Share

SALAH PAHAM

Bella masih terkekeh dengan tubuh sempoyongan ketika Yusuf menyeretnya ke area parkir hotel berbintang tersebut.

"Ngerepotin aja!" damprat Yusuf sambil menuntun Bella untuk duduk di kursi depan mobilnya.

Setelah dia memasangkan sabuk pengaman di tubuh Bella, Yusuf duduk di kursi pengemudi dan mulai menyalakan mesin. Namun tiba-tiba tubuhnya tercekat, "Tunggu ... rumah kamu di mana?"

Bella yang tadi masih setengah sadar dalam keadaan agak oleng kini telah sepenuhnya kehilangan kesadaran. Yusuf mendecakkan lidah sebal. "Harus ke mana cewek ini dibawa?" lirihnya memutar otak, untung terbersit satu lokasi.

Satu tempat yang diyakinkan Yusuf akan aman untuk Bella, bukan rumah ayahnya tentunya, melainkan studio apartemen milik pribadinya, tempat yang kadang dikunjungi Yusuf apabila dia butuh waktu untuk sendiri.

***

Sinar mentari yang terik menembus kaca jendela besar, jatuh tepat di atas wajah Bella yang masih tertidur di atas sebuah tempat tidur queen size. Perlahan kelopak matanya terbuka, otomatis Bella membuang muka untuk mengurangi kadar silau yang menerpa.

Pelan-pelan diangkatnya tubuhnya untuk dapat duduk di atas tempat tidur lalu diedarkannya pandangan. "Di mana aku?" lirihnya sambil memegang kepala yang agak pening. Bella meraih kaca matanya yang tergeletak di atas meja lampu di samping tempat tidur, sekarang pandangannya menjadi lebih jernih.

Jelas tempat ini bukan kamar kos Bella yang sempit. Kamar yang sekarang dia tempati luas dengan dominasi warna krem dan cokelat kayu, diisi perabotan modern dan tampaknya mahal, dengan jendela kaca besar dan teras yang dipenuhi pot-pot tanaman hias.

"Rumah siapa ini ...?" lirihnya sambil mencoba mengingat-ingat. "Gawat! Jangan-jangan semalam aku ..."

Bella langsung terpikir pada kemungkinan yang paling buruk, dilihatnya wrap dress yang masih membalut tubuhnya, pakaian yang sama persis dengan pakaian semalam yang dia kenakan ke acara fashion show.

"Aku masih pake baju yang sama, aku juga nggak ngerasa ada yang aneh sama badan aku ... tapi ..." Bella meracau ketakutan.

Ketika dia sibuk mencemaskan semua kemungkinan yang bisa saja menimpanya, pintu studio apartemen itu terbuka, dan Yusuf masuk dengan santai menenteng sebuah kantong plastik berukuran sedang.

"Pak Yusuf?! Jadi ini ... tempat Bapak?!" pekik Bella sambil turun dari tempat tidur. "Apa-apaan ini?! Tolong jelasin sama saya, Pak! Kenapa saya bisa ada di sini?! Apa ... apa yang udah Bapak perbuat sama saya?! Nggak mungkin! Kenapa ... kenapa saya bisa ada di sini? Walau jelek gini juga, saya ini masih perawan, Pak!" tuding Bella panik sambil berusaha menutupi tubuh bagian depan meski sebetulnya gaunnya sama sekali tidak terbuka.

Yusuf menatapnya dengan ekspresi jijik. "Ngomong apa kamu? Jangan sembarangan! Dikasih gratis pun saya nggak minat sama kamu!" Dengan geram Yusuf menepuk puncak kepala Bella dengan tangan kirinya.

Entah Bella harus lega atau justru terhina mendengar pengakuan Yusuf yang blak-blakan.

"Lagian, kamu kira saya mau ambil keuntungan dari kamu? Emang saya keliatan kayak laki-laki brengsek macam itu, ya?! Harusnya kamu berterima kasih karena saya nggak ninggalin kamu semalam! Cuma gara-gara sampanye doang bisa mabuk!" hardik Yusuf mendadak jengkel. "Nih, makan dulu! Ini bubur sama jus buah. Habis kelar sarapan, saya antar kamu pulang." Yusuf meletakkan kantong plastik yang dia bawa ke atas meja kayu di depan TV.

Bella diam beberapa lama. "Ma ... makasih ya, Pak ... maaf udah nuduh yang macem-macem."

"Udahlah, lupain aja, makan aja buburnya sekarang."

Bella mengangguk seraya duduk di sofa, di depan meja tempat sarapannya diletakkan. "Jadi ... semalam Bapak nggak ngikutin acaranya sampe selesai, ya?"

"Ya gara-gara siapa? Habisnya kamu udah teler duluan!"

Mendengar jawaban jujur Yusuf, terbersit rasa bersalah dalam hati Bella, sekaligus heran. "Tapi kan Bapak bisa ninggalin saya atau ... minta orang lain buat antar saya, Bapak nggak perlu repot-repot--"

"Jadi nggak apa-apa misal ada laki-laki bejat yang mau ngapa-ngapain kamu?!" potong Yusuf agak kesal.

"Nggak, dong! Bukan itu maksud saya ..."

"Udah diam aja! Makan!"

