Share

Keinginan yang Kuat

Venus pernah berpikir bahwa hidupnya akan jadi mengesankan, jika ia melakukan kebaikan seperti seorang pahlawan super. Namun, pemikiran itu datang jauh sebelum ia berubah jadi berani.

Pernah suatu kali di Bumi Pertama, saat ia baru saja masuk sekolah kanak-kanak, saat pertama kali Bima—ayah angkat Venus—membentaknya.

Saat itu Venus mencoba berkenalan dengan seorang anak yang sedang menangis. Ia pikir ia bisa menghentikan tangis anak itu.

Tangis anak itu berhenti, tapi Venus mengacaukan segalanya.

Saat jam sekolah selesai, ada seekor nyamuk yang hinggap di pipi teman barunya itu. Secara spontan Venus menampar serangga itu; dengan tak sengaja melakukannya terlalu keras.

Ibu anak yang pipinya kena tepuk oleh Venus marah karena anaknya kembali menangis; bahkan lebih keras dari sebelumnya. Venus meminta maaf, tapi ibu si anak masih terlihat marah.

Bima nyaris menyeret Venus saat mereka pulang hari itu. Begitu tiba di rumah, Bima langsung mencerca Venus dengan nada tertahan. “Kenapa kau menampar anak itu?!”

“Ada nyamuk di pipinya, Yah,” kata Venus ketakutan.

“Lalu kenapa kau menamparnya?” bentak Bima berang. “Kau membuatku malu, tahu?”

Saat itu Venus hanya bisa menangis. Tersengguk-sengguk Venus kecil menjelaskan bahwa perut si nyamuk sudah merah, dan ia tak ingin membiarkan nyamuk itu pergi.

Namun, Bima masih tampak marah. Dengan suara mendesis, ia menyuruh Venus cepat makan lalu tidur. Setelahnya Bima sendiri segera pergi lagi entah ke mana.

Sejak saat itu Venus dikenal sebagai tukang tampar. Tak ada yang mau jadi temannya.

Venus kecil cuma bisa menangis sendirian di rumah. Pribadinya pelan-pelan berubah menjadi pendiam. Ia nyaris tak ingin pergi ke sekolah, tapi urung saat Venus melihat kemarahan ayah angkatnya.

Venus pernah mencoba berteman lagi saat ia memasuki kelas empat sekolah dasar. Namun, ia hampir jadi bahan perundungan karena ia memilih teman yang dianggap terbelakang.

Dari situ, sifatnya yang pendiam perlahan mulai hilang. Ia tak tega saat melihat anak-anak senior mulai melakukan perundungan di belakang sekolah.

Saat Venus beranjak ke SMP, ia selalu melaporkan hal itu ke pihak sekolah. Anak-anak perundung itu dihukum keras; tapi Venus juga terkena imbasnya.

Sepulang sekolah, selalu ada anak-anak yang mencegatnya. Mereka terkadang menjambak atau membuang tas Venus ke selokan. Beberapa dengan tega menginjak tubuhnya tanpa perasaan.

Venus selalu melawan, tapi ia kalah jumlah. Pada akhirnya ia pulang dengan pipi atau lengan lebam; terkadang dengan tas berlumur lumpur bau.

“Apa lagi yang kau lakukan, anak nakal?!” bentak Bima di awal perundungan Venus waktu itu.

Venus menunduk seraya menggertakkan gigi. “Aku cuma melaporkan anak-anak yang suka menyiksa anak lain, Ayah. Tapi mereka mencegatku di tengah jalan. Aku—”

“Berhenti berlaku sok berani,” potong Bima dingin. “Hentikan itu.”

Venus menatap Bima yang saat itu masih dianggapnya seorang ayah kandung dengan marah.

“Tapi mereka itu jahat!” teriaknya.

Bima menunduk hingga wajahnya sejajar dengan wajah Venus. “Jadi, kau memutuskan untuk tetap jadi pembela? Silakan saja. Tapi jangan pernah melibatkan aku.”

Bima berderap pergi mengendarai mobilnya entah ke mana. Venus berteriak frustrasi; sadar ia tak akan pernah benar-benar memiliki ayahnya sepenuhnya.

Venus pasti akan merasa tertekan jika saja tak ada foto ibunya yang selalu ia peluk setiap malam. Melalui gambar itu kekuatan seperti terpompa ke tubuhnya.

