PART_1 DENDAM WAGU
Sorot mata tajam, lelaki itu tidak lepas dari seorang bocah perempuan yang sedang mengumpulkan kayu bakar di hutan. Seakan sedang mengintai hewan buruan dan dia berjanji akan mencincang tubuh kecil itu dan membuangnya kejurang jika berhasil menangkapnya.
Ya. Kali ini tidak boleh lepas lagi.
Bocah kecil itu bermata coklat dengan rambut bergelombang tergerai di punggungnya, kumal, lusuh, kusam seperti itu gambarannya. Tidak ada yang menarik sama sekali jika dilihat.
Ada apa dengan bocah itu?
Kenapa Wagu begitu membencinya?
Wajah lusuh bocah itu mengingatkan laki-laki pada masa lalunya yang memalukan. Oleh karena itu Wagu ingin sekali melenyapkannya dari muka bumi ini.
Wagu laki-laki 40 tahun memiliki kisah cinta yang dramatis dengan Jadmini. Wanita yang begitu dicintainya bertahun-tahun dengan berani menolak lamarannya 15 tahun yang lalu. Bukan karena Jadmini tidak mencintai Wagu, hanya saja karena dia telah di jodohkan dengan laki-laki pilihan orang tuanya.
Tragis.
Sialnya meskipun Jadmini dan suaminya sudah meninggal, Wagu tidak dapat melupakan penghinaan itu. Betapa tidak? Pamornya sebagai orang paling kaya di wilayah Burgundy tercoreng akibat ulah gadis miskin semacam Jadmini.
Dan lihatlah!
Meskipun mereka sudah tiada, tetap saja menyisakan lara dan dendam yang kian membara, hanya dengan melihat keturunan mereka masih menghirup udara di dunia ini.
Ya. Namanya Ambigu berumur 10 tahun dia adalah anak dari Jadmini dan Sukardi.
“Kenapa bencana itu tidak menelannya sekalian? Kenapa hanya Jadmini dan laki-laki sialan itu yang yang di panggil? Ataukah nasib sengaja mempermainkanku atas penghinaan itu?” gumam Wagu berang.
Tangan kekar berotot itu menghantam pohon di depannya dengan geram. Luka di tangannya tidak berasa apa-apa dibandingkan luka di hatinya.
Mungkin alam sempat sepakat dengan dirinya untuk melenyapkan Jadmini dan suaminya itu dengan merenggut nyawanya dalam bencana gempa bumi. Tapi mengapa masih membiarkan anaknya hidup?
"Aku tidak akan membiarkanmu hidup!" gumam lelaki itu.
Dengan tubuh menunduk, Wagu mengendap-endap bergerak mendekat dengan langkah yang sangat hati-hati dan pelan hendak menangkap Ambigu, tapi sialnya gadis itu cukup siaga, karena melihat bayangan yang di timpa matahari di atas semak itu. Ilmu bela diri yang diwariskan sang kakek mengajarinya tanggap ketika musuh datang
Ambigu memelankan kegiatannya mengikat ranting kering yang berhasil ia kumpulkan, ekor matanya memicing tajam memperhatikan bayangan yang semakin mendekat itu. Kemudian tubuh kecil itu berputar 180 derajat dan ‘BRUUUGHHH!!!’ semua ranting kering yang sudah sempurna diikatnya, terlempar tepat mengenai tubuh Wagu. Kesempatan itu digunakan untuk berlari dan sembunyi di balik pohon besar.
Tapi sama saja itu tidak aman. Karena dengan mudah Wagu mengetahuinya.
“HA ... HA ... HA ...,” tawa itu menggelegar penuh ejekan. "Mau bersembunyi di mana kamu, bocah sialan?!" seru Wagu dengan lantang.
Ambigu bukan seorang pengecut. Dirinya memutuskan keluar dari pohon itu dan menghadapi Wagu. “Mau apa lagi kau Paman? Tidak bosan-bosannya menggangguku!” Ambigu keluar dari persembunyiannya dan memasang kuda-kuda siap melawan serangan Wagu. Tapi Wagu hanya terkekeh melihat reaksi Ambigu.
“Sekarang kau tidak bisa menghindar lagi, bocah buluk. Aku akan segera melemparnya ke neraka bersama Jadmini wanita sialan itu ha ha ha !” ucap Wagu begitu mengerikan.
“Jangan hina ibuku, Paman! Atau kau akan menyesal?!” bentak Ambigu tanpa takut.
“Kau bisa apa bocah ingusan?!”
"Bertarung dengan anak kecil? Jika Paman menang tidak akan terlihat hebat! Tapi jika Paman kalah itu sungguh memalukan!" Ambigu memancing supaya Wagu mendekatinya, ketika tubuh itu menunduk hendak menangkapnya segera Ambigu mengambil botol dari tas goninya. Membuka tutup botol itu dan menghamburkan isinya tepat di wajah Wagu.
