Burhan keluar dari restoran merasa begitu kesal dengan kesombongan Max hari ini. Ingin rasanya ia membongkar siapa Darma sebenarnya agar Max tak menyombongkan dirinya lagi.
"Kenapa kamu menghalangiku."
"Ya karena aku tau apa yang mau kamu ucapkan."
"Bagus dong, biar dia sadar siapa dia sekarang ini."
"Terus kalau dia sudah tau, maka aku hanya akan menambah satu jenis anjing penjilat lainnya."
Burhan hanya diam mencerna ucapan Darman. Baginya ada benarnya juga ucapan kawannya itu, sebab disekitar Darma memang sudah banyak penjilat yang berkeliaran.
"Balik kekantor apa nggak?" tanya Darma.
"Balik lah."
"Yaudah ayo ."
"Iye bos."
Burhan adalah teman sekaligus CEO diperusahaan miliknya, mereka dekat semenjak dibangku kuliah. Saling mengenal satu sama lain membuat pertemanan keduanya makin akrab hingga Darma mempercayakan satu perusahaan miliknya.
Sesampainya diperusahaan, Darma bergegas pergi setelah menurunkan Burhan. Ia segera kembali ke perusahaan miliknya sendiri.
Ditengah jalan Darma tanpa sengaja melihat Sabrina yang tengah berjalan seorang diri. Ia pun menghentikan mobil tepat disamping Sabrina.
"Naik."
"Papa."
Darma hanya diam, namun ia mengisyaratkan Sabrina untuk segera masuk kedalam mobilnya.
"Papa mau kemana?" tanya Sabrina didalam mobil.
"Pulang," singkatnya.
"Kenapa mau pulang?"
"Mau antar kamu lah."
"Ah nggak usah pah. Nanti turunin aja aku didepan. Biar aku pakai ojek aja pulangnya," panik Sabrina merasa tak enak hati.
"Hanya bercanda, saya pulang untuk mengambil berkas."
"Syukurlah."
Memasuki halaman rumah, Sabrina bisa melihat Sasa yang tengah bermain bersama pelayan di halaman. Setelah mengetahui jika opa nya datang, Sasa segera berlari mengejar mobilnya.
"Opa," teriak Sasa sambil berlari mengikuti mobil Darma.
"Non jangan lari," seru pelayan memperingati.
"Hore opa pulang," girangnya disamping mobil Darma yang sudah berhenti.
Sasa bertambah riang saat melihat ada Sabrina turun dari mobil. Ia berlari dan segera meminta gendong, mengajak Sabrina masuk meninggalkan Darma juga pelayannya.
"Hore mama pulang."
"Sasa cantik kenapa nggak tidur siang?"
"Nungguin mama."
"Bohong itu. Sasa kan emang susah kalau disuruh tidur siang, " seru Darma membuat Sasa mengerucutkan bibirnya.
"Heheh, yaudah kalau gitu Sasa tidur sama tante aja yukk."
"Ih, sebel. Bukan tante tapi mama, mamanya Sasa," Kesalnya melipat tangan didada.
"Iya mamanya Sasa, tidur yuk. Hoam mama ngantuk banget," pura-puranya menguap.
"Ayo ma kita tidur, kasian mama capek ya."
Sasa juga Sabria begitu akur, terlihat layaknya seorang ibu dengan anaknya. Darma yang menatap keduanya hanya bisa tersenyum saat cucu satu-satunya itu mendapatkan apa yang selama ini dicarinya.
"Loh papa udah pulang ?" tanya Bulan yang tiba-tiba muncul dari belakang.
"Mau ambil berkas aja mah."
"Oh."
"Yaudah papa ambil berkas habis itu langsung pergi ya."
"Hati-hati."
Di dalam kamar telaten Sabrina memandikan dan membersihkan badan Sasa. Ia menggantikan baju juga menemaninya tidur diranjangnya.
Keduanya sama-sama terlelap, melupakan semua permasalahan dunia dan damai dalam mimpinya.
Bulan begitu kagum pada Sabrina, sosok yang baru dikenalnya namun mampu menaklukan cucu satu-satunya.
"Damai sekali tidur kalian. Orang yang tidak mengenal kita pasti akan mengira kalian ibu dan anak," gumam Bulan didepan pintu.
