Mike tidak tau harus bagaimana menghadapi tingkah Olivia. Mike mengeluarkan ponselnya, berencana untuk melaporkan pada Albert bahwa Olivia sudah selesai makan malam.
Olivia yang melihat Mike akan menelpon, lantas berkata "Kadukan saja pada pria sombong itu, aku tidak takut sama sekali. Kau memang anak buah yang sangat berbakti, Mike."
"Itu sudah menjadi tugasku, Nona." Mike membungkuk, kemudian pergi dari ruang makan.
Meninggalkan Olivia yang masih menggerutu karena kesal. Akhirnya Olivia kembali ke kamarnya.
"Apa yang bisa aku lakukan di sini?" Olivia bertanya pada dirinya sendiri saat sedang berbaring di atas ranjangnya.
Layar ponselnya menyala, Olivia menjangkau ponsel yang berada di atas nakas di samping tempat tidurnya.
Panggilan masuk dari sebuah daftar kontak bernama Tristan. Dengan cepat Olivia mengatur posisinya menjadi duduk. Olivia ragu-ragu namun akhirnya menggeser layar ke tombol angkat.
"Hallo.. my sweety." Sapa Tristan dengan lembut.
"Haii..." Jawab Olivia singkat.
"Kenapa sepertinya bidadariku sangat lesu? Apa kau belum makan?" Tristan menggoda Olivia.
"Aku sudah makan. Apa kau sudah makan?" Tanya Olivia pada Tristan.
"Tentu. Aku harus makan yang banyak, agar punya tenaga yang cukup untuk menahan rindu padamu." Tristan tertawa.
"Tadi siang bertemu, besok akan bertemu lagi, apa alasanmu untuk terus mengatakan rindu padaku?"
"Aku merindukanmu setiap saat. Saat bersamamu, seakan waktu tak pernah cukup!"
"Terima kasih, sayang. Sudah mencintaiku begitu besar." Olivia terharu mendengar penuturan Tristan.
"Itu memang sudah seharusnya. Olive, ada sesuatu yang ingin kutanyakan." Tristan terdengar sangat serius.
"Apa yang akan dia tanyakan? Apakah Tristan mengetahui sesuatu tentang pernikahanku?" Bathin Olivia sebelum menjawab. " Ya, apa yang ingin kau tanyakan?"
"Aku belum pernah melihat sopir yang menjemputmu tadi siang. Apakah dia sopir baru di keluargamu?" Tanya Tristan sangat penasaran.
"Oh itu... Em.. Dia memang sopir baruku. Mungkin mulai saat ini, aku akan di antar jemput oleh dia. Apa kau keberatan?" Jawab Olivia tergagap-gagap.
"Tidak. Tapi aku merasa pria itu menatapku dengan tidak tatapan tidak suka, saat kau bersamaku tadi."
"Benar kah? Aku tidak terlalu memperhatikannya tadi."
"Sudah lah. Jangan terlalu di pikirkan." Tristan menenangkan hati Olivia.
"Tristan..." Panggilnya pelan.
"Hmm... Apa yang ingin kau katakan?" Tristan seolah mengerti bahwa ada sesuatu yang ingin di sampaikan oleh Olivia.
"Kau tentu tau bukan, sebesar apa perasaanku padamu? Seperti apa aku mencintaimu. Apa kau percaya dengan perasaanku ini?" Tanya Olivia sungguh-sungguh.
"Tentu saja, sayang. Aku tidak akan pernah meragukan hal itu."
"Seandainya... Aku... Aku harus menikah dengan orang lain demi menyelamatkan perusahaan dan orang tuaku, apa kau akan membenciku?" Olivia bertanya dengan nada penuh keseriusan.
Namun, Tristan malah tertawa saat mendengarnya. Dia menganggap Olivia hanya sedang memberinya sebuah lelucon.
"Kau tidak akan bisa mengerjaiku." Ucap Tristan di sela gelak tawanya.
"Tris... Aku-aku serius." Olivia memberanikan diri untuk mengatakan hal ini pada Tristan.