“AAKHHH.....” teriaknya menahan panas di kedua matanya karena tidak sempat menghindar dari serangan Ambigu. Serbuk cabe itu dengan kurang ajarnya membakar kedua matanya. “Panas!!!” Laki-laki itu berlari dengan sempoyongan menuju sungai.
Mengetahui musuhnya lumpuh, Ambigu segera lari tunggang langgang meninggalkan hutan itu menuju gubuknya. Nafasnya tersengal saat sampai di gubug, Ambigu menutup pintu rapat-rapat. Bahkan Ambigu melupakan ranting-ranting yang seharusnya dia bawa pulang.
“Astaga, Mbigu! Kamu kenapa seperti di kejar setan saja?” tanya Lestari begitu penasaran melihat cucunya. Tubuh kecil itu basah bersimbah keringat. Nafasnya memburu.
“Bukan setan lagi, Nek, yang mengejar Mbigu! Tapi raja iblis itu yang selalu menggangguku!” ucap Ambigu kesal.
“Maksudmu siapa? Wagu mengganggumu lagi?” tanya lestari dengan dahi mengernyit, tubuh bungkuk itu mendekati sang cucu dan duduk di atas balai-balai.
“Siapa lagi kalau bukan dia, Nek?” Ambigu menuang isi kendi langsung kemulutnya dengan tidak sabar, rasa dahaga bahkan tidak mau ditunda barang sebentar, air kendi itu masuk ke mulut kecil bocah itu dan sebagian tumpah membasahi bajunya.
“Astaga minum hati-hati Mbi. Kamu itu perempuan, harus halus jangan kayak preman seperti itu!”
Ambigu menyeka mulut dengan punggung tangannya.
“Halus bagaimana maksud nenek ini? Situasi di kejar manusia setengah setan masa iya harus lembut!”
“Ya sudah, istirahat dulu. Tenangkan dirimu. Kamu sudah aman sekarang, Wagu tidak mungkin berani datang kesini.” Ucap Lestari menenangkan dan menepuk balai-balai itu, isyarat menyuruh Ambigu duduk di sampingnya.
Itu semua benar. Sejak peristiwa itu bahkan tidak sekalipun Wagu datang ke gubug itu. Wagu selalu menyerang Ambigu di luar rumah. Karena Wagu pernah bersumpah tidak akan mendatangi gubuk reyot itu atau kesialan akan bersamanya selamanya. Begitu kiranya bunyi sumpah Wagu, setelah lamaran itu di tolak Wasis ayah Jadmini. Bagaimana pun Wagu tidak akan menjilat ludahnya Sendiri.
“Tapi Nek, Mbigu nggak dapat kayu bakar jadinya,” ucap Ambigu sedih dan menyesal.
Dirinya duduk dibalai-balai dengan tatapan tertunduk.
“Nggak apa-apa, kayu nenek masih banyak,” jawab lestari menepuk punggung Ambigu menenangkan.
Lestari kadang heran kenapa cobaan bertubi-tubi datang. Setelah bencana yang merenggut anak dan menantunya, setahun kemudian suaminya pun meninggal. Wasis meninggal saat pembukaan lahan di Alas Liwung, meninggalnya begitu tidak wajar entah di jadikan tumbal apa bagaimanas? Sampai saat ini masih menjadi misteri. Sekarang hanya tinggal Ambigu dan dirinya di gubuk itu.
“Nek kabarnya Raja akan membangun gedung di hutan Pilaler,” ucap Ambigu memecah lamunan Lestari. Hutan Pilaler adalah hutan tempat Ambigu mencari kayu bakar.
“Ya biarlah, kita rakyat jelata diam saja, nggak usah ikut-ikutan.”
“Tapi aku mau ikut, Nek.”
“Astaga!! Kau mau mati sia-sia seperti kakekmu?!”
“Justru aku cucu Kakek sejati! Harus berjuang. Kabarnya kerajaan akan membangun gedung di hutan Pilaler, dan gedung itu nantinya banyak menyimpan rahasia kemakmuran kerajaan. Siapa pun boleh ikut dalam babat alas itu nek, dan kabar baiknya semua peserta yang ikut akan di beri pekerjaan jika gedung Biru sudah berdiri.” Ambigu menjelaskan panjang lebar untuk mencari simpati dari Lestari.
“Kamu itu masih kecil, umurmu saja 10 tahun. Apa yang bisa kamu lakukan? Apa kau tidak takut Wagu menyerangmu tiba-tiba?”
“Nenek ini, belum berjuang sudah mengaku kalah. Aku akan bawa serbuk cabe lebih banyak lagi nanti Nek!” ucap Ambigu tertawa.
