Lagu itu baru mengalun semenit. Harusnya mereka masih bisa menari sebentar lagi dengan pakaian lengkap. Tapi Inke membuat pertunjukan itu amburadul. Sahara baru bekerja di sana lebih dari enam bulan. Dan dia tak pernah diundang ke sebuah ruangan VIP bersama rekan seniornya yang satu itu.
Bisa dibilang, Inke adalah penari senior yang mahal. Para pria kaya harus merogoh kocek mereka sedikit lebih banyak untuk menikmati tubuh bugil perempuan itu.
“Kalau nggak mau nge-dance, tinggalkan aku berdua dengan laki-laki ini.” Bisikan Inke terdengar sangat samar di dekat Sahara.
“Aku akan profesional,” sahut Sahara dengan mulut nyaris tak terbuka.
Inke beringsut dari tiang dan memandang sengit pada Sahara. Tiga puluh detik kemudian, Sahara telah melepaskan atasan dan membelitkan kakinya di tiang.
“Ya, begitu. Kamu harus cerdas,” gumam Roy, lalu menatap tajam pada tubuh Sahara. Dia menyukai tungkai kaki Sahara yang panjang dan bagian mungil milik gadis itu yang terlihat sangat bersih di atas pentas.
Inke menuruti permintaan Roy. Wanita itu bergerak mendekat dan mengisi sebuah gelas dengan sebutir es batu dan sedikit Cognac, sebelum duduk di sebelah Roy.
Musik masih mengalun, Roy tak melepaskan matanya pada Sahara yang sedang menarik pengait roknya dengan perlahan. Selembar g-string menutupi bagian kewanitaannya yang dilapisi sepasamg stocking tipis berwarna merah. Heels super tinggi berwarna hitam yang modelnya seperti wanita kantoran membuat bokong wanita itu terangkat dengan sempurna.
“Kamu?” Roy mengalihkan pandangannya pada Inke yang duduk bertelanjang dada di sebelahnya sambil memegang segelas minuman. “Tuangkan minuman,” bisik Roy dengan nada memerintah.
Inke mengerling sekilas pada Sahara yang sedang menyandari tiang, dan melorotkan tubuhnya ke bawah dengan posisi kaki sangat menantang.
“Mr. Roy, minuman Anda,” ujar Inke menyodorkan gelas pada Roy. Mengalihkan perhatian Roy dari penari muda yang sedang menarik celana dalamnya turun. Dalam tempo dua jam saja, Roy sudah dua kali melihat Sahara menelanjangi dirinya sendiri.
Roy mengambil minumannya dari tangan Inke. “Kamu?” Roy mengangkat alisnya memandang Inke.
“Ya, kenapa?” Inke merendahkan suaranya seelegan mungkin.
“Kamu juga harus profesional seperti dia,” ujar Roy, menunjuk Sahara dengan gelas Cognac di tangannya.
“Tapi, saya lagi meladeni Anda minum.” Inke kembali menjepit sebutir es batu dan memasukkan ke gelasnya sendiri.
“Saya juga suka diladeni seorang wanita telanjang yang menuangkan minuman,” sahut Roy datar.
Bukan membela Sahara, tapi Roy memang tidak suka seseorang yang bermain kotor serta memanfaatkan orang lain. Belasan tahun dia sudah di pertemukan oleh orang-orang seperti itu. Inke memang jauh lebih tua dari Sahara. Sikap senioritas wanita itu pun tak bisa disembunyikan.
Satu lagu sudah nyaris selesai. Sahara menggenggam tiang dan memutari tiang itu dengan kecepatan yang mengibaskan rambut cokelatnya.
“Temanmu sangat cantik,” bisik Roy pada Inke. Dia menunggu reaksi perempuan itu. Inke mengangkat gelasnya lagi dan meneguk minumannya sebanyak mungkin.
“Kalau Anda sedang mencari gadis untuk ditiduri, dia tak melakukan layanan itu. She’s beautiful, virgin, and poor ...,” bisik Inke. Dia sudah terlalu sering mengatakan pada tamu, kalau Sahara cantik, perawan dan wanita miskin.
