Share

Terlahir Kembali

Napas Venus tersentak keluar. Ia membuka mata kaget, segera setelahnya berkedip-kedip saat cahaya membutakannya.

Venus menghela tubuhnya, tetapi langsung terhempas kembali. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya.

Kepala Venus serasa akan pecah; perutnya mual luar biasa. Cairan pahit berkali-kali naik ke tenggorokannya, tapi Venus selalu menelannya lagi dan lagi.

(Anda menjijikkan sekali, Venus.) Tiba-tiba Mustaka bertelepati. Nadanya terdengar jijik.

(Diam.) Pikir Venus padanya.

Venus mengaduh pelan saat kakinya tiba-tiba berdenyut nyeri. Ia menunduk dan mendapati belitan perban di pahanya yang sempat terluka.

Kenangan membanjiri pikiran Venus tiba-tiba. Ia mencengkeram kepalanya saat ingatan itu datang bertubi-tubi seraya membawa rasa sakit tak masuk akal di sana.

Seakan belum cukup, telinganya berdenging luar biasa.

Venus berteriak; teriakan anak itu serak, dan itu menyakiti tenggorokannya.

Benda tajam serasa menusuk-nusuk kedua lubang telinga Venus. Ada seseorang yang memukulkan gada besi ke kepalanya. Seorang lagi tengah mengaduk-aduk perutnya; mual anak itu lebih parah dari sebelumnya.

“Hei, hei!”

Samar-samar Venus melihat siluet seorang pria yang dengan cepat melakukan sesuatu ke atas tubuh Venus.

Perlahan tapi pasti, semua rasa sakit Venus berkurang. Gadis tanggung itu tersengal-sengal menghirup udara; seakan ia baru saja terserang penyakit jantung dan bukannya hal lain.

“Terima kasih,” desah Venus serak pada pria berpakaian serba hijau di sampingnya.

Pria itu mengangguk tanpa ekspresi, lalu menyingkir dan keluar dari ruangan tersebut. Venus baru menyadari ada orang lain selain dirinya dan si penyembuh tadi.

“Ildara,” sapa Venus kaku.

Ildara masih seperti yang terakhir kali Venus lihat; rambut pendek, gaun hitam dengan belahan dada rendah, riasan tebal.

Mata Ildara yang kini jelas terlihat kemerahan menatap Venus dengan geli. Ia memutar sesuatu di bawah ranjang Venus. Sedetik kemudian bagian atas ranjang itu naik hingga posisi Venus berubah hampir duduk.

Ildara mengambil segelas air yang sudah disiapkan di atas nakas. Wanita dewasa itu menyodorkannya pada Venus.

Venus menatap gelas berisi air itu selama sesaat. Sekali lagi ia mengalami deja vu: apa yang dilakukan Ildara, tempat Venus berbaring, segelas air. Semuanya mengingatkan anak itu saat teman-temannya mengunjungi Venus di rumah sakit Volta Juana.

Hal itu, tanpa bisa dicegah Venus, juga mengingatkan tentang Virzash yang secara langsung menjadi mata-mata pribadi Amerta.

Salah satu tangan Venus terkepal. Tangan lainnya mengambil gelas di tangan Ildara dengan pikiran waspada.

Amerta sudah mati. Namun siapa yang tahu maksud dari Ildara menyelamatkannya?

Venus meminum air itu sesedikit mungkin. Ia menunggu beberapa saat sambil terus mengawasi Ildara dari atas gelasnya.

“Ada apa?” Ildara menyeringai. “Menunggu adanya racun?”

Venus meneguk air itu hingga tandas. Lalu ia memberikan gelas itu lagi pada Ildara yang masih menyeringai.

“Kenapa?” Venus bersuara.

Ildara duduk di kursi di samping ranjang Venus dengan sikap anggun.

“Apanya?” ia balik bertanya.

Venus tak melepas tatapannya pada Ildara.

“Kenapa kau menyelamatkan aku?” urai Venus dingin. “Kau kaki tangan Amerta. Dia sudah mati. Jadi, kenapa?”

Ildara tersenyum mengejek. “Saat Amerta hidup, aku patuh padanya. Saat dia mati, aku patuh pada Kaisar.”

Dahi Venus berkerut bingung. Semua hal tampak bermuara ke satu titik: Druiksa atau Kaisar Azafer.

“Kau pasti bingung,” ujar Ildara lagi. “Bisa dipahami. Kujelaskan satu hal padamu: bukan dia yang mengendalikan pasukannya selama ini. Namun Giris Druiksa. Kakeknya.”

Otak Venus makin kacau. Telinga dan kepalanya berdenyut nyeri lagi.

“Kau mau bilang bahwa Amerta cuma jadi boneka buat buyutku?” Venus bertanya-tanya.

Ildara tertawa. “Senang mendengarmu mengakui sebutan buyut itu.”

Venus teringat visi-visi itu lagi. “Dia yang sudah menyelamatkan aku. Berkali-kali.”

Ildara tak henti-hentinya menyeringai. “Benar sekali. Mengenai boneka Amerta … dia sendiri yang meminta itu. Druiksa hanya membantu.”

Venus menggeleng-geleng tak habis pikir. “Sesederhana itu?”

Ildara mendengus. “Pikir saja sendiri, Bizura. Bagaimana seseorang bisa hidup selama lebih dari empat abad; sama sekali tak menua, bisa mengendalikan ini-itu, tak terkalahkan? Apa benar Druiksa sekadar ‘membantu’ sebagai bentuk rasa sayang terhadap cucunya?”

