Reynand berdehem kecil sebelum ia mengetuk pintu yang sedikit terbuka itu dan mengatakan permisi. "Clarice ...." Lalu Reynand memanggil dengan suara pelan dan sedikit canggung. "Bolehkah aku masuk?" Lanjutnya.Clarice hanya melihatnya sekilas, lalu ia menganggukkan kepalanya acuh tak acuh, matanya lebih memilih fokus ke layar ponsel yang ia pegang.Merasa tidak ada sambutan ramah, Reynand memilih berdiri dengan kaku, lalu dengan sedikit ragu ia mengatakan, "Aku minta maaf, jika kata-kataku tadi sangat keterlaluan. Aku tidak bermaksud --" "Tidak masalah, hari ini aku memang agak sensitif. Aku juga minta maaf karena sudah menyebutmu manja juga." Potong Clarice dengan menatap Reynand sekilas dan memberikannya senyuman tipis, sebagai tanda bahwa ia benar-benar sudah memaafkan Reynand."Baiklah, kalau begitu kita sekarang sudah baikan kan?" Reynand menyodorkan tangannya, yang juga langsung disambut oleh Clarice seraya anggukan kepala, tidak lupa dengan senyuman tulusnya."Clarice, sebena
Satu bulan sudah berlalu, di sepanjang waktu ini, Clarice dan Reynand benar-benar hidup bersama dengan penuh kedamaian. Mereka kompak menjalani kegiatan masing-masing, Clarice yang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan belajar memasak bersama Alvin di setiap harinya. Sedangkan Reynand, sibuk dengan urusan kantornya. Namun, hari ini sedikit berbeda, karena ada sedikit rasa penyesalan di hati Reynand sebab ia teringat harus membayar gaji Clarice pada bulan ini, yang jatuh tepat pada hari ini. Padahal niat awalnya, Reynand hanya murni ingin menjadikan Clarice sebagai pelayan gratisannya saja.Meski nasi sudah menjadi bubur, karena Reynand sudah terlanjur mengatakan akan membayar Clarice. Namun, ia tidak kehabisan akal untuk melampiaskan rasa penyesalannya, yaitu dengan cara ia hari ini akan kembali menjadi Reynand yang menyebalkan, dengan tujuan hanya ingin membuat Clarice kesal, sebab menurut Reynand hanya itulah balasan yang impas.Karena hari ini adalah akhir pekan, Reynand t
Sejenak suasana berubah menjadi canggung, namun mereka kompak bersikap seolah baru saja tidak terjadi apa-apa.Padahal Clarice sedang menyembunyikan degup jantungnya yang berdetak lebih cepat karena tindakan Reynand tadi. "Clarice, kamu memotong sayurnya kebesaran," ujar Alvin yang melihat potongan sayuran tersebut semakin lama semakin besar."Oh, maaf. Aku kurang teliti, akan aku betulkan," sahut Clarice seraya tersenyum kaku, di dalam hati ia merutuki kebodohannya sendiri, bisa-bisanya ia merasa gugup dengan perlakuan Reynand tadi.Sedangkan Reynand yang merasa punya kesempatan untuk mengejek Clarice, ia langsung mencibir. "Ck, padahal sudah satu bulan kamu belajar memasak, tapi kemampuanmu masih di bawah standar. Kalau belajar itu di masukkan ke otak, bukan di hati."Mendengar perkataan Reynand, Clarice yang sedang memotong sayuran yang tinggal sepotong lagi, ia langsung memotong dengan keras, hingga suara pisau dan talenan itu beradu cukup nyaring.Reynand yang terkejut, sontak m
Hari ini yang seharusnya menjadi hari pertama Clarice bekerja di perusahaan Wirata Group, terpaksa tertunda karena hari ini adalah hari peringatan kematian Tuan Wirata, yaitu kakeknya Deffin, yang berarti kakek buyut Reynand.Reynand hampir saja melupakan hari penting ini, jika saja tadi ibunya tidak menelponnya untuk meminta tolong, agar Reynand membeli bunga mawar putih dan lily untuk dibawa ke pemakaman.Sedangkan Clarice yang sudah siap mengenakan pakaian kantor, ia terpaksa mengganti pakaiannya dengan dress hitam yang panjangnya sampai lutut, dengan lengan yang sepanjang siku.Reynand yang baru pertama kali melihat Clarice memakai dress, ia tampak terpukau sejenak, pasalnya baru kali ini Clarice terlihat seperti 'wanita normal' pada umumnya."Reynand!" Clarice memanggil Reynand sedikit keras, seraya menggoyangkan tangannya di depan wajah Reynand, sebab Reynand tidak menanggapinya, padahal ia sudah memanggilnya sampai ke tiga kalinya."Eh, apa?" Reynand tersentak saat ia baru saja
