Bu Mana memindai tabletnya dengan konsentrasi, dan kemudian mulai memanggil nama anak-anak baru secara acak. Anak pertama bernama Kirka Sorawa. Gadis itu bertubuh kecil dan kurus, dengan wajah berbintik yang khas. Ia berjalan tersaruk-saruk dan hampir saja tersandung podium. Padahal Venus memperkirakan tinggi podium itu tidak sampai sejengkal. Venus begitu tegang, sampai-sampai kulit kepalanya pun terasa gatal. Benar-benar mengganggu.
“Berdiri di tengah, Sayang,” kata Bu Mana sok manis.
Dengan gugup Kirka menurut. Venus tak bisa melihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan Bu Mana, selain bahwa sedari tadi ia cuma menotol-notol layar tabletnya. Namun, tiba-tiba dari bawah podium terdengar bunyi desing halus, mengagetkan Kirka. Leher Venus melongok-longok seperti jerapah, dan bahkan harus berdiri gara-gara tempat duduk yang tidak strategis.
Dari tepi bulatan podium itu, menyembullah setidaknya sembilan macam benda aneh beserta seekor gagak yang memandang sekitar tanpa kenal takut. Kesembilan benda yang tampak mengepung Kirka itu adalah batu sekepalan tangan, besi batang seukuran palu, air dalam bejana kaca, lilin dalam cawan yang menyala, toples kaca kosong yang terbuka, segenggam tanah merah (tanah kuburan? Haha), tanaman imut dalam pot, sepasang lidi logam yang mengeluarkan benang-benang listrik, dan es balok di atas tatakan logam aneh berbentuk persegi panjang (tidak takut cair, tuh?).
Venus duduk kembali dengan bibir mengerucut dan kening berkerut. Tanpa ia sadari ketegangannya mereda.
“Untuk apa semua itu?” Venus bergumam, lagi-lagi tidak pada siapa-siapa, sambil terus mengawasi Bu Mana. “Sirkus? Sulap? Parade puing-puing tak berguna?”
Entah kenapa rekan-rekan semejanya tak ada yang merespon. Venus akhirnya menoleh dan mendapati mereka berempat sedang memandanginya dengan aneh.
“Ada yang salah?” tanya Venus defensif.
Yang ia dapat cuma dengusan empat ekor anak tak berperikeremajaan.
Sialan.
Suara koor “ah” menyadarkan Venus. Objeknya adalah Kirka yang juga tampak terpesona. Matanya melebar dan mulutnya terbuka. Lagi-lagi Venus harus berdiri dan menjulurkan leher.
Di depan Kirka, batu yang tadinya berada di bawah, kini berangsur mengapung dan melayang hingga setinggi kurang lebih satu meter. Beberapa detik kemudian batu itu kembali ke tempatnya semula. Bu Mana tersenyum sambil bertepuk tangan, dan semua orang meneladaninya.
“Selamat, selamat!” Bu Mana berseru riang pada Kirka. “Nah, silakan kembali ke tempat dudukmu, Sayang!”
“Apa yang selamat?” Venus lagi-lagi bertanya, kali ini pada ketiga senior di depannya. Ia tak mau diabaikan lagi. “Dan, serius, benda-benda itu apaan, coba?”
“Selamat karena dia ternyata seorang pengendali batu,” ujar Ris masuk akal. “Dan, serius juga, Bu Mana sudah mengatakan di awal bahwa ini sesi Pemilihan Bakat. Berarti benda-benda itu adalah objek penentu Bakat!”
“Ya, itu benar,” timpal Lou sinis. “Tapi maksudnya selamat adalah, karena si Kirka ini bukan termasuk orang yang berbahaya. Ha ha.”
“Yang benar itu karena dia orang normal,” Shad ikut menimbrung. “Artinya lebih biasa daripada kami bertiga dijadikan satu.”
“Apa bedanya dengan tidak berbahaya?!” Lou menyentak sebal.
Mereka berdua kembali berdebat.
Venus tertawa setengah hati sambil berpandangan dengan Ris dan Virzash.
“Oke,” kata Venus akhirnya, memutuskan dalam hati bahwa jawaban Ris adalah yang paling benar, sekaligus menengahi perdebatan Shad-Lou secara tidak sengaja.