Dengan perlahan ia menutup pintu itu, meninggalkan keduanya untuk beristirahat.
***
"Mau have fun kemana kita?"
"Club aja yuk?"
"Gimana Syan?"
"Gue ikut kalian aja maunya kemana."
"Oke," girang mereka.
Syan juga teman-temannya berangkat menuju club ternama dikotanya. Dan sesampainya disana mereka memilih duduk disudut ruangan yang lumayan jauh dari keramaian.
Syan begitu menikmati suasana didalam club, ia begitu enjoy hingga tak memperhatikan pengunjung disekitarnya.
"Syan duduk nanti loe jatuh," teriak temannya.
"Tau nih, nanti kita-kita diomelin nyokap loe lagi" omel lainnya.
"Brisik." teriak Syan yang begitu asyik menikmati ritme lagunya, saking asyiknya hingga ia tak menyadari laki-laki yang berdiri disebelahnya.
"Hai, boleh kenalan nggak kita?" tanyanya sambil mengulurkan tangannya.
"Syan," membalas uluran tangannya, namun mata Syan begitu terpana saat melihat laki-laki tersebut tersenyum padanya.
"Aldo" balasnya.
Keduanya asyik mengobrol, membahas semua hal yang bisa mereka bahas bersama. Waktu terus berjalan, kini malam sudah tiba namun tak satupun dari ketiganya yang berkeinginan untuk pulang.
"Habis dari sini mau kemana lagi?" tanya Aldo dengan maksud tertentu, namun Syan yang sudah tergoda tak merasa curiga.
"Nggak ada. Habis dari sini langsung pulang," jawab Syan.
Aldo memberikan minuman yang dibawanya, Syan pun dengan senang hati nemerima dan menghabiskannya dengan sekali teguk saja.
"Bagus. Rencana gue berjalan mulus," batin Aldo saat melihat Syan menghabiskan minuman darinya.
"Kenapa loe?" tanya Aldo berpura-pura perhatian, padalah ia tahu betul bahwa itu adalah reaksi dari obat yang diberikannya.
"Gak tau juga kepala gue pusing banget tiba-tiba," adu Syan yang merasakan kepalanya terus berputar.
"Gue antar loe pulang sekarang oke. Loe harus istirahat," Aldo yang ingin mengajak Syan keluar segera memapahnya agar tak terjatuh.
"Guys, gue balik duluan ya," seru Syan pada teman-temannya.
"Have fun bebi," teriak ketiganya, namun tak lama setelah kepergian Syan mereja juga memilih untuk pergi.
Malam semakin larut, namun Aldo tak kunjung mengantarkan Syan pulang kerumahnya. Ia menghentikan mobil dan menepi disebuah jalan diperumahan.
"Lama banget nih obat reaksinya," gerutu Aldo tak sabar.
Syan mulai tersadar, namun ia terus saja menggeliat dengan begitu tak nyaman. Aldo tersenyum sinis melihat wanitanya sudah mulai bereaksi.
"Terus syaang," seru Aldo.
"Ah, Aldo tolongin gue. Panas sekali," gumamnya sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan.
"Tenang aja, gue pasti bakal bantuin loe kok. Kita masuk kerumah gue aja gimana," senang Aldo. Ia kembali menjalankan mobilnya menuju rumah yang biasa ia jadikan basecamp dengan teman-temannya.
"Masuk yuk, bisa nggak loe?" tanya Aldo saat tiba didepan sebuah rumah yang sederhana dengan nuansa lampu dimalam hari.
"Bantuin begok," seru kasar Syan.
Aldo membawa Syan masuk kedalam kamarnya, ia mendorong tubuh Syan keatas ranjang dan menindihnya dengan begitu kuat.
"Apa yang loe lakuin," tanya Syan saat Aldo kini berada diatasnya. Walaupun dalam pengaruh alkohol, namun itu tak membuat Syan kehilangan kesadara sepenuhnya.
Aldo tak menyahutinya, ia menatap sinis Syan yang sudah lemah tak bertenaga dibawahnya.
"Minggir brengsek," umpat Syan.
"Malam ini milik kita berdua," Aldo mulai menyerang Syan dengan ciumannya. Syan yang awalnya menolak dan memberontak kini justru ikut terhanyut dalam permainan Aldo.