Roy menarik senyum tipis. Dia sudah tahu kalau Sahara gadis yang cantik, muda, miskin dan perawan. Berusaha mencari uang sebanyak-banyaknya agar perempuan yang sedang terbaring di rumah sakit segera mendapat pengobatan layak.
“Gimana kalau saya menawarkan dia uang banyak?” tanya Roy, menelusuri wajah Inke yang dipenuhi makeup. Pandangannya kemudian turun pada leher Inke yang kelilingi kalung coker hitam dengan bandul kecil di depannya.
“Dia sering mendapat tawaran itu. Tapi selalu ditolaknya. Anda bukan satu-satunya laki-laki yang datang ke sini menawari kami uang.” Inke bangkit dan melepaskan bawahannya dengan santai. Wanita itu lalu melebarkan kakinya dan duduk di pangkuan Roy. Inke sudah setengah mabuk.
Inke melingkarkan kedua tangannya di sekeliling leher Roy. Dia menarik kepala pria itu dan membungkuk untuk berbisik. “Anda ingin layanan apa? Tinggalkan kartu nama aku akan menghubungi.” Inke kembali menegakkan tubuhnya. Membiarkan puting payudaranya menggesek pipi dan bibir Roy.
“Ehem! Pertunjukan selesai. Maaf, kalau aku mengganggu.” Sahara memunguti pakaiannya. Dia membelakangi Roy dan Inke untuk kembali mengenakan selapis demi selapis seragam minim yang tadi dipakainya.
“Apa aku juga harus berpakaian sekarang?” tanya Inke. Kedua tangannya mengacak bagian belakang kepala Roy.
“Kamu nanti aja. Aku perlu ngomong sesuatu ke temen kamu,” ucap Roy. Dia menaikkan alisnya dan sedikit menggerakkan dagu mengisyaratkan pada Inke untuk menyingkir dari pangkuannya.
“Oke, udah selesai. Boleh aku pergi sekarang? Aku—nggak enak mengganggu pelanggan.” Sahara masih merapikan lilitan rok mininya.
“Kalau saya nggak salah, waktu kamu baru selesai satu jam lagi. Miss Nancy belum bilang?” selidik Roy.
Sahara menautkan kedua tangannya di depan tubuh. “Maaf, saya kira—”
“Duduk di sini,” pinta Roy pada Sahara. Dia menepuk bagian kiri sofa untuk gadis muda itu. Inke terlihat tak senang. “Dan kamu … jangan berpakaian. Aku suka cara kamu menuang minuman.” Roy mengangkat gelasnya ke arah Inke.
“Sahara membutuhkan pemicu. Inke harus tetap di sini,” batin Roy.
To Be Continued
Sahara terlihat gelisah saat Roy memintanya duduk di sebelah laki-laki itu. Dia melihat Roy seperti menginginkan sesuatu darinya. Mengingat apa yang selalu dikatakan oleh pengunjung pria club itu padanya, Sahara menebak bahwa keinginan Roy pasti sama saja. Sahara duduk melengkungkan punggungnya elegan mungkin. Dengan dagu yang sedikit terangkat, ia membalas tatapan Roy. Dia tak ingin kalah oleh laki-laki itu. Roy Anindra Smith? Nama yang aneh, pikirnya. Nama pria asing dengan sentuhan lokal. Sahara tak pernah mendengar desas-desus tentang pria ini sebelumnya. Orang kaya baru? Atau bukan penduduk negara ini? Warna cokelat rambut Roy lebih muda dari rambutnya. Dengan minyak rambut yang berkilap, rambut pria itu ditata rapi ke belakang. Lembaran rambut keperakan terlihat berkilau . Cukup tua. Dengan beberapa guratan di sudut matanya, pria di sebelahnya mirip seorang bintang pesebakbola Inggris yang tenar dan sudah pensiun. “Sudah selesai mengagumi saya?”
