Share

Pertemuan keluarga.

Saat pertandingan Meretas itu siap, hari telah menjelang sore. Ellina menghabiskan seluruh waktu yang tersisa dengan menjelajahi dunia melalui laptop Lykaios yang ia dapatkan. Matanya fokus pada saru titik, tak peduli kegaduhan yang telah ia ciptakan di luar kelasnya. Matanya sama sekali tak menoleh pada titik lainnya meski kelasnya telah begitu ramai layaknya pasar karena banyaknya pria yang ingin mengenalnya. 

Di dalam kelas, tak satupun orang ingin keluar. Ini merupakan anugerah untuk mereka karena dapat melihat dewi kecantikan mereka secara dekat. Diam-diam Alvian dan Lykaios mengamati tanpa kata. Lalu beralih pada luar ruangan yang telah ramai dengan semua pria dengan hadiah kecil di tangan mereka. 

Bukankah ini menyebalkan? Kenapa mereka menghalangi pintu? 

Aku sangat sadar akan daya tariknya, tapi bukan berarti aku harus menanggung tatapan semua orang, oke? Sejak kapan wanita itu mahir dalam laptop? 

Itu adalah suara Lykaios dan Alvian yang mulai mengeluh. Belum lagi suara-suara gadis dalam kelas yang menatap sebal pada ketidakpedulian Ellina. Ia bahkan lupa pada janji pertemuan keluarga. Hingga saat langit telah begitu sore, ia baru bangkit dari duduknya. Dan dalam waktu bersamaan, semua orang dalam ruangan refleks bangkit mengikutinya. 

Ellina menoleh heran. Mengerutkan keningnya pada reaksi orang satu ruangannya lalu pada keramaian di luar sana. Tatapannya tak mengerti, seakan bertanya; kenapa dengan tatapan mereka semua? 

Mereka semua ingin melihatmu, oke?!

Dia bahkan tak sadar bahwa dunia telah berputar di kakinya! 

Bisakah kau lebih sadar akan sekitarmu? Kau membuat mereka mendatangi jurusan IT layaknya artis top yang naik daun. 

Dari itu semua, kenapa aku ikut merasakan ketidaknyamanan yang tercipta! 

Dan itu adalah berbagai jawaban dari tatapan tak mengerti Ellina dari berbagai sudut. Ellina melangkah pelan dengan tas di bahu kanannya. Melewati Alvian dan Lykaios begitu saja tanpa kata. Membuat Alvian kesal setengah mati pada kekalahannya. Sedangkan keramaian itu mulai melonggar seakan menciptakan jalan untuk Ellina berlalu. Dan mereka bahagia, mengikuti langkah Ellina dari belakang dengan ajakan-ajakan kencan yang memikat. Tapi Ellina menolak itu semua. 

Tepat saat ia menunduk, sepasang sepatu biru navy hadir di hadapannya. Ia mendongakkan wajahnya saat wajah tak asing itu menyapa. 

"Ellina," panggil pria itu memastikan. Tangannya jelas menatap video pertandingan antara Ellina dan Alvian dan semua saat Ariella melucuti make up Ellina. 

Ellina membeku. Wajah itu, jika di masa lalu ia sangat mencintainya hingga ingin mati, namun saat ini ada rasa dingin yang menyapa. Ia sangat ingat, bagaimana pun ia menjelaskan, kekasih masa lalunya itu tetap meninggalkannya dan lebih memilih Lexsi sebagai pilihan hidupnya. Senyum dingin Ellina mengudara, rasa sakit dan kilatan benci itu terlihat. 

"Aku tak salah. Kau memang Ellina," ucap Aaric lega pada akhirnya. Ia tak pernah menyangka bahwa gadis di depannya bisa berubah sangat cantik dalam hitungan detik. Ia bahkan terpesona. 

"Kau mencariku?" tanya Ellina dingin. Ia ingat, di masa lalu ia hanyalah umpan untuk mendekati Lexsi. 

"Hmm," tanpa banyak kata Aaric mengambil alih tas Ellina. "Mari pulang." tangannya dengan cepat menggengam tangan Ellina untuk berjalan. Dan cacian marah terdengar dengan riuh. 

Ellina menarik tangannya. "Aku pulang sendiri," 

Aaric mengerutkan keningnya. "Ell, ada apa denganmu? Apa kau lupa pada hari jadi kita? Hari ini adalah Anyversary kita yang setahun."

