Beberapa menit kemudian mereka tiba di depan pintu gerbang hitam yang terbuka. Pintu itu terlalu kecil jika dibandingkan temboknya, tetapi juga lebih besar dari pintu gerbang pada umumnya. Di depan pintu tersebut berdiri seorang cowok pendek dengan wajah seperti bayi.
“Hei, mana Penjaga Portal yang seharusnya mengantarmu?” tanya Lan khawatir.
Cowok itu menyusupkan tangan di saku celananya.
“Temannya yang sedang menjaga portal agak kesulitan, jadi dia menyuruhku untuk menunggu di sini dan ikut penjaga lain jika ada yang lewat,” jelas si cowok dengan telinga agak memerah.
“Dasar orang tak bertanggung jawab,” dengus Meres sebal, “bisa-bisanya main titip-titipan.”
Lan memukul lengan Meres pelan.
“Kadang kita juga melakukan hal yang sama, kan?” tegurnya sambil tertawa. “Misalnya, saat aku harus pergi ke toilet karena keadaan benar-benar mendesak?”
Lan mengedipkan sebelah mata pada Meres. Giliran pria galak itu yang telinganya memerah.
“Dari mana kau?” tanya Meres pada anak tadi, mengalihkan perhatian.
“Eh, Trisia,” jawab si cowok.
“Oh, begitu.”
Meres melanjutkan langkahnya tanpa berkata apa-apa lagi. Jelas tadi ia hanya berbasa-basi. Lan memberi isyarat agar mereka mengikuti.
Venus mengerling cowok di sampingnya. Trisia itu provinsi mana dari negara apa? Trisia bukannya terlalu konyol untuk jadi sebuah nama kota? Lagipula, masa cowok bayi ini seumuran Venus? Venus membayangkan cowok itu masih suka menangis dan begitu manja. Venus mendengus sendiri, merasa geli karena telah berpikir jahat. Cowok di sebelahnya memandang Venus dengan aneh. Gadis itu hanya menyeringai.
Kemudian, Venus melongo. Lagi.
Mereka memasuki area baru yang lebih lapang. Langit berbintang di atas sepertinya memang langit yang asli. Kemudian, di hadapan mereka, berdirilah bangunan modern yang benar-benar ... maksudnya sangat ... tidak, lebih tepat bila dikatakan amat sangat banget dan benar-benar besar. Venus tak peduli jika kata-kata itu menyalahi aturan berbahasa dengan benar. Maksudnya, itu besar yang sungguh lebih besar lagi!
Pada teras bangunan tersebut berdiri lusinan pilar besar berwarna putih nan mengagumkan, hingga Venus berpikir itu adalah sebuah kejahatan jika hanya disebut teras. Di atas atap segitiga bangunan itu, terdapat hiasan berwarna biru berupa perisai bulat berukir bintang. Venus juga memperhatikan, di tengah-tengah halaman yang berubin, berdiri patung seorang lelaki tua bermahkota aneh. Mahkotanya seperti terbuat dari jalinan berbagai benda atau sesuatu, dan di antaranya terdapat juga binatang. Wajah sosok itu tampak berwibawa, tetapi tatapannya begitu bengis dan liar pada waktu yang bersamaan. Patung itu berdiri dengan tangan direntangkan, seakan ingin memberi salam dan memberitahu dunia bahwa ia adalah seseorang. Punggungnya memakai semacam jubah panjang, melengkapi pakaiannya yang serupa pemimpin. Saat mereka melewatinya, Venus membaca ukiran nama di atas batu yang jadi pijakan patung tersebut. Di sana tertulis Giris Druiksa. Kedengarannya seperti bahasa Jawa.
“Siapa Giris Druiksa?” Venus bergumam tidak pada siapa-siapa. Ia tak menyangka jawabannya datang dari si cowok bayi.
“Kau tidak tahu?!” Cowok bayi itu berkata tidak percaya.
“Maaf, ya!” Venus berkata ketus. “Aku ini datang dari tempat yang kau sebut Bumi Pertama! Tahu apa aku soal Bumi Kedua?!”