“Tapi kalau kamu kenapa-kenapa nenek tidak punya siapa-siapa lagi, Mbi.” Lestari mengatakannya dengan begitu sedih sehingga gadis kecil itu memeluk tubuh renta neneknya.
BERSAMBUNG
PART_2 TAPA BRATAKabar pendirian gedung biru bukan isapan jempol belaka. Para punggawa, tokoh masyarakat dan sukarelawan rakyat ikut serta dalam prosesnya.Awalkisah pembangunan gedung biru dimulai dengan banyak ritual. Terutama pemindahan makhluk astral yang sudah menjadi penghuni tetap wilayah tersebut.Bukan perkara mudah.Mengingat daerah tersebut sebelumnya adalah hutan belantara yang tidak terjamah.Diperlukan keberanian yang tinggi untuk mengikutinya.Dewi Ambigu tentu saja tidak mau ketinggalan. Darah jelata yang mengalir ditubuhnya harus berubah menjadi darah biru itu ambisinya. Sejak kecil dirinya sudah lelah hidup susah, berharap nasib dapat segera berubah.Saat itu usianya masih 10 tahun. Neneknya sudah melarang tapi Ambigu adalah gadis keras kepala yang bermimpi besar menjadi penguasa.Ambigu memulai tapa brata di sisi sebelah tenggara hutan. Tempat yang diyakini paling angker. Buka
PART_3 DEWI SUARA“Astaga?! Apa maksud semua ini?” gadis kecil itu bingung, tangannya gemetar memegang benda tersebut. Tanpa berpikir panjang Ambigu menyimpannya dalam tas kain yang ia bawa dari rumah. Barangkali saja nanti dia membutuhkan benda itu.Ambigu mencoba berdiri, dengan jalan terhuyung-huyung menuju sungai di tepi hutan itu. Kering sekali tenggorokannya, dahaga sudah melanda. Anak itu butuh minum, bukan itu saja dirinya pun sudah mulai kelaparan.Beberapa kali terjatuh tersandung belukar, Ambigu tetap bangkit. Hingga akhirnya gemericik suara aliran sungai terdengar. Ambigupun lega.Bocah kecil itu segera meminum air dengan kedua tangannya kecilnya sepuas-puasnya, tak lupa membasuh wajahnya yang terlihat kuyu dan pucat. Ambigu duduk di tepi sungai dalam keadaan yang lebih segar. Kakinya bermain-main dengan air sungai tersebut.Sungai itu airnya begitu bening dan batu-batu di dalamnya terlihat. Tampak burung-burung berkic
Lestari menyambut kedatangan, Ambigu. Wanita tua berkulit kusam keriput, dengan rambut putih digelung itu tampak begitu khawatir, melihat tubuh lusuh cucunya. Bahkan semalam dia tidak bisa tidur hanya karena memikirkan Ambigu. Perasaan takut dan khawatir jika saja cucunya mati di terkam binatang buas dalam tapa bratanya, atau malah tersesat di dunia astral tanpa bisa kembali. Sekarang sudah lega, cucunya pulang dengan selamat. Lestari memeluk gadis kecil itu erat sekali, kemudian, membimbingnya duduk di balai-balai depan rumah tepatnya di bawah pohon belimbing. Tangannya mengusap pucuk kepala Ambigu penuh sayang. “Syukurlah, Mbi. Akhirnya kamu pulang,” ucap bibir hitam itu bergetar dengan mata berkaca-kaca menahan haru. “Jangan menangis, Nek! Mbigu baik-baik saja, hanya sedikit lapar. Perut Mbigu perih, Nek.” Ucap gadis itu sambil memegangi perutnya yang sudah sangat lapar. Keringat dingin mulai berdatangan dan tubuhnya gemetar. Lestari
PART_5 BABAT ALAS“Apa ini? Jangan bercanda Wagu, dia itu hanya anak-anak, lagi pula seorang perempuan, bisa apa dia?”“Tentu saja bisa nangis.”“Siapa dia?”“Dewi Ambigu, cucu Kakek Wasis!”“Iya, dia satu-satunya peserta perempuan!”“Jangan-jangan hanya cari mati dia!”“Benar menyusul kakeknya secepatnya!”“Astaga!! Apa yang ada di otaknya selama ini?”Suara-suara rombongan begitu random saling bersahutan meremehkan Ambigu. Wagu tersenyum puas dan mengejek. Pada akhirnya dirinya berhasil mempermalukan gadis itu.Sementara Ambigu sendiri dalam keadaan malu, semalu-malunya. Bagaimana tidak? Bisa apa dia menghadapi cercaan para pria dewasa itu. Tubuh kecilnya bangkit dalam keadaan sempoyongan, tubuhnya gemetar jantungnya Berdegup kencang.Tampak Kyai Nur Bei mendekati Ambigu, dan menolongnya berdiri.