Ellina terlihat linglung. Menghitung waktu mundur dan mencoba mengingat kejadian di masa lalu. Ia sangat ingat pada hari ini, Aaric tak datang dan membiarkannya menunggu di jalan hingga malam. Saat ia pulang sendiri ke rumah, ia melihat Lexsi dan Aaric berpelukan lalu amarah datang dari orangtuanya karena keterlambatan pada pertemuan. 

Pertemuan! 

Kata itu membuat Ellina sadar. Ia menarik tasnya dari tangan Aaric lalu beralih melangkah cepat. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan pertemuan keluarga itu! 

"Ell, Ell, ada apa?" tanya Aaric menahan tangan Ellina. 

"Kita putus!" ucap Ellina sejurus tanpa pikir. 

Wajah Aaric mengeras. "Apa katamu?" 

Langkah Ellina tertahan. Matanya menatap wajah di depannya lekat. "Kita putus!" ulangnya jelas. Membuat suasana bahagia di sisi lain ruangan. 

Aaric tertawa kecut. "Jangan becanda. Kita sudah satu tahun bersama--"

"Bersama Lexsi?" potong Ellina membuat riak di wajah Aaric berubah. "Aku tahu semuanya." 

"Apa yang kau katakan?" tanya Aaric tak mengerti. Hari ini kekasihnya benar-benar aneh. Bahkan terlihat sangat berbeda. Biasanya ia akan menempel padanya layaknya lem hingga ia merasa jijik. Tapi hari ini, ia memiliki kata-kata putus. Tentu saja itu tak bisa di terima!

"Tak ada yang perlu di jelaskan. Kau cocok bersama--"

"Lexsi?" potong Aaric. "Kau benar! Aku memang menyukainya pada awalnya. Tapi hari ini sangat berbeda--"

"Tak ada yang beda. Aku tak menerima cintamu. Aku juga telah buta karena memilihmu!"

Mulut Aaric ternganga pada kejujuran Ellina. Kata-kata Ellina menyambut tawa puas dan pandangan remeh dari setiap pria. Wajah Aaric mengeras. Ia membiarkan Ellina melangkah menjauhinya. Ia sadar, ia baru saja di tolak dan putus saat baru saja ingin memperbaiki segalanya. Tapi siapa yang peduli, harusnya ia senang. Karena mulai sekarang, ia bebas besama Lexsi. Tapi kenapa hatinya merasa tak rela? 

Alvian dan Lykaios yang melihat itu semua tertawa terbahak-bahak. Tawa sama pun menyambut. Aaric menatap kesal lalu meninggalkan kelas IT dengan cepat. Menggerutu karena malu setelah semua yang terjadi. 

"Putus?" ucap Alvian lirih. "Bagus! Kecantikan kita tak harus bersama idola kelas lain. Akan lebih bagus jika hanya menjadi milik jurusan kita saja,"

Lykaios tak banyak berkomentar. "Kurasa kita harus melihat kelas kita ramai setiap saat,"

Alvian menatap sekitarnya. "Kenapa mereka masih disini?" tanyanya tak mengerti padahal Ellina telah pergi. Namun kelas itu tetap ramai.

***

Hari telah menjelang malam saat Ellina baru saja sampai di pintu gerbang rumahnya. Rumah itu tampak sunyi hingga ia yakin bahwa pertemuan itu pasti di undur. Dalam masa lalu, ia ingat saat itu, Kenzie sama sekali tak datang pada setiap pertemuan hingga menjelang hari pernikahan. Memikirkan hal itu, hatinya cukup lega. Bagaimanapun ia belum sanggup jika harus bertemu dengan Kenzie sekarang. 

Pintu rumah itu terbuka saat Ellina baru saja memegang gagang pintu. Tubuhnya bergetar kaku dengan ekspresi terkejut yang luar biasa. Ia bahkan tak berkedip saat sosok di hadapannya menatap wajahnya dengan dingin. Ketakutan, kebencian dan kemarahan bercampur aduk menjadi satu. Hingga ia tak tahu harus berbuat apa.

"Menyingkir!" 

Perintah dingin itu sontak membuat tubuh menepi dari sisi pintu. Membiarkan sosok tinggi dengan balutan jas rapi itu melewatinya tanpa sepatah kata. Menatap punggung itu menjauh, tubuh Ellina bergetar hebat. Tiba-tiba perutnya terasa ngilu dengan bayangan masa lalu yang menyesakkan. 

Lalu Lexsi melenggang pergi dengan sangat buru-buru. Ellina memicingkan matanya karena merasa Lexsi sama sekali tak sadar akan keberadaannya. 

