Share

⁷ | Kembalinya Blighty Boys

Malam hari itu bintang-bintang tampak mengadakan pertemuan mereka sendiri di atas langit—menyingkirkan uap air yang berusaha menghalangi mereka sehingga orang-orang bisa mengintip pertemuan para bintang dari bawahnya ketika kepala mereka menengadah dan tercipta pantulan bintang-bintang itu di mata mereka. Namun, lain halnya dengan Louis yang sekarang sedang di dalam kamarnya mencoba mencocokan antara setelan jas dan warna dasinya selagi berdiri di depan cermin, pria itu menyunggingkan senyuman sekilas begitu melihat setelan jasnya sudah sempurna—ditambah dengan beberapa ml gel rambut yang membuat penampilannya kelewat sempurna untuk sebuah pesta musim gugur.

Sudah empat tahun ia tak menghadiri pesta dan sudah empat tahun pula ia tak melihat para gadis dalam balutan gaun yang indah dan tatanan rambut yang menawan—membuatnya tak sabar untuk segera tiba di Fenham, tempat pesta yang disewa Diederik Nordström. Dan ketika semuanya sudah sempurna, ia menyisir rambutnya sekali lagi agar tampak lebih rapih dari sebelumnya, kemudian keluar dari kamar dan kebetulan ada Anthony yang berdiri di sana dengan bukunya.

"Oh," ucap Anthony pelan diikuti dengan manik mata yang menatap adiknya dari atas hingga bawah. "Jadi kau memang akan berpesta malam ini?"

Louis menatap setelan jasnya sekali lagi lalu mendongakkan kepalanya menatap pria itu yang masih memegangi buku dengan salah satu tangannya. "Begitulah. Lagi pula, aku merindukan teman lama."

"Teman lama? Kau yakin ini bukan soal gadis?" Dan Louis pun terkekeh setelahnya. "Dan itu juga. Ayolah, Ant, aku sudah pergi cukup lama dan sangat merindukan kehidupan normalku!"

 Selepasnya, Anthony pun menutup halaman bukunya itu sehingga terdengar bunyi debam pelan. "Aku tak menghardikmu. Hanya sedikit memperjelas tujuanmu yang tersembunyi."

"Ya, aku mengerti." Louis hampir berlalu, tapi ia kembali lagi ke hadapan Anthony untuk berkata, "Apakah kau yakin tak ingin pergi bersamaku? Mungkin pestanya akan meriah mengingat para Nordström yang mengadakan, meskipun tidak di kediamannya."

Anthony terkekeh sekilas lalu memindahkan buku dari genggaman ke pelukannya. "Nay (tidak). Aku benar-benar harus belajar. Aku tak boleh telat lulus, nilaiku tak boleh turun, dan sial, aku harus menjadi seorang guru. Apakah aku cocok menjadi seorang guru?"

"Ya, kau cocok menjadi guru keributan." Keduanya terkekeh singkat. "Sebaiknya aku pergi sekarang sebelum percakapan ini menjadi menarik dan aku jadi malas untuk pergi." Anthony hanya menambahkan sedikit senyuman lalu menjawab, "Jangan sampai ada yang kau pukuli malam ini," sebelum Louis benar-benar menghilang sehingga pria itu hanya terkekeh seraya mengangkat salah satu ibu jarinya.

Sepanjang jalan menuju pintu keluar rumah Wistletone tampak sepi. Namun, Louis baru saja melewati perpustakaan di mana ada ibunya, Celestine, dan putrinya—Abigail—yang manis sedang menatap grandfather clock takjub seolah tak pernah melihat jam semacam itu sebelumnya. Richard Wistletone tak menampakkan sosoknya, mungkin sedang di dalam ruang kerjanya sedangkan Virginia, jelas sekali putri termuda pasangan Wistletone itu sedang di dalam kamarnya mengerjakan tugas kuliah.

"Keluarga Wistletone tak begitu menakjubkan," ucap Richard kepada Louis pada musim gugur 4 tahun silam sebelum putranya itu pergi menempuh pendidikan militernya.

"Putri tertuaku tak pernah duduk di bangku kuliahan. Putra pertamaku akan ku kirim ke Universitas Newcastle. Putra keduaku akan melanjutkan ke sekolah militer sedangkan putri termudaku akan mengikuti jejak kakaknya bersekolah di Universitas Newcastle. Sungguh tak ada yang begitu mengagumkan. Sangat mudah ditiru oleh yang lainnya. Jadi kumohon, Louis, ketika mereka mendengar nama belakangmu, tak seharusnya kau bertingkah berlebihan seolah nama Wistletone adalah anugerah yang tiada batasnya." Dengan begitu Louis mengangguk kepada sang ayah, Richard, yang kini memegangi kedua bahunya sebelum memberikan sebuah pelukan lalu membiarkan Louis pergi dengan kereta api di belakangnya.

