Share

Bagian 7

Pangeran Fayruza dan Gulzar Heer keluar dari sungai kecil di belakang rumah penduduk. Cahaya biru berpendar perlahan memudar saat mereka naik ke daratan. Sebelum memasuki area perkampungan, mereka terlebih dahulu melakukan penyamaran dengan pakaian rakyat biasa dan jubah berwarna kelabu. Kini, keduanya terlihat seperti sepasang pengembara.

“Hari ini, kita akan melayani malaikat-malaikat kecil di Panti Asuhan Atefeh,” gumam Pangeran Fayruza riang. Dalam hati, dia berkata, ‘Kapan lagi aku bisa melihatmu tampak begitu manis dengan pakaian wanita, Gulzar.’

Sementara itu, Gulzar Heer diam-diam tersenyum kecil. Pangeran Fayruza memang sangat istimewa. Saat saudara-saudaranya melakukan kegiatan amal dengan sorotan publik agar mendapat perhatian rakyat, dia malah lebih suka menyembunyikan identitas. Namun, entah kenapa selalu saja ada yang mengetahui, sehingga pamornya malah semakin melejit di mata rakyat.

Setelah penyamaran dirasa sempurna, Pangeran Fayruza mengajak Gulzar Heer membeli banyak makanan. Barulah mereka pergi ke panti asuhan, memperkenalkan diri sebagai Tuan Fay dan Nona Zar. Pengurus dan anak-anak panti menyambut antusias. 

Gulzar Heer kembali tersenyum kecil ketika melihat keakraban dan keluwesan sang pangeran bermain bersama anak-anak. Gadis kecil berusia sekitar 5 tahun dengan rambut dikepang tiba-tiba menarik pelan lengan baju Pangeran Fayruza. Dia tampak menelan ludah berkali-kali.

“Umm ... Tuan Fay ...,”  gumamnya lirih.

“Ada apa, Anak Manis?” Pangeran Fayruza tersenyum lembut sembari mengusap rambut dikepang. Gulzar Heer langsung memalingkan muka, menenangkan debaran dalam dada.

“Ah itu ... apa kami boleh memanggilmu dan Nona Zar ayah dan ibu?”

Wajah Pangeran Fayruza seketika memerah. Bayangan rumah tangga yang manis dan harmonis dengan Gulzar Heer merasuk di pikiran. Dia harus menggeleng berkali-kali saat adegan suami istri nan mesra, juga senyuman anak-anak yang lucu melintas dalam benak. Sementara itu, Gulzar Heer terbatuk-batuk.

“Maafkan adikku sudah lancang, jangan marah, Tuan Fay.” Anak yang tertua langsung angkat suara. Sementara gadis kecil berkepang menatap dengan mata berkaca-kaca.

Pangeran Fayruza tersadar dan mengusap kembali rambut berkepang. “Aku tidak marah, Nak. Aku justru sangat senang sampai tidak bisa bicara.”

“Benarkah, Tuan? Tapi kenapa Tuan Fay menggeleng?”

“Ah, itu karena aku terlalu senang."

"Begitu, ya, Tuan Fay?"

"Hmm ... jadi, kenapa aku masih dipanggil, Tuan?” Pangeran Fayruza berpura-pura merajuk.

“Maaf, A-a-a.” Gadis kecil berkepang mencengkeram ujung bajunya. “Ayah!”

Pangeran Fayruza terkekeh dan mendudukkan tubuh mungil di pangkuan. “Putri kita ini manis sekali, bukankah begitu, Ibu?” cetusnya sambil mengerling pada Gulzar Heer yang tersedak.

“Ah i-i-iya, Fay eh Ayah.”

Sandiwara menjadi keluarga pun dimulai. Mata anak-anak itu tampak berbinar. Pangeran Fayruza sangat menikmati perannya, bahkan beberapa kali mengambil kesempatan merangkul Gulzar Heer dengan alasan menjadi ayah yang menyayangi ibu.

Sayangnya, kebahagiaan kecil nan manis itu tak berlangsung lama. Pengawal Pangeran Fayruza mendadak muncul. Dia tampak tersengal saat melakukan salam penghormatan.

“Ah, di sini rupanya Anda, Pangeran. Hamba sudah mencari ke mana-mana.”

Sang pengawal tampak mengembuskan napas lega. Namun, anak-anak panti asuhan menjadi ketakutan. Tubuh-tubuh mungil itu terlihat gemetaran. Anak yang paling tertua langsung bersujud di hadapan Pangeran Fayruza.

“Maafkan kami, Pangeran! Kami sudah bersikap tidak sopan!”

Pangeran Fayruza mendesah berat. Dia mendelik pada pengawal yang sudah membongkar penyamarannya. Pangeran Fayruza mengusap kepala anak-anak dengan lembut.