Roy ingin menggoda gadis perawan di sebelahnya yang mungkin sering menelanjangi diri, namun tak pernah melihat pria telanjang di depannya. Tangan kiri Roy merentang ke sandaran sofa. Tangan kanannya merenggut rambut Inke dan membawa mulut wanita itu agar masuk dan menelan kejantanannya lebih dalam. Dia mendengar suara Inke yang tercekik dan terbatuk kecil. Tangan Inke bergantian memberi pijatan mengelilingi kejantanannya. Roy menggeram. Layanan ini pasti akan membuatnya lama mencapai puncak. “Kamu, nggak mau bergabung?” tanya Roy, melirik Sahara dengan mata sendunya. Tak mungkin dia salah menafsirkan tatapan Sahara. Gadis penari itu baru saja menelan ludah dan menggigit bibir bawahnya. “S-saya? Apa boleh menunggu di luar?” tanya Sahara. Nada suaranya sudah tak terlalu percaya diri seperti saat menolak lembaran cek. “No ...,” bisik Roy. “Kamu harus melihat saya mencapai kepuasan. Karena itu kepuasan untuk saya.” Perkataan Roy seperti gumaman tak jelas.
Roy melirik cengkeraman tangan Sahara di lengannya. Memandang wajah cantik gadis penari itu berlama-lama, membuat perutnya mual. “Kenapa? Mulai penasaran?” tanya Roy. “Waktu bermain-main saya hari ini, sudah habis. Lain waktu, saya datang lagi.”—Roy mengusap pipi Sahara—“Kamu juga pasti sibuk mengurusi wanita di rumah sakit itu,” sambung Roy. “Om—” “Jangan panggil aku, Om!” teriak Roy, menarik napas dalam-dalam dan menggigit bibir bawahnya. Lalu, matanya beralih pada pintu toilet. Inke keluar dengan raut wajah sangat lelah. Wanita itu baru saja memuaskan dirinya sendiri di dalam sana, pikir Roy. Roy membuka pintu ruang karaoke dan bergegas keluar. Sahara menjajari langkahnya di lorong. “Maaf, saya panggil apa? Tuan Roy? Dari mana Anda tau soal Bu Mis? Kenapa bisa tau? Ada apa?” Sahara mencengkeram lengan Roy. “Kamu keliatannya sudah terbiasa berpe
Roy berdiri di padang rumput yang sangat luas. Dia bisa merasakan tiupan angin sejuk menerpa pipinya. Dari kejauhan, seorang wanita berlari sambil tertawa-tawa. Melambaikan sebuah selendang panjang berwarna putih ke arahnya. “Roy! Ayo, ikut aku. Kamu sudah janji akan selalu ada di dekatku. Ayo, Roy, aku sendirian di sini. Aku kangen kamu,” teriak wanita itu sambil berlari mengitari Roy. “Shel! Shelly! Ayo, pulang denganku. Aku sudah membelikan cincin yang cantik untuk kamu. Kamu bahkan belum melihatnya. Shelly ...! Tunggu!” Roy melihat Shelly terus berlari menjauhinya. Dia ingin mengejar wanita itu. Tapi kakinya terasa kaku, berat, tidak bisa melangkah. Setiap kali memimpikan wanita itu, Shelly, Roy tetap tidak bisa mengejarnya. Mimpi yang sama selalu diakhiri oleh hal yang sama. Roy membuka matanya dengan dahi berkeringat. Dia meraba-raba nakas mencari lampu untuk menerangkan kamarnya. Suhu
