Alun-alun kota telah ramai. Rakyat berdesak-desakan hendak menyaksikan hukuman mati pangeran keempat dan selir kelima. Beberapa dari mereka tak segan melempar tomat busuk, telur busuk, terompah, bahkan batu. Penjahat yang tega memfitnah Pangeran Fayruza tentu akan mendapat kemarahan dari rakyat, padahal ibu dan anak yang malang itu hanyalah kambing hitam Pangeran Ardavan.
“Matilah dasar penjahat!”
Telur busuk tepat mengenai punggung pangeran keempat, pecah meninggalkan jejak lendir berbau di baju lusuh. Selir kelima berusaha menghalau lemparan-lemparan berikutnya dari tubuh sang putra. Namun, dia langsung disergap para pengawal.
“Pergilah ke neraka!” Satu seruan penuh kebencian kembali dilontarkan.
Buuk!
Batu seukuran kepalan tangan menimpa kening pangeran keempat ketika menaiki tangga panggung pemancungan. Darah segar merembes menguarkan bau anyir. Pengawal mendorong kasar agar sang pangeran mempercepat langkah.
Putri Arezha menyapukan kuas. Perlahan, padang bunga lengkap dengan panorama dua sejoli yang tengah berangkulan mesra berpindah ke kulit binatang yang menjadi media lukisnya. Ya, dia memang tengah menjadikan Pangeran Heydar dan Shirin sebagai objek lukisan. Namun, ada tujuan lain yang tersimpan dari acara melukis hari itu.Alasan hendak melukis pemandangan hanya akal-akalan sang putri. Tujuan sebenarnya adalah mendorong suksesnya pernyataan cinta Pangeran Fayruza. Putri Arezha sendiri yang memilih tempat paling romantis, Padang Bunga Merilion. Konon katanya, jika berhasil menyatakan cinta di tempat ini, hubungan akan langgeng hingga maut memisahkan.“Lukisannya sudah selesai, ayo!”Putri Arezha memberi isyarat kepada Shirin dan Pangeran Heydar. Mereka pun segera mengendap-endap, lalu bersembunyi di balik pohon. Terlihat jelas Pangeran Fayruza melangkah ragu ke arah Gulzar Heer yang tengah telentang di hamparan bunga.Pangeran Fayruza dud
Wajah Pangeran Heydar masih terlihat dongkol saat mereka memasuki aula utama istana. Dia memang berniat untuk langsung pergi ke Kerajaan Asytar demi merebut kembali Putri Arezha dan Shirin. Namun, Pangeran Fayruza melarang dan menyarankan untuk terlebih dahulu melaporkan kejadian itu kepada Raja Faryzan. Gulzar Heer tak banyak bicara, hanya mengekori kedua pangeran dengan waja datarnya.“Salam hormat kami kepada Matahari Kerajaan,” cetus ketiganya saat berdiri di depan singgasana.Raja Faryzan yang tadi tengah berbicara serius dengan ratu, Pangeran Ardavan, dan Farzam seketika mengerutkan kening. “Kenapa kalian hanya datang bertiga? Di mana Arezha?”Pangeran Heydar langsung berlutut. “Maafkan kami, Yang Mulia. Kami diserang orang-orang misterius dan lengah. Putri Arezha diculik oleh penguasa Kerajaan Asytar.”“Apa?”Raja refleks berdiri. Wajahnya merah padam. Sementara Ratu Azanie menjerit histe
Gulzar Heer pun menjelaskan rencananya. Sebelumnya, saat mereka mengirimkan surat ke Kerajaan Asytar, dia dan Pangeran Fayruza sempat melakukan penyelidikan untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk. Delaram menuju istana Kerajaan Asytar, sementara mereka berkeliling kota.Dari hasil penyelidikan, mereka menemukan alasan sulitnya Kerajaan Asytar ditembus. Ya, ada batu sihir yang sengaja ditanam untuk perlindungan. Pangeran Fayruza bisa melihat perisai raksasa melingkupi negeri tersebut. Penyerangan dari luar hanya akan menjadi tindakan boodh karena akan diserap atau bahkan bisa berbahaya jika ada sihir pembalik.“Jadi, bagaimana kita menembusnya?” sergah Raja Faryzan yang sudah tidak sabar."Menghancurkan batu sihirnya dulu, Yang Mulia," jelas Gulzar Heer.“Kami juga sudah menemukan lokasi batu sihirnya, sedikit mengejutkan memang. Batunya ada di bagian dalam atap penginapan yang juga rumah bordil, mungkin untuk mengecoh musuh.” Pa
