Share

Legenda Kitab Surgawi
Legenda Kitab Surgawi
Author: ACANKUN

Pusaka Langit Hati Iblis

Gianjoyo dan Kirana bisa dikatakan orang yang beruntung saat mereka mendapatkan seorang anak laki-laki yang mereka namai Lengkukup. Dia memiliki bakat seorang pendekar sejak kecil, Lengkukup diberkahi kemampuan mempelajari sesuatu dengan cepat.Kemampuannya itu tentu menjadi daya tarik bagi sebagian orang, tetapi beberapa dari orang itu menaruh kebencian terhadapnya, mereka iri atas pencapaian yang dilakukan Lengkukup.

Tepat ketika menginjak usia tujuh tahun, sekte Aur Duri mengadakan sayembara untuk anak muda yang berbakat. Banyak yang berpartisipasi disayembara yang diadakan itu dan Lengkukup menjadi salah satu pesertanya.

Lengkukup bukannya menjadi sosok yang membanggakan, tetapi dirinya justru menjadi korban cemoohan dan dianggap curang oleh orang tua anak-anaknya karena Lengkukup dapat dengan mudah mengalahkan musuh-musuhnya. Gianjoyo dan Kirana saat itu melihat Lengkukup dihina bahkan dikucilkan tidak terima atas perlakuan mereka.

“Anakmu tidak mungkin bisa menang, dia pasti curang!” Ucap Shuwan orang tua salah satu peserta.

“Benar, dia tidak mungkin jadi pemenang, anakku bahkan jauh lebih unggul” Sahut orang tua yang lain.

Gianjoyo yang saat itu menemani Lengkukup masih sedikit bersabar dan menahan emosi yang memuncak.  Namun tiba-tiba Shuwan melempar Lengkukup dengan sebuah batu yang cukup besar, tetapi belum sempat batu itu mengenai Lengkukup batu itu ditebas oleh Lengkukup dan terbelah menjadi dua bagian.

“Kalian bisa lihat sendiri, anakku bisa melakukannya, kalian bisa bayankan jika batu itu kepala kalian” Gianjoyo berkata dengan nada datar. Beberapa dari mereka hanya bisa terdiam, tetapi tidak dengan Shuwan dirinya tidak terima atas perkataan Gianjoyo. Shuwan kemudian mencabut pedangnya dan menghunuskan pedangnya untuk membungkam Gianjoyo.

“Biadab, tunjukkan kemampuanmu!” Ucap Shuwan menyeringai.

“Lengkukup menjauh dari sini!” Seru Gianjoyo dengan amarah yang memuncak, berusaha menjauhkan anaknya.

Lengkukup seolah mengerti dan dengan cepat menjauh dari tempat pertarungan itu, orang yang tidak bersangkutan segera memberi ruang tanpa berusaha melerai pertarungan yang segera terjadi. Dengan tangan yang memegang pedang, Shuwan langsung menghunuskannya tepat kearah wajah Gianjoyo namun dengan cepat pedang itu seketika ditangkis olehnya.

Pertarungan tidak dapat dihindari, Gianjoyo lantas menendang tepat kearah dada Shuwan, tendangan yang begitu mendadak sehingga Shuwan tidak dapat menghindarinya tepat waktu. Shuwan terpental kebelakang dan memuntahkan darah segar dari mulutnya. Seketika itu juga Gianjoyo dengan cepat menghunuskan pedangnya kearah Shuwan yang masih menghela nafas. Dalam beberapa tarikan nafas, pedang Gianjoyo hendak mengenai tubuh Shuwan, namun dari arah selatan melesat sebuah panah yang membuat pedang Gianjoyo terlepas dari tangannya.

“Cukup ayah, hentikan!” Seru Lengkukup dari kejauhan.

Beberapa detik berlalu ketika Gianjoyo tidak melanjutkan serangannya, Gianjoyo sebenarnya tidak ingin melukai siapapun apalagi untuk membunuh. Disisi lain Shuwan tidak terima atas kekalahannya dan berusaha menusuk Gianjoyo dari belakang, sebuah pisau kecil menancap tepat dibagian belakang Gianjoyo dan membuatnya berlumuran darah.

Serangan Shuwan tidak berlanjut ketika  tangannya terasa keram, rupanya pada saat yang hampir bersamaan Lengkukup melemparkan pedangnya, meskipun Lengkukup tidak mempunyai tenaga dalam besar tetapi karena dirinya pandai memainkan pedang sehingga pedang  itu dapat dengan mudah menembus pergelangan tangan Shuwan. Shuwan yang terkejut karena tangannya terluka cukup parah langsung menyelamatkan diri sambil mengutuk Lengkukup “Biadab tunggu pembalasanku, hidupmu tidak akan tenang.”