“Aku lebih suka dipanggil ayah oleh kalian,” cetusnya. “Ayo panggil aku ayah lag–”

Gulzar Heer tersentak. Benda abu-abu kehitaman bergerak cepat dari kejauhan tepat mengarah ke bagian leher Pangeran Fayruza. Refleks, dia mendorong pemuda itu, membuat mereka tersungkur, lalu terguling-guling di tanah dan baru berhenti saat menubruk tembok panti asuhan. Tepat waktu, tiga belati yang tadi hampir mengancam nyawa sang pangeran hanya menancap di tanah.

Sementara itu, pipi Pangeran Fayruza seketika memerah. Bagaimana tidak? Wajah Gulzar Heer hanya berjarak beberapa senti. Namun, belum reda gemuruh dalam dada, kesatria pujaan hatinya itu langsung bangkit dan berlari kencang ke arah barat, mengejar si pembunuh bayaran. Pangeran Fayruza hanya bisa melongo sambil memegangi dada yang berdebar. 

Kini, Gulzar Heer telah sampai di pinggiran kota, daerah kumuh yang rawan kejahatan. Si pembunuh bayaran tak lagi berlari. Seringaian terukir di sudut bibirnya.

“Kau wanita yang bodoh sekali, Nona. Tempat ini berbahaya bagi nona yang manis.”

Si pembunuh bayaran mendekat. Dia menatap Gulzar Heer sambil menjilati bibir, seolah tengah menemukan makanan super lezat. Saat tangan penuh jaringan parut itu hendak menyentuh pipi ....

Kraaak!

“Arggh! Wanita sialan!”

“Maaf, aku tidak punya waktu untuk bermain-main dengan cecunguk sepertimu,” tutur Gulzar Heer sembari mengempaskan dengan kasar lengan berotot yang tadi dipelintirnya.

Sraaat!

Satu kepala lagi yang harus menggelinding akibat sabetan pedang Gulzar Heer. Dia memungutnya dengan wajah dingin, lalu melemparkannya ke sungai terdekat. Setelah membersihkan pedang dan wajah yang sempat terciprat darah, Gulzar Heer segera kembali ke panti asuhan.

***

Raja Faryzan menekan kening. Ratu Azanie mengusap-usap punggung sang suami. Pangeran Ardavan memasang wajah malas sementara Putri Arezha malah dengan santai menyantap dessert di piringnya. 

Helaan napas berat terdengar untuk yang ketiga kalinya. “Lagi-lagi, Fayruza melarikan diri dari perjodohan,” keluh Raja Faryzan.

“Ayolah, Ayah, apa pernikahan memang sepenting itu?” cetus Putri Arezha sambil memainkan garpu di permukaan kue cokelatnya.

“Tentu saja pernikahan tidak penting bagimu, Perawan Tua,” sindir Pangeran Ardavan.

Raja menatap nanar putri tertuanya itu. “Arezha, kenapa kamu juga tidak mau menikah?”

Putri Arezha mendecakkan lidah. Dia memutar bola mata. Garpu ditancapkannya di kue cokelat. Stroberi malang di atasnya menjadi terbelah dua.

“Impianku akan kacau jika menikah. Aku tidak akan bisa mengagumi para pria tampan lagi.”

Ratu Azanie tersedak, lalu terbatuk-batuk.  Pelayan langsung sigap menyiapkan air minum untuknya. Sang ratu memegangi kening yang mendadak berdenyut-denyut.

“Arezhaaaa, arggh! Aku harus beristirahat di kamar.” Ratu Azanie menatap Raja Faryzan. “Hamba permisi, Yang Mulia.”

Setelah mendapat persetujuan raja, Ratu Azanie bangkit dari kursi. Beberapa dayang langsung membantu memapah. 

“Kenapa putra dan putri pertamaku ikut mata keranjang seperti ayahnya?” gerutu sang ratu lirih hampir tak terdengar. Pangeran Ardavan memang suka main perempuan. Meskipun belum memiliki istri resmi, dia sudah mengoleksi sepuluh selir.

Sepeninggal Ratu Azanie, ruang makan menjadi hening, hanya terdengar suara garpu beradu dengan piring. Raja Faryzan mendadak berdeham. Putri Arezha dan Pangeran Ardavan kompak menatap ayahnya dengan alis bertaut.

“Soal Fayruza tadi .....”

“Sudahlah, Ayah, menyerah saja soal perjodohan itu. Fayruza tidak akan mau karena dia mencin–”

Kata-kata Putri Arezha terpotong karena pembawa pesan kerajaan datang untuk melapor. Jika pemuda itu sampai menganggu waktu makan keluarga kerajaan,  berarti berita yang dibawa sangatlah penting. Setelah dipersilakan masuk, dia menyerahkan surat bersegel pada Raja Faryzan. Wajah raja seketika cerah saat membaca isinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status