Kegiatan mereka mulai memanas saat Aldo dengan bernafsu melucuti semua pakaian dirinya juga Syan.
"Jangan mempermainkanku," tak terima Syan saat Aldo menjeda permainannya.
Keduanya menikmati kegiatan panas mereka, bahkan hingga Syan kehilangan keperawannnya ia sama sekali tak menangis sebab kesakitan.
Syan yang dibawah kendali pengaruh obat begitu liar hingga membuat Aldo kewalahan, namun tentu sangat memuaskan baginya.
Malam yang sama juga dilalui begitu bahagia oleh Sasa saat bisa bermanja-manjaan dengan Sabrina. Baginya Sabrina adalah mama yang selalu ia rindukan.
"Sasa sayang ayo makan dulu dong," kejar Sabrina saat Sasa tak ingin makan malam. Keduanyapun bermain kejar-kejaran hingga membuat Sabrina kelelahan.
"Aduh mama lelah nak, aduh mau pingsan deh kayaknya" seru Sabrina yang berpura-pura pingsan.
Sasa yang merasa bersalah segera menghampiri Sabrina yang sudah tergeletak dilantai. Ia memegang kedua sisi pipi Sabrina, menciuminya berharap jika mamanya itu segera bangun.
"Mama, mama bangun" dengan pelan mengguncang tubuh Sabrina.
"Dorr" teriak Sabrina mengejutkan Sasa, keduanya saling tertawa saat Sabrina menangkap tubuh mungil Sasa dan membawanya kemeja makan.
"Duh cucu opa seneng banget kayaknya nih."
"Iya opa ya, sekarang Sasa maunya sama mama aja nggak mau main sama oma" ucap Bulan berpura-pura sedih didepan cucunya.
"Bosen. Enak main sama mama," memeluk erat Sabrina yang sedang menggendongnya. Sasa nampak begitu bahagia disamping Sabrina, ia bagai menemukan titik kosong yang selama ini dicarinya.
"Yaudah yuk kita makan malam dulu, kasian tuh mama nya Sasa udah kelaperan" seru Bulan dengan mimik muka sedihnya menatap keduanya.
"Mama laper banget?" tanya Sasa dengan polosnya, sedang Sabrina hanya diam mengangguki dengan mengerucutkan bibirnya.
"Kasian. Yaudah yuk Sasa suapin mama," serunya.
Semua nampak bahagia menikmati makan malamnya. Sesuai ucapannya, Sasa menyuapi Sabrina makan dengan begitu menggemaskan.
"Makan yang banyak ya mama biar nanti adik aku sehat," seru Sasa membuat Sabrina tersedak makanannya.
"Uhuk," segera meraih minumannya.
"Pelan-pelan ya nak," seru Bulan mencoba menahan tawanya.
"Sasa nggak ada adik loh " ucap Sabrina sambil membelai kepala Sasa, namun Sasa yang sudah berharap ada adik untuknya nampak begitu kecewa.
Sasa yang sedang makan segera meletakkan alat makannya, ia hanya diam memanyunkan bibirnya. Darma juga Bulan tau jika saat ini cucunya sedang merajuk pada mamanya.
Semenjak kecil Sasa selalu mendapatkan apapun yang ia inginkan, sebab baik Darma maupun Bulan selalu memenuhi keinginannya juga termasuk papanya sendiri.
Jadi saat Sabrina mengatakan tidak membuat Sasa merasa kecewa. Harapannya adalah apa yang ia inginkan akan terwujud semuanya.
"Sasa makan dulu, nanti kita bahas lagi soal adik. Gimana?" bujuk Sabrina agar Sasa kembali memakan makanannya.
"Oke ma, habis makan nanti bahas calon adik aku ya," girangnya.
