“Sejak kapan perempuan sekarang harus diberi bunga seperti ini?” Roy mengangkat sebuket besar bunga baby breath ke arah Novan. “Dan … aku minta cincin! Bukan cokelat berbentuk hati.” Roy melihat jijik ke arah paper bag yang baru diletakkan Novan di atas meja kecil bagian tengah mobil.
“Pak, Anda minta saran terbaik. Sahara gadis 19 tahun yang keras kepala. Anda nggak bisa melemparkan cincin dan meminta gadis itu memakainya sendiri. Walau dia setengah Brasil, dia lahir dan tumbuh besar di Indonesia, Pak. Anda terlalu lama tinggal di luar negeri—"
“Sudah! Diam. Kalau dia mencampakkan bunga dan cokelat ini. Semuanya akan kupungut dan kujejalkan ke mulutmu,” ancam Roy.
Novan diam tak menjawab. Perkataan Roy bukan sekedar ancaman. Tapi, dia sudah cukup sebal dengan kekeraskepalaan atasannya yang kadang sangat sulit ditolerir. Hari pertama bertemu dengan Sahara, dia telah mengingatkan untuk berlaku lebi
Sahara masih berdiri di depan ruang berdinding kaca. Menatap ke dalam ruang ICU dengan wajah mengeras. Hampir saja, pikirnya. Hampir saja dia tak bisa memberikan pengobatan layak pada pengasuhnya sejak usia lima tahun. Bu Mis. Wanita yang berteman dengan ibu kandung dan mengetahui soal ayahnya. Pengasuhnya selalu mengatakan, bahwa dia tidak boleh kembali ke kampung ibunya. Sebuah desa kecil di Jawa Barat. Dengan alasan yang bahkan dia sendiri tidak boleh tahu. Sahara merasa tidak bisa membiarkan Bu Mis pergi begitu saja. Sebelum dia bisa mengetahui soal sosok ayah yang katanya seorang imigran asing dan pergi begitu saja meninggalkan sang istri. Siapa ayahnya? Apakah pria itu tahu kalau dia tertinggal sebatang kara sebagai seorang anak keturunan asing yang sering terkucil karena berbeda? Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab. Masih hidup? Atau sudah berteman tanah seperti ibunya? Apa dia punya saudara? Sejak kecil
Sahara berdiri menatap punggung Roy yang menjauh. Lalu menoleh ke arah pintu ruang ICU karena merasa seseorang sedang memandanginya. Ternyata perawat yang melihat saat Roy mengecup lehernya tadi. Sahara mengangguk kecil pada perawat. Kemudian berjalan menuju kursi besi yang biasa ditempatinya jika perlu bermalam di tempat itu. Setelah memastikan perawat tak lagi memandangnya dan Roy telah menghilang di belokan, Sahara perlahan mengangkat buket bunga. Matanya menelusuri tiap bunga baby breath yang dia tahu pasti mahal. Apalagi jika diberikan sebanyak itu. “Wangi,” bisik Sahara, saat mendekatkan hidungnya di atas bunga. “Ehem!” Dia berdeham. Merasa konyol karena mengkhianati perkataannya barusan pada Roy. “Enggak terlalu wangi. Biasa aja,” gumam Sahara, memperbaiki perkataannya. “Lalu ... ini apa?” Sahara bergumam sendirian, menarik sebuah kartu dari rumpun bunga. ‘Polos, put
“Sudah sangat gagah,” ujar Novan berdiri dengan tangan menyatu di depan tubuhnya. Dia sedang memandang Roy menggulung kemeja putihnya sampai ke batas siku. Beberapa setelan terhampar di atas sofa sebelah kanan atasannya. “Kamu minta pihak keamanan rumah selidiki soal dua pemulung yang belakangan sering melintas di luar pagar,” pinta Roy. “Di luar pagar artinya jauh sekali dari pintu depan, Pak. Anda jangan khawatir,” sahut Novan. “Pemulung apa yang dini hari tidak tidur?” tanya Roy memutar tubuhnya. “Banyak, Pak. Orang kelaparan memang biasanya tidak bisa tidur,” jawab Novan. “Aku tidak kelaparan, Mr. Novan. Tapi, aku selalu tidak bisa tidur.” Roy selesai menggulung dua lengan kemejanya. “Karena hidup Anda penuh kekhawatiran dan banyak musuh. Anda bisa saja—” “Musuh itu akan selalu ada, sebaik apa pun kamu memperlakukan oran
Roy bisa mendengar suara Sahara bergetar saat menanyakan hal itu padanya. Putri bungsu keluarga Spencer itu memang cantik sekali. Memang cukup disayangkan Roy tak bisa menatap wajah gadis itu berlama-lama. Seandainya bisa, sejak awal dia pasti meniduri Sahara berkali-kali. Sahara diselamatkan oleh trauma yang dideritanya belasan tahun. Tangan Sahara menggenggam lemah kejantanannya. “Kamu harus memegangnya sedikit lebih erat. Itu tidak akan melukaimu, Rara ...,” bisik Roy, menarik napas dan menyandarkan kepalanya ke sofa. “Om, gimana kalau aku bersedia dinikahi, tapi aku belum siap untuk ... melakukannya?” tanya Sahara, menatap Roy yang memejamkan mata. Dia menunduk memandang bagian tubuh Roy yang sudah mengetat di dalam genggamannya. “Anggap aku membeli keperawananmu dengan cara yang paling terhormat,” ujar Roy. “Bermalam denganku saat kau siap. Aku akan membereskan soal pengobatan Bu Misrawa