Meski sulit untuk mengakui, timbul rasa kagum Bella terhadap Yusuf. Pria itu atasannya, namun dia betul-betul menunjukkan sikap tanggung jawab seolah Bella adalah wanita yang berharga baginya, bukan hanya sekadar seorang karyawan yang baru dia kenal.

Tenang, Bella ... jangan ge-er, dia mungkin emang orang yang baik, bukan berarti ada apa-apa, batin Bella berusaha menenangkan gejolak yang mulai mendera hatinya.

***

Bel apartemen berbunyi ketika bubur sudah hampir dihabiskan oleh Bella. Kening Yusuf mengerut, bertanya-tanya siapa yang datang, sebab tak banyak orang yang tahu tempat persembunyiannya yang satu ini. Ragu-ragu, Yusuf membuka pintu tanpa mengecek video interkom lebih dulu.

Pak Abizard berdiri dengan muka kaku di depan ambang pintu. Tak ada senyum di wajahnya.

"Mau apa Papa ke sini?" tanya Yusuf dingin.

Tanpa menjawab, Pak Abizard langsung masuk ke dalam dan mendapati Bella yang sedang duduk di sofa dengan muka tegang.

"Pak ... Pak Abizard, selamat ... selamat pagi, Pak ...!" sapa Bella tergagap sambil berdiri otomatis seperti robot.

Wajah Pak Abizard memucat, dia tak percaya dengan matanya sendiri. Seorang karyawan perempuan kini sedang berada di apartemen milik puteranya, pagi-pagi sekali, dengan rambut dan penampilan berantakan! Siapapun akan berasumsi macam-macam bila berada di posisinya.

"Kamu udah gila, Yusuf?! Kamu baru balik ke sini, dan ini yang kamu lakukan?! Papa nggak nyangka kalau kamu sebusuk dan setidak-bertanggung jawab ini! Kamu kira semua ini cuma main-main, ya?! Bukannya fokus sama kerjaan kamu, kamu malah main gila sama karyawan rendah kayak dia?!!" teriak Pak Abizard yang tanpa sungkan langsung meninggikan suara.

Bella tercekat mendengar tudingan yang menghina itu, buru-buru dia mencoba untuk meluruskan kesalah-pahaman.

"Pak ... ini nggak kayak yang Bapak kira, kami--"

"Jangan coba-coba kamu bicara sama saya! Tau diri siapa kamu!" potong Pak Abizard.

Rahang Yusuf menggeretak, kesabarannya mulai habis. "Bisa Papa tenang? Ini salah paham, kami nggak ada apa-apa, dan kalaupun emang kami ada apa-apa, apa hak Papa menghina dia? Dia bukan karyawan rendah kayak yang Papa kira! Papa bisa nuduh kami macam-macam, tapi kenapa harus merendahkan dia?!"

"Pak Yusuf nggak perlu membela saya, saya--"

"Kamu sebaiknya diam, Bella," tandas Yusuf yang membuat Bella mati kutu.

"Kamu nggak sadar ya? Sekarang semua media lagi membicarakan kamu sama perempuan ini! Berita kalian sudah tersebar! Mau ditaruh di mana muka Papa, Yusuf?! Papa nggak bisa menjawab semua pertanyaan wartawan! Ini tentang reputasi keluarga kita, jangan lupa juga soal Leila--"

"Aku nggak ada apa-apa sama dia," potong Yusuf tegas. "Aku udah bilang, kan?"

"Kita udah membicarakan ini dari jauh-jauh hari, Yusuf. Kamu sama dia--"

Sesaat Yusuf melirik Bella, berharap gadis itu tak ada di sana mendengarkan percakapan mereka yang terlalu bersifat pribadi. Lantas Yusuf memotong dengan menggunakan bahasa turki agar Bella tidak mengerti, selama beberapa menit ayah dan anak itu pun terlibat dalam perdebatan sengit menggunakan bahasa turki, membiarkan Bella untuk sesaat serasa jauh dan terpinggir dari mereka.

"Udah, Pa. Udah cukup. Obrolan ini nanti aja lagi kita lanjut, aku juga udah harus antar Bella pulang," tutup Yusuf mengalah pada akhirnya.

Pak Abizard menatap Bella tajam dan sinis, seakan menengok seonggok sampah yang kotor dan menjijikkan. "Intinya, kalian harus cepat-cepat membersihkan gosip ini dari media. Jangan sampe keluarga besar Leila tau soal ini! Atau ... jangan salahkan Papa kalau sampe cewek ini harus kehilangan pekerjaannya!" ancaman itu menohok Bella.

Yusuf memilih diam, enggan meneruskan perdebatan dengan sang ayah yang sama-sama keras kepala. Dan sebelum Pak Abizard keluar dari apartemen, dia berbalik sebentar, "Oya, Yusuf, adik kamu, Malik ... dia juga akan datang sebentar lagi. Kamu harus pulang hari ini, kita bicara di rumah."

Tubuh Yusuf rasanya tersengat aliran listrik saat itu juga. Sebuah nama yang telah lama tak dia dengar itu menyapa telinganya kembali. Bagai momok yang sekian lama lenyap kini timbul lagi merasuk pikirannya.

Malik ...? Buat apa dia datang? Apa lagi sekarang? batin Yusuf mulai cemas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status