Share

Aku tak suka dia!

Lexsi menutup pintu kamarnya rapat. Ia bersandar di balik pintu dengan mengepalkan tangannya. Wajah Ellina terlintas, dan semua rasa muak itu hadir di permukaan. 

"Ahkkkk ...!" teriaknya kalap. Beberapa barang telah melayang menyebabkan keributan. "Bagaimana bisa! Aku meletakkan dia di depanku agar hidupnya kacau. Tapi kenapa! Tapi kenapa aku tak tahu bahwa orang yang di jodohkan dengannya adalah orang yang seperti itu. Harusnya dia cabul! Harusnya dia berjenggot dengan perut buncit! Harusnya Ellina menderita  ...!"

Napasnya tak beraturan dengan emosi yang memuncak. Ia biasanya tak seperti ini. Ia telah melakukan ini dari lama. Menahan amarahnya dengan bersikap lembut dan menjadi anak yang sangat baik. Agar orangtuanya segera mengerti, bahwa mereka tak menbutuhkan anak lain selain dirinya. Tapi kali ini, rencananya benar-benar meleset. 

"Apa yang harus aku lakukan?" tanya sambil berjalan bolak balik tanpa henti.

"Lexsi," 

Suara ketukan pintu di iringi wajah Vania yang masuk membuat mata Lexsi menyala. 

"Bu, aku tak bisa lagi. Harusnya tak seperti ini! Harusnya aku yang menjadi tunangannya!"

Vania menatap kamar anaknya dan segera menenangkan Lexsi. "Kau bisa menggantikannya. Ibu akan berbicara pada Ayah."

Lexsi berbinar. "Benarkah?"

Vania mengangguk. 

"Bagaimana dengan Kakak?" tanya Lexsi berpikir kemudian. "Tidak, dia bahkan sudah bertemu dengan Kakak."

Membelai rambut Lexsi sayang, Vania tersenyum. "Tapi tidak dalam suasana yang baik."

"Tapi Ayah tetap menginginkan Kakak bertunangan," 

"Ibu akan mengatur itu. Kau tak perlu khawatir,"

Lexsi mengangguk lega dan memeluk ibunya. Ia telah melakukan ini sejak lama. Merebut semua hal yang Ellina miliki dengan pelan. Namun ia merasa Ellina selalu beruntung. Dan hal itu semakin membuatnya memiliki rasa benci yang dalam.

"Kenapa Ayah masih saja melindunginya?" tanya Lexsi dengan tangan mengepal erat. Ia sangat ingat, saat pertama kali datang ke rumah keluarga Rexton. Ada gadis kecil cantik layaknya Ratu yang selalu di perlakukan sangat baik. "Bukankah dia hanya anak pungut?"

Tubuh Vania menengang. "Anak Pungut? Jangan katakan ini di depan Ayahmu, atau kita akan menerima konsekuensinya."

"Ibu," rengek Lexsi. 

Mendesah, Vania mengangguk. "Dia bukan anak Pungut! Dia benar-benar anak Ayahmu."

Sebuah kenyataan datang bagai guntur. Tubuh Lexsi kaku dengan refleks menjauhi ibunya. "Apa?"

"Dia anak dari wanita yang pernah di cintai ayahmu. Namun kemalangan menimpa, wanita itu tiada tepat saat melahirkan Ellina. Jadi kau pikir, kenapa ayahmu sangat keras dan terlihat benci pada Ellina,  namun juga masih melindunginya secara bersamaan? Karena hanya Ellina peninggalan satu-satunya dari wanita yang ia cintai!" 

Merasa kosong, Lexsi bahkan tak tahu harus mengatakan apa. Ini adalah sebuah berita besar. Tidak, ia baru saja menyadari, kenapa Ellina selalu mendapat yang terbaik meski tak melakukan apapun.  Kenapa dia selalu beruntung meski dia selalu mendengar kata 'anak pungut'dari berbagai pelayan dan orang luar. Karena ini adalah fakta yang tersembunyi. Tak peduli, seberapa banyak ia mencoba melakukan yang terbaik untuk merebut semua hal yang Ellina miliki, ayahnya tak pernah menatapnya. 

