Suara besi beradu memekakkan telinga, membuat ngilu. Erangan-erangan memilukan terdengar menyayat, meremangkan bulu kuduk. Satu per satu tubuh dengan baju zirah roboh, memberi warna merah pada kubangan lumpur.
Tombak teracung, anak panah dilesatkan mencari sasaran. Korban semakin banyak berjatuhan. Mayat yang bertumpuk terinjak-injak. Aroma anyir menyesakkan udara. Namun, dua pihak yang tengah berseteru tidak terlihat akan mundur.
Sebenarnya, Kerajaan Arion membenci peperangan. Namun, tanah subur dan kaya akan hasil alam negeri tersebut menyebabkan kerajaan-kerajaan lain tergoda untuk menjajah. Beberapa kali raja mencoba mengirim utusan untuk diplomasi. Sebagian bisa diselesaikan dengan baik, tetapi lebih banyak yang berakhir dengan peperangan.
Perang kali ini, pasukan Kerajaan Arion dipimpin Pangeran Heydar, pangeran kedua. Kemampuan berpedang dan berkudanya hanya bisa ditandingi Farzam, panglima perang senior dan putrinya, Gulzar Heer. Ketika ketiganya menyatukan kekuatan, musuh tidak berkutik. Sementara itu, Kerajaan Arion juga membawa tim medis yang dipimpin pangeran ketiga, Pangeran Fayruza.
Meskipun wanita, prestasi Gulzar Heer dalam pertempuran tidak main-main. Dia selalu berhasil memenggal kepala pimpinan prajurit lawan. Sebutan mesin pembunuh tak berperasaan sudah sering didengarnya. Apalagi, wajahnya memang selalu tampak dingin dan hampir tidak memiliki ekspresi.
Kini, Gulzar Heer berhadapan dengan panglima musuh. Keduanya saling menebaskan pedang. Sialnya, malah mengenai pelana kuda. Kuda yang mereka kendarai menjadi panik. Gulzar Heer melompat cepat, disusul oleh si panglima. Adu pedang berlanjut, saling sabet, saling menghindar. Pedang bersinggunggan. Kilaunya seolah memantikan percikan api.
Ketika wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, panglima musuh tersenyum sinis. “Kesatria wanita? Apakah Kerajaan Arion terlalu kekurangan orang hingga merekrut wanita?” sindirnya.
Gulzar Heer tak menyahut. Baginya, tak ada gunanya banyak bicara, biarlah kemampuannya yang membuktikan. Satu sabetan pedang hampir menebas kepala. Beruntung, dia sempat menghindar. Gulzar Heer membalikkan keadaan dengan gerakan pedang memutar, tepat mengenai tangan kiri lawan. Darah menetes, lalu bercampur dengan kubangan lumpur.
“Aku hanya sedikit mengalah nona kesatria,” ejek panglima, berusaha menutupi rasa malunya.
Namun, Gulzar Heer tetap tak peduli. Hinaan semacam itu sudah sering terjadi. Dia jelas-jelas para lelaki hanya berusaha melindungi harga diri mereka karena tak terima kala dari wanita.
“Kali ini aku akan serius, Nona. Berhati-hatilah!” seru si panglima sembari meninju udara.
Dia kembali menyerang. Gulzar Heer dengan mudah menangkis, lalu melakukan serangan balik. Pedangnya menari bagaikan kerasukan setan. Panglima musuh semakin teerdesak.
Traang! Sraak! Traang!
Sementara itu, Farzam, sang ayah yang tengah bertarung sengit tak sengaja melihat pergerakan mencurigakan dari arah tebing. Anak panah meluncur lurus ke arah Gulzar Heer. Rupanya, si panglima tadi meninju udara untuk memberikan isyarat kepada pemanah ditebing agar melakukan serangan dadakan.
“Gulzar, awas!” seru Farzam.
Sayangnya, peringatan itu terlambat. Sebilah anak panah menancap di lengan kanan Gulzar Heer. Pedang terlepas menghempas bebatuan, menimbulkan bunyi keras. Tak lama kemudian, puluhan anak panah lainnya menyusul bak hujan turun dari langit.
Farzam dan Pangeran Heydar cepat bertindak dengan memasang badan di depan Gulzar Heer, lalu menangkis serangan menggunakan tameng atau langsung menebasnya. Tindakan keduanya diikuti para prajurit lain. Pemanah kerajaan Arion segera membalas serangan jarak jauh. Para pemanah musuh yang ada di atas tebing satu persatu berjatuhan dengan bersimbah darah.
