Share

Tak Direstui Ibunya

POV. Doni

   "Ibu maunya, kamu cari istri yang setara dengan keluarga kita Doni!" Ucap Ibu. Aku sontak kaget mendengar ucapan Ibu.

  "Lihatlah, kakakmu, Pegawai Negri dan suaminya Pejabat kaya raya, adikmu Dokter, dan nanti pasti pacarnya juga bidan, masa depan cerah! Masa tua Ibu nanti, Ibu yakin, mereka mampu mengurus Ibu dengan baik. Kamu seharusnya mencontoh saudaramu, kalau cari calon istri yang menjanjikan masa depanmu! Jangan malah mencari calon istri orang biasa, kerjaannya serabutan, mana mampu mengurus Ibu dan bapak ketika nanti sudah tua!" Tegas Ibu, melanjutkan ucapannya tadi. Sembari merapihkan piring di atas meja makan, seusai makan siang bersamaku.

   "Bu, seharusnya Ibu lihat aku.

Aku bukan siapa-siapa... Aku juga pengangguran, aku bukan seperti kakak dan adik yang Pegawai Negri ataupun Dokter .

 Biarlah, aku cari calon istri sesuai kriteriaku, lagi pula, Fatimah itu Kuliah jurusan Akuntansi dan aku jurusan Tehnik, jadi setara denganku, justru, Fatimah jauh lebih mandiri dibanding aku... Fatimah punya pekerjaan, punya penghasilan, sedangkan Aku, hem_ hanya pengangguran... syukur-syukur Fatimah mau nerima aku apa adanya. Fatimah juga perempuan baik, mandiri, masih muda mampu membiayai kuliahnya sendiri, beli kendaraan sendiri, nyari makan sendiri. Kita lihat sisi kebaikan dan kemandiriannya, saja, Bu... Jangan terlalu berambisi mencari menantu yang setara dengan Kakak atau Adik..." jawabku, lembut. sambil ku dekati Ibu yang sejak tadi menatapku, dengan wajah masam.

   "Aku merasa cocok dengan Fatimah... Aku ingin kearah yang lebih serius dengannya, Setelah menikah, kami akan menjalankan bisnis bersama... Ibu percaya saja, takdir kedepannya siapa yang tahu. Bisa jadi kelak dengannya aku justru bisa sukses. Doakan aku bahagia dengan Fatimah, Ya, Bu... Aku pulang kampung untuk membicarakan semua ini sama ibu, kumohon Ibu merestui, demi aku, ya..." Pintaku, sembari mengusap lembut tangan Ibu.

 "Ah, terserahmu saja, Doni! Ibu tetep gak mau ketemu sama pacarmu, Fatimah Fatimah, itu!" Jawabnya seraya beranjak masuk ke dalam kamarnya, dan meninggalkan tumpukkan piring kotor, yang sejak tadi belum sempat ia cuci, karena serius berdebat denganku.

***

   Ketika sudah masuk dibulan Agustus , 

saat yang dinanti-nanti akhirnya tiba, yakni wisuda Kak Doni. 

   Keluarga, beserta orang tuanya, akan datang menghadiri wisuda itu.

Kak Doni berjanji akan mengenalkanku dengan Orang Tuanya besok siang.

   Namun, keesokkan harinya, ketika aku sudah mandi dan sudah siap untuk dijemput, tiba-tiba saja dia membatalkan janjinya, dan mengirim pesan kepadaku. kamipun saling berbalas pesan.

   [Maaf, Dek, kita gak jadi ketemuan, karena ibu gak mau, ibu mau tidur mungkin kelelahan, kita ketemuan aja besok sabtu, saat hari H wisuda Kakak, ya, Dek. Jangan lupa Kakak minta tolong, cariin rental mobil untuk wisuda kakak, bapak ibu gak bawa mobil karena masih di servis. Kakak gak sempet, sekarang mau cari jas sewaan buat Bapak dan jasa salon buat ibu sebelum acara wisuda.]

.....

