Share

KELUARGA BENALU
KELUARGA BENALU
Penulis: Yazmin Aisyah

Bab 1

Keluarga Benalu

"Nay, coba kamu tandatangani ini dulu."

Mas Ardan menyodorkan selembar kertas bermaterai begitu aku duduk di kursi makan sepulang kerja. Aku diam sejenak, meneguk air dalam gelas yg kupegang.

"Ayolah cepat." Desaknya.

"Ini kertas apa, Mas?" Tanyaku sambil meraih kertas itu, mulai membaca isinya. Seketika mataku terbelalak.

"Mas mau memindah namakan rumah ini atas nama Mas?"

"Iya. Kenapa? Ini kan rumah Mas juga."

Aku mengusap wajah. Berusaha mencari kata - kata yang tepat agar lelaki di depanku ini tidak tersinggung. Tingkah laku nya sungguh mengerikan kalau sedikit saja amarahnya tersulut.

"Ya Mas. Ini memang rumah kita." Aku memberi penekanan pada kata 'kita'. "Tapi… ini rumah pemberian orang tuaku. Ayah sudah berpesan kalau rumah ini tidak boleh dipindah namakan oleh siapapun selain namaku…"

"Aaah… bacot!"

Lelaki itu menggebrak meja. Aku terlonjak dibuatnya.

"Ayahmu sudah mati Nayma. Apa kamu tidak tahu kalau harta istri itu juga milik suami?"

"Tapi Mas…"

"Aku tidak mau tahu. Kamu tandatangani itu sekarang juga. Atau kamu terima keluargaku tinggal di sini."

Mas Ardan berlalu dengan langkah lebar. Aku meremas kertas itu. Jadi ini alasannya. Dia ingin membawa keluarganya tinggal di sini. Memang beberapa kali dia memintaku menerima Ibunya yang janda dan dua adik perempuannya untuk tinggal di sini. Namun kutolak. 5 tahun menikah dengannya membuatku cukup memgenal bagaimana keluarganya. Lagipula, aku tidak nyaman ada orang lain tinggal seatap denganku. Risih rasanya meski itu ibu mertua. Sebagai gantinya, aku merelakan 70% gaji Mas Ardan untuk mertuaku. Tapi ternyata dia meminta lebih.

Aku memijit pelipis. Mengingat Ibu mertuaku bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Dua minggu tinggal di rumahnya sesaat usai menikah, membuatku memandang buruk pada perempuan bergelar mertua itu. Beliau, perempuan yang otoriter. Dan selalu memandang segala sesuatu berdasarkan harta. Belum lagi dua adik perempuan Mas Ardan yang selalu bertingkah layaknya tuan putri. 

"Kalau kau tidak tanda tangan hari ini juga, jangan salahkan aku kalau besok keluargaku kubawa kemari." 

Mas Ardan muncul dari dalam kamar dengan pakaian rapi dan wangi. Tangannya meraih kunci mobil di atas meja. Kunci mobilku tentu saja. Dia memberi isyarat lambaian tangan ketika aku ingin menjawab pernyataannya. Tanda tak ingin dibantah.

Aku menyandarkan bahu. Lelah. 5 tahun berumah tangga dengannya, hanya getir yang kudapat. Kalau bukan karena Aryan, putra semata wayangku, mungkin aku sudah menyerah memghadapi lelaki egois dan pemaksa itu. Tapi selalu kutahan karena aku belum mencium jejak perselingkuhan. Pun, meski suka berkata kasar, Mas Ardan tak pernah sekalipun memukulku. Dua hal itulah yang masih membuatku bertahan.

***

Suara gelak tawa riuh keluar dari pintu yang terbuka begitu aku sampai di rumah. Setelah menyimpan mobil di garasi, aku melangkah masuk, namun urung mendapati beberapa pasang sepatu perempuan tergeletak berantakan di depan pintu. Salah satunya bahkan nyangkut di pot bunga kesayanganku. 

"Nayma, kamu sudah pulang?" Seorang perempuan setengah baya keluar menghampiriku, dengan raut manis yang jelas akting.

Aku meraih tangannya. Bagaimanapun, dia ibu dari suamiku.

"Mama kapan datang?"

"Siang tadi. Ardan janji mau jemput tapi gak datang - datang. Ya sudah Mama pakai travel saja. Lagipula adik - adikmu sudah tak sabar ingin tinggal di kota."

Aku menoleh dan mendapati Asti dan Ara, adik Mas Ardan sedang asik ngobrol dengan seorang gadis yang tak kukenal. Mereka hanya melambaikan tangan padaku. Bungkus cemilan dan minuman berserakan di meja. Dan… astaga, sepasang kaki Ara bahkan nangkring di sana. Suasana mendadak gerah.

Mama menangkap perubahan raut wajahku. Dia melirik ke meja tamu, dimana gadis - gadis berkumpul.

"Ara, turunkan kakimu nak!"

Gadis itu mendengus, lalu menurunkan kakinya. 

"Dan gadis itu siapa?"

"Oh itu Dania, sahabat Asti dari kampung. Dia ternyata kost tidak jauh dari sini. Jadi mereka janjian ketemu. Tidak masalah kan? Toh ini rumah kami juga."

Aku memijit alis. Lalu pamit ke dalam pada Mama. Di ruang tengah aku berpapasan dengan Bik Sum. Tatapan matanya menunjukkan kekhawatiran. Tentu saja, siapa yang tidak cemas jika akan serumah dengan manusia - manusia barbar?

"Sabar ya , Bik." Senyumku.

Di kamar, aku mendapati Mas Ardab tengan mematut dirinya di cermin. Pakaiannya rapi dan necis. Wangi parfum mahal menguar dari tubuhnya. Dia menoleh melihatku masuk.

"Nah, syukur kamu sudah pulang. Seperti kesepakatan kita kemarin, Mama dan adik - adikku akan tinggal di sini bersama kita."

"Kita belum membuat kesepakatan Mas."

Mas Ardan melotot.

"Aku memberimu dua pilihan. Dan kamu memilih tidak tanda tangan. Jadi jangan salahkan aku kalau opsi kedua yang aku ambil.

"Tapi…"

"Dengar Nay, aku tidak mau berdebat. Moodku sedang baik. Kesinikan kunci mobil."

"Mas mau kemana?"

"Aku mau ajak Mama dan adik - adikku jalan - jalan. Kasihan mereka lama tinggal di kampung. Mumpung ada Dania."

Entah, apakah aku salah dengar atau hanya perasaanku saja? Ada binar di matanya saat menyebut nama Dania.

Pasrah, kuberikan kunci mobil. Dari balik jendela, kusaksikan mereka menaiki mobil dengan riang gembira. Sedikitpun tak ada basa - basi menawariku ikut serta. Bahkan Mas Ardan melupakan Aryan.

Dan darahku makin mendidih melihat siapa yang duduk di sampingnya dikursi penumpang. Dania.

***

Next

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
otak mu masih pada tempatnya nayma?
goodnovel comment avatar
Rani Hermansyah
mampir ya Istri yang tak dirindukan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status