Share

Bagian 3

“Ayo kemari, Gulzarku!”

“Iya, Tuan Putri.”

Gulzar Heer pasrah saja diseret oleh gadis dengan rambut hitam sepinggang itu. Dialah putri pertama Kerajaan Arion, Putri Arezha. Meskipun kelakuannya sedikit aneh, sang putri merupakan sosok yang cerdas dan selalu mampu memberikan solusi pada setiap permasalahan kerajaan. Oleh karena itu, Raja Faryzan sangat menyayanginya melebihi anak-anak yang lain.

“Kamu diam di sini, ya,” titah Putri Arezha.

“Baik, Tuan Putri.”

Putri Arezha memang meminta Gulzar Heer berdiri dengan bersandar di salah satu pohon. Rambut hitam pekat sebahu si kesatria wanita tertiup angin semilir membuat posenya semakin estetik, memancarkan kecantikan sekaligus kegagahan di saat bersamaan. Sang putri segera duduk di kursinya dan mulai melukis.

“Ya ampun, indah sekali. Kamu seperti mawar, indah tapi berduri, sangat menakjubkan!” seru Putri Arezha sambil menyapukan kuas.

Kesatria Mawar, julukan itu pertama kali diberikan oleh Putri Arezha.  Selain arti namanya, mawar yang kuat, sosok Gulzar Heer memang tampak seperti bunga mawar, indah, elegan, tetapi berduri. Dia juga memiliki tanda lahir berbentuk mawar di lengan atas. 

Akhirnya, lukisan telah selesai. Putri Arezha kembali memandangi wajah Gulzar Heer dengan mata berbinar. Sang kesatria wanita sedikit risih, tetapi hanya bisa pasrah.

“Kamu memang seperti peri, Gulzar, terlalu indah!”

“Negeri asal saya, Kerajaan Asytar banyak peri, Putri,” celetuk pelayan yang tengah menuang teh tiba-tiba. Dia langsung berlutut dan meminta maaf karena merasa bertindak tidak sopan. 

Namun, jangankan marah Putri Arezha malah menolongnya berdiri dan menatap antusias. “Benarkah, Shirin? Di mana itu? Aku mau ke sana!”

“Sebaiknya, jangan Putri!” seru pelayan bernama Shirin itu panik. Wajahnya menjadi pucat pasi.

 Putri Arezha seketika mengerecutkan bibir.

“Memang di sana banyak peri dan makhluk ajaib lain. Tapi ...,” Shirin berhenti sejenak, celingukan, seolah akan dimangsa binatang buas, “rajanya sangat kejam. Dulu, ibu saya adalah pelayan istana. Kata, ibu, ada selir yang dipenggal kepalanya hanya karena kesalahan kecil. Raja itu sangat buruk. Wajahnya saja yang tampan, tapi sifatnya seperti iblis,” lanjutnya.

Shirin tampak gemetar. Mungkin teringat kejadian buruk di masa kecilnya. Gadis itu memang didapatkan Putri Arezha saat pembebasan budak yang berasal dari negeri lain. Gulzar Heer menepuk pelan bahu Shirin, berusaha menenangkan. Namun, Putri Arezha yang ingin diperingatkan malah berbinar-binar. Dia mengenggam tangan Shirin.

“Setampan apa wajah sang raja?” tanyanya antusias.

“Jangan aneh-aneh, Tuan Putri! Biarpun tampan, saat ini pasti raja itu sudah menjadi kakek-kakek.” Farzam yang menyahut. “Raja Atashanoush seumuran dengan hamba.”

“Paman Farzam, selalu merusak suasana! Siapa tau, kan, di sana ada ramuan awet muda sehingga si raja itu masih tampan.” Putri Arezha memeluk lengan Gulzar Heer. “Gulzar, kamu mau, kan, menemaniku ke Kerajaan Asytar. Aku pasti aman kalau ada Gulzar.”

“Anda boleh pergi dengan Gulzar, jika mendapat izin dari Ibunya.”

Wajah Putri Arezha langsung muram. Dia tahu izin Delaram untuk membawa putrinya ke dalam bahaya adalah hal paling langka di dunia. Perintah raja saja yang bisa. Farzam menepuk bahu Gulzar Heer.

“Ayo Gulzar, kita pulang.”

Gulzar Heer mengangguk. Mereka pun berpamitan pada sang putri. Shirin sempat berterima kasih kepada Farzam karena mencegah Putri Arezha dari rencananya yang gila.

