“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Ingatan Roy sedang meluncur ke tujuh tahun silam. Saat dia mendatangi rumah berdinding papan di pemukiman padat penduduk, dan melihat bocah perempuan duduk menampi beras di depan pintu. Rambutnya yang berwarna cokelat gelap terlihat kusut dan diikat asal. Tak ada orang di sekitar sana yang melihat Roy memegang dagu gadis itu dan memandang wajahnya lekat-lekat. Bola mata berwarna hazel gadis itu menatapnya dengan tanpa rasa takut. Guratan wajah keturunan campuran, terlihat jelas dari rautnya. “Om, siapa?” tanya gadis kecil itu, menyingkirkan tangan Roy dari dagunya, lalu kembali melanjutkan pekerjaan. “Om?” tanya Roy. Dia tertawa kecil. Ternyata usianya yang menginjak 33 tahun sudah tampak seperti om-om di depan gadis itu. “Kamu sekolah kelas berapa?” tanya Roy, berjongkok di depan alat penampi beras. Tangan mungil di depannya bergerak dengan cekatan mencampakkan butir batu kecil ke tanah. “Ak
Peraturan dasar club penari telanjang di mana-mana nyaris sama. Peraturan untuk para tamu, dilarang menyentuh para penari. Seberapa pun besar keinginan mereka. Sedangkan untuk para penari, mereka boleh mendekati tamu, menyentuh dengan belaian tipis, bergelayut, atau duduk di pangkuan tamu dengan manja. "Baru kali ini?" tanya Roy, menoleh pada Novan yang terlihat sangat tekun. Novan membetulkan letak duduknya. "Ehem. Baru kali ini, Pak," sahut Novan. "Sepertinya, saya harus sering-sering ajak kamu ke tempat begini." Roy kembali menatap panggung. Novan menoleh atasannya dan mengangguk samar. "Terima kasih, Pak." Apa lagi jawabannya selain terima kasih? Pertanyaan Roy membuat Novan menoleh dan pria itu kehilangan seorang penari yang jadi favoritnya. Para wanita muda bertubuh sintal dan berwajah jelita itu bukan pelacur. Mereka hanya para penari biasa. Bedanya, mereka
“Bagaimana?” tanya Nancy, menatap Roy. “Kita langsung ke ruangan VIP?”Roy menoleh ke arah Novan. Asistennya itu pasti mengerti apa yang harus dilakukan.“Saya tunggu di mobil, Pak.” Novan mengangguk kecil dan berlalu dari tempat itu.Nancy mengibaskan tangan, mempersilahkan tamunya agar mengikuti.“Saya kira awalnya Pak Roy cuma ingin melihat Rara—Sahara maksud saya. Rupanya Pak Roy juga jeli kalau Inke juga luar biasa,” ucap Nancy diiringi tawa kecil.Roy tak menanggapi. Dia memasukkan satu tangan ke saku dan satu lainnya kembali menutup hidung dengan sapu tangan. Dia butuh satu gadis seperti Inke sebagai media peraganya. Kepribadian Sahara dari hasil penyelidikannya selama ini, sedikit membuatnya tertantang.Nancy melirik hal yang dilakukan Roy dan seketika menghentikan tawanya. Tamu yang amat men
Sahara masuk ruangan dengan pakaian utuh di tubuhnya. Walau tetap sangat minim, setidaknya wanita muda itu tak lagi telanjang bulat seperti di panggung tadi. Rok pendek berkilap dengan butiran manik yang ukurannya hanya sejengkal menutupi bagian bawah tubuhnya. Sedangkan bagian atas, dadanya juga tertutup semacam bra bercorak senada. Gemerlap dan memiliki asesoris mengkilap di bawah minimnya cahaya ruangan. Dan sepertinya, itu adalah seragam yang diberikan club. Karena Inke masuk dengan pakaian yang nyaris serupa. Hanya berbeda model sedikit. Inke masuk ke ruangan dengan tatapan antusias dan tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Tapi, ketika melihat Roy memandang Sahara terus menerus, Inke mengurangi senyum di wajahnya. “Seperti biasa, Miss?” tanya Sahara pada Nancy. “Tunggu instruksi, Ra.” Nancy merapatkan giginya. Kesal kenapa dari sekian banyak gadis penari, tamu d