“Oh,” gumam si cowok bayi malu. Ia menjelaskan tanpa diminta lagi. “Giris Druiksa adalah manusia sekaligus volt pertama di Bumi Kedua. Katanya, sih, dia juga yang membuat sebutan volt untuk manusia yang dapat mengendalikan Bakat, meski pengelompokan Bakat ditemukan lama setelah ia meninggal.”
“Maksudmu, si Druiksa ini semacam malaikat jatuh atau apa?” Kali ini Venus bertanya dengan nada ingin tahu.
Si cowok bayi mengangkat bahu sekilas.
“Ada tiga versi, dan salah satunya memang itu,” ujarnya. “Versi yang lain mengatakan bahwa ia sebenarnya adalah sesosok roh paling kuat dari Bumi Keempat—dunia para roh—yang kemudian merasuki raga seorang manusia sekarat saat ia masuk ke Bumi Pertama. Roh itu lalu memutuskan untuk membentuk peradaban di Bumi Kedua yang tanpa manusia. Sedangkan, versi terakhir mengatakan, Giris adalah manusia dari Bumi Pertama yang mampu mengunjungi dua dunia, dan memiliki kemampuan mengendalikan sesuatu. Sepertinya orang-orang cenderung percaya dengan versi roh, sebab lebih masuk akal.”
Venus mengangguk-angguk paham. Jika Lan dan Meres juga menyimak penjelasan bocah bayi ini, mereka tak memperlihatkannya. Mungkin mereka memang enggan bersusah payah menjelaskan hal yang sudah jelas bagi mereka, bahkan kepada pendatang luar Bumi Kedua seperti Venus.
Mereka menaiki lima anak tangga sebelum menapak di lantai keramik berwarna perak pada teras tadi. Venus melihat, pilar-pilar yang menyangga atapnya juga berwarna perak—sejujurnya, segalanya tampak berwarna perak di sini—dan sepertinya bahkan memang sengaja dilapisi perak. Pilar-pilar itu diukir dengan gambar-gambar bernada gelap. Membuat Venus lumayan bergidik.
Di tengah-tengah bangunan itu terdapat dua pintu ganda yang berjarak sekitar tiga atau empat puluh meter. Selain kedua pintu tersebut, cuma ada jendela-jendela persegi panjang yang berderet dari ujung ke ujung. Venus tak tahu harus merasa kagum atau terintimidasi. Ini bangunan, atau replika luas sebuah kota yang mencoba dijadikan museum?!
Mereka terus melangkah, kali ini menuju pintu ganda yang sebelah kanan. Venus memandangi jendela-jendela gelap yang mereka lewati dengan penasaran. Andai saja ia bisa melihat penampakan apa yang ada di balik benda-benda mudah pecah itu. Tengkorak naga, mungkin? Atau puing-puing tak berguna?
Beberapa saat kemudian mereka tiba di pintu yang dituju. Pintu itu menjulang cukup besar dan dipertegas dengan pola serta ukiran-ukiran rumit. Venus bersyukur ukiran itu tidak semengerikan yang ada di pilar. Dan kemudian, Meres membuka pintu tersebut. Begitu saja.
Venus kira bakalan ada yang membukakan atau bagaimana. Ternyata realita tak sesuai ekspektasi. Bahkan di tempat aneh begini.
Menyebalkan.
“Sebenarnya ini tempat untuk apa, sih?” cetus Venus.
“Tempat untukmu belajar,” salak Meres. “Apalagi?!”
Lan menghela napas. Ia tersenyum pada Venus.
“Ini Volta Juana,” ucapnya lebih ramah, “selamat datang!”
Itu apa lagi? Semacam Marijuana? Venus diam-diam mengerang. Mau dunia narkoba atau pengendali marijuana, sebodoh amat! Sudah bego begini, kenapa tidak diteruskan saja?
Selamat datang di Volta Marij—eh, Juana!
