Gianjoyo dan Kirana bisa dikatakan orang yang beruntung saat mereka mendapatkan seorang anak laki-laki yang mereka namai Lengkukup. Dia memiliki bakat seorang pendekar sejak kecil, Lengkukup diberkahi kemampuan mempelajari sesuatu dengan cepat.Kemampuannya itu tentu menjadi daya tarik bagi sebagian orang, tetapi beberapa dari orang itu menaruh kebencian terhadapnya, mereka iri atas pencapaian yang dilakukan Lengkukup.
Tepat ketika menginjak usia tujuh tahun, sekte Aur Duri mengadakan sayembara untuk anak muda yang berbakat. Banyak yang berpartisipasi disayembara yang diadakan itu dan Lengkukup menjadi salah satu pesertanya.
Lengkukup bukannya menjadi sosok yang membanggakan, tetapi dirinya justru menjadi korban cemoohan dan dianggap curang oleh orang tua anak-anaknya karena Lengkukup dapat dengan mudah mengalahkan musuh-musuhnya. Gianjoyo dan Kirana saat itu melihat Lengkukup dihina bahkan dikucilkan tidak terima atas perlakuan mereka.
“Anakmu tidak mungkin bisa menang, dia pasti curang!” Ucap Shuwan orang tua salah satu peserta.
“Benar, dia tidak mungkin jadi pemenang, anakku bahkan jauh lebih unggul” Sahut orang tua yang lain.
Gianjoyo yang saat itu menemani Lengkukup masih sedikit bersabar dan menahan emosi yang memuncak. Namun tiba-tiba Shuwan melempar Lengkukup dengan sebuah batu yang cukup besar, tetapi belum sempat batu itu mengenai Lengkukup batu itu ditebas oleh Lengkukup dan terbelah menjadi dua bagian.
“Kalian bisa lihat sendiri, anakku bisa melakukannya, kalian bisa bayankan jika batu itu kepala kalian” Gianjoyo berkata dengan nada datar. Beberapa dari mereka hanya bisa terdiam, tetapi tidak dengan Shuwan dirinya tidak terima atas perkataan Gianjoyo. Shuwan kemudian mencabut pedangnya dan menghunuskan pedangnya untuk membungkam Gianjoyo.
“Biadab, tunjukkan kemampuanmu!” Ucap Shuwan menyeringai.
“Lengkukup menjauh dari sini!” Seru Gianjoyo dengan amarah yang memuncak, berusaha menjauhkan anaknya.
Lengkukup seolah mengerti dan dengan cepat menjauh dari tempat pertarungan itu, orang yang tidak bersangkutan segera memberi ruang tanpa berusaha melerai pertarungan yang segera terjadi. Dengan tangan yang memegang pedang, Shuwan langsung menghunuskannya tepat kearah wajah Gianjoyo namun dengan cepat pedang itu seketika ditangkis olehnya.
Pertarungan tidak dapat dihindari, Gianjoyo lantas menendang tepat kearah dada Shuwan, tendangan yang begitu mendadak sehingga Shuwan tidak dapat menghindarinya tepat waktu. Shuwan terpental kebelakang dan memuntahkan darah segar dari mulutnya. Seketika itu juga Gianjoyo dengan cepat menghunuskan pedangnya kearah Shuwan yang masih menghela nafas. Dalam beberapa tarikan nafas, pedang Gianjoyo hendak mengenai tubuh Shuwan, namun dari arah selatan melesat sebuah panah yang membuat pedang Gianjoyo terlepas dari tangannya.
“Cukup ayah, hentikan!” Seru Lengkukup dari kejauhan.
Beberapa detik berlalu ketika Gianjoyo tidak melanjutkan serangannya, Gianjoyo sebenarnya tidak ingin melukai siapapun apalagi untuk membunuh. Disisi lain Shuwan tidak terima atas kekalahannya dan berusaha menusuk Gianjoyo dari belakang, sebuah pisau kecil menancap tepat dibagian belakang Gianjoyo dan membuatnya berlumuran darah.
Serangan Shuwan tidak berlanjut ketika tangannya terasa keram, rupanya pada saat yang hampir bersamaan Lengkukup melemparkan pedangnya, meskipun Lengkukup tidak mempunyai tenaga dalam besar tetapi karena dirinya pandai memainkan pedang sehingga pedang itu dapat dengan mudah menembus pergelangan tangan Shuwan. Shuwan yang terkejut karena tangannya terluka cukup parah langsung menyelamatkan diri sambil mengutuk Lengkukup “Biadab tunggu pembalasanku, hidupmu tidak akan tenang.”
