siapa saja atau bagaimana?”

Si Pria Galak menyahut dengan agak dongkol, “Aku tak tahu apa maksudmu! Untuk informasi saja, ini bukan Bumi-mu yang itu! Ini dunia volt, Non. Dan, sekarang kau berdiri di bawah Beranda Hitam.”

Venus melongo. Itu wilayah mananya Bumi?

“Hah?” ucap Venus telat. “Apaan Volt?”

“Aduh, maafkan dia, Sayang,” kata si Wanita Ramah. “Namun, dia benar. Kau berasal dari Bumi Pertama, dan ini Bumi Kedua! Aku tidak tahu bagaimana menyebutnya dengan benar selain dengan kata Dimensi. Dan volt, Sayang, artinya pengendali. Kau bisa disebut volt jika kau mampu mengendalikan salah satu Bakat! Luar biasa, bukan? Kutebak kau ini blasteran?”

Wanita itu tersenyum penuh perhatian. Venus menatap mereka berdua. Venus curiga kalau pasangan itu memang gila. Apa hubungan antara volt dan bakat? Seingat Venus, volt adalah sesuatu yang berkaitan dengan listrik. Lantas Bakat itu yang seperti apa? Bakat melukis? Menyanyi seriosa? Menjahit? Puing-puing tak berguna?

“Jangan menatap kami seperti itu,” ujar si Wanita Ramah sambil tertawa renyah, membuat Venus berjengit. “Cobalah lihat Beranda Hitam dengan lebih jelas!”

Meski sedikit waswas, takut kalau pasangan aneh itu tiba-tiba memutuskan untuk menusuk punggungnya, Venus tetap melakukan apa yang wanita itu katakan. Yang bisa Venus katakan hanyalah, jangan-jangan ia jadi ikutan gila.

Beranda itu memang sekreatif namanya. Hampir segala hal tampak bernuansa hitam. Dari tempat Venus berdiri, berderet lingkaran putih serupa. Masing-masing berjarak dua sampai empat meter dari yang lain. Deretan itu melingkar, terus menyambung satu sama lain sampai berakhir kembali ke lingkaran putih di depan Venus. Venus khawatir lehernya bakal terputus gara-gara mendongak dan berjinjit-jinjit. Area yang terdapat beberapa belas lingkaran putih itu benar-benar luas. Banyak di antaranya seolah sedang memuntahkan anak-anak sepantaran Venus. Di tengah-tengah bundaran raksasa tersebut (atau lubang, Venus tidak yakin) lagi-lagi hanya ada kegelapan. Di tengahnya menjulang sesuatu mirip pilar besar yang tegak ke atas, lalu ujungnya melebar membentuk naungan raksasa bagai payung, seakan ia menggantikan atap. Venus menyadari dengan perasaan tak enak bahwa sebelumnya ia menyangka itu adalah langit. Rasanya seperti ada angin dingin yang bertiup dari dalam sana. Kegelapan yang berada di tengah bundaran seakan tersambung dengan bagian belakang lingkaran-lingkaran putih yang ada. Seperti pipa, hanya saja gelap dan tanpa rangka.

Venus menanyakan pertanyaan yang sangat mendesak. Dan penting.

“Di mana aku bisa makan?”

Si Pria Galak menatap Venus seakan dia sudah gila. Venus pikir jika ia tidak segera makan, ia tak yakin bisa berdiri menghadapi keanehan ini lagi. Entah kenapa hidupnya tiba-tiba akrab dengan segala yang berbau kegelapan. Lagipula, perutnya keroncongan. Sudah berapa lama sejak ia makan terakhir kali? Sehari, dua hari, seabad?

Si Wanita Ramah menertawai Venus dan berujar, “Ayo, kalau begitu.”

“Kemana?” tanya Venus mulai penasaran.

Si Wanita Ramah menunjuk dengan dagunya ke arah tembok tinggi raksasa, yang berdiri tidak jauh di sebelah utara sana. Atap gelap aneh tadi sepertinya berakhir di ujung tembok tersebut. Venus memandang tembok perak itu dengan takjub.

Kalau ini mimpinya para orang gila, sepertinya tidak jelek-jelek amat, sih.

Venus mengekor dua orang dewasa itu dalam diam. Ada banyak sekali orang dewasa yang menjaga lingkaran-pemuntah-orang itu.

Lingkaran pemuntah orang.

Duh.

“Hei, eh, Kak,” panggil Venus pada si Wanita Ramah, “lingkaran putih itu apa, sih?”

“Apa? Oh, itu Portal Gelap,” si Wanita Ramah menjawab dan menoleh sebentar.

Padahal portalnya putih, pikir Venus. Jahat benar.

“Kalau yang seperti pipa gelap itu?” Venus bertanya lagi

“Kegelapan,” sahut si Pria Galak.

Venus mendengus. Membantu sekali.

“Hei, Lan!” Suara tenor seseorang membuat si Wanita Ramah berhenti dan menoleh. “Sudah selesai?”

Si Wanita Ramah mengangguk dan menyahut, “Ini yang terakhir. Punyamu belum?”

Pria yang di sana berjalan mendekat, sambil menjawab, “Kau lihat sendiri portal itu masih terang. Astaga, padahal kukira Bumi Pertama tak akan memiliki banyak blasteran! Aku tak percaya portal yang kujaga sudah menarik tiga blasteran dari sana! Untunglah, Portal Gelap bekerja sesuai tujuan yang diinginkan. Kalau tidak, tak bisa kubayangkan bagaimana jadinya jika anak-anak dari wilayah berbahasa lain masuk secara sembarangan.”

“Yah, paling tidak kau punya sesuatu untuk disyukuri. Soal blasteran itu, kupikir itu disebabkan oleh para Voltura. Kau tidak berpikir begitu, ya, Gen?”

Pria bernama Gen itu mengerutkan kening. Venus meneladani ekspresinya. Apaan, tuh, Voltura?

“Maksudmu, mereka masih hidup dan bersembunyi di sana?” Gen berkata ragu. “Bukankah para Gal akan tahu kalau memang begitu?”

“Kita tahu Gal bukan lagi yang terkuat gara-gara para pengkhianat itu,” si Pria Galak tiba-tiba menyahut, “dan Lan, tolong berhenti membuat dugaan seperti itu. Sangat diragukan Voltura berada di sana, mengingat para Gal yakin mereka sudah ditumpas.”

Gen mencoba mendebat, “Yah, tetapi seorang volt yang—”

“Lagipula, apa kau tega membiarkan bocah ini berdiri lebih lama lagi di sini?!” bentak si Pria Galak.

Gen terlonjak seakan disengat listrik, dan langsung terbirit-birit kembali ke portalnya. Venus menatapnya iba.

“Astaga, Meres,” desah Lan berlebihan, “tak perlu segalak itu, kan?”

Lan mengusap lengan Meres dan menggiringnya berjalan.

“Ayo, Blasteran,” ajak Lan tanpa menoleh.

Venus mengikuti mereka lagi. Gadis itu memijat pelipisnya. Percakapan dengan Gen tadi membuatnya pusing. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang mereka katakan tadi? Ya, ampun. Ia menggosok matanya lebih karena bingung daripada merasa lelah. Nama orang-orang di sini juga agak asing di telinga gadis itu, membuatnya semakin sebal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status