Duduk berdua didalam kamar, Sabrina berhadapan langsung dengan mata Sasa yang terus menatap tajam dirinya. Glekk, Sabrina dengan susah payah menelan salivanya, entah darimana ia akan menjelaskan permasalahan tentang adik untuk bocah kecil didepannya itu. "Ayo mah buat adek," seru Sasa tak sabar. "Sayang, buat adek itu gak gampang loh." "Susah ya mah. Apa perlu pakai tepung?" polosnya berbicara, mengundang tawa Sabrina yang tertahan. "Ehm, iya pakai tepung tapi kan kita belum beli tepungnya kan?" jawabnya. "Gitu ya ma, nanti kita beli tepung ya mama. Sasa udah gak sabar mau bikin adek," ajaknya penuh semangat, membuat Sabrina pusing untuk menjelaskan. "Bukan cuma butuh tepung aja sayang, tapi juga butuh telur." "Kan nanti kita beli telur sekalian aja ma." "Gak bisa, telurnya ini spesial. Cuma papanya Sasa aja yang punya," Sabrina segera menutup mulutnya saat tak sengaja berbicara hal aneh dide
Pagi harinya Darma terbangun lebih dulu, ia keluar dari kamar hendak melangkah menuju dapur. Namun tanpa sengaja ia berpapasan dengan pelayan yang sedang membersihkan rumahnya. "Permisi tuan," panggil pelayannya. "Iya, ada apa," menghentikan langkahnya tepat didepan pelayan tersebut. "Maaf tuan, tadi saat saya bersih-bersih nggak sengaja menemukan amplop ini didepan ruangan kerja tuan," memberikan sebuah amplop berwarna coklat yang tadi ia temukan. "Terima kasih ya bik," ucap tulus Darma kepada pelayannya. Namun setelah itu ia mengurungkan niatnya untuk pergi ke dapur dan segera menuju ruang kerjanya. Duduk dikursi kerja, Darma terus membolak-balik amplop coklat yang ada ditangannya. "Kampus pelangi," gumamnya saat melihat ada logo sebuah kampus yang tertera disudut amplop. Darma membuka laptopnya dan mencari tahu tetang kampus pelangi. "Ternyata kampus terbaik juga di kota ini, kenapa ak
Duduk termenung seorang diri didalam ruangannya, Darma terus saja memikirkan tentang siapa sebenarnya Sabrina.Setelah membuka amplop tadi pagi, Darma meminta anak buahnya untuk menyelidiki semua hal yang berkaitan tentang Sabrina.Tok.. tok.."Masuk," seru Darma mempersilahkan."Maaf pak, ada beberapa laki-laki datang mencari bapak," seru sekretaris Darma saat melapor."Bawa mereka masuk.""Baik."Tiga laki-laki bertubuh tinggi dengan jaket hitam masuk kedalam ruangan, berdiri tegap dihadapan Darma dengan raut wajah tak terbacanya."Kalian dapatkan," tanya Darma menatap ketiganya."Ini hasil yang kami dapatkan tuan," menyerahkan amplop coklat yang berada dibalik jaket hitamnya.Dibukanya perlahan amplop tersebut, entah kenapa jantung Darma rasanya berdetak lebih cepat tak seperti biasanya.Rasanya ada sedikit ragu saat Darma akan menarik kertas didalam amplop, ada suatu kecemasan yang tak dapat
Wanita itu hanya diam memperhatikan interaksi kedua orang didepannya. Tersenyum sinis saat ia melihat senyum Sasa begitu ceria saat mulai bercerita. Namun sedetik kemudian ia begitu murka saat cucunya mengatakan hal diluar dugaannya. "Heem, juga aku seneng banget karena ditemenin terus sama mama aku." Sasa begitu ceria serta lugas saat mengatakannya, membuat hatinya panas hingga lepas kontrol. "Mama kamu sudah mati!" Semua orang menatapnya, Sabrian menatap penuh tanya siapa wanita yang baru saja berteriak tersebut. "Siapa dia, udah tua sih tapi masih oke wajahnya," batinnya memperhatikan wanita disebelahnya tersebut. "Oma aku takut," cicit Sasa yang bersembunyi dibelakang tubuh Bulan. "Gpp sayang, nggak usah takut ya." Sasa mencengkeram kuat lengan Bulan, tubuhnya bergetar hingga mengeluarkan keringat dingin dari tubuhnya. "Sayang kesini yuk," panggil Sabrina. "Mama," teriaknya
