Mike sudah menunggu di depan kampus dengan mobil baru, yang tidak terlalu mencolok. Meski begitu, mobil sport yang di bawa Mike saat ini masih terbilang mewah. Karena hanya ada seratus unit di dunia. Setidaknya, Olivia tidsk terlalu risih seperti menaiki mobil yang hanya ada tiga unit di dunia itu.
Saat Mike melihat Olivia keluar dari gerbang kampus, ia segera keluar untuk membuka kan pintu mobil.
Olivia sedang bersama Tristan saat ini. Saat melihat Mike sudah menunggunya, Olivia menjadi sangat gugup.
"Olive, apa kau mendengar yang baru saja kukatakan?" Pertanyaan Tristan membuat Olivia semakin gugup.
"Em.. itu, bagaimana jika kita pergi lain kali saja? Ada hal penting yang harus kukerjakan sekarang!" Olivia tidak tau harus berbuat apa saat ini.
"Tapi, aku sudah memesan tiket untuk sore ini. Apa kau lupa, film ini hanya di tayangkan satu kali di bioskop." Tristan memegang tangan Olivia.
"Aku benar-benar tidak bisa kali ini, aku harus pergi sekarang. Aku akan menghubungimu nanti saat semua sudah selesai." Olivia melepaskan tangannya dari genggaman Tristan.
Mike menatap tajam pada Tristan. Karena hari ini masih dalam batas toleransi yang di berikan Albert pada Olivia, maka Mike tidak melakukan tindakan apa-apa saat melihat kejadian tadi.
"Baik lah. Aku mengerti. Mungkin lain kali kita bisa menonton film yang lain." Tristan tersenyum sambil mengusap kepala Olivia. Lalu, mengecup keningnya. Olivia hanya tersenyum tipis.
"Aku akan pergi sekarang." Ucapnya sambil melambaikan tangan pada Tristan.
Dengan heran, Tristan menatap mobil yang di naiki Olivia. Juga menatap pada Mike. "Sepertinya, aku belum pernah melihat mobil atau sopir itu bekerja pada keluara Olivia. Mungkin ini sopir dan mobil baru, nanti akan kutanyakan." Seru Tristan lalu menuju ke mobil BMW merah miliknya.
*****
Di dalam perjalanan pulang.Olivia tengah asik berselancar di laman sosial medianya. Mike sesekali memperhatikan dari kaca mobil.
"Nona Muda, sebaiknya anda menjaga jarak dengan lelaki itu. Jangan terlalu intim." Mike berusaha sopan mengingatkan.
"Namanya Tristan, dia pacarku. Apa yang salah dengan itu?" Olivia menjawab dengan cuek.
"Jika Tuan Muda mengetahuinya, maka ini akan menjadi masalah besar untukmu, Nona." Mike mencoba untuk mengingatkan majikan barunya itu.
"Jadi, tutup saja mulutmu. Jangan mengadu kepadanya. Maka dia tidak akan mengetahuinya." Olivia selalu mengatakan apa yang dia pikirkan, tanpa peduli siapa lawan bicaranya.
Mike hanya diam mendengar jawaban Olivia. Mike tau persis bagaimana tabiat Albert saat marah. Ia hanya takut Olivia tidak sanggup menghadapi kemarahan Albert nanti. Karena ia belum mengenal Albert lebih dalam.
Sesampainya di mansion. Olivia sangat takjub melihat keindahan dan kemegahan mansion milik Albert. Dia berjalan ke dalam sambil terus menatap sekeliling mansion itu.
"Mike, apa ini benar-benar milik Tuanmu itu?" Tanya Olivia.
"Benar, Nona. Dan sekarang, anda akan tinggal di sini bersama Tuan Muda."
Mike berjalan di depan Olivia, menaiki anak tangga yang terukir indah di setiap jenjangnya. Menuju sebuah kamar tamu yang sangat luas.
"Nona, silahkan istirahat di sini. Barang-barang anda sedang dalam perjalanan menuju mansion ini. Jika Nona membutuhkan sesuatu, pencet saja bel yang ada di samping tempat tidur itu. Maka beberapa orang pelayan akan datang melayani Nona Muda." Mike menjelaskan dengan rinci.
"Terima kasih, Mike. Aku akan mandi terlebih dahulu. Tolong siapkan aku makan malam yang lezat." Ucap Olivia lalu menutup pintu kamarnya sebelum Mike bisa menjawab.
