Share

³ | Ruangan Tanpa Pintu dan Jendela

Ia melirik arloji yang baru saja diraihnya dari dalam kantong celananya. Sudah mendekati waktu makan siang dan ia yakin sekali aula utama akan ramai dipenuhi anak-anak yang bersiap untuk makan bersama.

Namun, sebelum Louis tiba di ujung lorong, ada pemandangan tak wajar yang ditangkapnya dari arah sebuah kelas di sisi kiri jalan. Ia mendorong tubuhnya untuk mengintip dari kaca yang tertempel di wajah pintu. Tampak murid-murid di dalam sana sedang tak duduk di kursi mereka melainkan berjalan mondar-mandir tampak mencari sesuatu. Tak jarang beberapa di antara mereka bersorak kecil dengan secarik kertas di tangannya.

Louis tak tahu jika ayahnya menerapkan metode belajar yang seperti itu. Tampak tak biasa, bising, dan tak teratur. Semenjak dirinya masuk sekolah militer entah mengapa, keteraturan menjadi salah satu penyakitnya hampir seperti OCD dan ia merasa terganggu dengan ketidak teraturan yang terjadi di dalam kelas itu.

Untung saja beberapa menit setelahnya bel istirahat berbunyi sehingga ia menarik dirinya menjauh dari pintu membiarkan murid-murid berlarian dengan buku-buku tebal di pelukan mereka. Setelah kelas sepi menyisakan seorang wanita yang sedang merapikan mejanya, Louis melenggang masuk setelah mengetuk pintu kelas itu pelan membuat wanita itu mendongak menatapnya. "Apa itu tadi?" tanya Louis singkat namun wanita itu hanya memandangnya bingung.

"Maaf?" tanyanya dalam aksen Midlands yang kental. Louis sudah mendengar banyak orang berbicara dalam aksen Inggris yang berbeda-beda karena wilayah mereka yang memengaruhi pelafalan kata masyarakatnya, dan Louis jelas mengenali aksen Midlands sebab ayahnya sering kedatangan tamu dari berbagai belahan UK. Namun, aksen Midlandsnya itu terdengar agak berbeda. Mungkin ... mengesankan. Begitulah tanggapannya.

"Anda Nona—" Telunjuknya terulur mengarah keberadaan wanita itu seraya berusaha menemukan sesuatu yang dilupakan otaknya.

Wanita itu terkekeh singkat melihat ekspresi Louis yang berusaha menemukan sesuatu dalam pikirannya. "Harrel, Tuan Wistletone," jawabnya dengan senyuman.

"Ah ya, Nona Harrel. Anda wanita di dalam ruangan ... lupakan," ucap Louis cepat-cepat lalu melanjutkan, "Apa yang terjadi di kelas Anda tadi?"

Nona Harrel baru saja menumpuk buku terakhirnya sehingga tersusun buku-buku tebal yang mungkin setinggi tiga puluh centimeter. "Kami sedang membahas riddle, Tuan. Bab yang dimasukkan dalam kurikulum." 

"Membahas? Maaf, tapi ... yang kulihat mereka tampak mencari sesuatu, bersorak, dan tidak teratur."

Tetapi Nona Harrel hanya terkekeh singkat menanggapinya. "Maafkan saya, Tuan, maksud saya bukan membahas riddle ,tapi lebih tepatnya bermain riddle." 

Louis hanya membulatkan bibirnya merasa malu dan bingung harus melakukan apa setelah ini. Apakah dia harus meminta maaf kepada Nona Harrel saat ini juga? "Apa metode belajar itu sudah disetujui?" Ia merasa harus mengalihkan pembicaraannya agar tidak merasa lebih malu lagi.

Nona Harrel mengangguk. "Jika Anda melihat saya di ruangan ayah Anda, saya baru saja membicarakan itu dengan beliau. Memang terlihat aneh dan tak disiplin tapi kita harus mencobanya, bukan? Sebenarnya itu salah satu strategi untuk meningkatkan semangat belajar siswa. Kita tak harus belajar dengan terus duduk di atas kursi, mendengarkan, membaca, dan menulis di sana pula. Ada banyak cara untuk mendapatkan ilmu dan saya tak ingin mengajar hanya berdiri di depan papan tulis seraya menjelaskan semua yang saya tahu sedangkan murid-murid saya bahkan tak paham satu kata pun dari apa yang saya ajarkan. Jika itu terjadi, saya merasa gagal menjadi seorang guru."

Louis tersenyum mendengar penjelasannya dan sekarang berjalan lebih dekat lagi menuju Nona Harrel yang masih berdiri di depan mejanya. "Jadi, bagaimana itu? Bagaimana metode pembelajaran yang Anda terapkan, Nona Harrel?"

Wanita itu kini berdiri di depan kelas menatap seisi ruang kelasnya. Ia tersenyum setelah mendapatkan suatu objek di sudut ruangan lalu meminta Louis berdiri di sampingnya. "What kind of room has no door and window?" tanyanya dan Louis terdiam. Louis berharap ia bertanya soal hukum Newton atau sebagainya daripada riddle seperti itu. 

"Dorm room?" ucapnya seraya menggidikan bahunya, sedangkan kedua tangannya disembunyikan di dalam saku celana. Namun, Nona Harrel menggeleng sehingga Louis kembali berpikir. "Common room?" Wanita itu hanya terkekeh seraya menggeleng menanggapinya. "Ayolah! Common room di Wistletone's School tidak ada jendelanya!" 

"Tapi memiliki pintu."

"Bisa diterima." Dan pria itu pun kembali berpikir membiarkan Nona Harrel menutupi bibirnya yang menampakkan kekehan kecil.

"Anda tak akan bisa menemukan jawabannya jika hanya berdiri di sini, Tuan Wistletone. Setidaknya ajaklah mata Anda untuk menjelajahi ruangan ini." Louis terdiam lalu mulai berjalan beberapa langkah ke depan—memandangi setiap sudut kelas tapi tetap tak menemukan apa pun.

"Baiklah, aku menyerah."

Nona Harrel pun menertawakannya sedikit lalu berjalan ke sudut ruangan di mana rak buku terdapat. Telunjuknya terulur ke arah sesuatu yang tak asing baginya. "Mushroom," ucapnya dengan senyuman membuat Louis menepuk dahinya sendiri. 

"Ya Tuhan, aku bodoh sekali."

Dan wanita itu kembali berjalan menuju Louis lalu berhenti di hadapannya. "Begitulah kami bermain riddle, Tuan Wistletone." 

       "Menarik," gumam Louis ketika wanita itu kembali ke bagian mejanya dan mengangkat semua buku-bukunya. 

       "Jika Anda tak keberatan, saya pamit untuk makan siang." 

       Louis seketika mengangguk. "Silakan, Nona Harrel. Maaf membuang sedikit waktu Anda." 

Nona Harrel hanya tersenyum lalu berkata, "Selamat siang." 

Yang setelahnya dibalas dengan anggukan singkat dari seorang Louis Wistletone.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status