Part belum di revisi.
Banyak salah dan typo.
Happy reading!
***
Ellina melangkah keluar dari Taman Barat dengan linglung. Ia tak membawa apapun. Langkahnya terlihat ragu namun ia tetap pergi dari keluarga Rexton. Saat ini di antara jalan-jalan gelap, ia tak dapat berpikir dengan tenang. Telah satu jam lamanya ia berjalan, melewati toko-toko dari keramaian dan terus melangkah. Ia seperti orang yang kehilangan arah.
Matanya meneliti jalan dengan seksama. Ia tak pernah mengalami ini semua di kehidupan sebelumnya. Ia tak tahu harus berbuat apa, namun ia merasa guncangan batinnya sangat kuat. Ia dapat merasakan beratnya meninggalkan keluarga Rexton. Ia dapat merasakan betapa semua kian menyakitkan. Dan ia tak dapat melakukan apa-apa.
Ia merasakan perutnya perih, ini jelas bahwa ia belum makan sesuatu sejak siang. Namun ia tak memiliki apa-apa sekarang. Ia bahkan tak membawa handphonenya. Lalu, dimana ia akan tidur malam ini?
Ellina mendesah, langkahnya memasuki sebuah warung internet yang tampak padat. Ia hanya bisa mengandalkan kemampuannya saat ini. Ia butuh makan dan tempat tidur. Mungkin ia juga harus bekerja untuk menyelesaikan seluruh kuliahnya. Dengan pasti, ia duduk di salah satu bangku dan menatap layar monitor di depannya. Tangannya bergerak cepat di atas keyboard. Dengan kembali masuk ke akunnya, White Fox, ia mulai berselancar.
Pada saat malam seperti ini, ada banyak macam pertandingan meretas di dunia internet. Dengan hadiah terendah hingga tertinggi. Ia hanya perlu mengeluarkan kemampuannya dan meraih hadiahnya. Ia butuh tempat tinggal. Dan dengan ini, ia akan mulai mendapatkan uang. Tak peduli jika itu hanya hadiah beberapa ribu dolar. Karena saat ini ia sangat membutuhkan uang, maka ia akan mengambilnya.
Tangannya bergerak lincah di atas keyboard, matanya fokus pada layar di depannya. Kecepatannya sangat luar biasa, hingga hanya menyisakan bunyi keyboard yang telah di pencet lalu dengan begitu cepat di tinggalkan. Menghancurkan dunia perlombaan dengan sangat cepat.
Senyum Ellina terkembang, sudah satu jam lamanya ia bermain. Dan ia mulai merasa lelah. Saat ini ia telah mengalahkan beberapa ribu peretas di dunia internet. Namanya melambung tinggi hingga menjadi perbincangan hangat dunia peretas malam itu. Banyak orang berniat merekrutnya, memuji kemampuannya namun banyak juga yang marah pada kemampuannya. Tak ada yang tahu, bahwa mereka semua di kalahkan oleh seorang wanita.
Namun Ellina tak peduli itu semua. Ia hanya peduli bahwa saat ini ia telah memiliki uang 50. 000 $. Ia berniat akan melakukan ini terus hingga menghimpun kekayaan. Ia butuh apartemen, ia butuh uang. Dan meretas adalah satu hal yang dapat ia lakukan. Tak peduli kecaman dunia internet di luar sana, ia tetap tersenyum saat namanya melambung tinggi. Tak banyak mereka mulai mengidolakannya, namun untuk saat ini kehidupan nyata jauh lebih penting.
Setelah mencairkan kredit dari akunnya, Ellina meninggalkan tempat tersebut. Memasuki sebuah cafe dan menikmati makan malamnya. Menyusuri gelapnya malam menuju sebuah penginapan termurah. Ia telah memesan kamar melalui online, dan untuk mencapai ke sana, ia butuh waktu lima belis menit berjalan kaki. Melewati gang-gang gelap yang sepi. Membuatnya menjaga mata waspada dengan rasa takut.
Tujuh menit berlalu dan ia mulai menoleh ke belakang. Menyadari seakan di ikuti, Ellina mempercepat langkahnya. Namun sebuah tangan kasar menariknya dari belakang. Membuatnya menjerit takut di kesunyian saat tubuhnya di seret dalan sebuah ruangan. Gelap, pengap, dan sangat bau oleh alkohol dan rokok.