Mike kembali ke bawah. Memerintahkan koki untuk memasak masakan super lezat ala restoran bintang lima.
Setelah selesai mandi, Olivia turun mengenakan kaus oblong dan celana jeans pendek. Ia langsung menuju ke meja makan. Terlihat ada sekitar tujuh hidangan ala resto yang berbeda-beda.
"Silahkan makan, Nona Muda." Ucap seorang pelayan muda di samping Olivia.
"Siapa namamu?" Tanya Olivia.
"Saya Fara, Nona Muda." Jawabnya masih dengan kepala tertunduk.
"Panggil saja aku, Olive. Sepertinya kita seumuran. Berapa umurmu, Fara?" Olivia memang sangat ramah, ia tak pernah membeda-bedakan status sosial orang lain.
"Saya baru tujuh belas tahun, Nona Muda." Jawab Fara ragu-ragu.
"Wah, ternyata aku lebih tua dua tahun darimu." Olivia tertawa sambil terus mengunyah makan malamnya. "Fara, duduk lah di sini. Temani aku makan. Apa kau tidak lapar?" Ajak Olivia tiba-tiba, membuat Fara terkejut.
"Maaf, Nona Muda. Saya tidak pantas untuk itu. Saya akan makan di dapur, bersama pelayan lainnya." Jawab Fara sopan.
"Hmm.. baik lah. Aku sudah selesai. Lihat, aku hanya mengambil sedikit dari dua jenis menu ini. Yang belum aku sentuh, kau boleh memakannya dengan rekan-rekanmu yang lain." Olivia adalah gadis yang baik hati dan tidak pernah memandang status seseorang untuk dijadikan teman atau sahabat.
"Tapi, kami tidak di perbolehkan untuk itu Nona Muda. Kami akan memakan, masakan yang kami masak sendiri." tolak Fara dengan halus.
"Lalu, mau di apakan makanan sebanyak ini?" Olivia tentu saja heran, karena makanan ini tentu tidak akan disajikan lagi untuk besok.
"Tuan Muda biasanya memerintahkan pelayan untuk membuangnya ke tempat sampah, Nona Muda." Jawab Mike yang tiba-tiba muncul.
"Aku bahkan belum menyentuh beberapa piring makanan itu, Mike." Ucap olivia dengan mimim wajah yang serius.
"Di sentuh atau tidak, Tuan Muda tidak mengizinkan siapa pun memakan makanan yang telah di sajikan untuk dirinya." Mike memberi alasan yang sama sekali tidak bisa di terima oleh akal sehat Olivia.
"Dasar sinting. Peraturan macam apa itu?" Olivia kesal.
"Fara, segera bereskan meja ini. Lakukan seperti biasa." Perintah Mike pada Fara.
Dengan cepat Fara mengambil piring-piring di atas meja. Namun sebelum pergi, Olivia mengeluarkan perintah pertamanya di mansion ini.
"Fara, lakukan seperti yang aku katakan. Kau dan rekan-rekanmu boleh memakan, makanan yang belum kusentuh. Aku yang akan bertanggung jawab jika Tuan Muda sombong itu marah. Bukan kah sekarang aku isterinya? Aku mempunyai hak dan kuasa di mansion ini untuk memberikan kalian perintah."
"Ta-tapi Nona..." Fara tidak tau harus menurut atau tidak pada perintah isteri majikannya ini.
"Tidak ada tapi-tapi. Lakukan saja. Jika tidak, aku akan memaksa kalian makan bersamaku di meja makan ini setiap malam." Ancam Olivia.
"Baik, Nona Muda. Sesuai yang anda perintahkan." Fara menjawab dengan cepat, lalu terburu-buru membawa beberapa piring makanan di tangannya itu menuju dapur.
Sebelumnya Mike memberikan anggukan, sebagai kode pada Fara untuk menuruti perintah Olivia. Jika tidak, mungkin Fara akan tetap menolak. Karena, selain Albert, perintah dan kemarahan Mike juga berlaku pada seluruh pelayan yang bekerja pada Albert. Albert memberikan Mike wewenang itu.