Gianjoyo yang saat itu terluka akibat serangan Shuwan tidak mengejarnya, melainkan langsung menyelamatkan Lengkukup dan istrinya lari dari tempat itu. Setelah beberapa saat mereka melarikan diri, mereka bergegas mengambil barang-barang yang ada dirumahnya, tentu hanya barang yang bisa mereka bawa dengan cepat seperti pakaian dan beberapa koin emas, yang disimpan Gianjoyo dibawah lantai.
Kirana dan Gianjoyo kemudian mencari sebuah desa untuk ditinggali setelah dia meninggalkan sekte Aur Duri demi keselamatan keluarganya. Sudah beberapa saat mereka berjalan tanpa arah dan tujuan, penat dan lelah menghinggapi pundak Gianjoyo sehingga dirinya hampir tidak bisa melanjutkan perjalannya.
Kirana hanya bisa mematung sesaat melihat keadaan suaminya, dirinya ingin membantu tetapi tangan kecil Kirana hampir tidak bisa melakukan apapun untuk Gianjoyo. “Kita akan kesana!” Ucap Gianjoyo yang tersandar dibawah pohon karena darahnya cukup banyak keluar. Kirana dan Lengkukup menoleh hampir bersamaan dan melihat kearah yang sama.
Tepat ditepi hutan tampak sebuah desa kecil, keberadaannya cukup jauh dari sekte Aur Duri, Gianjoyo menduga tidak akan ada yang mengejar mereka, karena jarak yang sudah mereka tempuh sudah cukup lama. Dalam hitungan menit merekapun tiba didesa yang dimaksut, tidak ada penjagaan bahkan desa itu terlihat tidak berpenghuni.
Namun tiba-tiba datang seorang sepuh yang mengagetkan mereka, “mau kemana kalian?” Ucap sepuh itu. Gianjoyo tidak sedikitpun menampakkan dirinya ketakutan tetapi tidak dengan Kirana, dirinya sedikit menyembunyikan muka dibalik tubuh Gianjoyo sedangkan legnkukup hanya bersikap datar.
“Kami ingin tinggal didesa ini, apakah kami bisa…” Gianjoyo menjawab pertanyaan sepuh itu, tetapi belum sempat Gianjoyo melanjutkan perkataannya, datang seorang pria paruh baya “kalian lebih baik pergi dari sini, tempat ini tidak aman buat pendatang baru seperti kalian.”
Gianjoyo berniat dengan sisa uang yang dibawanya, dirinya ingin membeli satu buah rumah yang ada didesa. “Aku ingin membeli satu buah rumah, apakah ini cukup?” Gianjoyo mengeluarkan kepingan emas dari kantong kulit yang dibawanya. Seketika mata sepuh dan pria paruh baya itu tampak berkaca-kaca melihat kepingan emas yang ada ditangan Gianjoyo, “tentu saja, itu lebih dari cukup.” Tanpa perlu menunggu akhirnya mereka sudah dapat tinggal didesa yang bernama Impit Bukit.
Tidak terasa sudah tiga hari mereka tinggal didesa Impit Bukit, luka pada tubuh Gianjoyopun sudah semakin membaik berkat Kirana yang merawatnya dengan sabar, dalam hati Gianjoyo penasaran dengan sebuah rumah yang berada disudut desa, dirinya pernah melihat ada seseorang berada disana. Gianjoyo lantas bertanya kepada sepuh desa yang beberapa hari lalu ditemuinya. “Kencana Emas, dia bukan penjahat kita harusnya beruntung dia ada disini. justru karna dia ada ditempat ini, banyak penjahat dan bandit gunung mengurungkan niatnya” ucap sepuh itu sambil tersenyum. Gianjoyo ingin bertanya lebih banyak namun tiba-tiba seseorang datang melapor kepada sepuh, orang itu merupakan penduduk desa dirinya mengaku melihat Kencana Emas sedang menyandera seorang anak kecil.
“Anak kecil?” pekik Gianjoyo dengan sedikit memucat, sepuh itu juga sempat terkejut atas laporan barusan. Dengan sedikit tergesa mereka memeriksa ketempat kediaman Kencana Emas. Setibanya ditempat itu, Gianjoyo dan sepuh tua melihat Kencana Emas yang dalam keadaan mencekik Lengkukup.
“Lepaskan! Apa yang kau lakukan terhadap anakku?” Gianjoyo berucap dengan nada menantang. Kencana Emas sedikit menaikkan alisnya, dirinya melihat dengan jelas kedatangan Gianjoyo dan sepuh tua kerumahnya,Kencana hanya bisa menebak jika kedatangan mereka untuk anak kecil yang sedang dalam genggamannya. kencana tidak menghiraukan pertanyaan Gianjoyo dia lantas balik bertanya “Siapa kalian, dan apa yang kalian lakukan ditempat ini?”