“Sejak kapan perempuan sekarang harus diberi bunga seperti ini?” Roy mengangkat sebuket besar bunga baby breath ke arah Novan. “Dan … aku minta cincin! Bukan cokelat berbentuk hati.” Roy melihat jijik ke arah paper bag yang baru diletakkan Novan di atas meja kecil bagian tengah mobil. “Pak, Anda minta saran terbaik. Sahara gadis 19 tahun yang keras kepala. Anda nggak bisa melemparkan cincin dan meminta gadis itu memakainya sendiri. Walau dia setengah Brasil, dia lahir dan tumbuh besar di Indonesia, Pak. Anda terlalu lama tinggal di luar negeri—" “Sudah! Diam. Kalau dia mencampakkan bunga dan cokelat ini. Semuanya akan kupungut dan kujejalkan ke mulutmu,” ancam Roy. Novan diam tak menjawab. Perkataan Roy bukan sekedar ancaman. Tapi, dia sudah cukup sebal dengan kekeraskepalaan atasannya yang kadang sangat sulit ditolerir. Hari pertama bertemu dengan Sahara, dia telah mengingatkan untuk berlaku lebi
Sahara masih berdiri di depan ruang berdinding kaca. Menatap ke dalam ruang ICU dengan wajah mengeras. Hampir saja, pikirnya. Hampir saja dia tak bisa memberikan pengobatan layak pada pengasuhnya sejak usia lima tahun. Bu Mis. Wanita yang berteman dengan ibu kandung dan mengetahui soal ayahnya. Pengasuhnya selalu mengatakan, bahwa dia tidak boleh kembali ke kampung ibunya. Sebuah desa kecil di Jawa Barat. Dengan alasan yang bahkan dia sendiri tidak boleh tahu. Sahara merasa tidak bisa membiarkan Bu Mis pergi begitu saja. Sebelum dia bisa mengetahui soal sosok ayah yang katanya seorang imigran asing dan pergi begitu saja meninggalkan sang istri. Siapa ayahnya? Apakah pria itu tahu kalau dia tertinggal sebatang kara sebagai seorang anak keturunan asing yang sering terkucil karena berbeda? Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab. Masih hidup? Atau sudah berteman tanah seperti ibunya? Apa dia punya saudara? Sejak kecil
Sahara berdiri menatap punggung Roy yang menjauh. Lalu menoleh ke arah pintu ruang ICU karena merasa seseorang sedang memandanginya. Ternyata perawat yang melihat saat Roy mengecup lehernya tadi. Sahara mengangguk kecil pada perawat. Kemudian berjalan menuju kursi besi yang biasa ditempatinya jika perlu bermalam di tempat itu. Setelah memastikan perawat tak lagi memandangnya dan Roy telah menghilang di belokan, Sahara perlahan mengangkat buket bunga. Matanya menelusuri tiap bunga baby breath yang dia tahu pasti mahal. Apalagi jika diberikan sebanyak itu. “Wangi,” bisik Sahara, saat mendekatkan hidungnya di atas bunga. “Ehem!” Dia berdeham. Merasa konyol karena mengkhianati perkataannya barusan pada Roy. “Enggak terlalu wangi. Biasa aja,” gumam Sahara, memperbaiki perkataannya. “Lalu ... ini apa?” Sahara bergumam sendirian, menarik sebuah kartu dari rumpun bunga. ‘Polos, put
“Sudah sangat gagah,” ujar Novan berdiri dengan tangan menyatu di depan tubuhnya. Dia sedang memandang Roy menggulung kemeja putihnya sampai ke batas siku. Beberapa setelan terhampar di atas sofa sebelah kanan atasannya. “Kamu minta pihak keamanan rumah selidiki soal dua pemulung yang belakangan sering melintas di luar pagar,” pinta Roy. “Di luar pagar artinya jauh sekali dari pintu depan, Pak. Anda jangan khawatir,” sahut Novan. “Pemulung apa yang dini hari tidak tidur?” tanya Roy memutar tubuhnya. “Banyak, Pak. Orang kelaparan memang biasanya tidak bisa tidur,” jawab Novan. “Aku tidak kelaparan, Mr. Novan. Tapi, aku selalu tidak bisa tidur.” Roy selesai menggulung dua lengan kemejanya. “Karena hidup Anda penuh kekhawatiran dan banyak musuh. Anda bisa saja—” “Musuh itu akan selalu ada, sebaik apa pun kamu memperlakukan oran