Keluarga Benalu
"Nay, coba kamu tandatangani ini dulu."
Mas Ardan menyodorkan selembar kertas bermaterai begitu aku duduk di kursi makan sepulang kerja. Aku diam sejenak, meneguk air dalam gelas yg kupegang.
"Ayolah cepat." Desaknya.
"Ini kertas apa, Mas?" Tanyaku sambil meraih kertas itu, mulai membaca isinya. Seketika mataku terbelalak.
"Mas mau memindah namakan rumah ini atas nama Mas?"
"Iya. Kenapa? Ini kan rumah Mas juga."
Aku mengusap wajah. Berusaha mencari kata - kata yang tepat agar lelaki di depanku ini tidak tersinggung. Tingkah laku nya sungguh mengerikan kalau sedikit saja amarahnya tersulut.
"Ya Mas. Ini memang rumah kita." Aku memberi penekanan pada kata 'kita'. "Tapi… ini rumah pemberian orang tuaku. Ayah sudah berpesan kalau rumah ini tidak boleh dipindah namakan oleh siapapun selain namaku…"
"Aaah… bacot!"
Lelaki itu menggebrak meja. Aku terlonjak dibuatnya.
"Ayahmu sudah mati Nayma. Apa kamu tidak tahu kalau harta istri itu juga milik suami?"
"Tapi Mas…"
"Aku tidak mau tahu. Kamu tandatangani itu sekarang juga. Atau kamu terima keluargaku tinggal di sini."
Mas Ardan berlalu dengan langkah lebar. Aku meremas kertas itu. Jadi ini alasannya. Dia ingin membawa keluarganya tinggal di sini. Memang beberapa kali dia memintaku menerima Ibunya yang janda dan dua adik perempuannya untuk tinggal di sini. Namun kutolak. 5 tahun menikah dengannya membuatku cukup memgenal bagaimana keluarganya. Lagipula, aku tidak nyaman ada orang lain tinggal seatap denganku. Risih rasanya meski itu ibu mertua. Sebagai gantinya, aku merelakan 70% gaji Mas Ardan untuk mertuaku. Tapi ternyata dia meminta lebih.
Aku memijit pelipis. Mengingat Ibu mertuaku bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Dua minggu tinggal di rumahnya sesaat usai menikah, membuatku memandang buruk pada perempuan bergelar mertua itu. Beliau, perempuan yang otoriter. Dan selalu memandang segala sesuatu berdasarkan harta. Belum lagi dua adik perempuan Mas Ardan yang selalu bertingkah layaknya tuan putri.
"Kalau kau tidak tanda tangan hari ini juga, jangan salahkan aku kalau besok keluargaku kubawa kemari."
Mas Ardan muncul dari dalam kamar dengan pakaian rapi dan wangi. Tangannya meraih kunci mobil di atas meja. Kunci mobilku tentu saja. Dia memberi isyarat lambaian tangan ketika aku ingin menjawab pernyataannya. Tanda tak ingin dibantah.
Aku menyandarkan bahu. Lelah. 5 tahun berumah tangga dengannya, hanya getir yang kudapat. Kalau bukan karena Aryan, putra semata wayangku, mungkin aku sudah menyerah memghadapi lelaki egois dan pemaksa itu. Tapi selalu kutahan karena aku belum mencium jejak perselingkuhan. Pun, meski suka berkata kasar, Mas Ardan tak pernah sekalipun memukulku. Dua hal itulah yang masih membuatku bertahan.
***
Suara gelak tawa riuh keluar dari pintu yang terbuka begitu aku sampai di rumah. Setelah menyimpan mobil di garasi, aku melangkah masuk, namun urung mendapati beberapa pasang sepatu perempuan tergeletak berantakan di depan pintu. Salah satunya bahkan nyangkut di pot bunga kesayanganku.
"Nayma, kamu sudah pulang?" Seorang perempuan setengah baya keluar menghampiriku, dengan raut manis yang jelas akting.
Aku meraih tangannya. Bagaimanapun, dia ibu dari suamiku.
"Mama kapan datang?"
"Siang tadi. Ardan janji mau jemput tapi gak datang - datang. Ya sudah Mama pakai travel saja. Lagipula adik - adikmu sudah tak sabar ingin tinggal di kota."
Aku menoleh dan mendapati Asti dan Ara, adik Mas Ardan sedang asik ngobrol dengan seorang gadis yang tak kukenal. Mereka hanya melambaikan tangan padaku. Bungkus cemilan dan minuman berserakan di meja. Dan… astaga, sepasang kaki Ara bahkan nangkring di sana. Suasana mendadak gerah.