"Tunggu," teriak Lexsi menghentikan sosok itu. 

Ellina menaikkan satu alisnya saat sosok itu berlalik dan tatapan matanya langsung tertuju pada matanya. Refleks, pandangannya turun dengan wajah menunduk takut. Kenapa ia datang pada malam pertemuan ini? Tidak, harusnya mereka tak bertemu sekarang. Di masa lalu ia sama sekali tak pernah datang. Tapi di kehidupan ini? Apa yang terjadi? Kenapa semua berubah?

"Apa kau kecewa? Maaf, aku tak bermaksud seperti itu."

Sosok itu masih diam. Hingga Ellina memilih masuk ke dalam rumah secara pelan. Berjinjit dengan kesenyapan, dan menulikan pendengarannya. Ia harus lari dari sini. Ia tak boleh berada di sini atau nyawanya tak akan selamat kemudian hari. Laki-laki itu jelas harus ia jauhi. Tapi suara dingin yang berat itu menyapa. 

"Kau pencuri?"

Lexsi menoleh kebelakang sedangkan Ellina terhenti dari langkahnya. 

Pencuri? Aku? Aku anak dari keluarga ini, oke. 

"Kak, kau sudah pulang?" raut Lexsi berubah pias dengan penampilan Ellina. Matanya meneliti wajah Ellina dan rasa kesal datang kemudian. Ia telah merasa Kakaknya aneh tapi sekarang kecurigaan itu kian kuat. 

Dimana make up nya? Kenapa dia datang sekarang? Dan ini ....

Merasa gagal, Ellina menghembuskan napas lelah. Menoleh dan mencoba tersenyum. "Aku pulang,"

"Jadi kau yang bernama Ellina?" 

Satu pertanyaan itu membuat kepala Ellina menggeleng kuat. Tangannya refleks menunjuk tubuh Lexsi cepat. "Dia! Ya, dia yang bernama Ellina."

Kening Lexsi mengerut. Senyumnya melebar, namun sebuah kenyataan menghantamnya. Ia telah di Kenalkan sebagai Lexsi saat keluarga Reegan datang. Namun hari ini, entah kenapa ia akan setuju jika kakaknya menyebutnya sebagai Ellina. Calon tunangan pria yang tak jauh darinya. Sedangkan tatapan sosok itu kian dingin. Membuat tubuh Ellina kian bergetar takut. 

"Kak, apa maksudmu? Dia adalah Kenzie. Calon tunanganmu," sanggah Lexsi lirih. Ada rasa penyesalan di setiap kata-kata yang terlontar. 

"Aku benci di bohongi!" Kenzie berlalu tanpa ekspresi meninggalkan rumah keluarga Rexton. Ia sangat tak mengerti pada keluarga Rexton terlebih keluarganya sendiri. Perjodohan ini, ia sama sekali tak menginginkannya. 

Lexsi merasa kesal dengan kelakuan Ellina, terlebih sosok itu telah pergi. Ia menghampiri Ellina dan mengerutkan dahinya. "Kau terlambat dan?" tatapannya meneliti wajah Ellina sekali lagi. Ia sangat sadar bahwa Ellina cantik, jauh lebih cantik darinya. Itu mengapa ia selalu menyarankan agar Ellina mengenakan semua make up tebal. Tapi hari ini? "Ada apa dengan wajahmu?" 

Masih merasakan takut tubuh Ellina bereaksi dengan tatapan Lexsi. Ia bisa melihat dengan jelas tatapan kesal di sana. Dan kilatan benci itu terlihat meski samar-samar. "Kenapa dengan wajahku?" 

Lexsi menetralkan emosinya. Tersenyun lembut dan menggandeng tangan Ellina. "Tidak. Tapi kak, kenapa kau tak menggunakan make up hari ini?" 

Senyum tipis terukir di bibir Ellina. "Oh, ada kejadian di kampus."

Mata Lexsi terbelalak sesaat. Ia tak masuk kampus hari ini jadi tak tahu apapun kejadian yang telah terjadi. Tapi raut khawatir jelas tercetak di sana. "Ada apa?"

"Bukan masalah besar," jawab Ellina membangkitkan rasa penasaran adiknya. 

"Ellina," kini seruan Aldric memecahkan lamunan Lexsi. Ia menatap sosok Ellina yang baru saja memasuki rumah. 

"Kau terlambat?" tanya Vania lebih mirip seperti pernyataan. Matanya meneliti penampilan Ellina dari atas hingga bawah. "Apa kau tak ingat ada jadwal pertemuan keluarga sore ini?"