“Maafkan atas ketidaksopan kami karena tidak memberi tau tuan terlebih dahulu” sepuh tua berkata dengan kaki sedikit gemetar, dirinya berusaha mencairkan keadaan yang sedikit memanas. “Kami hanya pendatang baru ditempat ini, tolong lepaskan anakku!” Gianjoyo sedikit memelas supaya tidak terjadi keributan yang tidak diinginkan. Sebelumnya sepuh tua juga sudah berpesan supaya hati-hati berbicara dengan Kencana Emas karena karekternya yang mudah tersinggung. “Tidak. Dia sudah memata mataiku sejak tadi.” “Maafkan sekali lagi atas kecerobohan anakku, dia memang sering melihat orang berlatih beladiri, dan tertarik dengan hal baru yang baru dilihatnya” Gianjoyo berusaha meyakinkan Kencana Emas, tetapi tampaknya Kencana Emas masih tidak percaya. “Berbaik hatilah Tuan Kencana Emas, kau hanya perlu melepaskannya dan biarkan situa bangka ini yang mengurusnya.” Sepuh itu sedikit menepuk pundak Kencana Emas berusaha meyakinkanny
Sudah beberapa waktu mereka bertarung, Gamya dan adik seperguruan Jiang sedang melihat pertarugan Kencana Emas. Tampak mereka seperti setara dalam pertarungan, tetapi sebenarnya Kencana bisa dengan mudah mengalahkan Jiang hanya dengan beberapa kali tarikan nafas saja. Kencana sedikit terganggu dengan Gamya yang mampu membuatnya jatuh keposisi berlutut kapan saja. Namun saat ini Gamya hanya melihat dan tidak menunjukkan dirinya ingin ikut campur pertarungan muridnya. Melihat posisi yang menguntungkan itu Jiang berusaha semakin memojokkan Kencana sambil tertawa lantang. Namun Kencana Emas bahkan belum berpindah dari tempat dia berdiri Kencana sedikit berkelit ketika golok Jiang hampir mengenai wajahnya dan secara bersamaan Kencana melancarkan serangan tapak kearah dada Jiang yang menyebabkan benturan yang cukup kuat, serangan itu membuat Jiang mundur beberapa langkah lalu memuntahkan dara segar. “Kuaku
Pada akhirnya Gianjoyo harus mati dengan penuh penyesalan karena tidak bisa melindungi keluarganya. Rasa penyesalan itu terlihat dari air mata Gianjoyo yang keluar tanpa bisa dikendalikan, pemandangan terakhir Gianjoyo adalah Kirana yang ditarik rambutnya oleh Xue. Melihat Gianjoyo sudah tidak berdaya Kirana ingin menangis tetapi tidak bisa karena rambutnya sedang ditarik oleh Xue. Kirana menyesal karena selama ini tidak pernah belajar beladiri, kini dia mendapatkan bukti jika dunia persilatan itu sangat kejam. Kirana tidak bisa menahan air mata yang sejak tadi terbendung dikelopak matanya. Butiran air mata membasahi wajah Kirana mengharap belas kasih Xue yang saat ini menjilati bibirnya.“Ampuni kami tuan, setidaknya biarkan anakku pergi dari sini” Ucap Kirana sambil menangis tidak dapat berbuat apa-apa. Genggaman rambut Kirana tiba-tiba dilepaskan, harapannya seolah menjadi kenyataan Kirana lantas berlari me
Beberapa waktu lalu Kencana Emas yang melesat kedalam hutan, rupanya berusaha menyelinap kembali kedesa untuk mengambil Pedang Pusaka yang tertinggal dirumahnya. Tidak butuh waktu lama Kencana Emas sudah berada tepat didepan pintu rumahnya tetapi belum sempat hendak melangkah, Kencana Emas dikejutkan oleh seseorang yang datang. Kencana Emas bertanya-tanya ada perlu apa sepuh tua ini datang kepadanya malam-malam begini, Kencana hanya menduga-duga sebelum sepuh itu mulai berbicara.” Maaf menggangumu, tetapi ada sesuatu yang harus aku sampaikan mengenai Gianjoyo kau tau kan?” Kencana Emas tidak langsung menjawab tetapi membiarkan sepuh itu menyelesaikan kata-katanya, Kencana juga bingung dirinya tidak punya urusan dengan keluarga Gianjoyo tetapi Kencana menduga jika kedatangan sepuh tua adalah untuk meminta tolong. “Ah sudahlah, mereka sedang dalam masalah, kau harus membantunya…” Sepuh itu kembali melanjutkan kalimat