Gianjoyo yang saat itu terluka akibat serangan Shuwan tidak mengejarnya, melainkan langsung menyelamatkan Lengkukup dan istrinya lari dari tempat itu. Setelah beberapa saat mereka melarikan diri, mereka bergegas mengambil barang-barang yang ada dirumahnya, tentu hanya barang yang bisa mereka bawa dengan cepat seperti pakaian dan beberapa koin emas, yang disimpan Gianjoyo dibawah lantai.

Kirana dan Gianjoyo kemudian mencari sebuah desa untuk ditinggali setelah dia meninggalkan sekte Aur Duri demi keselamatan keluarganya. Sudah beberapa saat mereka berjalan tanpa arah dan tujuan, penat dan lelah menghinggapi pundak Gianjoyo sehingga dirinya hampir tidak bisa melanjutkan perjalannya.

Kirana hanya bisa mematung sesaat melihat keadaan suaminya, dirinya ingin membantu tetapi tangan kecil Kirana hampir tidak bisa melakukan apapun untuk Gianjoyo. “Kita akan kesana!” Ucap Gianjoyo yang tersandar dibawah pohon karena darahnya cukup banyak keluar. Kirana dan Lengkukup menoleh hampir bersamaan dan melihat kearah yang sama.

Tepat ditepi hutan tampak sebuah desa kecil, keberadaannya cukup jauh dari sekte  Aur Duri, Gianjoyo menduga tidak akan ada yang mengejar mereka, karena jarak yang sudah mereka tempuh sudah cukup lama. Dalam hitungan menit merekapun tiba didesa yang dimaksut, tidak ada penjagaan bahkan desa itu terlihat tidak berpenghuni.

Namun tiba-tiba datang seorang sepuh yang mengagetkan mereka, “mau kemana kalian?” Ucap sepuh itu. Gianjoyo tidak sedikitpun menampakkan dirinya ketakutan tetapi tidak dengan Kirana, dirinya sedikit menyembunyikan muka dibalik tubuh Gianjoyo sedangkan legnkukup hanya bersikap datar.

“Kami ingin tinggal didesa ini, apakah kami bisa…” Gianjoyo menjawab pertanyaan sepuh itu, tetapi belum sempat Gianjoyo melanjutkan perkataannya, datang seorang pria paruh baya “kalian lebih baik pergi dari sini, tempat ini tidak aman buat pendatang baru seperti kalian.”

Gianjoyo berniat dengan sisa uang yang dibawanya, dirinya ingin membeli satu buah rumah yang ada didesa. “Aku ingin membeli satu buah rumah, apakah ini cukup?” Gianjoyo mengeluarkan kepingan emas dari kantong kulit yang dibawanya. Seketika mata sepuh dan pria paruh baya itu tampak berkaca-kaca melihat kepingan emas yang ada ditangan Gianjoyo, “tentu saja, itu lebih dari cukup.” Tanpa perlu menunggu akhirnya mereka sudah dapat tinggal didesa yang bernama Impit Bukit.

Tidak terasa sudah tiga hari mereka tinggal didesa Impit Bukit, luka pada tubuh Gianjoyopun sudah semakin membaik berkat Kirana yang merawatnya dengan sabar, dalam hati Gianjoyo penasaran dengan sebuah rumah yang berada disudut desa, dirinya pernah melihat ada seseorang berada disana. Gianjoyo lantas bertanya kepada sepuh desa yang beberapa hari lalu ditemuinya. “Kencana Emas, dia bukan penjahat kita harusnya beruntung dia ada disini.  justru karna dia ada ditempat ini, banyak penjahat dan bandit gunung mengurungkan niatnya” ucap sepuh itu sambil tersenyum. Gianjoyo ingin bertanya lebih banyak namun tiba-tiba seseorang datang melapor kepada sepuh, orang itu merupakan penduduk desa dirinya mengaku melihat Kencana Emas sedang menyandera seorang anak kecil.

“Anak kecil?” pekik Gianjoyo dengan sedikit memucat, sepuh itu juga sempat terkejut atas laporan  barusan. Dengan sedikit tergesa mereka memeriksa ketempat kediaman Kencana Emas.  Setibanya ditempat itu, Gianjoyo dan sepuh tua melihat Kencana Emas yang dalam keadaan mencekik Lengkukup.

“Lepaskan! Apa yang kau lakukan terhadap anakku?” Gianjoyo berucap dengan nada menantang. Kencana Emas sedikit menaikkan alisnya, dirinya melihat dengan jelas kedatangan Gianjoyo dan sepuh tua kerumahnya,Kencana hanya bisa menebak jika kedatangan mereka untuk anak kecil yang sedang dalam genggamannya. kencana tidak menghiraukan pertanyaan Gianjoyo dia lantas balik bertanya “Siapa kalian, dan apa yang kalian lakukan ditempat ini?”

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Amin Akim
Sedih amat iya cerita nya
goodnovel comment avatar
Zen Slanker
Kok judul bab nya gk nyambung sama cerita nya?
goodnovel comment avatar
Shinju Putra Takagami
Simak dulu boss..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status