Tapi tetap saja Tristan tidak menanggapi hal itu dengan serius. Ia mengira, Olivia sengaja memberinya sebuah prank. Karena, dua hari lagi adalah hari jadi mereka yang ke empat tahun.
"Aku percaya, tidak akan pernah terjadi hal gila semacam itu. Sekarang, tidur lah lebih awal. Mungkin kau terlalu lelah. Besok aku akan menunggumu di perpustakaan kampus. Oke?" Tristan enggan membicarakan hal yang menurutnya sangat konyol itu.
Olivia tidak punya pilihan lain. Dia berharap, besok bisa memberi tau Tristan tentang kebenaran ini. Meski sejujurnya hatinya sangat berat. Bagaimana pun, dia sangat mencintai Tristan.
"Baik lah. Aku akan tidur. Sampai bertemu besok, hunny. Selamat malam."
"Selamat malam, bidadariku." Balas Tristan lalu menutup panggilan itu.
Olivia berbaring menatap langit-langit kamarnya. Desain kamar ini sangat indah dan megah. Tentu saja, mansion sebesar ini pasti harus di desain dengan sangat indah dan megah agar terlihat kemewahannya.
Tok.. tok.. tok...
Terdengar suara ketukan di pintu kamar Olivia. Dengan cepat Olivia menutup badannya dengan selimut, ia berbaring di kasur dan pura-pura tidur.
Pintu terbuka, Mike berjalan masuk dan mendekat ke arah ranjang tempat Olivia berbaring.
"Sepertinya, Nona Muda sudah tidur, Tuan. Apa aku harus membangunkannya?" Terdengar suara Mike berbicara di telepon.
"Nona Muda sangat sopan dan menurut hari ini. Dia tidak membuat keributan apa-apa."
"Baik, Tuan Muda. Besok pagi aku akan menyampaikannya pada Nona Muda."
"Baik. Selamat malam, Tuan Muda."
Entah apa yang mereka bicarakan, yang di dengar Olivia hanya apa yang di katakan oleh Mike saja.
Olive masih berpura-pura tidur saat Mike mengatakan sesuatu yang membuat jantung Olivia seakan ingin meloncat keluar saat mendengarnya.
"Mungkin, Nona Muda memang jodoh yang tepat untuk Tuan Muda. Meski menjadi isteri kedua, tapi semua yang Nona Muda dapatkan adalah yang pertama. Bahkan Ny. Monic tidak pernah mendapat perlakuan istimewa dari Tuan Muda." Setelah selesai mengatakan itu, terdengar langkah Mike menjauh dan pintu kamar kembali tertutup.
Deeeg..
"Isteri kedua? Ny. Monic? Apa maksud semua perkataan Mike barusan? Apa yang tidak aku ketahui?" Olivia merasa ada sesuatu yang tidak dia ketahui. Sesuatu yang sangat besar. Dia harus menemukan jawabannya besok.
Olivia akhirnya memutuskan untuk tidur. Banyak hal yang harus dia tanyakan pada Mike besok pagi. Mike harus menjelaskan apa maksud perkataannya itu.