Sesi Pemilihan Bakat berlangsung dengan cepat. Namun, hal itu justru membuat ketegangan Venus kembali memuncak. Semakin banyak yang teridentifikasi, semakin ia menjadi keder dan tidak fokus. Venus hampir-hampir tidak menyadari beberapa nama yang kedengarannya seperti berasal dari Bumi Pertama. Acap kali ditatapnya Virzash yang terlihat sama tidak tenangnya dengan dia, meski mungkin dengan alasan yang sama sekali berbeda.
“Virzash Venosa!”
Virzash berdiri begitu mendadak hingga hampir menjungkalkan kursinya sendiri ke belakang. Telinganya merona merah jambu, membuat beberapa anak kontan tertawa pelan. Meski begitu, ia berjalan dengan langkah-langkah percaya diri. Atau setidaknya, Venus kira begitu. Ditahan-tahannya tawa yang hampir menyembur keluar.
Menggemaskan benar dia ini. Namanya juga bayi.
Begitu tiba di tengah-tengah podium, ruangan jadi agak berdengung seperti rumah tawon. Bu Mana mencoba mengatasi hal itu dengan agak-agak menghardik. Venus menyeringai, tahu betul bahwa yang dihardik sedang membicarakan apa.
Setelah jangka waktu yang hampir semenit, tak lupa dibumbui mimik bingung dan khawatir Bu Mana, serta bisik-bisik seantero ruangan, Bakat Virzash akhirnya mengemuka juga. Es balok yang sedari tadi cuma meleleh sedikit (karena tatakan logam berteknologi?) mulai melayang dengan agak goyah.
Kemudian, sumber kasak-kusuk selanjutnya pun terjadi.
Es itu tidak berhenti di ketinggian satu meter seperti yang sudah-sudah, melainkan terus hingga sejajar dengan kepala Virzash. Ekspresi terkejut yang begitu dramatis tampak menghiasi wajah Bu Mana. Ia menoleh kepada para krona dan memandang agak lama pada Pasirr, seperti sedang melakukan telepati-gawat-darurat-secepat-kilat. Namun yang dipandang tampak terbelalak menatap punggung Virzash. Venus menoleh pada trio senior di depannya dengan bingung.
“Apa ada yang salah?” Venus berbisik.
“Dik!” Lou kontan mencelanya dengan nada tertahan. “Kenapa harus tanya hal yang sudah jelas, sih?!”
“Itu tidak—”
Venus praktis tidak tahu apa sebenarnya yang akan dikatakan Ris, sebab saat itu ruangan dipenuhi seruan yang terdengar lebih kaget dari sebelumnya.
Es balok di hadapan Virzash belum lagi turun, saat api yang berasal dari lilin dalam cawan tiba-tiba ikut melayang dan berakhir tepat di samping balok es. Api itu berkobar sedikit lebih besar dari semula. Kedua jenis Bakat tersebut bertahan selama dua detik, sebelum akhirnya kembali turun. Selama sekian detik, ruangan benar-benar hening.
Bu Mana berdeham-deham memecah kesunyian ganjil itu dan menotol-notolkan jari lagi pada tabletnya. Ia mengusap dahi dengan tangan, seakan dengan berbuat begitu saja sudah membuatnya kelelahan.
“Virzash Venosa,” ucap Bu Mana agak kaku, “anugerah Api dan Es tertanam dalam jiwamu. Kau adalah seorang Ganda. Silakan kembali ke tempat dudukmu.”