Tepat setelah semua orang selesai memanjatkan doa, Reynand dan Erlena baru saja tiba. Azkia yang sangat kesal, ia hanya bisa diam, lebih tepatnya ia sedang menahan diri untuk tidak mengomeli putranya itu di depan semua orang. Sedangkan Deffin, ia juga tampak tenang. Namun, tidak ada yang tahu betapa dinginnya sorot mata Deffin, kecuali Erwin dan Roy yang masih bisa melihatnya."Clarice sayang, ayo kita cari tempat berteduh dulu, Ibu juga sudah lelah karena terlalu lama berdiri," ajak Azkia yang sebenarnya hanya mencari alasan saja, sebab ia ingin menghindari Reynand."Baik, Bu." Clarice dan Azkia berjalan terlebih dahulu menuju kursi yang berada di bawah pohon yang berada di pinggiran area pemakaman, dengan diikuti Deffin yang berada di belakangnya. Sedangkan yang lain, masih tetap berada di tempatnya, sebab tidak akan enak dipandang, jika hanya ada Reynand dan Erlena yang masih berdoa, hanya berdua saja.Sesuai kebiasaan mereka, setelah dari pemakaman, keluarga Deffin akan langsung m
Semua orang memakan makanan mereka dengan cepat, namun juga tampak terlihat tenang secara bersamaan. Mereka makan dengan cepat, bukan karena mereka sudah kelaparan, namun karena mereka tidak ingin berlama-lama dalam ruangan yang terasa mencekam ini.Ting ...Deffin sudah meletakkan sendoknya, padahal ia baru makan setengahnya saja."Kalian lanjutkan saja makannya, aku masih ada urusan yang harus aku selesaikan." Menatap semua orang, lalu kemudian sorot matanya berhenti ketika memandang Azkia."Sayang, maaf. Aku harus pergi dulu," ujar Deffin lembut seraya memegang tangan Azkia.Azkia menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. "Iya, hati-hati."Setelah kepergian Deffin, tanpa sadar semua orang bisa menghela napas lega, entah mengapa makan bersama kali ini terasa menegangkan bagi semua orang."Kak, apakah paman Deffin sedang marah?" bisik Marcel pelan di telinga Loretta"Ssstt!!! Anak kecil diam saja," sahut Loretta tak kalah pelan. Mendengar jawaban kakaknya, Marcel mengerucutkan bibirn
Semilir angin pantai langsung menerpa wajah Clarice, di saat ia baru saja keluar dari mobil yang ditumpanginya."Clarice, udaranya terasa segar bukan?" tanya Azkia yang baru saja keluar lewat pintu belakang, lalu disusul Deffin yang keluar dari pintu sebelahnya. Sedangkan Clarice, ia duduk di depan, lebih tepatnya di samping sopir."Iya, Bu." Clarice langsung berjalan mendekat ke arah Azkia, lalu mereka berdua berjalan terlebih dahulu untuk menikmati air laut lebih dekat lagi.Sedangkan di belakang, Deffin masih berbicara dengan sopirnya. Sepertinya Tuan Posesif itu sedang memberi beberapa pesan, sebelum akhirnya sang sopir pulang."Mungkinkah dia akan langsung kembali ke Los Angeles?" batin Clarice. Awalnya Clarice mengira ia akan pergi ke pantai yang masih di kawasan California. Namun, ternyata mereka harus naik pesawat dulu sebelum sampai ke pulau ini, pulau yang Clarice tidak tahu entah namanya apa? Namun, sepertinya ini adalah sebuah pulau pribadi."Bu, ini di mana?" Mumpung Deff
Reynand berjalan keluar dari rumah orang tuanya dengan langkah yang gontai. Reynand sama sekali tidak memiliki niatan untuk menginap di rumah orang tuanya sendiri, padahal di situ ada banyak para pelayan yang bersedia melayani segala keperluannya. Tidak seperti di penthouse yang saat ini berubah menjadi sepi karena tidak adanya Clarice, dan juga dapat dipastikan besok tidak ada orang yang bisa diganggunya ketika membersihkan penthouse nya."Sialan! Enak sekali dirimu diajak liburan orang tuaku. Tapi, sekarang mereka pergi ke mana ya?" gumam Reynand seraya membaringkan tubuhnya di sofa ruang tamu.Reynand sedang mencoba menebak, di mana keberadaan orang tuanya dan istrinya saat ini, ia pun juga sudah berusaha bertanya ke semua manager hotel yang kemungkinan besar menjadi tempat penginapan mereka bertiga. Namun, hasilnya tetap nihil, mereka bertiga tidak datang ke sana.Setengah frustasi, Reynand mencoba bertanya kepada Brian, mungkin saja sekretarisnya itu tahu di mana keberadaan oran