Sementara itu, panglima musuh mengambil kesempatan, melompat gesit ke arah belakang Gulzar Heer. Gerakannya sangat cepat, hampir tak terbendung. Gulzar Heer sempat berbalik dan menahan serangan dengan tameng. Namun, posisi tubuh tak siap, membuatnya terdorong, lalu jatuh terguling di antara mayat-mayat dalam kubangan darah.
“Ha ha ha! Wanita memang lemah! Seharusnya, tinggal saja di rumah.”
Panglima musuh semakin bernafsu untuk membunuh. Gulzar Heer mematahkan ujung panah yang menancap di lengan, lalu berguling berkali-kali di antara para mayat untuk menghindari tusukan demi tusukan. Namun, dia tersenyum saat celah terlihat.
Farzam selalu mengajarkan agar jangan menggunakan emosi berlebihan ketika pertarungan karena akan banyak titik kelemahan terlihat lawan. Gulzar Heer memanfaatkan emosi panglima musuh yang tak terkendali. Satu per satu titik lemahnya perlahan menjadi tampak.
“Mati kau!” Teriakan si panglima musuh memekakkan telinga.
Pedangnya terhunus lurus menuju dada Gulzar Heer. Sang kesatria wanita sekali lagi berguling, sehingga pedang musuh menancap di lumpur, terbenam cukup dalam dan sukit ditarik kembali. Namun, kali ini Gulzar heer tidak hanya menghindari serangan, tetapi juga menarik pedang yang menacap di salah satu mayat dengan tangan kiri. Sekali tebas, kepala panglima musuh terpenggal dan terguling di antara tumpukan mayat sebelum tercebur ke kubangan darah.
Gulzar Heer mengembuskan napas lega. “Hhh ... hhh ... syukurlah aku melatih berpedang dengan tangan kiri juga.”
Farzam menghampiri putrinya untuk membantu berdiri. Mereka kembali melanjutkan pertarungan. Meskipun kecepatan membunuhnya berkurang, Gulzar Heer masih terlihat gesit, menumpas musuh tak kenal ampun. Terlebih, semangat juang prajurit musuh turun drastis setelah terbunuhnya panglima mereka. Pertarungan terus berlanjut, hingga lawan akhirnya menyatakan menyerah. Kemenangan kembali berada dalam genggaman Kerajaan Arion.
“Hidup Kerajaan Arion!”
“Hidup Raja Faryzan!”
“Hidup Pangeran Heydar!
“Hidup Pangeran Fayruza!”
“Hidup Panglima Farzam!”
“Hidup Nona Gulzar Heer!”
Seruan-seruan kemenangan bergema dari pihak Kerajaan Arion. Gulzar Heer membuang pedang milik musuh yang tadi dipakai. Dia mengambil kembali pedang kesayangannya. Wanita itu juga memungut kepala panglima dan memasukkannya ke kotak kayu, agar nanti bisa dihadiahkan kepada raja.
Sementara itu, Farzam dan Pangeran Heydar mengomando pasukan untuk menjadikan prajurit musuh sebagai tawanan. Setelah lawan sudah dipastikan tertangkap, para tenaga medis dipimpin Pangeran Fayruza melakukan penyembuhan pada korban luka. Pangeran dengan sorot mata lembut itu menghampiri Gulzar Heer dengan tergopoh-gopoh.
“Gulzar, aku akan mengobatimu.”
“Tidak, Pangeran. Ada banyak prajurit kita yang mengalami luka lebih parah. Dahulukan mereka,” tolak Gulzar Heer.
Dia duduk bersandar di batang pohon, lalu menggigit saputangan sembari menarik sisa panah yang masih menancap di lengan. Darah memancar membasahi baju zirah. Gulzar Heer dengan cepat membalut lengannya dengan sapu tangan yang tadi digigit. Matanya membelalak saat tubuh terasa panas. Dia terbatuk dan memuntahkan darah.
“Sial ... panahnya beracun hhh ....”
Rasa terbakar semakin menyiksa. Napas terasa memburu. Kesadaran Gulzar Heer perlahan menurun. Sebelum pandangan memburam, dia sempat melihat Pangeran Fayruza berlari panik ke arahnya.
“Gulzar! Bertahanlah!”
Pangeran Fayruza mengenggam tangan Gulzar Heer. Perlahan, tubuhnya diselimuti cahaya biru berpendar terang. Dia memang memang menguasai teknik penyembuhan dengan mana elemen air.
“Arghh!”
Gulzar Heer kembali memuntahkan darah, mengotori pakaian sang pangeran. Pangeran Fayruza menarik tubuh kesatria wanita itu ke dalam dekapan, memperkuat mana. Cahaya biru semakin benderang.
