Share

PART-2 TAPA BRATA

PART_2 TAPA BRATA

Kabar pendirian gedung biru bukan isapan jempol belaka. Para punggawa, tokoh masyarakat dan sukarelawan rakyat ikut serta dalam prosesnya.

Awal kisah pembangunan gedung biru dimulai dengan banyak ritual. Terutama pemindahan makhluk astral yang sudah menjadi penghuni tetap wilayah tersebut. 

Bukan perkara mudah.

Mengingat daerah tersebut sebelumnya adalah hutan belantara yang tidak terjamah. 

Diperlukan keberanian yang tinggi untuk mengikutinya.

Dewi Ambigu tentu saja tidak mau ketinggalan. Darah jelata yang mengalir ditubuhnya harus berubah menjadi darah biru itu ambisinya. Sejak kecil dirinya sudah lelah hidup susah, berharap nasib dapat segera berubah.

Saat itu usianya masih 10 tahun. Neneknya sudah melarang tapi Ambigu adalah gadis keras kepala yang bermimpi besar menjadi penguasa.

Ambigu memulai tapa brata di sisi sebelah tenggara hutan. Tempat yang diyakini paling angker. Bukan saja makhluk gaib penghuninya akan tetapi binatang buas juga berada di sana. Perjuanan ini cukup berat dan nyawa adalah taruhannya.

Tubuh kecil itu duduk bersila diatas batu besar, telapak tangannya menangkup. Tubuhnya tegak lurus membentuk sudut 90 derajat, kedua mata terpejam rapat. Batinnya mengucapkan mantra suci yang pernah di ajarkan mendiang kakeknya.

Kakeknya adalah seorang ksatria tersohor pada masanya, tetapi karena ketidak adilan akhirnya tewas secara tidak hormat.

Setelah beberapa saat gadis kecil itu berhasil berkonsentrasi dengan baik. Jiwa ambigu mampu menembus dimensi lain. Angin berhembus begitu kencang, mengibarkan rambut panjang terurainya.

Kondisi hutan gelap gulita yang terdengar hanya ranting-ranting yang saling bergesekan diterpa pusaran angin. Angin bergulung-gulung membawa kereta kencana dengan kuda putih bermahkota. Kereta itu tampak bersinar menyilaukan.

Tampak sosok lelaki tua terlihat seperti dalam kaca transparan, duduk tersenyum di atas kereta yang melayang-layang di udara.

Lebih tepatnya seorang kakek berjubah putih, serasi dengan surban dan jenggot panjangnya. Kakek itu sudah sangat tua menurut Ambigu, lebih tua dari semua kakek yang pernah ia temui.

Anehnya kulit tubuh yang tidak tertutup kain tampak transparan sehingga kelihatan seluruh organ dalamnya. Siapakah dirinya?

Percakapan batin pun terjadi di antara mereka.

“Hai anak kecil, untuk apa kamu bersusah payah tapa Brata di hutan belantara ini! Sebutkan keinginanmu, pasti aku kabulkan.” sesaat tempat itu berkabut tebal. Angin bertambah kencang dan beberapa pohon roboh. Auman hewan liar mulai bersahutan kondisi begitu mencekam.

Tubuh Ambigu terangkat ke atas dan melayang-layang di udara. Sejajar dengan kereta kencana itu. Ambigu tampak terus berkonsentrasi dalam tapa bratanya. Meskipun gangguan datang silih berganti.

Mereka datang dalam berbagai rupa ada yang wajahnya sama persis seperti wajahnya sendiri dan mengaku jika dia adalah saudara Ambigu dan hendak ikut ke mana pun Ambigu pergi.

Ada beberapa sosok yang menyeramkan yang hendak menyeret Ambigu pergi ikut dengannya. Bahkan makhluk-makhluk itu saling menarik tubuh Ambigu. Seolah dia adalah sebuah barang yang harus diperebutkannya.

Banyak makhluk bertubuh pendek kecil dengan wajah mengerikan yang seakan mengajaknya bercanda. 

Tapi itu semua tidak dihiraukannya. Fokus Ambigu ada pada Kakek Tua di atas kereta yang melayang-layang di udara tersebut.

“Tuan, siapa pun dirimu terimalah salam hormat dariku. Namaku Ambigu, perwakilan manusia yang menghendaki izin menggunakan hutan ini, demi kepentingan bangsa kami.”

“Apa yang kau tawarkan jika aku mengizinkannya? Wahai anak kecil?” 