Mama menangkap perubahan raut wajahku. Dia melirik ke meja tamu, dimana gadis - gadis berkumpul.
"Ara, turunkan kakimu nak!"
Gadis itu mendengus, lalu menurunkan kakinya.
"Dan gadis itu siapa?"
"Oh itu Dania, sahabat Asti dari kampung. Dia ternyata kost tidak jauh dari sini. Jadi mereka janjian ketemu. Tidak masalah kan? Toh ini rumah kami juga."
Aku memijit alis. Lalu pamit ke dalam pada Mama. Di ruang tengah aku berpapasan dengan Bik Sum. Tatapan matanya menunjukkan kekhawatiran. Tentu saja, siapa yang tidak cemas jika akan serumah dengan manusia - manusia barbar?
"Sabar ya , Bik." Senyumku.
Di kamar, aku mendapati Mas Ardab tengan mematut dirinya di cermin. Pakaiannya rapi dan necis. Wangi parfum mahal menguar dari tubuhnya. Dia menoleh melihatku masuk.
"Nah, syukur kamu sudah pulang. Seperti kesepakatan kita kemarin, Mama dan adik - adikku akan tinggal di sini bersama kita."
"Kita belum membuat kesepakatan Mas."
Mas Ardan melotot.
"Aku memberimu dua pilihan. Dan kamu memilih tidak tanda tangan. Jadi jangan salahkan aku kalau opsi kedua yang aku ambil.
"Tapi…"
"Dengar Nay, aku tidak mau berdebat. Moodku sedang baik. Kesinikan kunci mobil."
"Mas mau kemana?"
"Aku mau ajak Mama dan adik - adikku jalan - jalan. Kasihan mereka lama tinggal di kampung. Mumpung ada Dania."
Entah, apakah aku salah dengar atau hanya perasaanku saja? Ada binar di matanya saat menyebut nama Dania.
Pasrah, kuberikan kunci mobil. Dari balik jendela, kusaksikan mereka menaiki mobil dengan riang gembira. Sedikitpun tak ada basa - basi menawariku ikut serta. Bahkan Mas Ardan melupakan Aryan.
Dan darahku makin mendidih melihat siapa yang duduk di sampingnya dikursi penumpang. Dania.
***
Next
Keluarga Benalu 2Kupandangi ruang tamu yang kacau balau sepeninggal Mas Ardan dan keluarganya. Bungkus - bungkus cemilan, botol minuman, kulit kacang dan kuaci berserakan dimana - mana. Lalu 3 buah koper besar teronggok di sudut. Salah satunya terburai keluar menandakan isinya telah ditarik paksa. Aku mengelus dada. Bik Sum meraih sapu dan mulai membereskan semua kekacauan ini."Nyonya dan nona - nona itu, apakah akan tinggal di sini Bu?"Tanya Bik Sum. Aku mengerutkan kening."Panggil saja Bu Imas. Itu nama mertuaku Bik. Dan adik - adik Mas Ardan, Asti dan Ara. Tak perlu pakai Nona."Jelasku tak suka. Aku sungguh tak suka ada yang meninggikan diriny
Keluarga Benalu 3"Loh, itu suamimu kan Nay?"Aku menoleh, dan nyaris menyemburkan kopi yang baru saja kuteguk. Dari jendela lantai dua food court, dapat kulihat sosok yang sangat ku kenal, Mas Ardan bersama Mama dan adik - adiknya sedang memasukkan barang - barang ke bagasi mobil. Aku memalingkan wajah."Iya. Mama mertuaku baru datang kemarin sama adik - adiknya. Mas Ardan izin kerja untuk bawa Mama belanja." Terangku.Shandy mengangguk - angguk. Masih mengawasi parkiran dari tempat kami menikmati makan siang."Kalau yang itu siapa? Kok mesra banget sama suamimu?"Aku menol
Keluarga Benalu 4"Asti, Ara. Bangun!"Aku menggebrak gebrak meja keras. Kedua gadis itu bangun dengan gelagapan."Ada apa sih Mbak? Ngagetin aja." Sungut Ara. Direbahkannya kembali badannya di atas sofa. Sementara Asti duduk sambil menguap. Kutarik kembali tangan Ara, memaksanya duduk."Bereskan semua kekacauan yang kalian buat ini. Aku gak mau tahu sejam lagi semua harus bersih.""Astaga. Mbak kayak apaan aja. Kan ada Bik Sum. Apa gunanya punya pembokat kalo kerjaan rumah masih kita juga yang ngerjain." Cetus Asti tanpa sopan santun.Aku mendesis. Darahku rasanya mulai naik ke u
Keluarga Benalu 5Aku menikmati sarapan dalam diam. Segelas jus buah dan setangkup roti isi sudah cukup untukku. Di hadapanku, ada dua porsi sarapan yang sama, yang kutujukan untuk Mas Ardan dan Mama."Hanya ini sarapannya?" Mama tiba - tiba sudah ada di hadapanku.Aku mengangguk."Ya Ma. Silakan dimakan."Mama mendengus. Diamatinya roti di piring dengan raut kesal."Mama tidak suka roti. Dan kenapa cuma 2 porsi? Kamu tidak menyediakan sarapan untuk adik - adikmu? Mana Bik Sum? Dasar pembantu tidak tahu diri. Jam segini masih tidur. Bik Suuummm…!"