Mike tidak tau harus bagaimana menghadapi tingkah Olivia. Mike mengeluarkan ponselnya, berencana untuk melaporkan pada Albert bahwa Olivia sudah selesai makan malam. Olivia yang melihat Mike akan menelpon, lantas berkata "Kadukan saja pada pria sombong itu, aku tidak takut sama sekali. Kau memang anak buah yang sangat berbakti, Mike." "Itu sudah menjadi tugasku, Nona." Mike membungkuk, kemudian pergi dari ruang makan. Meninggalkan Olivia yang masih menggerutu karena kesal. Akhirnya Olivia kembali ke kamarnya. "Apa yang bisa aku lakukan di sini?" Olivia bertanya pada dirinya sendiri saat sedang berbaring di atas ranjangnya. Layar ponselnya menyala, Olivia menjangkau ponsel yang berada di atas nakas di samping tempat tidurnya. Panggilan masuk dari sebuah daftar kontak bernama Tristan. Dengan cepat Olivia mengatur posisinya menjadi duduk. Olivia ragu-ragu namun akhirnya menggeser layar ke tombol angkat. "Hallo.. my sweety."
Pagi ini, Olivia bangun lebih awal. Dia ingin memasak sendiri sarapan yang ingin dia makan. Meski para pelayan dan para koki sudah melarangnya, bukan Olivia namanya jika menyerah. Akhirnya para pelayan dan koki hanya mengawasi saja apa yang di lakukan Olivia. Sesekali Olivia akan meminta mereka untuk membantu mengerjakan sesuatu. Jam setengah tujuh pagi, sarapan telah tersaji di meja makan. Olivia sengaja membuat dua piring sarapan. Dia ingin memberikannya untuk Mike sebagai sogokan pagi ini. Ada informasi yang harus dia ketahui dari Mike. Setelah Olivia selesai mandi dan berpakaian rapi, dia kembali turun dan langsung menuju meja makan. Dia duduk dan mencium aroma masakannya sendiri. "Hhmmm.. aromanya sangat menggoda. Masakanku memang selalu tak tertandingi." Ucap Olivia lalu menyuap satu sendok bubur yang terbuat dari tepung beras dan di siram gula merah di atasnya. Aroma pandannya sangat kuat. Hingga Mike pun bisa mencium aroma bubur itu dari
Di dalam jet, saat perjalanan pulang, Albert tak henti-henti menatap jarum yang bergerak di jam tangannya. "Dasar, gadis manja. Kali ini, apa lagi yang membuatnya bertingkah." Albert menggeram pelan, namun kata-kata itu masih terdengar dengan jelas di telinga Lucy. "Siapa yang di maksud oleh Tuan Muda? Itu tidak mungkin Ny. Monic kan? Jika itu Ny. Monic, Tuan tidak akan meninggalkan rapat penting seperti tadi hanya demi menemuinya. Siapa gadis yang Tuan maksud? Aku harus mencari tau informasinya nanti." Lucy begitu penasaran dengan ucapan Albert. Lucy merasa saingannya bertambah satu orang lagi, setelah Monica. Karena cuaca bagus pagi ini, mereka sampai dengan cepat. Seorang sopir sudah menunggu di bandara. "Lucy, kembali lah ke perusahaan menggunakan taxi. Aku akan pulang ke mansion terlebih dahulu." Titah Albert lantas segera masuk ke mobil, tanpa perlu menunggu jawaban dari Lucy. "Pulang ke mansion? Apakah gadis yang Tuan Muda sebut t
Olivia tidak bersemangat lagi hari ini. Bahkan, ia tidak mengikuti satu pun kelasnya hari ini. Olivia merenungi apa saja yang telah terjadi pagi tadi, semua terasa begitu cepat. "Bagaimana dia bisa menganggap itu seakan bukan lah hal yang penting untuk kuketahui?" Olivia berbicara pada bayangannya di cermin. Setelah kejadian menggemparkan pagi tadi, Albert memutuskan untuk kembali ke kantor pusat. Di kantor, para karyawan sudah biasa melihat wajah kaku dan dingin Albert. Meskti tidak pernah dijawab, para pekerja akan tetap menyapa atau memberi hormat saat mereka melihat Albert. "Lucy, apa kau sudah membereskan masalah di London pagi ini? Jangan lupa, beri tau mereka kembali bahwa aku mengundang mereka dalam peresmian cabang hotel yang akan di laksanakan dua hari lagi. Sebagai permintaan maafku atas kejadian pagi ini, segera kau kirim undangan beserta sebotol anggur tahun 1940." Albert memerintahkan Lucy untuk menyelasaikan urusan itu. "B