Louis tak pernah mengerti dengan kerendahan hati ayahnya itu seolah tak mau memanfaatkan pemberian istimewa dari Tuhan. Ia selalu berkata bahwa semua orang bisa menjadi seperti Wistletone dengan mudah jika mereka berusaha keras. Namun, tetap saja rasanya berbeda bagi seorang Louis Wistletone yang sangat bangga dengan keluarganya seolah dengan nama belakangnya itu, ia bisa mendapatkan semua yang diinginkannya. Namun, tak lagi semenjak ia kembali dari sekolah militer setelah empat tahun lamanya. Di sana, ia mengerti Wistletone sudah tak bernilai seperti lampau hari sebelum ia tiba di sekolah itu. Di sana, Wistletone hanyalah nama dan hanya kemampuan yang mampu melambungkannya.

Ingatan empat tahun silamnya itu terkubur ketika mobilnya mulai melaju meninggalkan halaman rumah yang luas dan terdapat hamparan rerumputan di kanan kirinya yang kini berganti dengan pemandangan pinggiran kota Newcastle yang tak terlalu ramai, tapi dipenuhi pepohonan rindang. Tampak sepi dan udaranya terasa lebih dingin dari hari-hari lalu.

Fenham semakin dekat dan deretan mobil maupun sepeda sudah memenuhi halaman tempat pesta yang dipesan Nordström bersaudara atau lebih tepatnya Diederik. Menemukan tempat pesta itu cukup mudah bagi Louis, meskipun Dan hanya mengatakan Fenham. Jelas, hanya pesta Nordström yang meriah dan itu kentara sehingga ia tak akan keliru menghadiri pesta. Lagi pula, Fenham tidaklah luas.

Gemerlap pesta yang diselenggarakan Diederik membuat Louis segera memarkirkan mobilnya dan mengubur dirinya dengan kerumunan orang-orang yang menyunggingkan senyuman dan segelas wine di tangan mereka. Namun, sebelum ia menemukan teman-teman lamanya, Diederik si penyelenggara pesta adalah orang pertama yang ia peluk setibanya di sana. Setelah pelukan singkat itu keduanya saling tatap dalam balutan senyuman.

"Selamat datang, Louis!" ucap Diederik seraya melebarkan kedua belah lengannya bangga sehingga Louis tersenyum menanggapi. Setelah kalimat itu, Diederik menyipitkan matanya untuk menatap Louis. "Oh, aku tersanjung." Namun, ucapannya membuat Louis kebingungan. "Kau datang dengan wajah memar itu agar semua orang kagum mengetahui kau seorang tentara yang tampaknya berani mati."

Louis terkekeh singkat. "Tidak, bukan begitu, Derry. Ini memar yang tak terduga. Aku mendapatkannya semalam karena perkelahianku dengan Joseph."

"Wow!" pekiknya sekilas.

"Dan berkata kau mengadakan pesta karena ayahmu tidak di rumah. Betapa sederhananya alasanmu di balik pesta mewah ini."

Senyuman Diederik semakin lebar kala itu. Kemudian ia menjawab, "Ya. Maksudku jarang sekali ayah pergi dua minggu lamanya. Kita harus mengadakan pesta untuk itu! Salah satu wujud bersyukur." Diederik mengakhirinya dengan kedipan sebelah mata. Tampaknya Nordström bersaudara sama-sama sosok yang fleksibel.

"Semoga kau tak mengadakan pesta setelah kematian Tuan Duncan Nordström."

 "Aku masih waras, Louie." Kepalanya tergeleng pelan ketika mengatakan itu lalu Diederik beralih untuk memeluk Louis sekali lagi. "Nikmati pestanya, Chap." Ia mengakhirinya dengan menepuk bahu Louis sekilas lalu mengubur keberadaannya dalam kerumunan.

Louis mencari. Matanya mencari-cari orang-orang yang dirindukannya, yang diharapkan ada di sini pula, dan pencariannya membuahkan hasil sehingga bibirnya mengucapkan nama, "Maximilian Millepied, saudaraku," setelah seorang pria sedikit berlari ke arahnya untuk memberikan pelukan hangat membuat beberapa tetes wine dalam gelasnya melompat keluar—beruntung tak membasahi jas Louis yang sudah rapih.

"Louie." Maximilian Millepied yang sudah melepaskan pelukannya pun, menatap wajah temannya yang tak menunjukkan banyak perubahan sama sekali (kecuali memar di wajahnya) lalu memeluknya sekali lagi sebelum digantikan yang lain.

