Share

Bagian 6

Tumpukan kayu yang telah dipotong rapi berhamburan di tanah bersama dua ekor bozkou tak bernyawa. Sementara Gulzar Heer duduk bersandar di pohon. Jemari penuh bekas luka mengusap wajah oval penuh keringat, meninggalkan bercak-bercak cokelat kemerahan di kulit putih. 

Gulzar Heer menghela napas berat sembari mengipasi wajah dengan topi. Tidak, dia bukannya lelah, hanya sedang banyak pikiran. Menggarap sebatang pohon hingga diperoleh ratusan potong kayu dan membunuh dua ekor bozkou hanya akan mengurangi 5 % tenaganya. Seorang Gulzar Heer bahkan sanggup tak tidur 2 hari 2 malam dalam peperangan.

“Apa kamu akan menikah dengannya, Fay? Ah, mungkin saja, dia sangat cantik dan anggun. Kamu pasti sangat bahagia saat ini ....”

Gulzar Heer menggeleng berkali-kali. Dia juga menekan kening yang mendadak berdenyut, juga memegangi dada. Rasa perih yang tak dapat dimengertinya melesak-lesak di dalam sana. Gulzar Heer menggeram, lalu menepuk-nepuk pipi sendiri.

“Tak seharusnya aku begini! Mungkin ini hanya perasaan rindu kenangan dengan sahabat saja.” Gulzar Heer lagi-lagi menghela napas berat, lalu memutar kembali memori masa lalu dalam benak.

...

Gadis kecil dengan rambut dikucir kuda mengayunkan pedang kayu. Satu hantaman telak mengenai tangan boneka kayu untuk latihan, membuatnya berputar cepat, seolah membalas serangan. Tubuh mungil dengan tangkas mundur beberapa langkah, lalu melompat dan menghantamkan pedang dari atas.

Kraaak!

Pedang dan boneka kayu patah. Si gadis kecil mendecakkan lidah. Namun, kekesalannya tak bertahan lama. Sang ibu tiba-tiba ke luar rumah sambil berkacak pinggang. Dia dengan cepat melemparkan pedang kayu yang tinggal setengah ke semak-semak.

“Percuma kamu membuangnya, Gulzar, Ibu sudah melihatnya!”

Gulzar Heer menelan ludah. Delaram mendadak sudah berada di hadapannya. Pengendali elemen angin memang memiliki kecepatan di atas rata-rata. 

“Sudah Ibu bilang berapa kali, kamu jangan ikut-ikutan ayahmu!”

“Tapi, Bu, aku ingin menjadi kesatria kuat seperti ayah.”

“Gulzar!”

“Iya, Bu, maaf.” 

Delaram menghela napas berat. “Gulzar, Ibu ingin kamu menjadi anak yang manis dan anggu–”

“Gulzar, lihatlah Ayah bawa siapa!” seru Farzam yang baru saja datang.

Delaram mendelik. Namun, emosinya terpaksa ditahan begitu melihat bocah sebaya Gulzar Heer yang mengekori sang suami. Siapa yang tak kenal anak laki-laki tampan dengan sorot mata lembut dan hangat itu? Dialah Pangeran Fayruza, putra ketiga penguasa Kerajaan Arion.

“Gulzar, ini Pangeran Fayruza, beliau akan tinggal bersama kita untuk sementara waktu. Yang Mulia Raja Faryzan juga memintamu secara khusus untuk menjadi guru pedang untuk pangeran,” jelas Farzam setelah berdiri di hadapan dengan putrinya.

Mata Gulzar Heer tampak berbinar-binar.  Namun, tidak untuk sang ibu. Delaram memelototi sang suami. 

“Kenapa raja seenaknya begitu?” desisnya tajam.

“Biar aku jelaskan di dalam.” Farzam tersenyum pada kedua anak itu. “Gulzar, kamu temani pangeran berlatih, ya?”

“Baik, Ayah!” seru Gulzar Heer antusias.

Farzam mengacungkan jempol. Sementara itu, Delaram masih melotot. Bibirnya terus menggerutu, mengeluhkan keputusan raja yang tega meminta putrinya menjadi guru pedang.

“Padahal di istana banyak kesatria lain, kenapa harus putriku yang manis?”

“Ayolah, Sayang. Raja hanya ingin Pangeran Fayruza mendapatkan teman.” Lalu, dia berbisik, “Beliau juga akan aman dari pembunuh bayaran yang dikirim Pangeran Ardavan jika berada di sini.”

“Apa? Pembunuh? Pangeran pertama, kan, baru lima belas tahun?”

Farzam menghela napas, lalu meletakkan telunjuk di bibir. “Jangan keras-keras tidak baik didengar anak-anak.”

