Share

Kesatria Mawar
Kesatria Mawar
Penulis: Puziyuuri

Bagian 1

Suara besi beradu memekakkan telinga, membuat ngilu. Erangan-erangan memilukan terdengar menyayat, meremangkan bulu kuduk. Satu per satu tubuh dengan baju zirah roboh, memberi warna merah pada kubangan lumpur.

Tombak teracung, anak panah dilesatkan mencari sasaran. Korban semakin banyak berjatuhan. Mayat yang bertumpuk terinjak-injak. Aroma anyir menyesakkan udara. Namun, dua pihak yang tengah berseteru tidak terlihat akan mundur.

Sebenarnya, Kerajaan Arion membenci peperangan. Namun, tanah subur dan kaya akan hasil alam negeri tersebut menyebabkan kerajaan-kerajaan lain tergoda untuk menjajah. Beberapa kali raja mencoba mengirim utusan untuk diplomasi. Sebagian bisa diselesaikan dengan baik, tetapi lebih banyak yang berakhir dengan peperangan.

Perang kali ini, pasukan Kerajaan Arion dipimpin Pangeran Heydar, pangeran kedua. Kemampuan berpedang dan berkudanya hanya bisa ditandingi Farzam, panglima perang senior dan putrinya, Gulzar Heer. Ketika ketiganya menyatukan kekuatan, musuh tidak berkutik. Sementara itu, Kerajaan Arion juga membawa tim medis yang dipimpin pangeran ketiga, Pangeran Fayruza.

Meskipun wanita, prestasi Gulzar Heer dalam pertempuran tidak main-main. Dia selalu berhasil memenggal kepala pimpinan prajurit lawan. Sebutan mesin pembunuh tak berperasaan sudah sering didengarnya. Apalagi, wajahnya memang selalu tampak dingin dan hampir tidak memiliki ekspresi.

Kini, Gulzar Heer berhadapan dengan panglima musuh. Keduanya saling menebaskan pedang. Sialnya, malah mengenai pelana kuda. Kuda yang mereka kendarai menjadi panik. Gulzar Heer melompat cepat, disusul oleh si panglima. Adu pedang berlanjut, saling sabet, saling menghindar. Pedang bersinggunggan. Kilaunya seolah memantikan percikan api.

Ketika wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, panglima musuh tersenyum sinis. “Kesatria wanita? Apakah Kerajaan Arion terlalu kekurangan orang hingga merekrut wanita?” sindirnya.

Gulzar Heer tak menyahut. Baginya, tak ada gunanya banyak bicara, biarlah kemampuannya yang membuktikan. Satu sabetan pedang hampir menebas kepala. Beruntung, dia sempat menghindar. Gulzar Heer membalikkan keadaan dengan gerakan pedang memutar, tepat mengenai tangan kiri lawan. Darah menetes, lalu bercampur dengan kubangan lumpur.

“Aku hanya sedikit mengalah nona kesatria,” ejek panglima, berusaha menutupi rasa malunya.

Namun, Gulzar Heer tetap tak peduli. Hinaan semacam itu sudah sering terjadi. Dia jelas-jelas para lelaki hanya berusaha melindungi harga diri mereka karena tak terima kala dari wanita.

“Kali ini aku akan serius, Nona. Berhati-hatilah!” seru si panglima sembari meninju udara.

Dia kembali menyerang. Gulzar Heer dengan mudah menangkis, lalu melakukan serangan balik. Pedangnya menari bagaikan kerasukan setan. Panglima musuh semakin teerdesak.

Traang! Sraak! Traang!

Sementara itu, Farzam, sang ayah yang tengah bertarung sengit tak sengaja melihat pergerakan mencurigakan dari arah tebing. Anak panah meluncur lurus ke arah Gulzar Heer. Rupanya, si panglima tadi meninju udara untuk memberikan isyarat kepada pemanah ditebing agar melakukan serangan dadakan.

“Gulzar, awas!” seru Farzam.

Sayangnya, peringatan itu terlambat. Sebilah anak panah menancap di lengan kanan Gulzar Heer. Pedang terlepas menghempas bebatuan, menimbulkan bunyi keras. Tak lama kemudian, puluhan anak panah lainnya menyusul bak hujan turun dari langit.

Farzam dan Pangeran Heydar cepat bertindak dengan memasang badan di depan Gulzar Heer, lalu menangkis serangan menggunakan tameng atau langsung menebasnya. Tindakan keduanya diikuti para prajurit lain. Pemanah kerajaan Arion segera membalas serangan jarak jauh. Para pemanah musuh yang ada di atas tebing satu persatu berjatuhan dengan bersimbah darah.