"Karena aku bukan anaknya?" desis Lexsi dingin dengan tawa yang sinis. "Itu benar'kan?  Karena aku bukan anaknya! Itu kenapa aku tak bisa mendapatkan apapun yang aku mau. Aku selalu berusaha menyingkirkannya dengan sangat baik, tapi ayah tak pernah merespon meski harus mengurung Ellina. Tidak, itu tidak bisa terjadi! Hanya aku! Hanya aku yang harus menjadi anak dari keluarga Rexton!"

Vania memeluk Lexsi erat. Udara di sekitar mereka terasa dingin. "Tenang, pelankan suaramu. Mari atur sesuatu yang membuat Ayahmu murka. Ibu akan mengatur untukmu, dan memastikan semua rencana berjalan mulus."

Mata Lexsi berbinar meski ada air mata di setiap sudut matanya. "Ibu yakin?" 

"Kau pikir ibu tak ingin menyingkirkannya? Kita sudah melakukan ini sangat lama. Kita tak bisa berhenti di sini,"

Lexsi menghapus air matanya. Memeluk ibunya erat dengan rasa syukur. "Aku ingin anak dari keluarga Reegan. Tidak, dari awal dia adalah milikku, Ibu."

Vania tersenyum. "Ibu akan mengaturnya."

Di lain kamar, ada tubuh Ellina yang berkeringat dengan mimpi buruk yang terulang-ulang.  Peluhnya membanjiri tubuhnya, dan kata-kata pelan itu selalu terucap, dengan tangan melayang mencoba menggapai sesuatu. 

"Tidak, selamatkan aku. Aku tak ingin mati, selamatkan aku. Kumohon, selamatkan aku."

Sejak kelahirannya kembali, mimpi kematiannya selalu datang bagai roda buruk yang tak bisa ia hindari. Ia bahkan takut untuk terlelap. Takut saat gelap menyapa lalu ia merasakan sakit kematian yang sama. Hingga saat ia tersadar, matanya terbelalak lebar dengan rasa takut luar biasa. Ia mengambil air di samping tempat tidurnya dan terjaga sepanjang malam. 

Ini buruk, jika terus terjadi setiap malam. Ia tak bisa memejamkan matanya sama sekali atau rasa sakit kematian itu datang berulang kali. Pikirannya melayang. Kehidupan ini sungguh berbeda, ia tak bisa bersikap sama karena semua terjadi tak sama dengan masa lalu. Lalu bayangan sosok Kenzie muncul. Tubuhnya menegang takut, dengan pasti ia menggeleng.

"Tidak, aku kotor. Jangan mendekatiku dan aku juga tak ingin bersamamu. Aku tak menyukaimu!"

Sebuah proses yang alami dari tubuh untuk menjauhi hal-hal yang mereka anggap bahaya. Dan Ellina melakukan itu. Sejak kematiannya, ia telah menentukan hal-hal yang harus ia jauhi. Dan yang pertama adalah Pria itu. Ia tak ingin balas dendam akan kematiannya, tapi hanya ingin pergi dengan tenang. Hidup lebih baik dengan takdir yang berbeda. 

Jika setelah kematiannya ia masih mencintai Kenzie, maka semua orang akan menganggapnya gila. Bagaimana mungkin ia akan jatuh cinta ke dua kalinya pada orang yang membunuhnya? Pada orang yang sama sekali tak menatapnya! Pada orang yang sama sekali tak berperasaan dan kejam. 

Dan setelah semua terlewat, ia bersyukur karena kembali di saat di mana semua pertunangan itu belum terjadi. Saat dia belum menyerahkan semua hal yang ia sukai. Untuk saat ini, ia akan memilih menjauhi semua urusan dengan keluarga Reegan meski orang tuanya memaksanya. Ya, itu adalah pilihan terbaik atau dia akan mati ke dua kalinya. 

Tubuhnya bergerak mendekati layar laptop Lykaios. Tangannya bergerak cepat dan dia sudah ada di sana. Di perkumpulan lomba meretas sebuah sistem perusahaan yang baru saja mengembangkan pertahanan keamanan data mereka. Ellina tersenyum, tangannya bergerak sangat lihai saat tahu hadiah utama yang mereka tawarkan. 

500.000$ 

Itu cukup besar. Ia bisa membeli beberapa pakaian dan semua kebutuhannya. Ia harus mendapatkannya. Dengan tekat ini,  matanya telah fokus pada layar monitor dan sama sekali tak berkedip. 