Roy menyesap dan melumat puting Sahara dengan rakusnya. Lingkaran dengan titik kecil menggemaskan itu memang menggodanya sejak pertama kali dia melihat Sahara menari erotis di atas panggung. Tangan kiri Roy meraih satu tangan Sahara dan menggenggam jemarinya sejenak. Menautkan jemari mereka, kemudian perlahan mengangkat tangan gadis itu. Lumatan keras Roy memaksa tubuh Sahara menjadi condong ke belakang. Memaksa gadis itu untuk merebahkan tubuhnya ke sofa panjang tempat mereka duduk. “Om, jangan sekarang,” rintih Sahara dengan nada lemah. Roy mengangkat wajahnya dari atas dada gadis itu. “Kamu nikmati saja. Aku tidak akan meniduri kamu sebelum kamu menjadi istriku. Ini … hanya perkenalan,” bisik Roy. “Satukan kedua tanganmu di atas kepala. Aku mau memegangnya.” Suara Roy berupa perintah. Dengan tangan kirinya, Roy menggenggam dan menyatukan dua tangan gadis itu di atas kepalanya. “Cium aku,”
Roy membasuh wajahnya berkali-kali. Sudah sejak tadi ia menahan rasa mual di perutnya. Harusnya tadi dia menelan sebutir saja obat penenang. Setidaknya acara semi bercinta yang sedang dia lakukan tak akan rusak oleh mimpi buruknya. Walau begitu, Roy sedikit berbangga diri. Yang baru saja terjadi merupakan kemajuan besar. Mengingat dia muntah hebat hanya karena berbicara sebentar dengan Sahara di rumah sakit. Usai merapikan pakaiannya Roy keluar toilet dan melihat Sahara sudah kembali mengenakan seragamnya, dan duduk memangku tangan. Wajahnya terlihat lesu. Klimaks sesaat yang lalu jelas membuat gadis itu menjadi sedikit lemas. Jika menuruti cara yang benar, harusnya Sahara berbaring di ranjang dan tidur sampai pagi. Gadis itu menoleh takut-takut ke arahnya. “Sudah dibersihkan?” tanya Roy, memandang ke arah tong sampah yang letaknya sedikit bergeser. Sahara pasti sudah membersihkan cairan yang dikeluarkannya tadi.
“Siapkan pernikahan untuk besok pagi,” ucap Roy sesaat mobil yang dikemudikan Novan melaju. “Anda terlihat lelah,” kata Novan, melirik spion tengah. “Jangan tanya soal apa yang kulakukan di dalam. Harusnya kamu menjawab soal perintahku tadi, Mr. Novan.” Roy merebahkan kepalanya di jok dan memejamkan mata. Perutnya kosong dan tubuhnya sedikit lemas. Dibenaknya sekarang terbayang tatapan Sahara saat dia menindih gadis itu. Matanya persis sama dengan mata kakak laki-lakinya, Thomas Sebastian Spencer. Roy berdecih. Dia mulai berpikir akan menggunakan alkohol alih-alih obat penenang untuk memberi pelajaran pada Sahara di malam pertama mereka. “Siap, Pak. Malam ini saya bakal menyiapkan semuanya. Besok pagi Anda akan menikah dan siang hari Anda akan berstatus seorang suami.” Novan sengaja mengatakan hal itu untuk melihat reaksi atasannya. “Gadis itu mau melanjutkan pendidikan
Malam itu Sahara tak bisa tidur. Usai Roy pulang dari club, Sahara juga meminta izin pada Nancy untuk kembali ke rumah sakit. Tadi dia sempat melihat kondisi Bu Mis. Perawat yang bertugas di ruang ICU mengatakan kondisi wanita itu mulai stabil. Penyakit Bu Mis memang sudah komplikasi. Muncul penyakit baru yang didapatnya setelah berkali-kali cuci darah. Sebelum tidur, Sahara mencuci pakaian kotornya, baru kemudian menghempaskan tubuh di ranjang kamar kos-kosan. Tempat tinggalnya di sebuah jalan persis di sisi kanan gedung rumah sakit. Cukup mahal dan bagus. Tapi, tak berisi banyak barang-barang. Barang miliknya hanya empat koper yang tergeletak di lantai. Televisi pun tak ada, cuma penanak nasi. Penghuni kos-kosan itu rata-rata adalah keluarga pihak pasien yang merasa jauh jika pulang ke rumah. Tubuhnya berbaring dan pikirannya berkelana. Ia tak bisa menghilangkan bayangan sosok Roy yang sedang menindihnya. Rambut Roy yang menutupi sebagian dahinya,