Share

Bab 3

Keluarga Benalu 3

"Loh, itu suamimu kan Nay?"

Aku menoleh, dan nyaris menyemburkan kopi yang baru saja kuteguk. Dari jendela lantai dua food court, dapat kulihat sosok yang sangat ku kenal, Mas Ardan bersama Mama dan adik - adiknya sedang memasukkan barang - barang ke bagasi mobil. Aku memalingkan wajah.

"Iya. Mama mertuaku baru datang kemarin sama adik - adiknya. Mas Ardan izin kerja untuk bawa Mama belanja." Terangku. 

Shandy mengangguk - angguk. Masih mengawasi parkiran dari tempat kami menikmati makan siang.

"Kalau yang itu siapa? Kok mesra banget sama suamimu?"

Aku menoleh, Ikut mengawasi parkiran. Dadaku bergemuruh melihat gadis teman Asti yang bernama Dania itu menempel dengan sengaja di tubuh Mas Ardan. Kelihatannya mereka sedang bercanda. Lalu mereka semua masuk mobil. Lagi - lagi Dania duduk di sisi pengemudi samping Mas Ardan.

Jadi itu bukan taksi online?

Aku membuang pandang dengan wajah memerah.

"Nayma, kamu baik - baik saja kan? Rumah tanggamu baik - baik saja kan?"

Shandy menatapku lekat. Aku memejamkan mata. Menegarkan hati. Belum saatnya membagi semua ini pada orang lain. Aku masih harus memastikannya sendiri.

"Aku baik baik saja Shan. Kami tidak ada masalah. Itu… teman adik iparku."

Shandy mengerutkan kening. Mungkin merasa heran dengan jawabanku yang terkesan ragu. Ah, aku lupa kalau dia telah mengenalku nyaris sepanjang usiaku. 

"Nayma, kamu tahu kan harus kemana jika ada masalah?"

Suaranya sarat tekanan. Aku terdiam.

"Bang Azka menitipkanmu padaku. Ingat. Kami tidak akan diam saja melihat kamu disakiti. Tidak mungkin kalian baik - baik saja sementara suamimu asik bersenda gurau dengan perempuan lain. Dan mertuamu? Astaga! Bisa - bisanya dia membiarkan anaknya yang sudah beristri dekat - dekat perempuan lain. Ck… coba biar kulihat!" 

Shandy bangkit dari duduknya. Aku panik menyadari maksud perkataannya. Gegas, kutarik tangannya kuat.

"Jangan Shan, belum saatnya."

Gadis itu berdiri dengan mata nyalang.

"Apa kamu mau menunggu sampai suamimu benar - benar selingkuh baru kamu akan bertindak? Jangan bodoh!"

Aku lupa betapa garangnya Shandy. Selain berstatus sahabat, dia juga tunangan Bang Azka, Abangku satu - satunya yang sedang bertugas di Natuna. 

"Bukan begitu. Duduklah dulu."

Shandy menghela nafas kesal. Tapi menuruti juga permintaanku.

"Oke, aku akan ceritakan semuanya. Tapi jangan keburu emosi. Jika ini menjadi jalan bagiku untuk lepas dari Ardan, aku ikhlas. Setidaknya, aku punya alasan untuk tidak menyesal. Dan ya. Aku memang butuh bantuanmu."

***

Lagi - lagi, aku disambut rumah yang kacau balau. Ruang tengah penuh aneka shopping bag yang belum lagi dibuka isinya. Kantung - kantung plastik penuh cemilan. Sementara Asti dan Ara tertidur di sofa dengan posisi yang tak nyaman dilihat. Mas Ardan dan Mama sendiri tak terlihat. Mungkin sedang istirahat di kamarnya.

Bik Sum tergopoh - gopoh menyambutku sambil menggendong Aryan yang menangis.

"Loh, anak Bunda kenapa nangis? Mbak Rina gak datang?" 