   [Yaudah, Kak, gak papa. Ok, aku cariin rentalan mobil, Sabtu, aku berangkat langsung bareng mobil rentalannya. Kakak nunggu aja di rumah Kakak, ya. salam untuk Keluarga Kakak semua...] 

.....

  [Ok Dek, makasih ya , udah banyak bantu Kakak. I LOVE YOU] 

.....

   Aku, memang senang membantu kak Doni, karena aku merasa dia adalah laki-laki yang selama ini aku cari. Laki-laki yang baik, yang suka membantuku, menemaniku kemanapun, mengantarkanku ke kampus, bahkan kemanapun, saat aku butuh bantuan, dia selalu mau membantuku. 

   Memang kak Doni belum bisa seperti laki-laki lain, yang mentraktir pacarnya, membelikan hadiah berbentuk materi, atau memberi kejutan hadiah lainnya. Tapi dia mau menolongku, dengan tenaganya, dengan pikirannya, perhatiannya dan kepeduliannya.

   Aku, sama sekali gak melihat kearah harta calon imamku. Aku hanya ingin laki-laki yang bersamaku, laki-laki yang baik, setia , bertanggung jawab, dan selalu menyayangiku apapun keadaannya dan itu ada pada diri kak Doni. 

   Ketika kami memutuskan untuk bertunangan dan menikah, aku sama sekali belum pernah menginjang daerah asalnya. tidak tahu seperti apa kondisi keluarganya didaerahnya. sebenarnya bagiku mau Dia kaya ataupun miskin itu tidak penting. karena aku hanya melihat dari kebaikannya selama ini, bukan pada hartanya. Itulah yang selalu ku tanamkan dalam hati.

***

   Sabtu pagi, aku, sudah berada didalam mobil rentalan menuju rumah kak Doni, tak lupa, aku bawakan oleh-oleh kue bolu coklat dan cemilan, dari toko roti ternama, untuk buah tangan. Aku benar-benar tidak mau mengecewakan keluarganya. 

   Setibanya disana, aku disambut keluarganya, dan bersalaman dengan semua. Karena waktu sudah sangat mepet, tanpa basa basi, kami langsung bergegas berangkat, menuju kampus tempat acara wisuda di gelar.

   Sesampainya dikampus, aku bercengkrama dengan Pak Yansah Bapaknya kak Doni. Pak Yansah sangat asyik, sejak tadi selalu mengajakku mengobrol, bahkan Ia mengeluarkan Ponselnya dan memotretku bersama istrinya.

Sepertinya Pak Yansah baik dan ramah orangnya. Sedangkan, Ibu Yana sedari tadi hanya diam, tak tertarik mendengarkan obrolan kami , dan hanya memandang dipanggung melihat kegiatan wisuda.

  Sembari menunggu acara wisuda selesai, aku mencari warung untuk membelikan minum untuk Orang tua Kak doni. Kasihan lama menunggu acara wisuda, sudah pasti haus.

Setelah mendapat air mineral botol, aku bergegas kembali bergabung ke tempat duduk Orang tuanya, aku tawarkan minuman dan mereka pun mau.

Kemudian aku bukakan tutup botolnya, dan aku berikan 1 untuk Bapak Yansah dan satunya untuk Ibu yana, mereka pun kompak bilang terimakasih.

  Seminggu setelah acara wisuda, Ibu Yana menelponku dan menanyakan keseriusanku untuk menikah dan mengutarakan rasa keberatannya, untuk menyetujui rencana Aku dan kak Doni, dengan berbagai alasan.

***

   Dibulan September, tiba-tiba ada kabar baik dari kak Doni. Menurutnya, keluarganya akan melamarku. Aku sangat bahagia mendengarnya. Kak Doni pun sangat bahagia.

   Namun, kelanjutannya tidak ada kabar lagi, Tanggal pastinya pun masih belum jelas. ternyata dari situ aku paham keluarga Kak doni masih berat menerimaku. Bahkan mereka tidak sudi mengeluarkan biaya untuk acara pertunangan kami. 

   Entah, apa masalahnya, sebegitunya tidak menyukaiku. Aku belum paham saat itu, namun lama kelamaan aku mengerti, saat kak Doni keceplosan bilang ibunya ingin dia menikah dengan Dokter , Pegawai Negri atau Bidan.