Venus pikir mereka juga akan diantarkan ke dalam bangunan itu setelah Meres membuka pintu. Namun, ternyata ada seseorang yang sudah menunggu di balik pintu untuk menyambut, atau lebih tepat, mencoba mengintimidasi mereka. Orang itu adalah seorang lelaki paruh baya berbadan besar dan kekar. Tatapannya begitu dingin dengan bibir yang senantiasa merengut. Di mata Venus, Meres bahkan tampak lebih ramah dibandingkan orang ini.“Sudah selesai?” Pria itu bertanya pada Meres dengan suara berat.Meres cuma mengangguk, lalu ia keluar bersama Lan tanpa berkata apapun. Dan, dengan berani Venus mengganggu pria seram berpakaian serba putih di depannya itu. Tentu saja dengan perasaan agak keder.“Siapa Anda?” Suara Venus terdengar kecil, tapi ia tak peduli.Lelaki itu memandangnya, seketika menguarkan hawa dingin yang menakutkan. Gawat, Venus bakal ditelannya bulat-bulat!“Rokuga.”Venus membuang napas lega tanpa kentara
“Ehem!”Dengan kaget Venus menoleh dan melihat seorang cowok berbadan kekar sedang berdiri di samping Virzash. Wajah pendatang itu lumayan kekanak-kanakan, tapi Venus sama sekali tidak menganggapnya seperti bayi. Kulitnya sedikit gelap. Rambutnya yang berwarna agak cokelat itu dipotong sedemikian rupa, dengan belahan tengah dan poni. Seingat Venus, itu gaya idol-idol Korea di Bumi Pertama. Ada noda merah mencurigakan di bagian depan kausnya yang putih polos.Intinya, cowok itu sudah terlihat keren tanpa harus berusaha. Seandainya Virzash si cowok bayi merasa iri, Venus tak akan merasa kaget.“Aku duduk di sini, ya?” Si pendatang bertanya. Suaranya terdengar jail.“Berdiri pun kami tidak peduli,” sahut Lou ketus.Cowok tadi tertawa dan duduk di satu-satunya kursi yang tersedia.“Kalian berani, ya, duduk di sini,” ujar si cowok itu seraya nyengir pada kedua juniornya yang baru.&l
Bu Mana memindai tabletnya dengan konsentrasi, dan kemudian mulai memanggil nama anak-anak baru secara acak. Anak pertama bernama Kirka Sorawa. Gadis itu bertubuh kecil dan kurus, dengan wajah berbintik yang khas. Ia berjalan tersaruk-saruk dan hampir saja tersandung podium. Padahal Venus memperkirakan tinggi podium itu tidak sampai sejengkal. Venus begitu tegang, sampai-sampai kulit kepalanya pun terasa gatal. Benar-benar mengganggu.“Berdiri di tengah, Sayang,” kata Bu Mana sok manis.Dengan gugup Kirka menurut. Venus tak bisa melihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan Bu Mana, selain bahwa sedari tadi ia cuma menotol-notol layar tabletnya. Namun, tiba-tiba dari bawah podium terdengar bunyi desing halus, mengagetkan Kirka. Leher Venus melongok-longok seperti jerapah, dan bahkan harus berdiri gara-gara tempat duduk yang tidak strategis.Dari tepi bulatan podium itu, menyembullah setidaknya sembilan macam benda aneh beserta seekor gagak yang mema
Virzash berjalan dengan langkah-langkah cepat, diiringi tatapan para krona yang hampir semuanya tampak khawatir. Wajahnya memerah.Ada apa ini?“Seaneh itukah Bakat Ganda?” Venus langsung bertanya begitu Virzash tiba di kursinya.Virzash menggaruk telinganya sembari bertopang di atas meja. Wajahnya agak menunduk, menghindari tatapan anak-anak lain; junior maupun senior.“Ini Bakat langka,” katanya pelan. “Kurasa aku mendapatkan warisan Bakat ini dari nenekku yang ketiga.”“Hah? Bagaimana?” sambar Venus tak mengerti. “Nenek ketiga bagaimana?”“Neneknya nenek nenekku,” jawab Virzash membingungkan.Rupanya dia melihat ekspresi Venus yang kosong, sebab ia lantas menjelaskan, “Nenekku punya nenek. Nah, neneknya nenekku ini punya nenek lagi. Nenek itulah yang kumaksud.”Shad berdecak kesal.“Itu tidak penting, tahu?!” Shad menukas s