Keluarga Benalu 6Suara cekikikan dari lantai bawah membangunkanku. Aku melirik jam di atas nakas. Pukul 11 malam. Kelelahan telah membuatku tertidur tanpa sadar di kamar Aryan, memeluk bantal mcqueen kesayangannya. Mas Ardan pasti sudah pulang. Sejak Bik Sum pergi, dia meminta kunci cadangan agar tak perlu membangunkanku jika pulang malam.Perlahan aku keluar. Dari lantai atas dapat kulihat pemandangan di ruang keluarga. Ara yang tertidur di sofa. Entahlah kenapa anak itu suka sekali tidur di sofa padahal ada kamar yang sudah kusediakan. Lalu Asti yang tengah bermain gawai. Dan… Dania, yang tengah duduk tak jauh dari Mas Ardan. Mereka ngobrol sambil tertawa - tawa."Astaga. Anak gadis siapa tengah malam gini masih bertamu di rumah orang?"&n
Keluarga Benalu 7"Aku tidak ada hubungan apa - apa dengan Dania, Nay."Mas Ardan berusaha menenangkanku. Entah apa yang membuatnya melunak, tidak membentak dan membabi buta seperti biasanya. Mungkin dia memikirkan cicilan mobil yang dia pikir akan kubayar. Enak saja batinku. Biasanya jika Mas Ardan marah, aku harus merelakan beberapa barang di rumah hancur karena dia banting. Piring, gelas, vas bunga. Apa saja yang bisa dia raih."Ah, memangnya kenapa kalau kami dekat dengan Dania? Lagipula Dania itu pemurah. Tidak pelit. Dan dia juga sekarang sudah kaya." Desis Asti.Aku menatap semua yang duduk di meja makan. Sengaja ku kumpulkan mereka semua untuk pertama kalinya setelah 2 minggu nyaris membuat rumah
Keluarga Benalu 8Rate 21+Aku menatap wajah tampan itu lewat layar handphone milik Shandy. Rasa haru menyerangku mengingat sudah 6 bulan lamanya kami tak bertemu. Bang Azka mirip sekali dengan Almarhumah Ibuku. Terutama sorot tajam matanya yang selalu melembut tiap kali bicara padaku. Ya. Dia telah merawatku hampir sepanjang umurku. Ibu meninggal dunia saat aku kelas 6 SD. Ayah yang sibuk dengan bisnisnya seringkali terpaksa meninggalkan kami berdua bersama beberapa ART saja. Dia mengerti diriku bahkan lebih dariku sendiri."Kenapa matamu sembab? Kamu habis menangis? Apa yang dilakukan Ardan padamu?"Pertanyaannya bertubi - tubi. Aku tertawa."Aku me
Keluarga Benalu 9Pintu depan yang memang sejak tadi sengaja tak ku kunci, untuk berjaga - jaga atas kemungkinan terburuk, kini menjeblak terbuka lebar. Shandy diikuti dua lelaki berbadan tegap dan kekar masuk dan langsung menghampiri kami. Shandy berdiri di depanku, memposisikan dirinya dengan sikap melindungi. Sementara dua lelaki tadi berdiri di sisi kiri kanan kami."Berani sekali kau menyentuh adikku! Dasar lelaki baj*ngan!" Bentak Shandy.Wajah Mas Ardan merah padam. Ditatapnya aku dengan pandangan menghakimi."Jadi kau merencanakan semua ini, Nayma? Kau sengaja memasang kamera untuk memata - mataiku? Kau berkomplot dengan Shandy untuk menjebakku!"