Sementara itu, panglima musuh mengambil kesempatan, melompat gesit ke arah belakang Gulzar Heer. Gerakannya sangat cepat, hampir tak terbendung. Gulzar Heer sempat berbalik dan menahan serangan dengan tameng. Namun, posisi tubuh tak siap, membuatnya terdorong, lalu jatuh terguling di antara mayat-mayat dalam kubangan darah.

“Ha ha ha! Wanita memang lemah! Seharusnya, tinggal saja di rumah.”

Panglima musuh semakin bernafsu untuk membunuh. Gulzar Heer mematahkan ujung panah yang menancap di lengan, lalu berguling berkali-kali di antara para mayat untuk menghindari tusukan demi tusukan. Namun, dia tersenyum saat celah terlihat.

 Farzam selalu mengajarkan agar jangan menggunakan emosi berlebihan ketika pertarungan karena akan banyak titik kelemahan terlihat lawan. Gulzar Heer memanfaatkan emosi panglima musuh yang tak terkendali. Satu per satu titik lemahnya perlahan menjadi tampak.

“Mati kau!” Teriakan si panglima musuh memekakkan telinga.

Pedangnya terhunus lurus menuju dada Gulzar Heer. Sang kesatria wanita sekali lagi berguling, sehingga pedang musuh menancap di lumpur, terbenam cukup dalam dan sukit ditarik kembali. Namun, kali ini Gulzar heer tidak hanya menghindari serangan, tetapi juga menarik pedang yang menacap di salah satu mayat dengan tangan kiri. Sekali tebas, kepala panglima musuh terpenggal dan terguling di antara tumpukan mayat sebelum tercebur ke kubangan darah.

Gulzar Heer mengembuskan napas lega. “Hhh ... hhh ... syukurlah aku melatih berpedang dengan tangan kiri juga.”

Farzam menghampiri putrinya untuk membantu berdiri. Mereka kembali melanjutkan pertarungan. Meskipun kecepatan membunuhnya berkurang, Gulzar Heer masih terlihat gesit, menumpas musuh tak kenal ampun. Terlebih, semangat juang prajurit musuh turun drastis setelah terbunuhnya panglima mereka. Pertarungan terus berlanjut, hingga lawan akhirnya menyatakan menyerah. Kemenangan kembali berada dalam genggaman Kerajaan Arion.

“Hidup Kerajaan Arion!”

“Hidup Raja Faryzan!”

“Hidup Pangeran Heydar!

“Hidup Pangeran Fayruza!”

“Hidup Panglima Farzam!”

“Hidup Nona Gulzar Heer!”

Seruan-seruan kemenangan bergema dari pihak Kerajaan Arion. Gulzar Heer membuang pedang milik musuh yang tadi dipakai. Dia mengambil kembali pedang kesayangannya. Wanita itu juga memungut kepala panglima dan memasukkannya ke kotak kayu, agar nanti bisa dihadiahkan kepada raja.

Sementara itu, Farzam dan Pangeran Heydar mengomando pasukan untuk menjadikan prajurit musuh sebagai tawanan. Setelah lawan sudah dipastikan tertangkap, para tenaga medis dipimpin Pangeran Fayruza melakukan penyembuhan pada korban luka. Pangeran dengan sorot mata lembut itu menghampiri Gulzar Heer dengan tergopoh-gopoh.

“Gulzar, aku akan mengobatimu.”

“Tidak, Pangeran. Ada banyak prajurit kita yang mengalami luka lebih parah. Dahulukan mereka,” tolak Gulzar Heer.

Dia duduk bersandar di batang pohon, lalu menggigit saputangan sembari menarik sisa panah yang masih menancap di lengan. Darah memancar membasahi baju zirah. Gulzar Heer dengan cepat membalut lengannya dengan sapu tangan yang tadi digigit. Matanya membelalak saat tubuh terasa panas. Dia terbatuk dan memuntahkan darah.

“Sial ... panahnya beracun hhh ....”

Rasa terbakar semakin menyiksa. Napas terasa memburu. Kesadaran Gulzar Heer perlahan menurun. Sebelum pandangan memburam, dia sempat melihat Pangeran Fayruza berlari panik ke arahnya.

“Gulzar! Bertahanlah!”

Pangeran Fayruza mengenggam tangan Gulzar Heer. Perlahan, tubuhnya diselimuti cahaya biru berpendar terang. Dia memang memang menguasai teknik penyembuhan dengan mana elemen air.

“Arghh!”

Gulzar Heer kembali memuntahkan darah, mengotori pakaian sang pangeran. Pangeran Fayruza menarik tubuh kesatria wanita itu ke dalam dekapan, memperkuat mana. Cahaya biru semakin benderang.

“Bertahanlah, Gulzar, kumohon ....”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status