“Tidak apa, Paman. Aku sudah tahu kakak ingin membunuh kami. Terima kasih Paman mau melindungiku.” Pangeran Fayruza tersenyum manis. Delaram, Farzam, dan Gulzar Heer merasa silau dengan kemilau senyumnya.

Kehidupan istana memang tidak sepenuhnya indah. Persaingan ketat bisa menumbuhkan kebusukan hati. Pangeran Ardavan memiliki ambisi begitu besar, hingga bukan rahasia lagi kekejamannya menyingkirkan adik sendiri. Sayangnya, tak pernah ada bukti. Kejahatannya terlalu rapi.

“Baiklah, pangeran boleh tinggal di sini. Eh, tapi bukankah berbahaya membiarkan anak perempuan kita tinggal seatap dengan laki-laki?”

Farzam menepuk keningnya. “Hei, mereka masih kecil, tidak mungkin terjadi hal yang aneh-aneh. Ayo masuklah dulu, ada yang ingin kubicarakan juga.”

“Ck! Baiklah,” ketus Delaram. Keduanya segera masuk ke rumah.

“Terima kasih, Pangeran. Aku jadi bisa berlatih pedang tanpa dimarahi ibu,” cetus Gulzar Heer setelah memastikan ayahnya berhasil mengamankan sang ibu.

“Tidak bisakah kamu memanggil namaku saja saat kita berdua?” tanya Pangeran Fayruza dengan tatapan polos yang membuat Gulzar Heer luluh seketika.

“Baiklah, aku akan memanggil Fay. Ayo kita latihan!”

...

Gemerisik dedaunan yang tertiup angin semilir membuyarkan lamunan Gulzar Heer. Terik mentari mulai membakar kulit. Gulzar Heer memutuskan untuk pulang saja ke rumah sembari berharap sang ayah tidak lagi membicarakan perjodohan Pangeran Fayruza.

Dia bangkit dari duduk. Tangannya cekatan mengikat potongan-potongan kayu dan bozkou dengan sulur-sulur merambat. Sebelum mengangkut hasil perburuan, Gulzar Heer mencuci terlebih dulu kapak berlumur darah di danau. Namun, baru saja dia mendekat, air tiba-tiba menggelegak. Tak lama kemudian sesosok tubuh yang dilingkupi cahaya biru muncul ke permukaan. 

“Pangeran Fayruza?” 

“Hai, Gulzar, maaf membuatmu kaget, tapi tolong jangan bersikap formal saat kita berdua saja,” cetus Pangeran Fayruza sembari melangkah keluar dari air.

Gulzar Heer mengucek matanya berkali-kali, memastikan tidak sedikit bermimpi ataupun berhalusinasi. Sosok Pangeran Fayruza memang ada di sana dengan senyuman menawan. Dia memegangi dada yang berdebar kencang.

“Pangeran kenapa bisa ada di sini?” cetus Gulzar Heer setelah berhasil menguasai diri.

“Gulzar, kamu sudah berjanji akan memanggil namaku jika berdua saja.” Pangeran Fayruza berpura-pura cemberut.  

“Ah iya, maafkan aku, Fay. Tapi, kenapa kamu bisa ada di sini? Bukankah harusnya menghadiri pesta di kediaman Keluarga Hesam?”

Pangeran Fayruza terkekeh. Matanya tinggal segaris tipis. Gulzar Heer memalingkan wajah, menenangkan jantung yang mulai nakal lagi.

“Aku bosan, jadi menggunakan teleportasi air ke sini. Oh iya, aku juga ingin mengajakmu pergi. Kamu mau ikut, ‘kan?”

“Baiklah, Fay, tapi izinkan aku membawa pulang kayu-kayu dan hewan buruan ini dulu.”

Pangeran Fayruza mengelus dagu. Dia kembali tersenyum lebar, lalu mengarahkan telunjuk ke arah danau. Cahaya berpendar biru membentuk lingkaran besar di permukaan air.

“Gulzar, lemparkan kayu-kayu dan hewan buruanmu ke air!” perintahnya.

Gulzar mengerutkan kening, tapi tak lama. Senyuman sang pangeran membuatnya mengerti. Dia langsung melemparkan potongan kayu dan dua ekor bozkou ke danau dan langsung ditelan cahaya biru hingga raib tak bersisa. Hasil perburuan telah berpindah ke rumah Farzam dengan teleportasi.

“Nah, sekarang giliran kita.”

Pangeran Fayruza menarik tangan Gulzar Heer, membawanya menuju danau. Mereka berdiri melayang di permukaan air. Perlahan, cahaya biru menyelimuti tubuh.

Saat keduanya mulai masuk ke dalam air, Gulzar Heer menyeletuk,” Memangnya kita mau ke mana, Fay?”

“Rahasia.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status