“Bertahanlah, Gulzar, kumohon ....”
***
"Ini belum saatnya kamu mati. Buka matamu, Anakku."Suara merdu menggema. Gulzar Heer perlahan membuka mata. Sosok indah dalam balutan gaun dari bahan sutra berwarna gold tertangkap pandangan. Rambut keperakannya dihiasi rangkaian bunga-bunga putih.Gulzar Heer bergumam lirih, "Ibu Peri?"Sosok itu memang tidak asing bagi Gulzar Heer. Dia pertama kali menemuinya saat membantu sang ibu mengumpulkan herbal di usia 5 tahun. Awalnya, seekor kupu-kupu emas terbang memutari tubuh, seolah minta diikuti. Gulzar Heer mengikutinya hingga ke danau yang airnya gemerlapan. Tak lama kemudian, kupu-kupu mewujud wanita cantik dengan rambut dan mata perak. Dia mengenalkan diri sebagai peri kupu-kupu emas dan mengaku sebagai ibu angkatnya."Syukurlah, kamu bisa selamat, jika orang biasa pasti sudah tidak tertolong," gumam sang peri.Dia mencondongkan badan. Satu kecupan lembut mendarat di kening Gulzar Heer. Cahaya keemasan menyelimuti perlahan. Rasa sak
“Ayo kemari, Gulzarku!”“Iya, Tuan Putri.”Gulzar Heer pasrah saja diseret oleh gadis dengan rambut hitam sepinggang itu. Dialah putri pertama Kerajaan Arion, Putri Arezha. Meskipun kelakuannya sedikit aneh, sang putri merupakan sosok yang cerdas dan selalu mampu memberikan solusi pada setiap permasalahan kerajaan. Oleh karena itu, Raja Faryzan sangat menyayanginya melebihi anak-anak yang lain.“Kamu diam di sini, ya,” titah Putri Arezha.“Baik, Tuan Putri.”Putri Arezha memang meminta Gulzar Heer berdiri dengan bersandar di salah satu pohon. Rambut hitam pekat sebahu si kesatria wanita tertiup angin semilir membuat posenya semakin estetik, memancarkan kecantikan sekaligus kegagahan di saat bersamaan. Sang putri segera duduk di kursinya dan mulai melukis.“Ya ampun, indah sekali. Kamu seperti mawar, indah tapi berduri, sangat menakjubkan!” seru Putri Arezha sambil menyapukan kuas.
Sraaat!Darah menyembur ke udara. Aroma anyir menyeruak, menusuk hidung. Suara geraman memekakkan telinga. Farzam berguling ke kanan saat lawannya mencoba menyeruduk.Tanduk megah bozkou menancap di salah satu batang pohon. Farzam melompat setinggi mungkin. Satu gerakan cepat, pedangnya memenggal kepala hewan buruan.“Satu lagi persediaan makanan.”Tawa Farzam pecah. Target buruan kesatria terkuat Kerajaan Arion memang berbeda. Tempat berburunya pun sangat ekstrim, Lembah Kematian.Lokasi terkutuk ini memiliki hewan-hewan aneh. Bozkou adalah salah satunya, makhluk bertubuh seperti sapi, tetapi bertanduk layaknya rusa jantan. Ekornya memiliki ujung runcing nan tajam dan beracun. Perburuan bozkou oleh Farzam adalah ajang pelatihan, bukan sekedar mencari persediaan makanan.Farzam tersenyum puas melihat tumpukan bozkou bersimbah darah. Keluarga kecil
“Lain kali, kau bersikan dulu dengan benar, Farzam!”“Iya, iya, Sayang.”Semangkuk sup diletakkan dengan sedikit diihentak di meja. Farzam menelan ludah. Delaram melotot seolah-olah matanya akan terlempar keluar. Dia mendengkus sambil berkacak pinggang.“Kau selalu mengatakan iya, tapi tidak pernah dilakukan dengan benar! Ada-ada saja yang kacau!”Farzam mencoba merayu sang istri. “Maafkan aku, Sayang. Aku hanya sedikit lupa. Kau tahu, kan, suamimu ini sangat sibuk sehingga–”“Selalu banyak alasan!” sergah Delaram, lalu melanjutkan omelannya.Ya, seminggu berlalu tanpa terasa. Aktivitas pagi di rumah Farzam tak berubah. Delaram mengomeli sang suami sambil menata masakannya di meja makan. Gulzar Heer telah terbiasa dengan pertengkaran “manis” orang tuanya, tak banyak bicara, tampak fokus mengelap permukaan pedang. Sesekali dia me
