PART_3 DEWI SUARA
“Astaga?! Apa maksud semua ini?” gadis kecil itu bingung, tangannya gemetar memegang benda tersebut. Tanpa berpikir panjang Ambigu menyimpannya dalam tas kain yang ia bawa dari rumah. Barangkali saja nanti dia membutuhkan benda itu.
Ambigu mencoba berdiri, dengan jalan terhuyung-huyung menuju sungai di tepi hutan itu. Kering sekali tenggorokannya, dahaga sudah melanda. Anak itu butuh minum, bukan itu saja dirinya pun sudah mulai kelaparan.
Beberapa kali terjatuh tersandung belukar, Ambigu tetap bangkit. Hingga akhirnya gemericik suara aliran sungai terdengar. Ambigupun lega.
Bocah kecil itu segera meminum air dengan kedua tangannya kecilnya sepuas-puasnya, tak lupa membasuh wajahnya yang terlihat kuyu dan pucat. Ambigu duduk di tepi sungai dalam keadaan yang lebih segar. Kakinya bermain-main dengan air sungai tersebut.
Sungai itu airnya begitu bening dan batu-batu di dalamnya terlihat. Tampak burung-burung berkicau bersahutan seolah menyambut kedatangan Ambigu.
Namun keindahan suasana alam itu tampaknya harus rusak, dengan munculnya seseorang dari arah belakang.
“Hei. Bocah!! Mau cari muka atau mau apa kamu? Hah!!” hardik Wagu memancing emosi Ambigu.Tangan kokohnya mendorong Ambigu, hingga tubuh kecil itu kecebur ke dalam sungai. Untung saja sungai itu tidak dalam. Hanya menenggelamkan kaki Ambigu sampai lutut.
Ambigu kaget seketika mendongak dan menghapus cipratan air di muka polosnya, memperhatikan laki-laki yang mungkin seumuran ayahnya jika masih hidup, “Maksud paman apa?” tanya Ambigu sama sekali tidak mengerti dengan perlakuan kasar Wagu.
“Kamu itu masih kecil, masih bau bawang! Jangan cari mati ikut-ikutan semedi. Lebih baik pulang sana menyusu lagi sama ibumu!!” seru laki-laki itu.
“Paman mau menghinaku?! Atau paman sudah pikun? Bukankah ibuku sudah meninggal? Bagaimana aku bisa menyusu?!” Mata ambigu membulat sempurna menatap tajam pria itu, ekspresinya menahan marah begitu kentara.
“Itu semua benar, Aku akan segera membuatmu menyusu di neraka, menyusul Jadmini wanita tidak berguna itu!" Wagu tersenyum menghina.
“Astaga!! Paman Wagu. Jangan sekali-kali menghina ibuku! Memang benar mulut itu jauh dari pantat. Kalau ngomong di jaga dong! Jangan asal ngejeplak saja!” tangan gadis kecil itu mengepal menahan emosi.
“Jangan belagu banyak cakap! Kamu sama saja dengan Kakekmu! Miskin tapi sombong!”
“Ada apa lagi dengan kakekku? Kenapa kau membawa-bawa namanya?” tanya Ambigu heran
“AH ... Sudahlah. Kalian itu kalau takdirnya miskin ya miskin saja. Nggak usah ikut-ikutan! Mending pergi ke depan kerajaan bawa gayung, siapa tahu ada yang berbelas kasihan memberimu koin,” ucap wagu sarkas.
“Suruh ngemis gitu maksud, Paman? Astaga! Ingat Paman. Keluargaku tidak serendah itu! Kami memang miskin tapi masih punya harga diri!!” Ambigu membenarkan tas Selempang berbahan goni itu yang kini sudah basah, jari kecilnya menyentuh benda keras di dalamnya. Ingin rasanya menggunakan benda itu untuk merobek mulut Sasongko. Tapi bukankah dirinya masih terlalu kecil untuk itu. Bagaimana jika dia kalah? Atau serbuk cabai perlu digunakan lagi?
Ambigu membatalkan niatnya.
Gadis bermanik hitam itu menghela nafas panjang, mengatur nafasnya supaya tidak marah. Mungkin saja orang di depannya ini adalah jelmaan makhluk astral yang sesungguhnya, dirinya kemudian bangkit karena rasa lapar mengingatkannya untuk segera pergi dari tempat itu.
Ambigu melewati jalan di depan Wagu tanpa permisi, dan mendorong tubuh laki-laki itu, hingga Wagu terpeleset dan jatuh.
“Mau ke mana kau, bocah! Dasar tidak tahu sopan santun!” Wagu memegangi pinggangnya yang terasa nyeri. Penyakit encoknya kumat seketika.
Ambigu tetap saja pergi, ilmu pengendalian diri yang di ajarkan kakeknya harus dia terapkan demi mimpi besarnya. Setelah dirasa jauh dari Wagu. Langkah tertatih Itu mencari apa pun di sekitarnya yang bisa di makan, sekedar mengganjal perut yang berbunyi semakin nyaring.
Apalagi yang bisa dia makan di hutan itu selain buah.
