Share

Bagian 4

Sraaat!

Darah menyembur ke udara. Aroma anyir menyeruak, menusuk hidung. Suara geraman memekakkan telinga. Farzam berguling ke kanan saat lawannya mencoba menyeruduk.

Tanduk megah bozkou menancap di salah satu batang pohon. Farzam melompat setinggi mungkin. Satu gerakan cepat, pedangnya memenggal kepala hewan buruan.

“Satu lagi persediaan makanan.”

Tawa Farzam pecah. Target buruan kesatria terkuat Kerajaan Arion memang berbeda. Tempat berburunya pun sangat ekstrim, Lembah Kematian. Lokasi terkutuk ini memiliki hewan-hewan aneh. Bozkou adalah salah satunya, makhluk bertubuh seperti sapi, tetapi bertanduk layaknya rusa jantan. Ekornya memiliki ujung runcing nan tajam dan beracun. Perburuan bozkou oleh Farzam adalah ajang pelatihan, bukan sekedar mencari persediaan makanan. 

Farzam tersenyum puas melihat tumpukan bozkou bersimbah darah. Keluarga kecilnya tidak akan kelaparan sampai berbulan-bulan. Ya, kecil karena dia hanya tinggal berdua dengan sang istri. Sepuluh tahun menikah, mereka belum juga dikaruniai anak. 

Farzam segera membersihkan pedangnya di sungai. Seekor kupu-kupu bersayap keemasan terbang berputar-putar. Dia mengerutkan kening dan memutuskan untuk mengikuti hewan itu, menembus pepohonan rimbun dengan daun-daun biru dan buah berbentuk seperti kepala manusia. 

“Owe! Oweee!”

Farzam tersentak, suara bayi!

Dia berbelok cepat ke arah asal suara. Kini, tubuh tegap harus melewati sulur-sulur merambat dengan bau menyengat. Dia meningkatkan kewaspadaan. Tempat dengan vegetasi seperti ini adalah sarang marex, hewan aneh mirip ular, tetapi memiliki sisik sekeras baja dan empat cakar berkuku tajam.

“Owe! Oweee!”

Tangisan bayi terdengar semakin keras. Farzam mempercepat langkah. Ada rasa bahagia membuncah. Namun, dia tetap waspada. Terkadang, makhluk-makhluk mitologi di tempat terkutuk seperti Lembah Kematian bisa menirukan suara manusia.

Senyuman terbit di bibir saat sumber suara tangisan tertangkap pandangan. Bayi perempuan dengan iris mata hitam pekat dan berkulit putih terbungkus sutra merah tergeletak di salah satu lubang pohon. Farzam sempat ragu. Makhluk mungil itu begitu indah, seolah bukan spesies manusia. Terlebih, anting di telinga si bayi juga terlihat seperti simbol yang aneh. Namun, saat membayangkan wajah semringah istrinya yang telah sepuluh tahun mengharapkan anak, dia memantapkan hati.

Farzam hampir meraih bayi mungil. Seekor marex tiba-tiba merayap mendekat. Farzam segera mencabut pedang. Namun, hal menakjubkan sekaligus mengerikan terjadi.

Craaak!

Farzam ternganga dan terduduk. Tangan mungil bayi dengan santai meraih leher marex dan mencekiknya hingga mati. Kelemahan makhluk itu memang pada bagian leher.

“Membunuh marex dengan tangan kosong? Luar biasa! Bayi ini bukan bayi biasa! Terima kasih, Tuhan!”

Sebenarnya, mendapatkan anak saja sudah membuat Farzam senang. Namun, ternyata keberuntungan memang berpihak padanya. Bayi perempuan nan cantik itu juga memiliki kemampuan dan kekuatan yang tidak wajar, sangat pas untuk menjadi penerus kesatria.

Kesadaran Farzam telah kembali. Dia menggendong si bayi. "Gulzaar Heer, itu namamu sekarang. Ayah akan membuatmu jadi ksatria terhebat di Kerajaan Arion!" serunya girang. 

Farzam yang tadinya hendak membopong beberapa ekor bozkou untuk dijadikan cadangan makanan mengurungkan niatnya. Dia hanya membawa satu ekor agar bisa menggendong bayi perempuan cantik itu. Wajah beringasnya terlihat cerah. Kesatria terhebat Kerajaan Arion yang selalu diolok-olok mandul kini memiliki buah hati.

Tak lama waktu yang diperlukan Farzam untuk mencapai rumah. Setelah melemparkan bozkou di halaman, dia langsung mengetuk pintu dengan tempo cepat. Terdengar sahutan kesal dari dalam.

“Iya, sebentar! Sabarlah, Farzam! Kau ini selalu tidak sabaran!”