Aku meraih Aryan dalam gendongan setelah menyerahkan tasku pada Bik Sum. Kubawa Aryan ke meja makan lalu menuang air putih dari dalam kendi, oleh - oleh Shandy dari Jogja. Kebiasaanku setiap pulang kerja.

"Mbak Rina tadi datang Bu. Tapi… tapi disuruh pulang lagi sama Bapak." Suara Bik Sum lirih.

"Disuruh pulang lagi?" Aku menoleh kaget.

"Iya Bu. Katanya Mas Aryan tidak butuh pengasuh lagi karena sudah ada Nenek dan Tante - tantenya disini."

Astaga. Aku memijit kening yang tiba - tiba sakit. Mas Ardan keterlaluan. Tidak seharusnya dia mencampuri apa saja yang boleh dan tidak boleh di rumah ini. Dia sama sekali tak punya hak untuk itu.

Setelah membujuk Aryan dan menitipkannya pada Bik Sum, aku berlalu menuju kamar. Sepertinya aku harus bicara serius. Kudapati lelaki itu baru keluar dari kamar mandi. Sepertinya habis mencukur bulu - bulu halus di wajahnya. Tak kupungkiri, wajah Mas Ardan yang memesona sedikit banyak membuatku bergetar.

'Kuatkan hatimu Nayma, ganteng saja gak cukup. Ingat itu.'

"Kamu mau protes karena aku mecat Rina?"

Dia mendahuluiku bertanya. Aku mengangguk dengan tegas. 

"Ya. Mas tidak seharusnya melakukan itu. Mbak Rina sudah sangat tepat mengasuh Aryan. Sementara Bik Sum sudah punya tugas sendiri."

"Loh, kenapa tidak Nayma? Pengasuh Aryan itu dibayar dengan uangku kan?"

Astaga.

"Mas… apa Mas tidak sadar selama 5 tahun ini tak pernah memberiku nafkah selain uang 1 juta sebulan itu?"

Mas Ardan melengos.

"Ya. Ya. Aku tau. Dan uang nafkah dariku kamu buang sia - sia untuk membayar orang lain menggantikan tugasmu."

"Aku kan harus bekerja, Mas."

"Itu dia." Mas Ardan menjentikkan jemari di depan wajahku. Senyumnya sumringah.

"Kamu membuang nafkah dariku, lalu bekerja dengan alasan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Bukankah artinya uang itu hanya berputar - putar saja? Jadi aku anggap saja kamu tak butuh uang dariku. Pecat Rina. Biarkan Aryan diasuh Bik Sum. Lagipula ada Mama dan adik - adikku di sini."

Aku tersenyum sinis.

"Kamu pikir, Mama dan Adik - adikmu peduli dengan Aryan? Sejak kemarin menyapa anakku saja tidak."

"Ah sudahlah Nayma. Kamu harus mengerti mereka sedang euforia merasakan hidup di kota. Di rumah besar dan bagus ini. Nanti juga mereka akan dekat dengan Aryan."

"Aku sudah menerima Mas membawa Mama. Tapi Mas harus tahu batasannya. Kalau Mas terbiasa mengambil keputusan tanpa diskusi dulu denganku, jangan salahkan aku kalau melakukan hal yang sama."

Mas Ardan mendekatkan wajahnya. Pandangan matanya tiba - tiba garang. Jantungku berdegup kencang. 

"Kamu mengancamku, Nayma?"

"Aku hanya belajar darimu."

Mas Ardan tertawa sinis. Dijauhkannya kepalanya. Aku menarik nafas lega. 

"Oh ya, mulai bulan depan, tidak ada lagi uang nafkah untukmu. Aku mau kredit mobil. Jangan lupa sisanya kamu yang bayar."

***

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Fiiz Hap
hanya menempel terus
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Seenak perut lu aj lu manusia kere
goodnovel comment avatar
Anita Ratna
Suami durjana
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status