   Aku sangat sedih mendengarnya. Tapi dia berusaha meyakinkanku, bahwa, dia sangat mencintai aku apa adanya, dan sudah yakin memilihku, untuk menjadi pendamping hidupnya.

   Pada akhirnya aku dan kak Doni berusaha mencari solusi sendiri. Bagaimana caranya agar bisa melangsungkan acara tunangan. Dapat uang dari mana untuk acara lamaran nanti.

Kak Doni dan aku mulai mencari info lowongan pekerjaan untuk kak Doni, dikoran maupun di medsos.

   Lamaran demi lamaran pekerjaan sudah tersebar, tapi tidak ada satupun yang menghubungi, HP Kak Doni masih saja sunyi, tak ada kabar baik sama sekali.

Hari demi hari menanti panggilan kerja, hasilnya tetap Nihil. Karena tidak ada solusi lagi, akhirnya aku ikhlaskan mengeluarkan sebagian uang tabunganku untuk dipakai acara itu, dengan dalih pinjam dulu. Tapi aku ikhlas.

   "yasudah, pakai saja tidak apa-apa" pikirku.

   Acara lamaran digelar sederhana, hanya sebagian kecil keluarga saja.

   Sebulan kemudian, acara pernikahan kami, akan digelar. Keluarga kak Doni awalnya hanya mau membantuku sebesar 1 juta rupiah, aku kaget mendengarnya. Tapi aku paham mungkin mereka tidak menyukaiku, jadi mereka mempersulit semuanya. 

   Entah ada angin apa, tiba-tiba keputusan mereka berubah, ternyata mereka mau membantu biaya pernikahan sebesar 6 juta rupiah, lebih besar dari sebelumnya. Ya Jujur untuk ukuran pernikahan dipusat kota dan serba menyewa seperti halnya menyewa tempat walaupun hanya halaman rumah orang, menyewa alat-alat prasmanan, kursi tamu, tarub, membeli catering masakan untuk menyuguhi tamu keluarga kak Doni, membayar salon seadanya, membeli mas kawin, baju kebaya, dan untuk acara syukuran sederhana, itu sangat amat kurang.Tapi aku berusaha menerima, dan tetap bersyukur.

   Uang tabunganku pun hampir terkuras semua, demi mengurus acara pernikahan sederhana ini, mau sesederhana apapun pernikahan tetaplah membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Apalagi, untuk acara syukuran mengundang Empat puluh orang untuk mendoakan kedua mempelai. Rasanya tidak afdol jika pernikahan tanpa acara syukuran, tidak apa-apa tanpa resepsi, yang penting syukuran tetap di adakan.

   Orang Tuaku, bukan orang mampu, jadi aku tidak bisa bergantung pada mereka, dan sudah Dua tahun belakangan, bapakku, sakit dan sama sekali tidak bisa bekerja. 

Biarlah, aku korbankan jerih payahku. 

Semoga Allah ganti berlipat ganda dikemudian hari. harapku, dilubuk hati.

   Awalnya, keluargaku, ingin acara pernikahan di adakan dikampung, karena dikampung pasti banyak saudara besar yang membantu suka rela, dan tempat maupun peralatan tidak perlu menyewa. Pasti akan lebih murah biayanya. Tapi sayangnya keluarganya keberatan, karena jauhnya jarak dari daerahnya ke daerahku Sepuluh jam perjalanan.

   Pada akhirnya, acaranya diputuskan untuk digelar di kota, meski tanpa keluarga besarku yang lengkap. Acara hanya akan di adakan di masjid, dan di halaman rumah tetangga. 

   Tak apa, seperti inipun, aku tetap bersyukur.

   Aku teringat nasihat diagamaku, Bahwa: "Sebaik-baiknya wanita, adalah yang memudahkan maharnya, dan tidak mempersulit calon suaminya." 

Ya, aku berusaha biasa saja dan tidak menganggap ini masalah. Aku selalu ingat kebaikan Kak Doni sehingga aku belajar untuk ikhlas menerimanya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status