Share

Kemarahan

“Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”

Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.

Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.

Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.

“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.

Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.

Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.

Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.

Ildara tinggal di sebuah kompleks elit di ujung kota Sembada; tempat yang pasti akan ramai seandainya ia tak membeli seluruh kompleks itu secara besar-besaran.

Sekali Venus pernah berkeliling sendiri di kompleks sepi itu, dan benar-benar tak menemukan siapa pun sama sekali. Ildara pernah berkata bahwa orang-orang tak mau mendekati kompleks itu karena adanya desas-desus tentang kuyang atau leak di sana.

Itulah yang membuat si pemilik mau menjual kompleks itu kepada Ildara; tanpa tahu bahwa kuyang itu adalah Ildara sendiri.

Orang-orang di kompleks tetangga hampir mencurigai Ildara, tapi ia segera membuat kebohongan baru. Ildara menyebarkan berita bahwa ia ahli kuyang, dan ia akan tinggal di kompleks bernama Area Elka itu untuk menahan mereka tetap di tempat.

Kebohongan itu diterima semua orang. Karena sejak itu, makhluk peminum darah itu hanya terlihat di sekitaran Area Elka. Kepercayaan mereka semakin dalam saat kuyang tak lagi mengganggu kompleks-kompleks lain.

Namun, karena keberhasilan itu pula, Ildara harus rela mencari mangsa di bagian kota lain agar usahanya tak sia-sia.

Venus akhirnya kembali menatap Ildara dengan penasaran. Ia mengangkat kakinya ke atas dudukan sofa untuk bersila. “Ildara, apa kau bertemu dengan Kaisar dalam mimpi juga?”

Ildara hanya tersenyum. “Tidak. Aku hanya bertelepati saja dengannya. Aku jarang bertemu dengan lelaki tampan itu.”

Venus pikir ia tak mungkin bisa dikagetkan lagi; ternyata ia salah. “Bagaimana kau bisa yakin kalau dia tampan? Dia hanya berwujud bayang-bayang, bukan?”

Ildara terkekeh. “Tidak. Aku pernah melihat tubuh fisiknya di ruang bawah tanah.”

Venus mengerutkan kening. Kaisar dengan jelas mengatakan bahwa hanya orang mati yang bisa melihatnya. Ataukah itu hanya kalimat kiasan?

“Kau masih hidup,” ucap Venus datar; seolah dengan berkata begitu saja semuanya akan terlihat jelas.

Kepala Ildara tersentak ke belakang saat tawanya menyembur keluar.

“Apa yang lucu?” dengus Venus tak suka.

Ildara memutar tubuhnya hingga setengah berhadapan dengan Venus. Wanita dewasa itu menunjuk diri sendiri dengan telunjuknya yang berkuku panjang.

“Aku sudah mati,” jelasnya masih geli. “Secara teknis.”

Venus pada kenyataannya masih tidak mengerti. Namun, ia hanya mendengus; tak ingin tahu lebih banyak tentang hal itu.

Venus mengambil botol soda yang telah terbuka di meja, lalu menenggaknya sedikit. “Ngomong-ngomong, Ildara. Kenapa juga Kaisar menyuruhmu menjadi bawahanku? Memangnya apa yang dia pikir akan kulakukan?”

Bibir Ildara terangkat; membentuk seringai yang sama menakutkan seperti riasan hitam tebal di matanya. “Aku tak yakin. Tapi dia hanya mengatakan sesuatu tentang ‘kepercayaan’. Kau paham maksudnya?”

Ya, Venus paham. Yang dimaksud Kaisar adalah bagaimana cara Venus harus membayar "kebaikan"-nya dalam menyelamatkan nyawa Venus selama ini.

Sesuatu yang belakangan masih agak kelabu di benak Venus.

Terlepas dari itu, seringai aneh Ildara sangat tidak cocok dengan kata-kata yang ia ucapkan tadi.

“Kau tahu apa maksudnya, Ildara.” Venus menyatakan tanpa emosi. “Kau hanya ingin melihat apakah aku tahu atau tidak.”

Ildara bangkit berdiri dengan anggun seperti biasa. “Dan ternyata kau memang tahu.”

Wanita itu beranjak meninggalkan ruangan. Tanpa menoleh sedikit pun, ia lantas berkata, “Jika kau punya rencana bagus, katakan saja. Aku akan membantumu.”

Venus menghela napas. Ildara bilang ia akan menganggap Venus sebagai atasan, tapi anak itu sendiri tak merasakan adanya gejolak ingin mengklaim si kuyang sebagai bawahan.

Malah, Venus lebih menganggap Ildara sebagai rekan.

Partner kejahatan.

Sungguh suatu keanehan, mengingat pada pertemuan pertama, mereka bisa dibilang saling tidak menyukai satu sama lain.

Saat Ildara sudah tiba di ambang pintu, Venus memanggilnya.

“Saat kau menyebutku Anak Haram—” Venus sedikit memiringkan kepala, “—apa maksudnya adalah Amerta dan Langit tak pernah menikah?”

Ildara menoleh sedikit. Air mukanya tampak aneh. Seperti seseorang yang gagal menelan perasan jeruk nipis yang begitu masam.

“Ya. Bukankah waktu kita menemukan koper berisi foto-foto Langit di ruang bawah tanah waktu itu, aku sudah mengatakan padamu bahwa mereka hanya terlibat cinta satu malam?”

Untuk sesaat, Venus hanya menatap keanehan pada ekspresi Ildara, tapi sejurus kemudian ia mengangguk. Wanita bergaun seksi itu melangkah lagi; meninggalkan Venus sendiri.

Mengalihkan pandang pada layar monitor yang tampak monoton, Venus meraih remote di atas meja. Ia mencoba mengganti setelan ke saluran televisi umum.

