Kubuka sebuah kotak hadiah, didalamnya ada sebuah harmonica yang sangat cantik. Makasih Nisa, Awan akan menjaga ini.
"Belum tidur nak ?" Aku dikagetkan dengan suara Ibuku yang tiba-tiba aja sudah berdiri disebelah tempat tidurku
"Eh Awan kenapa ?" tanya Ibu ketika melihat mataku agak merah dan masih ada sisa air mata yang tak sempat kuhapus semua
Ketika melihat ditanganku ada surat dan sebuah harmonica, Ibu jadi mengerti kenapa Aku terlihat bersedih.
"Karena ini yah ?" Aku meletakkan surat dan beberapa hadiah dari teman-temanku serta hadiah dari Nisa ke rak lemari
"Awan pasti punya teman-teman yang hebat yah disana ?" tanya ibu lembut.
Aku hanya diam, sambil menatap Ibu manja.
"Bu, boleh gak Awan tidur sama ibu malam ini, Awan rindu." Rajukku.
"hmnn, apaan sih anak Ibu, jadi manja gini ?"
"Yah, kan kita sudah lama gak jumpa, Ibu gak tahu sih betapa Awan rindu sama ibu." Ujarku sambil tiduran dipelukan ibu.
"Ih malu atuh, tar dilihat sama Ren gimana ? diketawain Awan nanti." kata Ibu sambil mengelus kepalaku.
"Biarin lah bu," jawabku cuek.
"Dulu waktu dikampung melihat anak sebaya Awan jalan sama orang tuanya, atau ketika mengambil rapor mereka selalu didampingi oleh orangtuanya. Awan juga ingin begitu! tapi Awan sadar, ibu jauh di rantau. Dan Ibu merantau karena untuk Awan juga kan!" ucapku sambil memejamkan mata, mengingat masa-masa ketika dikampungku.
Ibu terlihat menangis, "maafin Ibu Nak! Ibu yang tak ada disamping Awan."
"eh ma-maaf bu, bukan maksud Awan membuat bersedih." rajukku, Aku paling takut membuat Ibu bersedih.
"Gak nak, Ibu hanya sedih karena tidak ada disaat Awan butuh Ibu. Ibu sayang sama Awan, dan Ibupun sangat bangga padamu Nak! di saat Ibu tidak ada, Awan bisa bertahan dan bahkan selalu mengharumkan nama keluarga kita dengan prestasi-prestasi Awan disekolah, Ayah (Kakek) selalu cerita ke Ibu tentang Awan ke Ibu kok dan Ibu janji, mulai saat ini dan kedepannya Ibu akan selalu menemani Awan."
"itu semua karena Kakek, Bu. Kakek selalu memaksa Awan belajar, memaksa Awan untuk bisa mandiri." Aku jadi teringat ketika Kakek yang selalu memarahiku ketika Aku tidak melakukan perintah Kakek ataupun ketika Aku nakal tidak mengindahkan perintah Kakek dulu.
"Itu kan karena Ibu yang minta sama Kakekmu nak, Ibu minta pada kakek untuk mendidik Awan menjadi kuat, karena akan banyak rintangan kehidupan yang akan Awan hadapi kelak." jawab Ibu sambil tersenyum.
Walau agak sedikit kurang paham dengan maksud perkataan Ibu yang terakhir, Aku anggukan kepala untuk mengaminkan ucapan Ibu.
"Iya Bu, Awan tahu kok. Kakek keras ke Awan, agar Awan kuat dan bisa mandiri, gitukan Bu?" ucapku sambil bangkit dari pangkuan ibu.
"Ren boleh tidur sama Ibu kan ?" tanya Renata yang tiba-tiba sudah ada dalam kamarku, pintu kamarku yang terbuka ketika Ibu masuk tadi. Eh, orangnya langsung nyelonong masuk aja dan duduk disamping kanan Ibu sambil memeluk Ibuku manja.
Ibu yang melihat Ren, cuma bisa tersenyum dan geleng-geleng kepala.
"Gak ahh. tadi Awan yang minta tidur sama Ibu, sekarang Ren juga ikutan, terus Ibu tidur sama siapa dong ?" kata Ibu bercanda.
"Ibu mah gitu, sudah ada Awan sekarang, jadi Ibu gak mau temani Ren tidur lagi yah! Aku kan kangen tidur di boboin sama Ibu." katanya masang wajah cemberut.
"Gini aja deh, kalau begitu Ren tidur dikamar Ibu, Awan tidur disini yah!" ucap Ibu memberi solusi yang sangat tidak menguntungkanku.
loh loh kenapa Ibu malah seperti menuruti keinginan Ren yah ?
"Lah kok gitu bu ? kan Aku yang lebih kangen sama Ibu." Protesku.