Ia telah memasuki mode aman dengan mengamankan semua informasi privasinya. Meluncur mulus dengan id name 'White Fox' mulai memasuki area keamanan perusahaan dan meretasnya. 

"Mereka memiliki keamanan yang cukup bagus. Aku harus bekerja keras."

Tangan terus bergerak cepat di ikuti angka dan kode yang selalu berganti cepat. Sedangkan dalam sebuah ruangan di perusahaan Di kota Z, seseorang dengan wajah sama seriusnya tersenyum menantang. 

"Tuan, kita mendapatkan lawan yang layak,"

Saat suara itu mengintruksi, seorang pemuda tinggi tampan mendekat. Ia menatap layar monitor dan tersenyum dengan perlawanan peretas yang ia kerjakan. 

"White Fox. Dia cukup lihai. Cari informasi tentangnya selama kau berselancar," 

Belum semenit kata-katanya tertutup ia bisa melihat layar monitor laptop bawahannya mati. Mereka di bobol, tak hanya dengan keamanan yang bocor tapi juga menerima virus yang serius. 

"Kita kalah," ujar bawahannya pelan. "Maaf, Tuan,"

"Ethan ...!" geram pria itu menahan rasa di hatinya. 

"Aku sudah berusaha semampuku, Tuan. Tapi--"

"Tidak! Kenapa kita baru menemuinya? Kemana saja dia bersembunyi selama ini! Dia bahkan mengalahkanmu! Peretas terbaik di negeri ini. White Fox, ini pasti sesuatu. Sesuatu yang sangat berkilauan,"

Ethan terpaku pada raut bahagia tuannya. Mereka baru saja kalah, tapi tuannya sangat bahagia? 

Tolong! Apakah dia normal? 

"Pergi dapatkan informasi tentangnya saat dia mengambil hadiahnya,"

Ethan berdecit pelan. "Tuan, hadiah akan otomatis terkirim ke akun mereka saat mereka berhasil mengalahkan kita. Kita tidak--"

"Apa kau bodoh! Kenapa kau melakukan dengan sistem seperti itu?"

Wajah Ethan kembali menahan sesuatu. Itu anda yang memerintahkan, oke. Saya hanya menurutinya. Jadi siapa yang bodoh di sini?

"Lupakan, kita akan mendapatkannya lain waktu." 

Pria itu tersenyum senang lalu keluar dari ruangan perusahaannya. Ini sudah tengah malam. Dan ia tak mengira akan menjadi sebahagia ini karena sesuatu yang telah membangkitkan jiwanya. 

"White Fox," ujarnya pelan. "Aku akan mendapatkannya," 

***

Satu minggu kemudian suasana kampus tampak biasa. Mereka seakan telah menerima perubahan Ellina yang sangat jauh dari perkiraan. Mereka selalu berpikiran bahwa Ellina menggunakan make up tebal untuk menutupi kecantikan karena tak ingin repot dengan deretan pria yang akan menganggunya. Dan seperti hari ini, saat Ellina membuka lokernya, hadiah-hadiah itu jatuh berserakan karena tak mampu menampung beban lagi. 

Tak bergerak, Ellina sama sekali tak menyukai hal itu. Kini ia merasa pusing karena menerima perlakuan yang istimewa dari lawan jenisnya. Ia tak memiliki teman, jadi ia hanya bisa mengerang marah saat hadiah-hadiah itu tak kunjung habis setiap hari. Atau mungkin malah bertambah banyak. 

"Kau mendapatkanya lagi hari ini?"

Dari balik pintu loker, wajah lurus Nero terlihat. Kacamatanya sama sekali tak pernah meninggalkan wajahnya. 

"Kau bisa membantuku?"

Tak menjawab, membuat Ellina kembali mengeluarkan kata-katanya, "Singkirkan semua ini ke tong sampah!"

Nero mengikuti hal yang Ellina lakukan dengan membuang semua kado dan surat cinta itu ke tong sampah. Saat mereka baru saja berbalik, sebuah mawar merah terulur di hadapan mereka. Membuat Nero menyingkir hingga bunga itu mengarah tepat di hadapan Ellina. 

Ellina menatap Aaric yang baru saja datang. Tangannya tak bergerak sedikitpun untuk menerima bunga dari Aaric atau pun menolaknya. 