Venus memikirkan kata-kata Ildara. Ia tak tahu apa-apa tentang konsep bantu-membantu antara volt dan kegelapan; tetapi jelas, semua hal yang ada di dunia ini ada timbal baliknya.

“Amerta harus membayarnya dengan apa?” Venus bertanya perlahan.

“Jiwa,” jawab Ildara singkat.

Venus menatapnya, diam-diam merasa ngeri. “D-Druiksa menahan jiwa Amerta … seperti setan menahan jiwa manusia yang telah memujanya?”

Ildara terkekeh. “Iya, dan tidak.”

“Kau membuatku bingung, Ildara!” tukas Venus geram.

“Druiksa hanya membantu,” papar Ildara lebih sabar. Namun senyumannya makin lama makin menakutkan. “Dengan apa? Dengan menjadi perantara antara Amerta dengan Kaisar.”

Venus mengerjap-ngerjap. “Kaisar Azafer?”

Ildara mengangguk senang. “Dari dialah Amerta mendapatkan keabadian dan kemampuan mengendalikan makhluk-makhluk dari Bumi Ketiga. Dan cuma Kaisar-lah yang mampu mengalahkan orang itu.”

Venus merinding. “Jadi, Amerta mati bukan karena aku?”

“Tidak semudah itu membunuh seorang Bizura abadi yang mendapat kekuatan dari memuja Penguasa Empat Dimensi!” Ildara lantas tertawa mencemooh. “Amerta mati karena Kaisar sudah lama muak dengannya, dan kini perhatiannya teralih padamu. Jadi, meski Amerta telah mematuhi syarat-syarat untuk bisa mendapat apa yang dia inginkan, Kaisar punya hak penuh untuk menariknya lagi.”

“Bagaimana kau bisa tahu semua ini, Ildara?” Venus terheran-heran dengan ngeri.

“Bukankah sudah jelas?” Ildara berdiri dan beranjak keluar ruangan. “Aku tangan kanan Yang Mulia Kaisar Azafer. Seseorang yang mengantar Venus-bayi di rumah keluarga Samudera. Apakah jawaban itu membantu?”

• •

Malam itu Venus terbangun lagi di mimpi yang sama.

Bukan mimpi, Venus menyanggah pikirannya sendiri. Namun visi. Visi yang nyata.

“Kau tampak kebingungan, Putri Bizura. Begitu kebingungan.”

Suara Kaisar yang berdendang terdengar begitu memenuhi pendengaran Venus. Namun, saat anak itu menoleh, tak ada tanda-tanda keberadaan siluet Druiksa di mana pun.

“Druiksa sedang pergi ke suatu tempat, Bizura. Dia sedang pergi.”

Venus menatap—atau setidaknya mencoba memandang tempat mata seharusnya berada di siluet Kaisar yang berbentuk kepala. “Apa yang membuatmu tertarik padaku, Kaisar? Apa karena Bizura?”

Tawa Kaisar berdenting merdu. Namun, saat ia berdendang lagi, suaranya setajam silet. “Bukan karena Bizura, tapi karena masa depanmu, Titisan Giris. Karena masa depanmu.”

“Ada apa dengan masa depanku?” tanya Venus tak mengerti.

Kaisar tertawa lagi. “Kegelapan. Aku suka kegelapan.”

Punggung Venus meremang. Cara Kaisar mengatakannya seakan ia menikmati segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal buruk.

“Apa wujudmu yang sebenarnya?” Tiba-tiba Venus berbisik. “Juga Kakek. Kenapa kalian hanya muncul sebagai bayang-bayang?”

Kaisar Azafer bergumam rendah, “Hanya orang mati yang bisa melihat wujud asli kami, Putri Bizura. Hanya orang yang telah mati.”

Lagi-lagi Venus merinding.

“Apa yang kau lakukan setelah ini, Bizura? Apa yang kau lakukan?” Kaisar bertanya pelan. “Akankah kau kembali ke Bumi Pertama? Atau tetap di Bumi Kedua? Tentukan, Bizura. Tentukan.”

Venus mengesampingkan pertanyaan-pertanyaan Kaisar. Ia justru malah balik bertanya, “Kau bilang aku harus membayarnya. Bagaimana caraku bisa membayar?”

Bayang-bayang Kaisar membelai pipi Venus. “Dengan kepercayaan, Putri Bizura. Dengan kepercayaan.”

Bayang-bayang gelap itu seakan tersedot masuk ke tubuh Venus yang tak terlihat. Venus berdengap; ia memanggil-manggil Kaisar dengan panik.

Namun, kesadaran dunia nyata menariknya paksa. Ia terbangun begitu kaget dengan napas menderu.

Venus memandang jendela di seberang ruangannya. Langit masih gelap, dan hujan turun dengan deras. Petir dan guntur menggelegar; sekejap-sekejap menerangi ruangan Venus yang lampunya dimatikan.

Venus menarik napas ringan. Hatinya tiba-tiba merasa jauh lebih tenang. Venus mengangkat jari-jarinya ke atas.

Ada perasaan baru yang timbul dalam hati Venus. Begitu memabukkan, begitu tak tertahankan.

Saat jari-jemari Venus membentuk kepalan tangan, ia tersenyum dengan cara yang tak wajar. Hatinya meneriakkan kata bebas; dan ia merasa bahagia karenanya.

(Ada apa dengan Anda, Venus? Saya merasakan keanehan di raga Anda.)

“Kekuatan baru, Mustaka,” risik Venus sambil memejamkan mata lagi. “Kekuatan baru.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status