"Yah mana bisa toh nak! Ren kan perempuan, yah gak bisa lah Awan tidur bareng, gak muhrim." terang ibu.
"Hahaha rasain, week." tawa Ren senang sambil memeletkan lidahnya.
"Ya udah tidur dulu gih, besok mau sekolah pagi loh." perintah Ibu.
"Yah Buu." jawabku lemas.
"Malam ini tidur ma Guling aja dulu yah, hihihi," kata Ren dengan tawa kemenangannya.
Akupun hanya bisa geleng-geleng sendiri.
Saat aku melihat ke rak lemari, disana masih ada surat dan hadiah dari teman-temanku yang masih belum sempat kusimpan, Eh tadi Ren lihat gak yah surat ini ? untung ketika Ibu datang surat dan hadiah pemberian Nisa sudah ku tarok di atas rak lemari yang agak tinggi. Kalau Ren lihat, bisa-bisa ditertawakan nih, apalagi sampai mewek karena ini, mengingat kebiasaan gadis itu yang suka mencandaiku, bisa-bisa dibully Aku tar, hadeeh.
POV Renata
Hai, namaku Renata. Sekarang Aku kelas 3 di salah satu SLTA Internasioanal di kota Bandung. Kata orang yang mengenalku, mungkin Aku akan dibilang seorang Gadis yang manja dan cengeng. Mungkin juga sih, itu dikarenakan orang-orang yang melihatku sebagai anak satu-satunya dari keluarga Konglomerat Wijaya. Secara fisik, tinggiku 165cm dengan kulit putih. Sedikit cubi sih, tapi kalau kata teman-temanku, justru disitulah yang membuatku terlihat seksi. Mungkin turunan dari mamah kali yah. Cukup segitu dulu perkenalan tentang Aku yah.
Dirumah Aku punya beberapa pembantu, dengan satu kepala pembantu, namanya Ibu Arini, usianya sekitar 45an. Dia sudah mengabdi belasan tahun dikeluargaku, bahkan sejak Aku masih balita. Tapi Aku dan keluarga lebih dekat secara personil dengan Ibu Arini, bagiku sosok nya lebih sebagai seorang Ibu yang tidak pernah Aku dapatkan dari Mamaku, beliau sangat perhatian, selalu jadi pendengar segala curhatku, termasuk kapan Aku pertama kali dapat datang bulanpun, beliau yang pertama tahu. Bukan karena Mamaku cuek atau tidak perhatian kepadaku. Mungkin karena Mamah adalah sosok wanita karir yang sangat tekun, Mamah sama Papah sepaket dua paket, karena kesibukan mereka dengan pekerjaannya, tidak heran jika perusahaan kami jadi seperti sekarang. jadi Aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan Bu Arini Pembantuku. Tapi herannya, Aku malah lebih terasa sangat dekat sekali dengan bu Arini. Kadang kami seperti teman, kenapa Aku memanggilnya Ibu, bukan Bibi atau Mbok seperti Aku memanggil pembantu kami yang lainnya, itu dikarenakan anak Bu Arini yang memanggilnya begitu. Seiring kedekatanku dengan Bu Arini, kekagumanku pada sosoknya yang penyayang, juga membuatku kagum dengan anaknya. Yang membuatku kagum, meski bu Arini jauh-jauh bekerja disini, tapi anaknya selalu berprestasi loh. Sering Aku ikutan mendengar ketika Ibu sedang telponan dengan anaknya, yang bernama 'Saktiawan Sanjaya'. Nama yang bagus dan berkharisma, apa orangnya juga setampan namanya yah ? Ibu pernah melihatkan foto Awan (panggilannya) kepadaku. Dari kekaguman tersebut Aku jadi penasaran ingin berjumpa langsung dengan orangnya, kira-kira bagaimana reaksinya yah bertemu denganku nantinya, jadi gak sabar menunggu saat itu tiba, hayalku membuatku senyum-senyum sendiri.