PART_6 KYAI LANDEP"Nenek aku pulang! Nenek aku pulang," teriak Ambigu begitu riang. Sudah pasti dia bangga dengan pencapain hari ini. Ambigu menyusul nenek yang tengah berkutat di depan tungku kayu."UHUK ... UHUK ... " asap di dapur menguar di udara begitu menciptakan kabut kabut kecil di tungku itu. Rupanya kayu bakar Lestari basah jadi sejak tadi dirinya tidak berhasil menciptakan api."Astaga, Nek! Asapa apa ini? Apa Nenek membakar gubug kita?" Ambigu menutup mulut dan hidungnya dengan tangan."UHUK ... UHUK ... Kayu bakarnya basah semua Mbi, semalam nenek lupa tidak menyimpannya di dalam. Astaga!! Kamu sudah pulang tapi nenek belum punya nasi? Bagaimana ini apa kau lapar?" Lestari menatap cucunya begitu kawatir."Sudahlah nek lupakan saja, nanti kita bisa beli makanan banyak!! Lihatlah koin emas yang aku bawa!!" ucap Ambigu riang.Lestari mengeluarkan kayu itu dari tungkunya dan membawanya keluar. Dirinya membatalkan memasak. Asap suda
"Keris ini? Kenapa ada di sini?" gumam Ambigu bingung. Mata gadis itu menyipit melihat keris yang begitu kotor. Dalam hatinya bertanya bagaimana keris ini tiba-tiba tergeletak di atas balai-balai tempat tidurnya? Dirinya juga heran kenapa keris ini nggak ada warangkanya. Apa mungkin setelah keris itu membabat habis seluruh pohon di hutan itu kemudian dia terpisah dengan warangkanya? “Mbigu, kenapa kau bangun? Apa kau lapar Nak?” tanya Lestari kawatir. Wanita tua itu bangkit dari tidur kemudian membenarkan gelungan rambutnya. Lestari tidur di balai-balai sebelah Dewi Ambigu, ya gubuk itu tidak memiliki sekat. Di dalam gubuk itu ada dua balai-balai yang berjajar, kemudian satu buah meja kayu tempat menaruh makanan dan dapur mereka juga menjadi satu. Jadilah ruangan itu ruang serbaguna. Lestari mendekati cucunya yang mematung disinari cahaya yang sangat minim. Penerangan gubuk itu hanya menggunakan lampu minyak sebagai penerangan. “Ada apa, apa yang kau
Ambigu ketakutan dan memegang kembang setaman terbungkus daun pisang itu dengan erat. Tubuh gadis itu semakin bergetar karena kerumunan semakin banyak. Bahkan keringat dingin mengucur di seluruh tubuhnya. “Kita hancurkan saja gubuknya,” suara itu keras dan sangat dominan. Ambigu begitu hafal jika itu suara Wagu. Seorang nenek tampak tergopoh-gopoh menyibak kerumunan itu, dirinya baru saja pulang dari pasar menjual sayuran. ‘Ada apa ini?’ Pikirannya tidak enak takut jika dikerumunan itu ada cucunya. Benar saja dirinya melihat Ambigu ketakutan. Lestari segera maju ke depan memasang badan untuk melindungi cucunya. Tubuh bungkuk itu merengkuh Ambigu dalam pelukannya. “Apa yang dilakukan cucuku sehingga kalian berkerumun?” tanya Lestari dengan nada bergetar. Dalam hati takut jika saja cucunya berbuat kesalahan. “Ambigu tidak melakukan apa pun, nek!” ucap Ambigu membela diri. Wagu maju dari barisan itu dan mendekati Ambigu dan Lestari, “Jang
Setelah selesai makan Ambigu menyiapkan baskom sesuai perintah sang nenek. Mengingat pinggang sang nenek sedang sakit Ambigu harus melakukan semuanya sendiri. Baskom itu diisi air kemudian diisi kembang setaman. Selain itu Ambigu juga menyiapkan perasan jeruk limau dicampur dengan warang yang akan digunakan mengolesi keris itu sesudah dimandikan. “Sudah siap nek,” seru Ambigu riang gadis itu bertepuk tangan kegirangan. Mata beningnya berbinar demi menatap hasil pekerjaannya. “Cucu nenek, memang pintar,” lontar Lestari tersenyum sambil mengacungkan jempol tangannya. “sekarang segera di ambil kerisnya kemudian di cuci,” ujarnya kemudian. “Siap laksanakan nenekku sayang,” Ambigu segera mengambil Keris Kyai Landep yang ia temukan sewaktu tapa Brata itu. Kemudian dengan teliti memandikannya. “Kumandiin yang bersih ya, kek. Janji jangan marah-marah lagi,” ucap gadis kecil itu tanpa berpikir macam-macam. Intinya dia harus membuat keris itu bersih. Se