Ellina terdiam. Sedangkan Lexsi menengahi.

"Bu, hentikan. Kakak baru saja sampai. Ia pasti tak sengaja melakukan itu,"

Ellina tersenyum di dalam hati. Benar, selama ini Lexsi selalu melakukan ini. Berperan sebagai pembelanya namun memperburuk keadaan dengan ucapannya. Di masa lalu ia akan sangat bahagia dengan pembelaan ini. Merasa bahwa Lexsi benar-benar peduli. Tapi kali ini, ia merasa muak dan benci. 

"Apa kau tak tahu apa yang kau lakukan?" tanya Aldric dingin. Wajahnya mengeras menatap Ellina. "Kau membuat kita malu."

Mengerutkan kening, Ellina sama sekali tak mengerti dengan yang terjadi. 

"Ayah, hentikan. Kakak tak bisa di salahkan. Ia pasti memiliki alasan. Benar kan kak? Lagi pula ini salahku. Aku yang memintanya pertama kali untuk menggantikanku menjadi tunangannya," raut wajah Lexsi berubah mendung. Ia menatap kedua orangtuanya dengan nada memohon. 

"Kau memang putri terbaik yang kami miliki," ucap Aldric jelas. Hal itu menjelaskan bahwa ia hanya memiliki satu anak saja. Sedangkan Ellina, ia enggan mengakuinya. 

Ellina menatap senyum lembut Lexsi. Ia benar-benar bertaruh. Berapa banyak penghargaan yang harus diserahkan untuk akting adiknya yang sempurna? Dia benar-benar bisa tersenyum dengan menyembunyikan  rasa bencinya. Semua raut bersalah itu, ia ingin sekali merobeknya.

"Ayah, maaf." ucap Ellina pada akhirnya. "Aku harus menyelesaikan --"

"Jika keluarga Reegan sampai membatalkan pertunangan ini, maka kita semua akan hidup di jalanan!" potong Aldric gusar. Ia berlalu meninggalkan Ellina dan yang lainnya. 

Membatalkan pertunangan? Kenapa? 

"Jika saja kau datang lebih awal. Semua tak akan seperti ini! Jika saja aku tak mengenalkan dirimu pada pertemuan sebelumnya, maka masalah tak akan seperti ini! Darah memang lebih kental dari pada air!" kali ini Vania ikut berlalu. 

Ellina tertegun. Tidak, kenapa semua menjadi seperti ini. Ini sama sekali tak terjadi di masa lalu. Ia sangat yakin, bahwa semua tak seperti hari ini. 

Di tengah kekalutan itu,  Lexsi menggengam tangannya lembut. "Kak, jangan masukkan hati kata-kata ayah dan ibu. Kau tahu mereka tak bermaksud begitu,"

Ellina ingin sekali berteriak lalu tertawa keras dengan semua yang ia dengar. Di masa lalu ia telah mengalami hal yang lebih berat dari ini. Dan di masa ini ia benar-benar bisa melihat, adiknya berperan seakan begitu peduli padanya tapi menusuknya dari belakang. Menjebaknya dengan semua rencana yang telah tersusun matang. Dan kali ini, ia hanya tersenyum tipis. 

"Keluarga Reegan datang dan menunggumu dari siang hari. Aku berkali-kali mencoba menghubungimu, namun ponselmu mati. Lalu mereka merasa bahwa kau tak menginginkan pertunangan ini. Mereka kecewa lalu pergi. Sedangkan Kenzie menunggumu hingga ... ya, kau sudah tahu sendiri."

Ellina tertegun. Mereka menunggunya dari siang. Dan semua menjadi kacau. Lalu apa tadi? Kenzie datang dari siang dan ikut menunggunya? Apakah dunia akan kiamat? 

"Aku--" ucap Ellina menggantung. Ia tak tahu harus berkata apa. 

"Kak, aku tahu aku memintamu untuk menggantikan aku. Aku tahu ini berat untukmu. Tapi, mereka telah mengenalmu sejak awal pertemuan. Aku bisa saja mengaku menjadi dirimu, tapi kau tahu sendiri. Kedua orangtuanya telah mengenal kita sangat baik."

Ellina merasa pusing. Semua pernyataan dan perubahan kehidupan sekarang sangat berbeda dari yang telah ia alami sebelummya. Jadi ini apa? Berapa banyak takdir yang juga telah berubah semenjak kelahirannya? Kenapa semua menjadi kian rumit hingga ia tak bisa membedakan segalanya. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status