Mata Ellina menatap nyalang, memperjelas pandangannya di bawah lampu suram. Lima orang pria tak di kenal menyambutnya dengan tawa renyah. Wajah itu, tawa itu, terlihat sangat familiar. Lalu ketakutan merayap cepat, ia mencoba bangun dan melarikan diri, berteriak sekuat tenaga saat rambut panjangnya di tarik. Membuat tubuhnya terhenti dan jatuh terjerembab. Air matanya turun, meresap di antara bibirnya dengan ketakutan yang luar biasa.
Mereka semua? Kenapa bisa ada di sini?
Dalam takdir yang berbeda, namun bagian ini kenapa masih saja sama? Dan Ellina menangis, menyadari hidupnya akan hancur sekali lagi. Tak peduli, jika ia telah mencoba merubah takdirnya, namun kenapa ia masih saja hancur dan terluka? Ia merasa benar-benar tak berguna.
"Ohw, gadis yang manis."
Ucap salah satu dari mereka. Menyentuh pipi Ellina lembut namun membuat Ellina refleks menjauhkan wajahnya. Lalu,
Plakk!
Sebuah tamparan bersarang di pipi mulusnya. Di ikuti tawa keras yang terlihat puas.
"Biarkan aku pergi," ucap Ellina memohon. "Aku akan membayar lima kali lipat lebih mahal dari yang dia janjikan pada kalian."
Salah seorang dari mereka tertawa. Tampak tak tertarik dengan tawaran Ellina. "Apa kau pikir kami kekurangan uang?"
Mata Ellina terhenyak. Ia menatap wajah yang mendekat, cukup tampan, tapi kenapa ia bisa memiliki urusan dengannya?
"Seseorang berkata, hidupnya tak bisa berjalan dengan baik jika kau ada di dunia ini,"
Ellina beringsut mundur saat langkah pria itu semakin dekat. Menarik paksa wajahnya untuk menatap matanya. Dengan ini, dia menyimpan lekat bayangan wajah di depannya.
"Siapa?" tanya Ellina memastikan. Meski ia tahu jawabannya, namun tetap ingin memastikan.
"Kau hanya perlu tahu, bahwa kau lebih baik mati dengan menderita." jawab pria itu sambil tertawa.
"Kurasa tak sepenuhnya menderita." jawab pria lainnya sambil menyeringai. Wajahnya sangat gelap dengan sebuah minuman alkohol di tangannya. "Karena kita akan bersenang-senang. Kau akan merasakan indahnya malam bersama kami,"
Seakan tahu tujuan awal mereka. Ellina bangkit dan mencoba berlari. Namun tangannya di tarik kasar. Lalu mulutnya di paksa menelan minuman keras. Tenggorokannya seakan terbakar. Air matanya tak berhenti mengalir namun ia tetap berusaha lari. Tak peduli, tamparan atau pukulan yang telah berkali-kali ia terima, ia tetap mencoba melawan hingga merasa lelah. Sangat lelah dengan tubuh tersungkur tak berdaya.
Pandangannya mengabur, namun ia dengan sangat jelas dapat melihat, salah satu dari mereka memegang kamera dengan lampu menyala untuk mereka. Selanjutnya salah satu dari mereka memaksa Ellina menelan sebuah pil dengan paksa. Ellina meronta, mencoba memuntahkan namun sepertinya mereka telah memastikan untuk menelan.
"Kalian bajingan!" desis Ellina dengan kilat marah. Tubuhnya sangat lemah dengan air mata dan tatapan penuh kebencian. Namun hatinya meronta meminta pertolongan. Meminta kembali kesempatan, agar ada yang menyelamatkannya.
Dalam kehidupan lalu, ia berakhir sesuai rencana mereka hingga seluruh dunia gempar akan videonya. Ia di campakkan lalu dengan semua hal ketidak berdayaannya hingga ia berakhir mati mengenaskan.
Apakah aku akan berakhir sama?
Akankah hidup dan takdirku tak berubah?
Kenapa aku masih saja tak berdaya?
Aku benci pada semua.
Ellina mencoba sadar saat tubuhnya mulai merasakan panas. Ia masih bisa sadar dengan tawa ejekan dari lima pria di depannya. Tangannya bergetar takut saat mulai merasakan ingin merasakan membuka satu persatu pakaiannya. Sekuat tenaga, ia mencoba menahannya dengan mengigit lidahnya sendiri. Menghadirkan rasa sakit dengan harapan tetap dapat menahan efek obat tersebut.
"Hahaha, sudah mulai?"
"Kau boleh memilih salah satu dari kami dahulu, kami akan sangat senang dengan pilihanmu."