***

Sejauh mata memandang, pohon-pohon berdaun lebat dengan batang sebesar tiga orang dewasa mendominasi. Desa mereka memang terletak di kaki bukit dengan dikelilingi hutan. Senyuman aneh terbit di bibir Farzam dan Gulzar Heer.

Farzam melompat lebih dulu menaiki sebatang pohon dengan gesit. Gulzar tak mau kalah mengikuti jejak sang ayah. Keduanya pun melakukan rutinitas biasa setiap keluar masuk Hutan Kematian, lomba lari di antara dahan-dahan pohon.

“Ayah semakin lamban,” ejek Gulzar Heer, saat berhasil melewati Farzam. Tangannya dengan tangkas menyingkirkan ranting yang menganggu, lalu melompat cepat ke dahan terdekat. 

Farzam terkekeh dan mencoba menambah kecepatan. Kakinya hampir saja terpeleset. Namun, dia segera meraih sulur berlumut untuk bergelantungan, lalu melemparkan diri ke dahan lainnya. Lelaki itu melakukan gerakan salto di udara sebelum mendarat dengan mulus. Latihan rutin membuat tubuh tua bukan halangan. Gulzar Heer yang sempat terhenti karena khawatir melanjutkan larinya. 

Persaingan mereka semakin seru. Beberapa kali ular besar yang bergelung di pohon hampir terinjak.  Beberapa kali pula salah seorang hampir terjatuh, tetapi selalu bisa berakhir dengan gerakan dramatis yang mengagumkan. Akhirnya, perlombaan dimenangkan oleh Gulzar Heer.

“Hahaha ... putriku semakin hebat saja. Aku sudah tidak bisa mengalahkan larimu, Nak,” puji Farzam sambil mengatur napas.

“Itu karena aku lebih muda. Jika usia kita sama, Ayah pasti lebih hebat.”

Farzam kembali tergelak. Namun, tawanya terhenti mendadak hingga mirip ringkikan kuda. Gulzar Heer juga tampak menelan ludah. Ya, keduanya memang kesatria paling pemberani. Namun, ada satu sosok yang sangat mereka takuti, Delaram, sang ibu. Kabar “baiknya” wanita tua itu tengah berdiri di depan pintu dengan wajah sangar sambil mengacungkan wajan penggorengan.

“Ehem! Apa yang terjadi pada putriku, Farzam? Kudengar dia terkena panah beracun ...,” desis Delaram dengan sorot mata membunuh.

Farzam dan Gulzar Heer saling pandang. Mereka kadang lupa kemampuan pengendalian mana elemen angin milik Delaram sudah tingkat tinggi. Dia bisa mendapatkan informasi dari tempat-tempat jauh hanya dengan menajamkan pendengaran.

“Aku tidak apa-apa, Bu. Pangeran Fayruza sudah mengatasinya.” Gulzar Heer mencoba menenangkan sang ibu.

“Gulzar, masuk!” Aura hijau menyelimuti tubuh Delaram.

Gulzar Heer memasuki rumah sembari memberi isyarat kepada sang ayah bahwa dia tak bisa membantu. Farzam hanya menunduk. Delaram pun segera meluncurkan serangan omelannya.

“Padahal, dulu aku sudah sangat bahagia ketika kamu bawa bayi perempuan yang cantik. Tapi tapi tapi ....” Suara Delaram bergetar hebat. “Kenapa kamu mendidiknya menjadi seperti sekarang? Impianku memiliki anak gadis yang manis hancur.”

Delaram memukuli sang suami dengan wajan secara membabi buta.

“Iya, iya, maafkan aku.”

Farzam hanya bisa pasrah, mencari aman dan tak ingin terlibat pertengkaran lebih jauh. Namun, setelah puas memukul, Delaram tampak hendak menutup pintu. Farzam cepat menahannya.

“Ini sudah senja, Delaram. Izinkan aku masuk dulu.”

“Kamu, kan, kesatria yang sangat hebat, Farzam. Tidur saja di luar!”

Delaram membanting pintu. Farzam menghela napas berat. Sebenarnya, dia juga sedikit menyesal mendidik Gulzar Heer terlalu keras. 

Gulzar Heer memang membuatnya bangga. Namun, kadang lelaki tua itu berharap sang putri bisa bersikap manis layaknya anak gadis beranjak dewasa. Namun, jiwa kesatria sudah terpatri. Gulzar Heer berlaku seperti bawahan kepada atasan. 

Seekor kupu-kupu emas melintas. Hewan bersayap indah itu hinggap sebentar di bingkai jendela, lalu terbang kembali menembus hutan. Farzam mendadak teringat kejadian bertahun-tahun lalu.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status