Akhirnya kesempatan untuk bertemu dengan sosok yang membuat Aku penasaran selama ini kesampaian juga. Ketika Ibu mendapat kabar, dari kampungnya kalau Ayah (Kakek Awan) satu-satunya meninggal dunia, beliau sempat ijin beberapa minggu pulang ke kampung halamannya. Ketika kembali kesini, beliau bercerita kalau Awan anaknya mungkin akan di sekolahkan disini dan meminta ijin Papah dan Mamah untuk membolehkan Awan sekolah disini, karena disana tidak ada lagi kerabat yang akan menjaganya, Ibu ada sih keluarga jauh, tapi merasa kurang percaya untuk menitipkan Awan ke keluarganya tersebut. Gayung bersambut, Papah dan Mamah menyambut baik keinginan Ibu, bahkan Papah berjanji untuk menanggung semua keperluan biaya sekolah Awan selama disini. Mendengar kabar itu, Aku turut senang sekaligus sedih, untuk seorang Awan yang bahkan Aku belum bertemu dengannya.Aku jadi kepikiran keadaan Awan saat ini, pasti saat ini Ia sedang sedih-sedihnya. Kakek satu-satunya yang menjaganya selama ini telah tiada, a
POV Author Sementara itu, dalam kamar utama di Rumah mewah tersebut, tampak sepasang Suami Istri, Agus Wijaya dan Istrinya sedang berbincang serius sambil berbaring diatas kasur. "Pah.." pangil si Istri. "hmnnnn..." jawab sang suami sambil mengelus kepala si istri. "Papah yakin mengangkat Awan menjadi anak angkat kita ?" tanya si istri agak serius. "Yakin mah, kenapa ?" tanya balik si Suami. "Gak pah, lagian mamah masih heran aja sama papah, kita baru kali ini lihat Awan langsung, tiba-tiba Papah langsung mengangkatnya sebagai anak angkat kita, yah walau kita tahu mbak Arini sudah lama mengabdi dengan kita dan gak usah diragukan lagi loyalitasnya, tapi dengan Awan kita kan gak tahu besarnya dikampung seperti apa!, lingkungan kayak gimana!" "Mamah sangsi gitu ?" "Gak sih Pah, Cuma Mamah heran aja ma Papah, gak biasanya gitu", tanya si Istri heran. "Gak usah heran sayang, kan jauh-jauh hari kita dah diskusikan masalah ini juga. Walau papah agak sedikit ragu awalnya. Tapi, mamah
POV AriniJam 3 pagi Aku terbangun, setelah cuci muka. Aku melangkahkan kaki kedapur, sebelumnya kusempatkan untuk membangunkan Surti dan Inah membantu menyiapkan sarapan untuk semua penghuni rumah ini.Entah kenapa hari ini Aku sangat senang sekali, mungkin karena kedatangan Anakku satu-satunya. Setelah sekian lama kami terpisah jarak dan waktu, kesempatanku bertemu dengannya hanya beberapa kali, itupun dalam waktu yang tidak lama ketika Aku pulang kekampung halaman. Sedih rasanya tidak bisa melihat bagaimana Ia tumbuh, bahkan untuk menyuapi makan aja ketika ia kecil bisa dihitung hanya beberapa kali saja. Untung ada Ayah dan Ibuku yang bantu merawat buah hatiku.Ibu meninggal setahun yang lalu, beberapa bulan setelah itu Ayah ikut pergi menyusul Ibu, Aku ijin Pak Agus dan istrinya untuk pulang beberapa minggu lamanya. Perasaan sedih yang sangat mendalam kurasakan kehilangan sosok orang tua yang telah melahirkanku, mereka adalah sosok orang tua yang sangat sederhana. Teringat, ketika
POV Awan Hoaammm.. pagi ini Aku terbangun dengan badan sedikit pegal. Kulihat sekeliling, Aku sedikit kaget, kok tidur diatas tempat tidur yang bagus dan sangat empuk begini ? Dengan ruangan yang sangat asing bagiku, astaga Aku baru ingat kalau saat ini tidur di rumahnya majikan Ibuku. Kulihat jam di dinding kamar jam 3.40 dini hari. Aku siap-siap dulu. Sejenak Kulihat hape jadulku, ada beberapa sms dan panggilan tidak terjawab, Aku lupa kalau dari kemarin hape kusilent. From Kak Rini 081xxxx "Awan jadi dijemput ibumu ?" "Jadi ketemu ibunya ?" "Awaann kok g di bales ?" "Kamu gak apa" kan, gak nyasar kan dek?" Ada beberapa sms dari kak Rini ternyata, kusempatkan balas pesannya. "Udah sampai Kak, ini baru bangun. Maaf yah kemaren hpnya di silent jdnya gak tau kalau kk sms", balasku. send. Ting tingg.. Loh cepat kali balasnya ? gak tidur nih apa si mbak-mbak, pikirku. "hmnnn kk kira kamu kenapa-napa ? :(" "hehee aman kok kk cantik :)" balasku. "Ya udah siap-siap sana gih!