Bandara begitu riuh ramai, banyak orang berlalu lalang keluar masuk. Namun dari kejauhan seorang laki-laki nampak keluar dari bandara dengan begitu gagahnya. Tubuhnya yang tegab berbalut pakaian kerja, jas tersampir dilengan dengan satu tangan menarik koper. Begitu indah dipandang mata setiap wanita, namun wajahnya yang dingin membuat siapapun bergidik ngeri saat ditatapnya. "Selamat pagi tuan, selamat datang kembali ke indonesia." "Apa kabar kamu," tanyanya. "Tentu baik-baik saja, sesuai dengan yang tuan lihat." Laki-laki itu mengambil alih koper dan memasukkan kedalam bagasi mobilnya. Namun sebelum itu, ia lebih dulu membukakan pintu mobil untuk tuannya. "Kita pulang atau ke perusahaan tuan." "Perusahaan. Saya ingin memberi kejutan untuk papa saya," senyumnya sekilas. Dalam perjalanan ia hanya memandang keluar jendela, mengagumi kota yang sudah lama ia tinggalkan. "Bagaimana tentang informasi yang saya m
Tubuh gadis itu meringkuk disudut ruangan, memeluk lututnya hingga tubuhnya bergetar. Sasa menangis tanpa suara, Lastri hanya diam menatap cucunya dari sofa tempatnya duduk. "Mama," lirih Sasa memanggil Sabrina. "Sasa! Dia bukan mama kamu, " bentak Lastri menakuti Sasa. Didalam mobil Sabrina begitu nampak gelisah, bukan karena rasa takut melainkan ia mengkhawatirkan keadaan Sasa dirumah sendirian. "Tolong lepaskan saya, anak saya dirumah sendirian." "Tutup mulutmu, dia bukan anakmu!" "Terserah kalian bilang apa, tapi tolong lepaskan saya." "Tenang aja," santai mereka semua menikmati jalanan. Mobil itu terus melaju, menembus hamparan rumput disekitar jalan. Pemandangan yang cukup indah namun tak dapat Sabrina nikmati. "Lempar dia keluar," seru salah seorang laki-laki. Mobil masih melaju, namun laki-laki itu membuka pintu penumpang. Dengan teganya ia mendorong keluar tubuh Sabrina dari dalam mobil.
Antonio berjalan mendekati keduanya, semakin mendekat mengikir jarak antara mereka."Sayang, kamu mundur yang jauh ya nak." Antonio yang berusaha menahan amarahnya bersiap mendobrak pintu kamar mandi.Brakk.."Mamaa." Gadia kecil itu berlari ketakutan mencari mamanya.Memeluk erat tubuh Sabrina membuat Sasa sedikit merasa tenang."Bibi, tolong bawa anak saya ke kamarnya,"Nio menarik perlahan lengan Sabrina yang tengah terdiam memandangi kepergian anaknya. Dirangkulnya bahu Sabrina dengan begitu mesra dihadapan Lastri."Apa-apaan ini!" Amuk Lastri yang tak terima dengan sikap Antonio."Saya hanya memeluk istri saya," santai Nio mengejutkan semua orang, termasuk Sabrina yang saat ini direngkuhnya."Keterlaluan kamu. Semudah itu kamu melupakan anak mama Nio," tak terima posisi anaknya tergantikan membuat Lastri begitu murka.Selama ini ia masih menganggap Antonio sebagai menantunya, laki-laki yang
Sabrina begitu kesal dengan semua ucapan Antonio, ingin rasanya ia menenggelamkan laki-laki itu kedasar laut."Maaf ya pak tuan, saya gerah ini," mendorong pelan dada Antonio yang tak bergerak sama sekali."Aneh sekali panggilannya, " mengernyitkan dahinya."Ya terus mau dipanggil apa ?""Suamiku," lantangnya.Sabrina tak bisa berkomentar, ia yang terlalu terkejut hanya diam sambil membuka mulutnya. Dengan gemasnya Antonio menutup mulut Sabrina dengan tangannya."Tangannya," melepas paksa tangan Antonio."Saya cuma takut nanti kemasukan naga mulutny," canda Antonio dengan tampang dinginnya."Lagian juga aneh, ngapain saya manggil suamiku segala.""Kita akan segera menikah.""Menikah ???"Saking kagetnya hingga membuat Sabrina tak mengontrol suaranya. Dengan kencangnya ia berteriak tepat didepan Nio, memekakan telinga siapapun yang mendengar."Jangan aneh-aneh deh kalau ngomong, ming