"Wistletone!" pekik Pete Kennedy dengan senyuman lebarnya diikuti pelukan setelahnya. Kebahagiaan memenuhi hati Louis saat itu juga. Sebelum pelukan itu berakhir, Louis pun berkata, "Oh, oh, Kennedy!" Sedangkan Dan Nordström mendekat namun tak berniat memeluk sahabat lamanya, Louis, sehingga ketika Louis berbalik untuk memeluknya, Dan justru mencegahnya membuat ia kebingungan.

"Aku tidak berpelukan dengan teroris. Maksudku, lihatlah tampangnya yang berantakan. Bagaimana kau bisa menarik perhatian para gadis dengan rupa seperti itu?" ucap Dan tetapi Louis hanya memutar bola matanya sekilas lalu memeluk pria itu.

Masih dengan wajah sumringahnya ia berkata, "Hargai sedikit memar di wajahku, itu lencana keberanian dan senang melihat kalian lagi, sungguh. Sudah empat tahun lamanya dan bila seperti ini keadaannya, aku tak berminat meninggalkan Newcastle." Anggota Blighty Boys pun tertawa.

Pete yang baru saja tertawa pun menjawab, "Ya, senang pastinya Blighty Boys bisa dipertemukan kembali. Namun, Louie, memar di wajahmu tak tampak seperti lencana keberanian melainkan lencana berandalan." Mereka kembali tertawa dan Louis hanya bergumam Terima kasih dengan pelan.

Ian mengangkat telunjuknya ke arah Louis di mana segelas wine ada dalam genggaman tangan yang sama. "Ketika aku mendengar kau melanjutkan ke sekolah militer, kupikir itu lelucon. Lalu surat-surat yang kukirimkan padamu, tak pernah kembali."

"Maafkan aku, Ian. Aku sedikit sibuk selama bersekolah di sana."

"Sibuk memukuli orang, 'kan? Louie?" Ucapan Pete menuntun Louis untuk menatapnya. "Lencana berandalanmu itu pasti kau dapatkan dari sebuah perkelahian."

Ian menggeleng dalam kekehannya sedangkan Dan tersenyum membiarkan Louis memijat dagunya lalu menjawab, "Ini sejak semalam. Aku memukuli si brengsek Stefar." Mereka pun ber-woo bersama-sama. "Sebenarnya ingin sekalian memukuli Jasper—"

"Itu tidak sopan," ucap Ian tiba-tiba menumbuhkan senyuman lainnya dari Dan dan Pete.

"Ayolah, Ian! Dia menyebalkan! Kau tak pernah mengenal Jasper luar dalam. Kau tak tahu betapa menyebalkannya pria tua itu." Louis menjelaskannya dengan kesal sedangkan Ian masih menegaskan bahwa ucapan dan perlakuan Louis itu tak sopan kepada Jasper yang lebih tua darinya, hingga Pete masuk ke dalam perdebatan keduanya dan memihak Louis karena ia pernah sekali berurusan dengan Joseph yang mengakibatkan kedua orangtuanya harus berhadapan dengan pasangan Stefar yang menjengkelkan.

"Sudahlah kalian." Ketiganya pun terdiam menatap Dan yang baru saja meneguk tetes wine lain dalam gelasnya. "Kalian seperti pasangan suami istri dengan tiga anak. Hentikan, itu memalukan dan tak dewasa."

Pete memicingkan bibirnya ketika Dan menyelesaikan ucapannya. "Aku tak bercanda, Pete, itu tak dewasa. Lagi pula, mengapa kalian begitu peduli dengan para Stefar yang bahkan tak ada di sini? Merusak nuansa pesta." Dan menghabiskan segelas winenya lalu mengulurkan tangannya. "Brotherhood?"

Baik Louis, Ian, maupun Pete akhirnya saling tatap dalam kekehan lalu mengulurkan lengan mereka secara bergantian untuk menutupi punggung tangan yang satu dengan yang lainnya. Keempatnya kini menundukkan kepala seraya menutup mata mereka mengabaikan beberapa pasang orang yang menatap mereka aneh. "Dipertemukannya lagi persaudaraan ini merupakan bukti terwujudnya salah satu mimpi yang masih tergantung di atas awan hingga akhirnya lenyap karena kematian memisahkan." Empat pasang mata itu terbuka meskipun tangannya masih saling bertumpukan. "Audere est Facere."

"Audere est Facere."

"Audere est Facere."

"Audere est Facere."

Ketiganya mengikuti secara bergantian lalu mereka menarik lengan mereka dan memeluk satu sama lain sekali lagi secara bergantian dengan senyuman.

* audere est facere berarti untuk berani diperlukan tindakan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status