"Pilihlah aku, maka aku tak akan membuatmu menyesal."
"Merangkaklah, dan berikan kami kepuasan,"
Ellina tak bergerak. Air matanya mengalir deras dengan bibir yang mengeluarkan darah. Ia telah mengigit lidahnya dengan kuat. Namun efek obat tersebut rasanya lebih kuat. Ia menatap sekitarnya, meraih sebuah botol air mineral dan menyiram tubuhnya. Memberikan rasa dingin agar panas tubuhnya terlawan. Namun rasanya itu tidak cukup.
Tawa kembali terdengar, saat napasnya memburu. Pandangan matanya kian mengabur. Namun ia dengan cukup sadar, untuk tidak merangkak mendekati mereka. Ia lebih memilih meraih sebuah botol minuman lalu memecahkannya dengan membantingnya ke kepalanya. Rasa sakit luar biasa diiringi darah mengalir deras dari kepalanya.
Mereka semua mendekat dengan hardikan kasar. Hal itu membuat Ellina semakin takut. Ia mencoba menancapkan pecahan botol itu ke pergelangan tangannya, namun cepat teraih saat sebuah tangan menarik rambutnya ke belakang dengan kasar. Menengadahkan wajahnya lalu melumat bibirnya dengan kasar. Ia ingin sekali meronta, tapi sepertinya reaksi tubuhnya berlawanan. Ia mendesah pelan saat tangan lain mulai menjamah tubuhnya. Matanya menangis dengan harapan yang kian jauh. Sungguh, ia lebih memilih mati dari pada mengalami ini lagi.
"Hahaha, lihatlah. Kau berusaha menolaknya tapi tubuhmu menginginkannya!"
"Mendesah, melenguh, kau akan dapatkan kepuasan,"
"Jalang, kau sangat menggairahkan,"
"Kau kotor! Sangat kotor! Kotor dan menjijikkan!"
Ucapan-ucapan itu terdengar jelas. Kepalanya berputar cepat dan mencoba lari. Namun satu kakinya di tarik kasar. Melewatkan tubuhnya dengan pakaian terbuka dengan goresan luka dalam. Sebuah cambukkan terdengar. Tubuhnya menegang dengan rasa perih saat sebuah ikat pinggang melayang di punggung mulusnya.
Tuhan, aku tak sanggup lagi. Ambil nyawaku, aku tak takut mati!
Pandangannya kian mengabur. Namun telinganya dengan sangat jelas dapat mendengar.
"Kau akan mendapatkannya, Lexsi. Dia akan mengalami hal yang tak akan terlupakan!"
Sebuah air mata mengalir. Ia tak lagi bisa bertahan. Tubuhnya lemah dengan patuh dan kegelapan datang menyambut.
Kenapa? Aku sudah menjauh dan keluar dari keluarga seperti yang kau inginkan. Tapi kenapa? Kenapa kau melakukan ini padaku?
Kenapa tak ada hal yang bisa aku rubah?
Kenapa hidupku tak jauh lebih baik dari sebelumnya? Kenapa di saat seperti ini, aku tak dapat mendapatkan jalan keluar?
Sebenarnya, untuk apa aku dihidupkan kali ini? Kenapa semua berubah dan kematianku tetap dekat? Kenapa mereka semua tak puas dan melepaskan hidupku dengan damai?
Apa salahku? Apa salahku hingga mereka merasa hidupnya tak bahagia jika aku ada? Aku tak butuh mereka. Aku hanya butuh kematian yang damai. Karena aku tak takut akan rasa sakitnya!
Sebuah tawa puas terdengar. Salah satu dari mereka bahkan telah membuka seluruh pakaian Ellina. Ia mulai menyentuh dengan minat. Namun matanya terlihat jijik dengan kata-kata tajam. "Kotor dan menjijikkan!"
Di luar sana, deretan mobil polisi mulai menyebar. Semua polisi bergerak cepat saat sebuah perintah turun. Mereka menyebar dengan cepat lalu dapat menemukan lokasi Ellina dengan sangat singkat. Mendengar suara tembakan, lima orang yang baru saja akan bersenang-senang berpencar dengan kilat. Mereka dengan cepat melarikan diri dan meninggalkan Ellina begitu saja. Lari sejauh mungkin namun ternyata kematian begitu dekat.
Perintah itu mengatakan bahwa ia tak ingin satu orang pun selamat. Dan ia mendapatkannya. Lima orang itu mati dengan tembakan berbeda namun di tempat fatal hingga tak dapat di selamatkan. Beberapa dari mereka mengolah semua berita ini dengan cepat.