“Yang aku tawarkan adalah kedamaian, Tuan. Kami pastikan bangsa kami tidak mengusik dan mengganggu. Kita bisa bersama berdampingan dalam dimensi yang berbeda.”

Tiba-tiba gulungan angin itu bertambah kencang dan membawa kereta itu menjauh dan kemudian menghilang ditelan kegelapan. Ambigu terus merapalkan mantra.

Ambigu berpikir. Mungkin saja dia tidak terima dengan penawaran yang Ambigu berikan.

Karena biasanya mereka akan meminta tumbal.

Tidak! Ambigu kembali teringat kakeknya, yang kabarnya dijadikan tumbal pembukaan hutan beberapa tahun silam.

Itu tidak boleh terjadi. Ambigu tidak boleh mengorbankan siapa pun demi berdirinya gedung biru. Pikirannya saat ini masih jernih.

“Ambigu!!! Dengarkan aku baik-baik .... ” suara itu menggema di udara. Sesaat telinga Ambigu berdenging mendengarnya. Hanya suara saja tanpa rupa dan wujud apa pun.

“Siapa pun, Tuan. Katakan apa pun yang akan Tuan katakan, aku Ambigu siap mendengar.”

“Aku tidak butuh apa pun, aku hanya akan ikut ke mana pun engkau pergi, sudilah kiranya aku bersamamu, bocah cilik!"

“MAAF TUAN! Aku masih kecil sama sekali belum dewasa. Usiaku baru 10 tahun. Jika Tuan ikut saya, bagaimana saya bisa menghidupi, Tuan? Bahkan untuk menghidupi diri saya sendiri tidak bisa!” jawab Ambigu bingung.

“Kamu tidak perlu memberi aku apa pun. Aku bisa menghidupi diri ku sendiri. Aku hanya perlu ikut bersamamu!"

“Baiklah Tuan?Aku tidak keberatan, asal jangan merepotkan dan jangan meminta apapun dariku dan jangan mengganggu kehidupanku selanjutnya!”

Angin bertiup lebih kencang dari sebelumnya, gulungan angin itu berubah warna menjadi mendung pekat dan menjatuhkan air begitu lebatnya.

Ambigu masih bertahan dalam semedinya. Meskipun guyuran air menyerbu tanpa ampun yang membuatnya basah kuyup. Tubuh kecil itu kemudian menggigil, bibirnya membiru, kulitnya memucat dan Ambigu terjatuh tidak sadarkan diri diantara semak belukar. Dalam tubuh yang tidak sadar itu tampak dilapisi sinar berwarna merah menyala.

Semua makhluk astral membubarkan diri dan terpaksa pergi karena dari tubuh Ambigu mengeluarkan hawa panas yang bisa membakar mereka jika mendekat.

Sinar matahari mengintip di sela-sela pohon Pinus. Titik-titik embun berjatuhan di terpa semilir angin. 

Susah payah Ambigu membuka kelopak matanya yang terasa lengket dan berat. Kepalanya sedikit pusing.

Setelah berhasil terbuka sempurna, sinar matahari dengan lancangnya membuat pandangannya silau. Beberapa tubuhnya terasa perih dan tampak terluka akibat goresan belukar.

“Astaga, sudah siang. Aku ketiduran apa bagaimana ini?” gumam Ambigu bingung. Pusing dan pening itu yang dirasakannya.

“Apakah semediku gagal? Ini tidak boleh terjadi!” Ambigu bangkit dalam tubuh yang sangat lemas. Mengingat sebelum tapa Brata dirinya puasa mutih selama tujuh hari tujuh malam dan sampai detik ini belum berbuka puasa sama sekali.

Setelah ini seharusnya dia boleh makan dan minum. Tetapi apa yang bisa dimakannya di hutan belantara seperti ini? Ambigu memegangi kepalanya yang bertambah berat.

“Kuat, harus kuat! Ucapnya menyemangati dirinya sendiri.” Ambigu merangkak berniat hendak mencari sumber air terdekat, setelah itu akan mencari anggota tapa brata lainnya yang menyebar seluruh hutan.

Ketika tubuh itu beringsut, tepat di depannya ada sebuah benda yang bersinar berkilau-kilau ditempa sinar mentari. Tangan Ambigu gsmetar mulai terulur mengambilnya.

Sebuah keris.

Iya sebuah keris berwarna coklat keemasan dengan gagang berwujud naga.

“Astaga?! Apa maksud semua ini?” gumam Ambigu tidak mengerti.

*BERSAMBUNG*

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status