Venus selalu bisa menghibur dirinya sendiri. Ia bahkan mulai belajar membela diri sedikit-sedikit melalui film-film aksi ataupun video-video ilmu bela diri.

Saat gadis itu memasuki kelas sepuluh SMA, pribadinya berubah menjadi lebih berani. Ia sudah cukup kuat menghadapi para perundung yang mencegatnya di jalan.

Bahkan keberaniannya juga masih terbawa sampai ia memasuki Volta Juana. Saat Venus menghampiri Ris dan Lou hingga menyebabkan ketidaksukaan murid-murid lain padanya.

Namun, cukup sampai di situ.

Kini, Venus tak punya lagi keinginan menjadi orang baik.

Buat apa? Ia berpikir. Sendirian ia berbuat baik, tanpa dukungan Bima, hanya dibantu sebagian kecil teman-teman yang lemah. Usahanya untuk selalu bergembira juga tak berguna.

Venus merasa lelah.

Tumpuan harapan kebaikan berupa sosok ibu baik hati dalam sebuah foto telah pupus. Harapan hidup akan jadi lebih baik di Bumi Kedua juga sama kandasnya.

Venus tak bisa terus-terusan menjadi baik; atau kematian benar-benar akan menyentuh jiwanya.

Hati Venus berubah. Pandangan dan pikirannya tak lagi sama, saat anak itu melihat sebagian kecil dunia melalui jendela kamar tidurnya.

Sekali, Venus sempat berpikir akan kembali ke Bumi Pertama dan menjalani kehidupan sebagai seorang manusia biasa.

Namun, ia kembali teringat dengan fakta bahwa bukan di sana tempat ia berada. Orang-orang akan tetap menganggap remeh Venus.

Hanya orang-orang lemah yang akan mendukungku, batin Venus dingin.

Saat berpikir tentang hidup damai di Bumi Kedua dengan bersembunyi, hatinya tidak lantas menjadi tenang.

Venus baru beberapa hari berada di sini, dan apa yang orang-orang itu lemparkan padanya? Hukuman mati.

Bumi Kedua adalah tempat Venus, tapi orang-orang di dalamnya tak rela. Venus sudah pasti jadi buronan paling berbahaya. Jadi, kenapa tidak sekalian saja?

Tekad gelap seakan menyelimuti hati Venus yang mungkin sudah kehilangan warna merahnya. Kebencian Venus terhadap nasibnya di dunia ini bagai asap yang bergulung-gulung di seluruh tubuh.

Anak itu mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Tubuhnya terayun ke depan dan belakang.

Tekad itu menggoyahkan nuraninya; tapi, ia mendorong sisi baik yang memuakkan itu hingga ke relung hati paling dalam.

Sudah cukup ia merasa tertindas. Sudah cukup ia menghadapi kematian.

(Venus, Anda membuat saya sedikit takut.) Tiba-tiba Mustaka berbisik ke benak Venus.

Gadis tanggung itu hanya tersenyum. Matanya masih menatap cakrawala di kejauhan sana. Cahaya siang tiba-tiba meneduh; kumpulan awan telah menutup bintang besar di atas sana tanpa keraguan.

(Tidak perlu takut, Ka.) Venus berujar pelan. (Cuma kau satu-satunya teman yang kupunya di sini. Di otak ini. Aku menghargaimu lebih dari apa pun.)

(Terima kasih, Venus.) Mustaka berkata. (Tapi saya masih belum mengerti.)

Venus mendongak. (Kau lihat awan yang menutupi matahari itu, Mustaka?)

(Ada apa dengan itu?) gumam Mustaka bingung.

Venus berbalik dan kembali ke ranjangnya lagi dengan langkah-langkah terukur.

“Ingatkah kau akan sumpahku saat para Pengaman akan membawaku ke kota Sembada?” bisik Venus dengan ketenangan yang menakutkan.

(Saya tidak ingat Anda pernah mengatakan itu, Venus.)

Venus terkekeh. Jelas Mustaka tak tahu, karena saat itu Venus hanya membatin pada dirinya sendiri.

Saat itu Venus bersumpah dalam hati: seperti aku, kelak negeri ini akan binasa. Dan kini, tekad Venus sudah bulat.

Ia akan menepati sumpah itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status