Salah satu polisi membungkus tubuh Ellina dengan selimut. Membawa tubuh Ellina cepat menuju salah satu rumah sakit terdekat. Laporan akan keberadaan Ellina sangat di rahasiakan. Lalu setelah itu, keberadaan Ellina seakan tak pernah ada. Semua berlalu layaknya tak pernah terjadi sesuatu. Semua seakan telah di atur dengan sangat baik hingga tak ada satu orangpun yang puas akan hasilnya.
***
Part belum di revisi.Banyak typo.Happy reading!***Rumah sakit itu tampak tenang dengan dokter-dokter terbaik pilihan. Saat ini tubuh Ellina terbaring lemah dengan selang infus dan beberapa peralatan medis. Beberapa perawat berjaga untuknya selama beberapa hari. Namun nyatanya tubuh Ellina tak menunjukkan perubahan. Tetap lemah, atau bisa di katakan koma namun seluruh sarafnya masih bekerja. Ia seakan tertahan oleh sesuatu, hingga tak ingin sadarkan diri di bawah kendali pikirannya.Seorang pria tengah duduk dengan tangan menekan bibirnya. Tubuhnya tampak tegap dari belakang dengan postur tinggi. Beberapa tindik di telinganya menampakan keliaran sikapnya. Dengan sepasang alis tebal yang rapi lalu di bingkai dengan hidung yang menjulang tinggi. Ketenangannya seakan menghanyutkan, bahkan hanya dengan sedikit senyumnya, maka beberapa dari mereka akan
Udara di Maple Villa tampak sangat sejuk. Lahan luas, seluas mata memandang dengan pohon-pohon pinus yang penuh salju itu tampak memutih. Di tengah-tengah ada bangunan villa yang tampak megah dengan desain modern. Ruangan dengan dinding kaca di beberapa bagian memperlihatkan taman bunga di bagian samping dengan air mancur yang membeku. Memperlihatkan bahwa villa ini sangat di jaga dengan baik.Dan di sanalah Ellina tinggal. Sejak pindah dari rumah sakit, ia menutup dirinya di dalam kamar. Berteriak histeris dengan rasa takut yang mengerikan. Atau melukai dirinya sendiri hingga akhirnya Ernest memilih untuk mengurungnya. Mengikat tangannya agar Ellina tak melakukan hal yang menyakiti dirinya sendiri.Miris, Ernest menatap sedih berlian perusahaannya. Namun ia tetap melakukan yang terbaik karena telah mengambil pilihan. Ia sangat yakin, suatu hari nanti semua akan kembali membaik. White Fox nya pasti akan bangkit dan
Satu tahun kemudian, keadaan Ellina tak banyak berubah. Hanya ada perbedaan kecil. Saat ini ia tak lagi ingin melukai dirinya. Pandangannya masih saja tetap kosong. Dengan lingkar mata yang dalam dan tubuh yang sangat kurus. Rambutnya sangat berantakan. Bekas air mata itu tetap terlihat di wajah tirusnya. Bibir ranumnya terlihat lebih baik. Tak ada luka di sudut bibirnya atau lidahnya. Ia hanya tak menyentuh makanan.Di pergelangan tangannya masih terpasang selang infus. Ernest memastikan agar para perawat menyuntikkan nutrisi makanan agar tubuh Ellina tetap bertahan. Ia mulai memasukkan barang-barang seperti Tv, laptop, atau handphone. Meski Ellina tak tergerak untuk menyentuh itu semua. Namun Ernest sangat yakin, suatu saat barang itu masih berguna.Seperti hari ini, Ernest memasuki kamar Ellina dan menarik tirai jendela kaca. Menampilkan salju yang tengah turun dengan hawa dingin yang membekukan. Ia tersenyum tulus, menatap El
Part belum di perbaiki.Typo bertebaran.Ellina menatap pintu kamar yang tertutup. Hal utama yang ia lakukan adalah menatap wajahnya di cermin. Ia mengerutkan keningnya dan mundur perlahan. Terkejut dengan bayangan yang keluar dari cermin."Tidak, itu bukan aku' kan?"Merasa tak percaya, ia perlahan memperlihatkan wajahnya sekali lagi. Dan lagi-lagi ia terlonjak kaget kebelakang. Tangannya menyentuh kasar wajahnya. Dengan mata terbuka lebar dan mulut menganga."Hah, tidak mungkin! Sejak kapan aku berubah menjadi setan kurus yang mengerikan?"Merasa syok, ia menetralkan cara berpikirnya. Hal utama yang ia lakukan adalah merenung. Mengingat setahun terakhir ini dan menatap salju-salju yang turun. Di luar jendela kaca kamarnya, uap udara tercetak jelas. Membuat tangannya menulis pelan di atas kaca jendela."Dendam dan kedamaian,"&n