"Kamu kemana sih Awaan ? baru juga hari pertama dah main ngilang-ngilang aja ?" ujar Renata sewot saat Aku sudah didepannya. "Itu,, tadi lagi ngobrol sama Ibu dibawah." jawabku agak kikuk didepan Ren. "hmmnn kamu mandi dulu gih, tuh pakaiannya dah Ren tarok diatas tempat tidur." Ucap Ren sambil menunjuk keatas tempat tidurku, dan disana terlihat satu stel pakaian sekolah yang sudah dilipat dengan rapinya. "Awas yah kalau dalam 10 menit kamu belum siap." tunjuknya kehidungku sambil dengan gaya sedikit melotot gemas menatapku. "Oke siap bos!" jawabku pake pose hormat. "Ingat, yang cepat yah!" katanya sebelum keluar dari kamarku, terlihat Renata seperti menahan senyumnya ketika keluar dari kamarku. Ketika dikamar mandi Aku sempat bingung, aduh mana bak airnya, mana cuma ada tempat duduk (closet) begini, gimana mandinya ? pikirku bingung. Cuma ada tempat cuci tangan kecil (westafel) gak mungkin kalau mandinya dari air sini ? hmnnn Aku buka tempat duduk (closet) yang ada didekatku, te
Pagi itu kami makan, tanpa didampingi oleh pak Agus dan Istrinya, ternyata pas Aku mandi tadi, mereka telah pergi duluan. Kata Ibu, pak Agus dan Istrinya pergi ke Singapur untuk mengurus pekerjaan mereka yang disana.Setelah sarapan, Aku pamit dan salim sama Ibu. Anehnya Ren, kulihat juga ikutan salim pada Ibu dengan cara yang sama, entah karena biasa begitu atau hari ini aja karena mengikutiku, entahlah! Aku hanya tersenyum saja melihatnya.Kami diantar oleh Pak Usman supir pribadi keluarga Wijaya ke sekolah. Ketika sampai digerbang sekolah, sekali lagi Aku dibuat terkagum dengan kemegahan sekolah tempat Aku akan menimba ilmu ini. Dari dalam mobil kulihat gedung sekolah ini yang terdiri dari beberapa lantai."Udah ahh, jangan gitu banget lihatnya." tegur Ren yang duduk di sebelahku."eh iya..""oh ya, nih!" kata Ren sambil memberikan sebuah amplop berwarna coklat kepadaku."Apa nih Ren ?" tanyaku heran"tau tuh, Papah yang nitip tadi, buat Kamu." katanya kalemKetika kubuka, kulihat i
"Saktiawan S. Wijaya," terdengan suara staff TUnya memanggil namaku. "eh iya, saya Mbak." jawabku berdiri dengan mendekat ke depan mejanya. "Ini persyaratanya sudah lengkap yah. nanti kamu langsung masuk aja kekelas, sesuai rekomendasi dari pak Kepala kamu masuk kekelas 2 IPA 1. Untuk kelasnya tar di antar sama pak Ujang, satpam sekolah." sambil menyerahkan beberapa lembar kertas, kulihat ada map sekolah lengkap dengan kelasnya. "eh gak usah Mbak, biar saya sendiri aja gak apa-apa." tolakku ramah. "oh ya udah kalau begitu, dan ini kunci loker kamu." sambil menyerahkan 2 buah kunci yang ada nomornya padaku. "Didalamnya sudah ada seragam olah raga, dan satu stel seragam sekolah." lanjutnya. "Ada pertanyaan lagi ?" tanyanya tersenyum ramah. "hmnn gak ada Mbak, sementara cukup jelas infonya. Nanti kalau ada yang ragu, saya tanyakan sama Mbak lagi aja." "Oke deh. selamat bergabung di sekolah ini yah!" katanya sambil tersenyum manis padaku. "oh oke mbak... Aku masuk kelas dulu yah."
Kemudian tampak Bu Shinta memperhatikan jawabanku dengan seksama, serta dengan raut wajah seakan tak percaya. "Jawabannya tepat, tapi kok rumusnya begini ?" tanya Bu Shinta heran. "Ada yang salahkah memangnya Bu ?" jawabku dengan balas tanya pada Bu Shinta . "Gak salah, selama jawabannya benar. Tapi, Saya heran saja, karena selama ini belum pernah Ibu belajar rumus matematika manapun seperti yang kamu tulis didepan, rumus apa yang kamu pakai ?" tanya Bu Shinta heran. "Trachtenberg." jawabku singkat dan padat. "Hah apa ?" tanya Bu Shinta seolah ingin memastikan kembali jawaban yang didengarnya. "Trachtenberg." Ulangku dengan sedikit penekanan. "Apa itu ?" tanya Bu Shinta , merasa asing dengan istilah yang kugunakan. "Metode Trachtenberg lebih tepatnya bu." "hmnnn..." gumam Bu Shinta sambil agak mengernyitkan alisnya sambil berfikir apa Ia pernah belajar atau mendengar metode seperti yang Aku sebutkan barusan. "itu adalah sebuah metode matematik dalam memecahkan setiap permasal