Diam-diam, Mike merekam momen itu. Lalu mengirimnya kepada Albert. Semenit kemudian, Albert mengirim pesan. "Untuk apa kau mengirimiku video itu? Aku tidak peduli apa yang di kerjakannya, aku lebih peduli pada dapurku. Jangan sampai dia membuat dapur atau mansionku hancur, Mike." Balasan dari Albert membuat Mike tertawa pelan. "Tuan, aku yakin anda sangat peduli pada Nona Muda. Jika tidak, anda tidak akan mengirimiku pesan seperti ini." Bathin Mike sambil terus memperhatikan gerak gerik Olivia dari kejauahan. "Mike, kemari lah." Panggil Olivia, membuat Mike sedikit terkejut. "I-iya, Nona." Jawabnya gugup. "Kenapa kau hanya berdiri di sana sejak tadi? Apa yang kau pikirkan?" Tanya Olivia saat Mike sudah berada di depannya. "Maaf, Nona. Saya hanya mengawasi anda. Karena dapur adalah salah satu tempat yang berbahaya untuk anda." Ucap Mike, membuat Olivia sedikit heran. "Berbahaya? Bagaimana dapur bisa di sebut berbahaya? Ini hanya tempat
Olivia bergerak dengan malas dari posisi tidurnya. Tapi, kenapa ia merasa ada benda berbulu di tangannya. Dengan cepat Olivia membuka mata. "Oh My God. Kenapa aku bisa tidur dengan pria sombong ini?" Olivia berkata dalam hatinya dengan perasaan kaget yang tidak terbayangkan. Perlahan-lahan Olivia mengangkat sebelah tangannya yang bersandar indah di atas dada Albert. Setelah berhasil, ia memukul tangan itu dengan tangannya yang lain. Kepalanya masih menyuruk di bawah ketiak Albert. Olivia mencoba bergerak pelan, berusaha turun dari kasur sebelum Albert bangun. Saat kaki Olivia menyentuh lantai, suara bariton Albert membuatnya terkejut dan terdiam bagai patung pada posisinya. "Mau kemana kau, isteri kecilku?" Tanya Albert yang ternyata sudah bangun sejak tadi. Dia sengaja diam dan memperhatikan tindakan Olivia yang konyol. "A-aku.. aku akan mandi. Aku ada kelas pagi ini." Jawabnya terbata-bata. Lalu dengan cepat berlari masuk ke kamar mandi.
Albert menanggalkan handuk yang melingkar di pinggangnya sejak tadi, sehingga benda panjang yang mengeras itu terasa berada di paha Olivia. Dengan gelengan, Olivia masih berusaha untuk menolak. Kedua tangannya di satukan di atas kepala dan di tahan Albert dengan sebelah tangannya. Albert dengan ganas mencumbu Olivia. Antara penolakan dan menerima, entah mana yang kini di berikan oleh tubuh mungil Olivia. Dengan satu tangannya, Albert mengarahkan terong jumbo miliknya ke sela pangkal paha Olive. Menggesek-gesek benda tumpul itu di sana. Setelah merasakan sesuatu yang mulai basah di sana, Albert memasukkan terong jumbo miliknya dengan sekali hentakan keras. "Aaakkkhh.." pekik Olive tak tertahankan. Seiringi dengan mengalirnya air mata di sudut pipinya. "Sial. Ternyata gadis ini benar-benar masih perawan." Albert merutuk dalam hatinya, setelah menyadari ia baru saja merobek paksa keperawanan Olivia. "Jangan menangis. Nikmati saja, itu han
Setelah selesai sarapan, dengan sedikit drama akhirnya Olivia berangkat ke kampus diantar oleh Mike dan tentu ada Albert juga di dalamnya. Selama perjalanan, mereka memasang aksi diam. "Ingat, ini hari ketiga. Apa kau sudah mengakhiri hubunganmu dengan kekasihmu itu?" Albert memecah keheningan. Olivia mendadak teringat akan hal itu. Dia terlihat gelisah sekarang. Olivia sibuk dengan pikirannya sendiri, hingga lupa menjawab pertanyaan Albert. "Apa kau tuli?" Teriak Albert dengan wajah yang kesal. "Em.. apa boleh aku meminta waktu lagi? Aku belum sempat memberi tau Tristan. Bagaimana kalau sampai akhir pekan ini?" Olivia memasang wajah memelasnya di depan Albert. "Jangan pernah menyebut nama pria lain saat sedang bersamaku. Ingat itu!" Albert marah saat mendengar Olivia menyebut nama Tristan dengan sangat lembut. "Tapi, aku hanya menyebut nama Tristan karena... Hhmmmpp.. Hmmpp..." Belum sempat Olivia menyelesaikan kalimatnya, bibir Alber