Typo belum di perbaiki.Happy reading.Ellina menikmati sarapan paginya dengan tenang. Saat waktu mulai beranjak, ia melangkah ke ruangan tengah. Duduk di sebuah bangku dengan menyilangkan satu kakinya. Tangan mungilnya menarik sebuah koran, membacanya pelan dan meremas ujung koran di lain sisi.Di dalam koran tersebut, jelas wajah Lexsi tengah tersenyum. Berdampingan dengan Kenzie yang masih terlihat angkuh dan dingin. Hal-hal yang di tulis di dalam koran membuat Ellina meringis. Ketawa di dalam hati dengan kutukan kematian."Nikmati waktumu, karena saat aku kembali, semua hal yang menjadi milikku, akan kuambil kembali."Seorang pelayan datang dan menyajikan sebuah teh. Ellina terlihat tak terganggu dan masih terpaku pada koran di tangannya. Ia tak tahu, bahwa saat ini seluruh pelayan tengah memperhatikannya. Caranya tersenyum, bergerak, bahkan duduk. Semua hal yang ia lakukan terlihat is
***"Benar-benar sebuah keburukan,"Kata-kata itu terlalu berat di telinga Ernest. Senyumnya terukir pelan dengan jari menelusuri wajah Ellina. Sedangkan satu tangan lainnya semakin mengeratkan genggaman tangannya di pergelangan tangan Ellina."Kau ingin kematian seperti apa?" tanya Ernest sangat pelan. Sangat dingin dengan senyum tipis yang tak pernah pupus. Zacheo menahan napasnya saat melihat itu semua."Seperti ini, atau ...,"Tubuh Ellina sedikit tergerak saat tangan Ernest menekan lehernya. Cukup kuat hingga ia dapat merasakan pasokan udara yang kosong di paru-parunya. Denyut nadinya terasa lebih sakit karena genggaman itu semakin kuat. Perlahan, saat tekanan di lehernya semakin kuat, ia hanya bisa tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata pun."Atau yang seperti ini?"E
Ruangan putih itu terlihat pengap dengan bau obat yang kuat. Setelah satu hari lamanya, Ellina akhirnya membuka matanya. Sudut ruangan yang asing membuat matanya menyipit. Ia melihat selang infus yang menggantung dan terhubung dengan nadinya. Tak jauh dari tangannya, seorang pria tertidur dengan sangat pulas. Bahkan ia bisa melihat, bulu mata lentik yang menyatu terlihat tebal dan menawan.Saat pintu ruangan terbuka, Ellina menoleh pelan. Itu Zacheo, terlihat sedikit kaget dari ekspresi wajahnya. Langkahnya mundur dengan menutup pintu ruangan. Membuat Ellina mengernyitkan keningnya. Tak lama pintu terbuka lagi, di belakang Zacheo seorang dokter masuk. Mulai memeriksanya hingga membuat pria yang tidur itu terbangun."Permataku," ucapnya kaget dan berdiri. Membuat Ellina tak mengerti. "Oh, bagaimana keadaannya?" tanyanya pada dokter yang memeriksa Ellina."Nona tela
Sinar mentari tampak tinggi dengan kilauan panas yang menyengat. Bangunan tinggi bertuliskan 'E. V. Company' itu tampak tenang. Kecuali satu pria yang telah menunggu lebih dari dua hari di sana. Wajahnya tampak kusut dengan sangat menyedihkan. Harapannya tak pernah putus hingga hari ini. Menjadikannya pemandangan yang sangat menyedihkan.Saat sebuah langkah lebar di sertai para pengawal mengikutinya, pria itu bangkit langsung menghadangnya. Meninggalkan kesedihan dengan api membara di matanya."Presiden E. V," panggilnya lantang.Ernest menoleh. Membuat barisan para pengawalnya menepi. Satu alisnya terangkat dengan pandangan tak mengenali. Hingga Zacheo maju dan membisikkan sesuatu. Lalu senyum Ernest menyambut."Kenapa?" hanya kata itu yang keluar.Masih tersenyum, Ernest memasukkan dua tangannya ke saku. Menatap pria yang tak jauh dar