Ch.6 Lembah Siluman Tubuh Lengkukup yang digendong Kencana Emas nyaris terbelah menjadi dua bagian, Kencana Emas tidak pernah menduga jika serangan semacam itu dapat berbalik arahnya. Gamya dan Xue dapat melihat dengan jelas Kencana dan Lengkukup bersimbah darah, mereka menduga jika salah satunya terkena serangan maka dijamin tidak akan selamat. Lengkukup terluka sangat parah, nafasnya hampir tidak bisa dikendalikan luka pada bagian tubuhnya cukup dalam, Kencana menebak setidaknya ada ratusan urat yang putus. Kencana tidak menoleh kebelakan dan berusaha lari sejauh mungkin dari pandangan, sambil berlari Kencana menotok jalan nadi Lengkukup. Usaha yang cukup jitu dari Kencana sehingga Lengkukup masih dapat bernafas tetapi darah tetap keluar. Kencana Emas tidak ada pilihan lain, kini dia harus menemukan tempat yang aman secepat mungkin. Di perjalanan tiba-tiba Kencana tehenti seketika mendapati jalan buntu didepannya, rumor y
Kencana Emas sedikit tertegun melihat Permata Siluman yang baru saja ditemukan dari potongan tubuh siluman yang sudah tidak berbentuk didepannya. Terlihat permata siluman itu sedikit berbeda dari biasa, warna merah menyala menunjukkan jika itu merupakan permata siluman yang sangat langka tidak seperti permata yang biasa dia jumpai. Pandangan Kencana luas menelisik keberadaan Lembah Siluman, kini dirinya sedikit merasa yakin jika tempat ini merupakan tempat yang ingin dijumpainya. Mimpi Kencana Emas seolah menjadi kenyataan ketika berhasil menginjak tanah Lembah Siluman. Hampir 1 tidak, mungkin 2 menit Kencana terdiam sambil memegangi permata siluman ditanganya. Kencana seakan lupa tentang keberadaan Lengkukup seolah ingin membiarkan Lengkukup mati begitu saja dan melanjutkan perjalanan seorang diri. “Apakah Lengkukup akan mati begitu saja? Tentu saja tidak.” Kencana beberapa kali berfikir sambil menggelengk
Kencana menyadari jika tepat disamping mereka terdapat sebuah Gua, dirinya berniat memasuki Gua yang tampak terlihat sangat menyeramkan. Kencana segera menggendong Lengkukup untuk mengobatinya kembali didalam Gua, akan tetapi baru bebarapa langkah Kencana Emas menuju Gua itu, tampak beberapa tulang belulang yang cukup besar berserakan. Kencana Emas menduga jika didalam Gua itu ada sesuatu yang bernyawa, Kencana Emas berteriak dengan keras seolah memanggil penghuni Gua itu keluar, seketika itu teriakkan Kencana Emas mendapat tanggapan dari penghuni Gua. Suara raungan menggema didalam Gua diiringi sesosok yang menyeramkan menampakkan kaki kakinya yang begitu besar, mata yang mengeluarkan cahaya kemerahan, seketika melotot kearah Kencana Emas tetapi Kencana Emas membalas dengan tatapan dingin sorot mata itu tanpa bergeming sedikitpun. Sosok itu rupanya siluman lumut yang hampir berumur 100 tahun, keberadaanya sudah se
Kencana menjadi satu dari sedikit orang yang selamat dari desanya, karena selama ini Kencana pergi bersama sang guru sebagai pengembara, dengan niat membalaskan dendam Kencana menghabiskan hampir seluruh waktu, untuk berlatih tenaga dalam dan seni bela diri. Hingga dia berhasil mengumpulkan 50 lingkaran tenaga dalam hanya dalam waktu 20 tahun, pada akhirnya Kencana tidak pernah merasakan hal yang dianggap mudah oleh kebanyakan orang seperti cinta. Kencana Emas tidak ingin jika Langkukup bernasib sama dengannya, tanpa menunggu lagi Kencana membuka kantong kulit yang masih terikat. Kencana sedikit merasa aneh, terlihat kantong kulit yang sebelumnya basah oleh darah dari tubuh Lengkukup kini sudah kering bahkan tidak ada noda sedikitpun. Perlahan Kencana memegangnya, terbesit dipikiran Kencana untuk memakainya sendiri supaya bisa membalaskan dendam pribadinya. Akan tetapi tentu Kencana tidak ingin Lengkukup mati karen