Virzash berjalan dengan langkah-langkah cepat, diiringi tatapan para krona yang hampir semuanya tampak khawatir. Wajahnya memerah.Ada apa ini?“Seaneh itukah Bakat Ganda?” Venus langsung bertanya begitu Virzash tiba di kursinya.Virzash menggaruk telinganya sembari bertopang di atas meja. Wajahnya agak menunduk, menghindari tatapan anak-anak lain; junior maupun senior.“Ini Bakat langka,” katanya pelan. “Kurasa aku mendapatkan warisan Bakat ini dari nenekku yang ketiga.”“Hah? Bagaimana?” sambar Venus tak mengerti. “Nenek ketiga bagaimana?”“Neneknya nenek nenekku,” jawab Virzash membingungkan.Rupanya dia melihat ekspresi Venus yang kosong, sebab ia lantas menjelaskan, “Nenekku punya nenek. Nah, neneknya nenekku ini punya nenek lagi. Nenek itulah yang kumaksud.”Shad berdecak kesal.“Itu tidak penting, tahu?!” Shad menukas s
Venus ingat saat ia turun dari podium, setelah Bu Mana mengumumkan dengan gemetar bahwa ia adalah seorang Bizura, seluruh yang ada di ruangan besar itu menjadi sangat hening. Pandangan para murid lain sungguh membuat gadis itu menggigil. Mereka menatapnya dengan sorot mata seakan dia adalah malaikat pencabut nyawa berwujud kalajengking raksasa. Ada ketakutan dan kekhawatiran yang begitu besar dalam tatapan mereka, tetapi yang paling membuat Venus takut adalah sorot kebencian yang tidak dikemukakan secara jelas oleh mereka. Kebencian itu tertutup oleh rasa takut, tetapi kau bisa merasakannya dengan jelas di udara.Venus berjalan dengan langkah-langkah yang ia usahakan agar tetap tenang. Namun, udara seperti memaksanya untuk berhenti dan bersembunyi. Tatapan ratusan siswa dan belasan krona di ruangan itu menghunjam punggung dan seluruh tubuhnya. Rasa dingin yang menakutkan menyebar hingga ke dalam tulang-tulangnya. Rasanya butuh bertahun-tahun kemudian, sebelum akhirnya Venus t
Krona itu menjelaskan, hanya murid-murid yang menghuni asrama terkait yang bisa memasukinya. Sebab, murid terkait harus memindai matanya sebelum masuk. Saat itu Venus bertanya, bagaimana bisa Volta Juana bisa memindai mata seorang murid baru dan asing seperti dirinya, sementara mereka baru datang hari ini di sini? Pak Saka menjawabnya dengan mengatakan bahwa data dan identitas mereka sudah didaftarkan sejak mereka masih bayi, termasuk sidik jari dan identitas mata seperti ini.“Mungkin ayahmu sempat mengurus segalanya setelah kau lahir,” gumam Virzash pada Venus yang kebingungan.Pemikiran bahwa ayahnya masih memiliki setitik kepedulian, bahkan hanya untuk mengurus keperluan sesepele sekolah di dimensi lain, sungguh membuat Venus merasa setidak-tidaknya berharap.Perlu beberapa saat sebelum tiba giliran Venus untuk memindai matanya. Pemindai mata itu berada di tembok samping pintu, dan meskipun pintu sudah terbuka sejak murid pertama memindai matanya
Rasanya Venus baru saja bermimpi tentang dirinya yang sedang berduel dengan seekor belalang raksasa, ketika suara alarm yang sangat melengking menyentaknya, hingga ia bangun dan terduduk tiba-tiba. Gara-gara itu pandangannya jadi agak berkunang-kunang. Venus mengerang dan berbaring lagi selama beberapa detik. Diraihnya tablet di atas nakas. Hari masih menunjukkan pukul 6 pagi, dan ada sebuah pesan masuk di gawai itu dengan bunyi berdenting keras satu kali. Gadis itu membuka pesannya dengan tangan masih memeluk guling. Pesan itu berisi jadwal pelajaran untuk siswa baru kelas satu. Venus berkedip-kedip membaca jadwal pada hari ini.Venus mengeluh. Ia mencoba tidur lagi, tetapi semenit kemudian suara alarm kembali menyentak telinganya.“Duh, Gusti!”Ia duduk dan menatap langit-langit kamarnya, berharap bisa menemukan mata-mata teknologi yang sedang mengawasinya. Sambil mengucek matanya, Venus mencoba menanyakan hal itu pada gawainya. Ia tak mengira bend