Pagi ini, Olivia bangun lebih awal. Dia ingin memasak sendiri sarapan yang ingin dia makan. Meski para pelayan dan para koki sudah melarangnya, bukan Olivia namanya jika menyerah. Akhirnya para pelayan dan koki hanya mengawasi saja apa yang di lakukan Olivia. Sesekali Olivia akan meminta mereka untuk membantu mengerjakan sesuatu. Jam setengah tujuh pagi, sarapan telah tersaji di meja makan. Olivia sengaja membuat dua piring sarapan. Dia ingin memberikannya untuk Mike sebagai sogokan pagi ini. Ada informasi yang harus dia ketahui dari Mike. Setelah Olivia selesai mandi dan berpakaian rapi, dia kembali turun dan langsung menuju meja makan. Dia duduk dan mencium aroma masakannya sendiri. "Hhmmm.. aromanya sangat menggoda. Masakanku memang selalu tak tertandingi." Ucap Olivia lalu menyuap satu sendok bubur yang terbuat dari tepung beras dan di siram gula merah di atasnya. Aroma pandannya sangat kuat. Hingga Mike pun bisa mencium aroma bubur itu dari
Di dalam jet, saat perjalanan pulang, Albert tak henti-henti menatap jarum yang bergerak di jam tangannya. "Dasar, gadis manja. Kali ini, apa lagi yang membuatnya bertingkah." Albert menggeram pelan, namun kata-kata itu masih terdengar dengan jelas di telinga Lucy. "Siapa yang di maksud oleh Tuan Muda? Itu tidak mungkin Ny. Monic kan? Jika itu Ny. Monic, Tuan tidak akan meninggalkan rapat penting seperti tadi hanya demi menemuinya. Siapa gadis yang Tuan maksud? Aku harus mencari tau informasinya nanti." Lucy begitu penasaran dengan ucapan Albert. Lucy merasa saingannya bertambah satu orang lagi, setelah Monica. Karena cuaca bagus pagi ini, mereka sampai dengan cepat. Seorang sopir sudah menunggu di bandara. "Lucy, kembali lah ke perusahaan menggunakan taxi. Aku akan pulang ke mansion terlebih dahulu." Titah Albert lantas segera masuk ke mobil, tanpa perlu menunggu jawaban dari Lucy. "Pulang ke mansion? Apakah gadis yang Tuan Muda sebut t
Olivia tidak bersemangat lagi hari ini. Bahkan, ia tidak mengikuti satu pun kelasnya hari ini. Olivia merenungi apa saja yang telah terjadi pagi tadi, semua terasa begitu cepat. "Bagaimana dia bisa menganggap itu seakan bukan lah hal yang penting untuk kuketahui?" Olivia berbicara pada bayangannya di cermin. Setelah kejadian menggemparkan pagi tadi, Albert memutuskan untuk kembali ke kantor pusat. Di kantor, para karyawan sudah biasa melihat wajah kaku dan dingin Albert. Meskti tidak pernah dijawab, para pekerja akan tetap menyapa atau memberi hormat saat mereka melihat Albert. "Lucy, apa kau sudah membereskan masalah di London pagi ini? Jangan lupa, beri tau mereka kembali bahwa aku mengundang mereka dalam peresmian cabang hotel yang akan di laksanakan dua hari lagi. Sebagai permintaan maafku atas kejadian pagi ini, segera kau kirim undangan beserta sebotol anggur tahun 1940." Albert memerintahkan Lucy untuk menyelasaikan urusan itu. "B
Diam-diam, Mike merekam momen itu. Lalu mengirimnya kepada Albert. Semenit kemudian, Albert mengirim pesan. "Untuk apa kau mengirimiku video itu? Aku tidak peduli apa yang di kerjakannya, aku lebih peduli pada dapurku. Jangan sampai dia membuat dapur atau mansionku hancur, Mike." Balasan dari Albert membuat Mike tertawa pelan. "Tuan, aku yakin anda sangat peduli pada Nona Muda. Jika tidak, anda tidak akan mengirimiku pesan seperti ini." Bathin Mike sambil terus memperhatikan gerak gerik Olivia dari kejauahan. "Mike, kemari lah." Panggil Olivia, membuat Mike sedikit terkejut. "I-iya, Nona." Jawabnya gugup. "Kenapa kau hanya berdiri di sana sejak tadi? Apa yang kau pikirkan?" Tanya Olivia saat Mike sudah berada di depannya. "Maaf, Nona. Saya hanya mengawasi anda. Karena dapur adalah salah satu tempat yang berbahaya untuk anda." Ucap Mike, membuat Olivia sedikit heran. "Berbahaya? Bagaimana dapur bisa di sebut berbahaya? Ini hanya tempat
Olivia bergerak dengan malas dari posisi tidurnya. Tapi, kenapa ia merasa ada benda berbulu di tangannya. Dengan cepat Olivia membuka mata. "Oh My God. Kenapa aku bisa tidur dengan pria sombong ini?" Olivia berkata dalam hatinya dengan perasaan kaget yang tidak terbayangkan. Perlahan-lahan Olivia mengangkat sebelah tangannya yang bersandar indah di atas dada Albert. Setelah berhasil, ia memukul tangan itu dengan tangannya yang lain. Kepalanya masih menyuruk di bawah ketiak Albert. Olivia mencoba bergerak pelan, berusaha turun dari kasur sebelum Albert bangun. Saat kaki Olivia menyentuh lantai, suara bariton Albert membuatnya terkejut dan terdiam bagai patung pada posisinya. "Mau kemana kau, isteri kecilku?" Tanya Albert yang ternyata sudah bangun sejak tadi. Dia sengaja diam dan memperhatikan tindakan Olivia yang konyol. "A-aku.. aku akan mandi. Aku ada kelas pagi ini." Jawabnya terbata-bata. Lalu dengan cepat berlari masuk ke kamar mandi.