Tatapan anak itu tiba-tiba terpancang. Siaran berita di salah satu saluran memperlihatkan potret Venus saat ia berada di kurungan, dan sedang diturunkan di tengah alun-alun. Ekspresinya di gambar itu tampak penasaran.

« … yang bernama Venus Samudera ini masuk dalam daftar buronan paling berbahaya saat ini.» Suara pembaca berita itu mengabarkan. «Ia diketahui telah berhasil kabur saat Nyanyian Kenya masih berlangsung; dibantu oleh sekelompok orang berpakaian serba hitam.»

Venus mengepalkan tangannya begitu kuat. Ekspresinya mengeras saat pembaca berita itu mengatakan, bahwa Vrosiden akan memberikan sepuluh juta Volem pada siapa saja yang berhasil menangkap Venus; hidup atau mati.

Tiba-tiba figur seorang laki-laki paruh baya berwajah kotak memenuhi monitor itu. Keterangan di bawahnya bertuliskan Vrosiden Argantra, pemimpin Negeri Dasina.

«Saya sangat mengerti kecemasan kita semua saat ini,» papar Vrosiden Argantra tegas. «Saya sudah mengerahkan pasukan volt terbaik yang kita kenal sebagai Voltum untuk mengejar buronan ini ke seluruh negeri, bahkan juga luar negeri. Untuk itu saya akan sangat menghargai siapa pun yang dapat menangkap Venus Samudera. Meski begitu, saya harus tegaskan; jangan pernah coba-coba menangkapnya sendiri! Ia berbahaya! Jika kalian tahu keberadaannya, secepatnya hubungi nomor darurat. Agar Voltum sendiri yang akan membantu kalian. Saya—»

Venus mematikan siaran itu dengan tangan gemetar karena kemarahan yang solid. Napasnya naik turun tak beraturan. Telinganya berdenging lagi. Ia membekap keduanya kuat-kuat dan menggertakkan gigi.

Salah apa dirinya hingga dunia menuntut kematiannya seperti itu? Apa karena ia tak sengaja membakar dua krona di Volta Juana lalu? Namun, itu terjadi setelah ia diputuskan akan dihukum mati!

Apa yang salah dari membela diri?

APA YANG SALAH DARI MENJADI BIZURA?!

Benak Venus dipenuhi gambaran-gambaran mengerikan. Ia tak bisa terus-menerus menunggu. Inilah saat yang tepat untuk menghancurkan Dasina.

(Apa yang Anda rencanakan, Venus?) Mustaka berbisik ke pikiran Venus yang diliputi awan gelap.

Napas Venus terengah-engah, seakan ia baru saja selesai berlari. Tatapannya mengabur karena air mata. Namun ia mengusapnya dengan kasar.

“Mereka menganggapku monster bahkan sebelum aku tahu apa arti monster itu sendiri,” ungkap Venus penuh kebencian. “Mereka menghukumku saat aku bahkan tidak tahu apa kesalahanku yang sebenarnya!”

(Itu sangat menyedihkan, Venus. Saya turut prihatin,) risik Mustaka.

Venus menelan ganjalan menyakitkan di tenggorokannya. “Tidak, Mustaka yang baik. Aku tak akan membiarkannya lebih menyedihkan dari sekarang. Akan kukabulkan fantasi dunia ini terhadapku.”

(Apa maksud Anda, Venus?)

“Sudah kubilang aku akan menepati sumpahku!” teriak Venus murka. “Tidakkah kau mengerti? Akan kubiarkan diriku menjadi monster seperti yang mereka inginkan! Akan kuhancurkan kebahagiaan menjijikkan mereka! AKAN KUHANCURKAN!”

Venus berdiri, lalu menghempaskan meja kaca di depannya. Suara kaca pecah merusak ketenangan ruangan itu, sekaligus memperburuk suasana hati Venus. Ia menggertak udara hingga suaranya hampir terdengar serak.

Venus menunduk geram dengan tangan mencengkeram kepala. Ia terus menggumamkan kalimat "akan kuhancurkan" seperti sebuah mantra.

“Venus! Ada apa?”

Ildara memekik saat melihat meja kacanya yang elegan kini pecah berkeping-keping di lantai. Ia terkejut lagi saat Venus berdiri dan menoleh padanya dengan mendadak. Eskpresi wajah anak itu menggelap.

Ildara berdiri seakan terhipnotis. Ia belum pernah melihat anak itu marah, dan begitu ia menyaksikannya terjadi, kekagetan merasuki indranya.

“Apa Kaisar punya pasukan, Ildara?” Suara dingin nan serak yang keluar dari mulut Venus serasa menusuk-nusuk udara.

Ildara mengerjap sekejap, lalu mengangguk. “Sama seperti yang Amerta dulu pimpin,” katanya. “Kita bisa mengumpulkan mereka semua jika kau menginginkan itu.”

Gigi Venus bergemeretak. Ujung-ujung kuku anak itu yang tumpul menusuk telapak tangannya. Ia mendekati Ildara dengan langkah berderap. Aura gelap bagai menyelubungi seluruh raga dan jiwa Venus nan terkoyak.

“Berapa lama sampai semuanya siap?” Venus menggeram rendah.

Ildara mundur selangkah. “Se-Sebulan—”

“TERLALU LAMA!” Dada Venus naik turun penuh emosi. Anggapan "rekan" untuk Ildara seketika terlupakan oleh Venus. “Aku atasanmu, bukan? Kalau begitu, kuberi kau waktu dua minggu. Tidak lebih!”

Ildara hanya diam terpaku saat menyaksikan Venus berderap pergi dengan kemarahan yang masih menyala-nyala di hatinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status