"Bunga untukmu,"

"Aku tak suka bunga!" jawab Ellina ketus.

"Aku tak ingat kapan kau berubah. Dari yang aku tahu, kau sangat menghargai mereka karena kecantikannya,"

Bibir Ellina melengkung ke atas. Ia ingat dulu ia sangat senang saat menerima-menerima bunga itu. Tapi siapa yang tahu, saat Aaric memberinya bunga, Lexsi menerima kalung cantik atau sebuah perhiasan mahal dari Aaric. Dan kali ini, ia tak akan di bodohi. 

"Aku tak menerima bunga murahan!" potong Ellina lagi. Nero di belakang Ellina mengacungkan jempolnya setuju. 

"Lalu kau akan menerima--"

"Aku hanya menerima bunga yang terbuat dari emas atau bertakhta berlian!"

Dengan penolakan itu Ellina pergi di ikuti Nero. Aaric membeku. Kekasihnya telah benar-benar berubah. Ia tak menyangka bahwa keputusan 'Putus' kemarin benar-benar serius di mata Ellina. Lalu mengenai Lexsi, siapa yang peduli saat ia merasa Ellina lebih dari segalanya. 

Dalam perjalanan menuju kelas, Nero tertawa terbahak-bahak. Membuat Ellina memicingkan mata tak nyaman. 

"Kau sangat kejam dan tak berperasaan,"

Ellina mendengus. "Lalu kenapa kau tak menerima bunganya?"

"Bunga itu bukan untukku." sudut matanya berkedut untuk menatap ekspresi Ellina. "Kau menolaknya tepat di sini," tangannya bergerak menuju jantungnya. "Itu pasti sangat sakit."

"Berhenti mengejek," kilah Ellina tak suka. 

"Lalu apa kau juga tak akan menerima bunga dariku?" 

Kini tatapan Ellina dan Nero beralih pada sosok yang baru saja bicara. Wajah itu tersenyum tampak manis. 

"Alvian," desis Nero tak percaya. 

Ellina tak bergeming,  memilih berlalu tanpa ekspresi. 

"Kau wanita yang jahat. Setidaknya kau harus menerima dari orang baik sepertiku," kejar Alvian mensejajarkan langkahnya dengan Ellina. Nero mengikuti mereka dari belakang. 

"Orang yang mengakui dirinya baik di depan orang lain, itu berarti dia lebih buruk."

Alvian terkekeh. Ia tahu Ellina sangat dingin pada sekitarnya tapi ia tak mengira bahwa Ellina akan kejam padanya juga. "Aku jelas lebih baik dari mantan kekasihmu, oke?"

"Dimataku kau lebih buruk," potong Ellina memutuskan persepsi Alvian. 

"Hei, hei, hei, bagaimana kau bisa menilaiku secepat itu? Itu tak adil,"

"Apa kau butuh keadilan? Itu berarti kau memang orang yang buruk."

"Hei ...!"

"Pffffhh," tawa Nero dengan menahan mulutnya. Ia tak menyangka bisa menyaksikan itu semua. Ia mengejar Ellina dan duduk di sampingnya. "Kau hebat," pujinya tulus. 

Tanpa jawaban, Ellina lebih suka menenggelamkan dirinya dalam layar laptopnya yang baru saja hidup. Ia teringat,  ia telah memiliki uang masuk ke akun banknya. Matanya berbinar dengan menatap pria di sampingnya. Sedangkan pria itu bergidik ngeri melihat tatapan gadis di depannya. Fillingnya tak bagus sama sekali tentang ini. 

"Kau, temani aku mencoba beberapa pakaian."

Nero memucat. Itu adalah hal yang paling ia benci. "Tidak. 

"Nero...,"

"Tidak," geleng Nero kuat. Ia sangat tahu bahwa wanita adalah monster belanja. Dan ia tak ingin terjebak di sana. 

"Kali ini saja,"

"Aku lupa bahwa harus menjenguk Ibuku yang kecelakaan dari kemarin," kilah Nero bohong langsung kabur meski kelas belum di mulai. 

Ellina terperangah dan mendengus kesal. "Ibunya kecelakaan? Yah, kuharap dia benar-benar mengatakan yang sebenarnya. 

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
itu si CEO dari keluarga Regan, Alvian Regan, adeknya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status