Albert menanggalkan handuk yang melingkar di pinggangnya sejak tadi, sehingga benda panjang yang mengeras itu terasa berada di paha Olivia. Dengan gelengan, Olivia masih berusaha untuk menolak. Kedua tangannya di satukan di atas kepala dan di tahan Albert dengan sebelah tangannya. Albert dengan ganas mencumbu Olivia. Antara penolakan dan menerima, entah mana yang kini di berikan oleh tubuh mungil Olivia. Dengan satu tangannya, Albert mengarahkan terong jumbo miliknya ke sela pangkal paha Olive. Menggesek-gesek benda tumpul itu di sana. Setelah merasakan sesuatu yang mulai basah di sana, Albert memasukkan terong jumbo miliknya dengan sekali hentakan keras. "Aaakkkhh.." pekik Olive tak tertahankan. Seiringi dengan mengalirnya air mata di sudut pipinya. "Sial. Ternyata gadis ini benar-benar masih perawan." Albert merutuk dalam hatinya, setelah menyadari ia baru saja merobek paksa keperawanan Olivia. "Jangan menangis. Nikmati saja, itu han
Setelah selesai sarapan, dengan sedikit drama akhirnya Olivia berangkat ke kampus diantar oleh Mike dan tentu ada Albert juga di dalamnya. Selama perjalanan, mereka memasang aksi diam. "Ingat, ini hari ketiga. Apa kau sudah mengakhiri hubunganmu dengan kekasihmu itu?" Albert memecah keheningan. Olivia mendadak teringat akan hal itu. Dia terlihat gelisah sekarang. Olivia sibuk dengan pikirannya sendiri, hingga lupa menjawab pertanyaan Albert. "Apa kau tuli?" Teriak Albert dengan wajah yang kesal. "Em.. apa boleh aku meminta waktu lagi? Aku belum sempat memberi tau Tristan. Bagaimana kalau sampai akhir pekan ini?" Olivia memasang wajah memelasnya di depan Albert. "Jangan pernah menyebut nama pria lain saat sedang bersamaku. Ingat itu!" Albert marah saat mendengar Olivia menyebut nama Tristan dengan sangat lembut. "Tapi, aku hanya menyebut nama Tristan karena... Hhmmmpp.. Hmmpp..." Belum sempat Olivia menyelesaikan kalimatnya, bibir Alber
Olivia tidak memiliki teman di kampus ini. Karena ia terkenal tomboy, dia tidak terlalu suka bergaul dengan teman wanita. Di kampus ini, hanya Tristan satu-satunya yang dekat dengannya. Selama kelas berlangsung, Olivia sama sekali tidak fokus mendengar materi yang di berikan Dosen. Pikirannya terbang entah kemana. Banyak hal yang di pikirkannya saat ini. Salah satunya, bagaimana cara memberi tau Tristan untuk menyudahi hubungan mereka. Olivia tidak ingin memberi tau pernikahannya dengan Albert. Setidaknya, bukan untuk saat ini. Tristan terus mengamati sikap Olivia. Dia yakin, ada sesuatu yang Olivia sembunyikan dari dirinya. Tapi sepertinya, Olivia belum siap untuk memberi tau padanya hal apa itu. Setelah kelas berakhir, tak terasa sudah jam satu siang. Kelas Olivia sudah selesai untuk hari ini. Jadi, dia berniat untuk langsung pulang ke mansion. Dia masih belum menemukan bagaiman cara untuk memberi tau Tristan. "Mike, jemput aku sekarang." Ol