“Jadi, apakah ada yang tahu apa batasan dalam menggunakan Bakat?”Saat ini, Venus dan seluruh murid kelas satu sedang berbaris di tengah-tengah sebuah lapangan tertutup. Dinding-dinding hitam yang mengelilingi tanah lapang itu tampak berdiri angkuh, seakan ingin menghalangi siapapun yang ingin masuk ke lapangan itu tanpa izin. Mereka berada di sana dalam rangka praktik pelajaran Pengembangan Bakat, tepat setelah jam istirahat selesai.Pak Zub, krona pelatih berwajah tegas yang barusan bicara, memandang wajah-wajah di depannya dengan tajam. Venus menoleh pada Virzash dan menatapnya.“Apa?” bisik Virzash, merasa terganggu.“Kau tahu jawabannya?” selidik Venus.“Kau tidak pernah membuka tabletmu?”Venus memutar bola mata.“Kau berkata seakan kau sudah tahu,” gumam Venus sebal. “Kenapa tidak menjawab pertanyaan dari Pak Zub, kalau begitu?”Wajah Virzash memerah
Kesepuluh Pelatih Sementara berseru-seru kepada kelompoknya masing-masing, menggiring mereka untuk keluar dari lapangan tertutup tersebut. Ekspresi murid-murid baru terlihat panik dan agak takut, tetapi para pelatih menyarankan untuk tetap tenang agar tidak mengacaukan suasana. Meski begitu, kaki mereka melangkah lebih cepat daripada sekadar berjalan saja.Venus menoleh pada Virzash, merasa bingung harus bagaimana. Pak Zub saat itu sedang menengadahkan kepala, matanya seperti mencari-cari sesuatu. Krona beruban itu sama sekali tidak menghiraukan Venus dan Virzash.“Kita pergi sendiri atau bagaimana?” bisik Venus tegang, meski gadis itu tak tahu apa tepatnya yang membuat ia tegang.Virzash menatap separuh anak-anak lain yang sudah setengah jalan menuju pintu keluar.“Kita susul mereka sajalah,” Virzash memutuskan, matanya mengerling Pak Zub. “Krona pelatih ini sepertinya bahkan tidak akan sadar kalau kita hilang. Yuk!”
Sekali lagi, Venus terbangun di kegelapan. Tubuhnya begitu lemah. Membuka mata pun terasa seperti sebuah pekerjaan yang melelahkan.Kemudian, ia ingat dengan apa yang telah terjadi.Gadis itu mengeluh. Ia memijit dahinya yang masih bekernyut nyeri. Tangan Venus meraba perutnya, merasakan sakit yang kini sudah tidak ada lagi. Jantungnya tak lagi terasa nyeri. Ia bisa bernapas sebaik manusia sehat manapun.Venus mencoba membuka mata lagi, berpikir dengan sadar bahwa membuka mata atau tidak, pemandangan yang tersedia tetap tidak akan berubah.Yang ada hanya kegelapan.“Tuhan, aku di mana?” bisik Venus merana.Kenangan tentang Portal Gelap membuatnya panik. Jika dulu portal itu menariknya masuk ke Bumi Kedua, bagaimana jika portal yang ini menariknya keluar dan kembali ke Bumi Pertama? Kembali kepada keluarga angkatnya?Atau, jangan-jangan Venus sebenarnya sudah mati? Apakah kematian seorang volt selalu begini? Terdampar di ke
Bayang-bayang terpelesat ke sana kemari. Wujud mereka seperti malaikat kematian yang enggan meninggalkan makhluk bernapas hidup-hidup. Suaranya bagai angin yang berdesau, seirama dengan gerakan tak bertubuh citra tersebut.Siluet seorang pria dan seorang wanita tampak berdiri di tengah-tengah kepungan itu, berdiri dan saling berhadapan, seakan tak ada yang lebih penting daripada itu. Gerak bibir mereka seperti sedang berbicara.Citra kelabu itu perlahan memudar menjadi kabut yang mengaburkan penglihatan. Suara tawa tiba-tiba menggelegar, menciptakan gema yang menggiriskan hati, seakan ia keluar dari palung kematian.Bintik-bintik gelap dengan cepat menyebar, menutup sepetak kelabu yang tersisa. Namun, gema tawa itu masih ada. Menggoncang jiwa. Seandainya mungkin, orang mati pun niscaya terbangun kembali, lalu kembali mati berkubang ketakutan.Saat tawa itu berhenti, sebuah kesadaran tampak menunjukkan keberadaannya. Kesadaran itu menggigil seakan tengah b