Kayvan, pimpinan menara sihir Kerajaan Asytar mengerutkan kening. Netranya tak lepas dari bola kristal yang tengah berpendar kebiruan. Tangan keriput terulur di atas bola. Namun, dia cepat menariknya karena hawa dingin terasa menusuk kulit.“Ada yang aneh dengan batu sihir pelindung,” celetuknya sambil mengusap-usap jenggot putih.Mata yang sedikit keruh masih terpaku pada bola kristal. Sentuhan pelan di bahu membuatnya terlonjak. Kayvan melepaskan bola api. Pemuda yang tadi menepuk bahu cepat melapisi tubuh dengan perisai es. Bola api membentur perisai pecah dan menyisakan percikan kecil, tetapi mudah untuk dipadamkan.“Maaf, saya mengejutkan Guru,” ucap si pemuda setelah kondisi kembali terkendali.“Akulah yang harusnya minta maaf karena hampir melukaimu.”“Ada apa, Guru? Tidak biasanya Anda begitu fokus, hingga tidak menyadari sekeliling.”Kayvan kembali mengelus jenggot. Pemuda di hadapanny
Raja Faryzan mondar-mandir di tepian danau. Beberapa kali dia mendesah berat dan meremas jemari. Langkahnya seketika terhenti ketika permukaan danau berpendar biru terang. Tak lama kemudian, bola raksasa berisi empat orang naik ke permukaan, lalu perlahan ke pinggiran danau.Pangeran Heydar yang tengah memikul pemuda berjubah hitam di bahu keluar dari bola lebih dulu, diikuti oleh Gulzar Heer. Terakhir, Pangeran Fayeruza menjentikkan jari untuk melenyapkan bola biru. Raja Faryzan mengerutkan kening.“Siapa dia?” tanyanya sembari menunjuk pemuda yang kini dilempar dengan kasar ke rumput oleh Pangeran Heydar.“Sepertinya, penyihir di negeri ini sudah mengetahui ada masalah dengan batu sihirnya. Dia utusan mereka. Jadi, kami terpaksa menangkapnya.” Pangeran Fayruza yang menyahut. “jika mereka sudah mulai curiga berarti, waktu kita tidak banyak,” lanjutnya.Penyihir muda yang tadi terkulai di tanah membuka mata. Dia mengerj
Daria membersihkan bekas luka Atashanoush dengan telaten. Seminggu lalu, dia menemukan pemuda itu meregang nyawa demi mengusir iblis kegelapan di Danau Khina. Daria mencoba menolongnya dengan memberikan sebutir astyra setiap hari. Untunglah, tubuh Atashanoush memiliki kemampuan pemulihan di atas rata-rata. Jika orang biasa, mustahil bisa selamat dari racun si iblis. “Nona Daria, kenapa Anda bisa ada sendirian di hutan ini? Bukankah bahaya bagi seorang gadis?” celetuk Atashanoush memecah keheningan.Daria terkekeh. Mata dengan iris keperakan tinggal segaris tipis. Atashanoush tampak terpaku. Pesona gadis di hadapan membuat jantung berdebar. Tangannya tanpa sadar bergerak pelan, lalu menyentuh pipi kemerahan. Dua pasang netra pun beradu. Wajah bak pualam saling mendekat.Keduanya tersentak saat embusan napas terasa menampar pipi. Atashanoush terbatuk-batuk. Sementara Daria menunduk dengan wajah bersemu. Seminggu bersama rupanya telah menumbuhkan
“Owee ... owe ....”Tangisan bayi menyemarakkan pagi. Kerajaan Asytar tengah bersuka cita dengan kelahiran putri mahkota Kerajaan Asytar. Raja Atashanoush menatap haru sambil mengusap kepala yang mungil. Sementara Ratu Daria segera memberikan air susu untuk sang putri."Minumlah yang banyak, Sayang," bisiknya.Bayi perempuan itu menyedot kuat sari-sari kehidupan dari sang ibu. Sementara tangan mungilnya mengenggam kuat telunjuk sang ayah.“Dia cantik sekali sepertimu, Daria. Kalian benar-benar mirip,” gumam Raja Atashanoush dengan mata tak lepas dari bayi kecil mereka.“Tapi, warna mata dan rambutnya persis sepertimu, Atash.” Daria menjawil pipi bayinya, membuat makhluk mungil membuka mata dan berhenti menyusu. “Apa kamu sudah punya nama untuknya, Atash?” tanyanya lagi.“Tentu saja, Daria. Aku bahkan sudah memikirkannya sejak lama.”Raja Atashanoush mengambil alih
Para prajurit Kerajaan Asytar menatap tak percaya pada ratusan lawan yang muncul secara tiba-tiba dari tengah kolam pancuran di taman istana. Mereka sempat terdiam beberapa saat sebelum menghunus pedang. Meskipun istana telah terkepung, jiwa kesatria menolak untuk menyerah. Derap langkah kaki dua kubu kesatria pun mengusik keheningan malam.Srat! Trang!Pedang, tombak, dan tameng saling beradu. Dentingnya terasa memekakkan telinga. Anak panah dilepaskan dengan brutal. Belasan tubuh tumbang bersimbah darah. Rumput di halaman istana kini dipenuhi bercak-bercak merah berbau anyir. “Usahakan tidak sampai membunuh lawan, cukup lumpuhkan saja!” seru Pangeran Fayruza. “Siap, Pangeran!” Perintah sang pangeran membuat Gulzar Heer terpaksa mengurangi keakuratan tusukan pedangnya. Dia tak lagi mengincar jantung ataupun leher lawan, cukup bagian kaki agar musuh tak bisa lagi berdiri. Beberapa kali sang kesatria wanita bahkan hanya me