Venus ingat saat ia turun dari podium, setelah Bu Mana mengumumkan dengan gemetar bahwa ia adalah seorang Bizura, seluruh yang ada di ruangan besar itu menjadi sangat hening. Pandangan para murid lain sungguh membuat gadis itu menggigil. Mereka menatapnya dengan sorot mata seakan dia adalah malaikat pencabut nyawa berwujud kalajengking raksasa. Ada ketakutan dan kekhawatiran yang begitu besar dalam tatapan mereka, tetapi yang paling membuat Venus takut adalah sorot kebencian yang tidak dikemukakan secara jelas oleh mereka. Kebencian itu tertutup oleh rasa takut, tetapi kau bisa merasakannya dengan jelas di udara.Venus berjalan dengan langkah-langkah yang ia usahakan agar tetap tenang. Namun, udara seperti memaksanya untuk berhenti dan bersembunyi. Tatapan ratusan siswa dan belasan krona di ruangan itu menghunjam punggung dan seluruh tubuhnya. Rasa dingin yang menakutkan menyebar hingga ke dalam tulang-tulangnya. Rasanya butuh bertahun-tahun kemudian, sebelum akhirnya Venus t
Krona itu menjelaskan, hanya murid-murid yang menghuni asrama terkait yang bisa memasukinya. Sebab, murid terkait harus memindai matanya sebelum masuk. Saat itu Venus bertanya, bagaimana bisa Volta Juana bisa memindai mata seorang murid baru dan asing seperti dirinya, sementara mereka baru datang hari ini di sini? Pak Saka menjawabnya dengan mengatakan bahwa data dan identitas mereka sudah didaftarkan sejak mereka masih bayi, termasuk sidik jari dan identitas mata seperti ini.“Mungkin ayahmu sempat mengurus segalanya setelah kau lahir,” gumam Virzash pada Venus yang kebingungan.Pemikiran bahwa ayahnya masih memiliki setitik kepedulian, bahkan hanya untuk mengurus keperluan sesepele sekolah di dimensi lain, sungguh membuat Venus merasa setidak-tidaknya berharap.Perlu beberapa saat sebelum tiba giliran Venus untuk memindai matanya. Pemindai mata itu berada di tembok samping pintu, dan meskipun pintu sudah terbuka sejak murid pertama memindai matanya
Rasanya Venus baru saja bermimpi tentang dirinya yang sedang berduel dengan seekor belalang raksasa, ketika suara alarm yang sangat melengking menyentaknya, hingga ia bangun dan terduduk tiba-tiba. Gara-gara itu pandangannya jadi agak berkunang-kunang. Venus mengerang dan berbaring lagi selama beberapa detik. Diraihnya tablet di atas nakas. Hari masih menunjukkan pukul 6 pagi, dan ada sebuah pesan masuk di gawai itu dengan bunyi berdenting keras satu kali. Gadis itu membuka pesannya dengan tangan masih memeluk guling. Pesan itu berisi jadwal pelajaran untuk siswa baru kelas satu. Venus berkedip-kedip membaca jadwal pada hari ini.Venus mengeluh. Ia mencoba tidur lagi, tetapi semenit kemudian suara alarm kembali menyentak telinganya.“Duh, Gusti!”Ia duduk dan menatap langit-langit kamarnya, berharap bisa menemukan mata-mata teknologi yang sedang mengawasinya. Sambil mengucek matanya, Venus mencoba menanyakan hal itu pada gawainya. Ia tak mengira bend
“Jadi, apakah ada yang tahu apa batasan dalam menggunakan Bakat?”Saat ini, Venus dan seluruh murid kelas satu sedang berbaris di tengah-tengah sebuah lapangan tertutup. Dinding-dinding hitam yang mengelilingi tanah lapang itu tampak berdiri angkuh, seakan ingin menghalangi siapapun yang ingin masuk ke lapangan itu tanpa izin. Mereka berada di sana dalam rangka praktik pelajaran Pengembangan Bakat, tepat setelah jam istirahat selesai.Pak Zub, krona pelatih berwajah tegas yang barusan bicara, memandang wajah-wajah di depannya dengan tajam. Venus menoleh pada Virzash dan menatapnya.“Apa?” bisik Virzash, merasa terganggu.“Kau tahu jawabannya?” selidik Venus.“Kau tidak pernah membuka tabletmu?”Venus memutar bola mata.“Kau berkata seakan kau sudah tahu,” gumam Venus sebal. “Kenapa tidak menjawab pertanyaan dari Pak Zub, kalau begitu?”Wajah Virzash memerah