Pintu perlahan terbuka. Delaram yang tadi membukakan pintu langsung melanjutkan kembali memasak. Dia tak menyadari sang suami tengah mengendong bayi.

“Lihatlah apa yang kubawa, Delaram! Berkah untuk keluarga kita.”

“Halah, paling juga bozkou!” ketus Delaram tanpa mengalihkan pandangan dari panci karena tengah membumbui sup.

“Lihat dulu, Delaram!”

Delaram mendecakkan lidah dan mengalihkan pandangan. Netranya seketika terbelalak, lalu meluruhkan air mata. Sendok sup jatuh ke lantai. Dia menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Namun, keterkejutan bercampur bahagia melimpah ruah itu hanya berlangsung sebentar. 

Delaram mendadak memicingkan mata. “Kamu tidak menculik anak orang, ‘kan?” tanyanya penuh selidik.

Farzam mendelik. “Enak saja, aku mendapatkan di Lembah Kematian. Sepertinya, dibuang ....”

“Dibuang? Bagaimana mungkin ada yang tega membuang bayi secantik ini?” Delaram merebut bayi dari gendongan suaminya. “Ya ampun, kamu manis sekali bayi kecil.”

“Aku memberinya nama Gulzar Heer.”

“Ah, dia memang secantik bunga mawar, tapi kenapa harus ditambahkan kata kuat juga, Farzam? Kenapa bukan kata anggun saja?”

“Ah, itu karena ...,” Farzam berpikir sejenak, tak mungkin mengatakan bayi itu mencekik mati seekor marex, “karena kukira anak perempuan pun harus kuat agar tidak terancam bahaya.”

“Benar juga, tidak sedikit laki-laki berengsek zaman sekarang. duduklah, aku sudah buatkan sup bozkou.”

Delaram menimang bayi mungil, lalu mematikan tungku. Dia menggunakan kemampuan pengendali angin untuk menyajikan sup bozkou. Farzam duduk di kursi, lalu mencomot sepotong roti dan mulai menikmati supnya.

Tiba-tiba tangis bayi memecah keheningan. Sepasang suami-istri itu sama sekali tidak terganggu, malah terharu. Rumah sederhana mereka kini tak sepi lagi. Namun, keduanya saling bertatapan saat hal aneh terjadi. Tangan mungil Gulzar Heer meronta-ronta, menarik baju Delaram hingga sobek. Hening sejenak.

“Ah, mungkin kain baju ini sudah terlalu rapuh,” ucap mereka bersamaan berusaha menepis keanehan yang terjadi.

...

Krieet

Suara pintu dibuka membuyarkan lamunan Farzam. Hari sudah gelap sempurna. Wajah galak istrinya menyembul dari balik pintu.

“Masuklah!”

Wajah muram Farzam berubah cerah. Dia bangkit dan membersihkan tanah dan rumput yang menempel di pakaian. Delaram membuka pintu lebih lebar, lalu mendelik saat lengan kokoh menariknya ke dalam dekapan.

“Terima kasih, Sayang, kuharap bisa memelukmu malam ini,” bisik Farzam.

“Jangan berharap lebih, Farzam. Aku ingin tidur dengan putriku tersayang selama seminggu ini.”

“Hah? Sayang, kau tidak bisa sekejam ini padaku.”

“Sudah tua, jangan genit!”

Delaram melepaskan pelukan Farzam dan mengeloyor menuju kamar Gulzar Heer. Namun, sang suami ternyata tak mau kalah. Setelah mandi, dia juga ikut tidur di kamar yang sama, berdempetan bertiga di ranjang kecil.

Akhirnya, Gulzar Heer yang merasa terjepit di tengah diam-diam menyelinap ke luar kamar. Dia memutuskan berbaring di atap sambil menatap langit malam. Matanya terpejam sejenak.

“Fay, apa yang sedang kamu lakukan saat ini? Argggh! Apa yang kupikirkan?”

...

Sementara itu, Pangeran Fayruza tengah menatap rembulan dari jendela kamar. Adegan berpelukan dengan Gulzar Heer terbayang di sana. Dia menggeleng dengan pipi memerah. Pintu yang dibuka dari luar membuatnya tersentak, Raja Faryzan.

“Ah, Yang Mulia, salam hormat hamba kepada Matahari Kerajaan.”

“Tidak usah terlalu formal, Nak. Ayah hanya ingin memintamu menghadiri pesta Keluarga Hesam.”

“Baik, Yang Mulia.”

Raja Faryzan menepuk bahu Pangeran Fayruza, lalu ke luar kamar. Sang pangeran mendesah berat. Dia tahu ada unsur rencana perjodohan dengan undangan pesta. Padahal, Pangeran Fayruza sudah memiliki gadis pujaan hati, Gulzar Heer.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status