Tumpukan kayu yang telah dipotong rapi berhamburan di tanah bersama dua ekor bozkou tak bernyawa. Sementara Gulzar Heer duduk bersandar di pohon. Jemari penuh bekas luka mengusap wajah oval penuh keringat, meninggalkan bercak-bercak cokelat kemerahan di kulit putih.Gulzar Heer menghela napas berat sembari mengipasi wajah dengan topi. Tidak, dia bukannya lelah, hanya sedang banyak pikiran. Menggarap sebatang pohon hingga diperoleh ratusan potong kayu dan membunuh dua ekor bozkou hanya akan mengurangi 5 % tenaganya. Seorang Gulzar Heer bahkan sanggup tak tidur 2 hari 2 malam dalam peperangan.“Apa kamu akan menikah dengannya, Fay? Ah, mungkin saja, dia sangat cantik dan anggun. Kamu pasti sangat bahagia saat ini ....”Gulzar Heer menggeleng berkali-kali. Dia juga menekan kening yang mendadak berdenyut, juga memegangi dada. Rasa perih yang tak dapat dimengertinya melesak-lesak di dalam sana. Gulzar Heer menggeram, l
Pangeran Fayruza dan Gulzar Heer keluar dari sungai kecil di belakang rumah penduduk. Cahaya biru berpendar perlahan memudar saat mereka naik ke daratan. Sebelum memasuki area perkampungan, mereka terlebih dahulu melakukan penyamaran dengan pakaian rakyat biasa dan jubah berwarna kelabu. Kini, keduanya terlihat seperti sepasang pengembara.“Hari ini, kita akan melayani malaikat-malaikat kecil di Panti Asuhan Atefeh,” gumam Pangeran Fayruza riang. Dalam hati, dia berkata, ‘Kapan lagi aku bisa melihatmu tampak begitu manis dengan pakaian wanita, Gulzar.’Sementara itu, Gulzar Heer diam-diam tersenyum kecil. Pangeran Fayruza memang sangat istimewa. Saat saudara-saudaranya melakukan kegiatan amal dengan sorotan publik agar mendapat perhatian rakyat, dia malah lebih suka menyembunyikan identitas. Namun, entah kenapa selalu saja ada yang mengetahui, sehingga pamornya malah semakin melejit di mata rakyat.
Derap kaki kuda sedikit mengusik para penghuni hutan. Burung-burung liar terbang serentak, melarikan diri. Sementara beberapa ekor rusa berlarian ke bagian dalam hutan yang lebih rimbun.Iring-iringan kuda tersebut adalah rombongan Kerajaan Arion. Mereka tengah memenuhi undangan Kerajaan Khaz dalam kompetisi pedang tahunan. Surat undangan itulah yang diterima Raja Faryzan beberapa hari lalu. Hadiah untuk pemenang tak main-main, bisa memperistri Putri Kheva, sang bunga Kerajaan Khaz. Artinya, akan terjalin kerja sama amat menguntungkan mengingat Kerajaan Khaz sangat kuat di bidang militer maupun ekonomi.Pangeran Ardavan tampak sangat antusias, memimpin perjalanan dengan wajah semringah. Dia bahkan meninggalkan rombongan adik-adiknya di belakang. Kabar kecantikan Putri Kheva dari Kerajaan Khaz memang telah lama menjadi buah bibir. Lelaki genit sepertinya tentu tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk memperistri sang putri.Sebenarnya, P
Rombongan Kerajaan Arion segera menuju sumber suara. Kuda-kuda berlari cepat menembus semak dan meliuk-liuk di antara pepohonan. Pangeran Ardavan mengangkat tangan, sebuah isyarat untuk berhenti. Debu berterbangan saat laju kuda para pasukan dihentikan mendadak."Wah, ini menakjubkan! Apa aku sedang melihat seorang peri?"Pangeran Ardavan terpaku dengan pemandangan unik di hadapannya. Gadis cantik bertubuh semampai berdiri tegar dikelilingi tujuh ekor hizkel, elang raksasa. Baju ala pemburu yang dikenakannya dipenuhi bercak darah. Rambut pirang dikucir kuda bergerak-gerak nakal dipermainkan angin semilir. Sorot mata tegas memiliki pesona tersendiri.Sraat! Trang!Pedang di tangan si gadis ditebaskan. Namun, tubuh hizkel tak tergores sedikit pun. Bulu makhluk buas legendaris itu memang sekuat baja.“Bertahanlah, Manvash!” seru si gadis kepada gadis lain yang terbaring meregang nyawa di belakangnya.Rombongan K