Maniknya bersinar ketika mendapati pohon apel dengan buah yang sangat banyak. Ambigu seperti kesetanan memakannya dengan rakus. Setelah kenyang tiba-tiba rasa kantuk datang melanda dan dirinya tertidur di bawah pohon itu.
Ambigu melihat sinar keemasan yang benar-benar bersinar. Sinar itu benar-benar berjalan dan terus berjalan. Ambigu mengikutinya hingga tanpa sadar berdiri di tepi jurang.
“AWAS!!”
Selangkah lagi Ambigu berjalan maka tubuhnya akan jatuh ke dasar jurang yang teramat curam.
Ambigu berhenti memandangi sekitar, sinar itu kemudian naik semakin tinggi dan semakin tinggi, membuat Ambigu mendongak semakin ke atas.
“Ambiguuu ... Guuuuu ... Guuuuu ....” suara itu menggaung begitu merdu menelisik telinga Ambigu.
Bibir Ambigu begitu kelu tanpa bisa berucap, dirinya begitu terbuai dengan suara itu.
Hingga dirinya merasa melayang dan terjatuh di dasar jurang itu.
“TIDAAAAAAAK .... !!!” teriaknya sekuat tenaga, kemudian mata itu terbuka sempurna. “Astaga hanya mimpi!” Ambigu mengusap keringatnya.
Mimpi itu seperti nyata menyisakan degup jantung yang bertalu-talu.
Apa benar itu Dewi suara seperti cerita yang pernah dia dengar dari kakeknya. Kakeknya pernah bilang siapa pun yang beruntung mendengarkan suara sang Dewi kelak hidupnya akan beruntung dan mewarisi kekuatan suaranya. Karena tidak sembarang Sang Dewi mengijinkan orang mendengar suaranya. Kecuali seorang yang suci dan mata batinnya sedikit terbuka. Hanya saja jika kelak menyalah gunakan kekuatan itu akan menjadi petaka bagi dirinya sendiri, ketika sang Dewi sudah murka.
Hutan ini cukup Rapat dengan pepohonan tinggi, Ambigu hampir tidak bisa mengira-ira jam berapa saat ini. Akhirnya dia bertekad menemu Kyai Nur BEI sebagai pemimpin rombongan tapa Brata.
Sulit sekali mencari jalan keluar, Ambigu hanya mengikuti bekas semak yang terinjak sebagai petunjuk jalan. Sampailah kaki kecil itu di pinggir hutan.
Ternyata rombongan sudah berkumpul, mungkin dirinya adalah peserta terakhir. Terlambat sedikit mungkin mereka sudah bubar. Pun tidak ada yang peduli dia ada atau mati di tengah hutan. Ambigu hanyalah gadis kecil dari kaum jelata yang tidak di perhitungkan.
Ambigu berdiri di barisan paling belakang, bahkan tubuh kecilnya tidak bisa melihat keberadaan kyai Nur BEI karena tertutup tubuh tegap para pria dewasa lainnya.
“Kalian boleh pulang, beristirahatlah! Besok pagi berkumpul kembali siapkan peralatan kita mulai proses babat alas,” ucap kyai Nur Bei membubarkan barisan.
BERSAMBUNG
Lestari menyambut kedatangan, Ambigu. Wanita tua berkulit kusam keriput, dengan rambut putih digelung itu tampak begitu khawatir, melihat tubuh lusuh cucunya. Bahkan semalam dia tidak bisa tidur hanya karena memikirkan Ambigu. Perasaan takut dan khawatir jika saja cucunya mati di terkam binatang buas dalam tapa bratanya, atau malah tersesat di dunia astral tanpa bisa kembali. Sekarang sudah lega, cucunya pulang dengan selamat. Lestari memeluk gadis kecil itu erat sekali, kemudian, membimbingnya duduk di balai-balai depan rumah tepatnya di bawah pohon belimbing. Tangannya mengusap pucuk kepala Ambigu penuh sayang. “Syukurlah, Mbi. Akhirnya kamu pulang,” ucap bibir hitam itu bergetar dengan mata berkaca-kaca menahan haru. “Jangan menangis, Nek! Mbigu baik-baik saja, hanya sedikit lapar. Perut Mbigu perih, Nek.” Ucap gadis itu sambil memegangi perutnya yang sudah sangat lapar. Keringat dingin mulai berdatangan dan tubuhnya gemetar. Lestari
PART_5 BABAT ALAS“Apa ini? Jangan bercanda Wagu, dia itu hanya anak-anak, lagi pula seorang perempuan, bisa apa dia?”“Tentu saja bisa nangis.”“Siapa dia?”“Dewi Ambigu, cucu Kakek Wasis!”“Iya, dia satu-satunya peserta perempuan!”“Jangan-jangan hanya cari mati dia!”“Benar menyusul kakeknya secepatnya!”“Astaga!! Apa yang ada di otaknya selama ini?”Suara-suara rombongan begitu random saling bersahutan meremehkan Ambigu. Wagu tersenyum puas dan mengejek. Pada akhirnya dirinya berhasil mempermalukan gadis itu.Sementara Ambigu sendiri dalam keadaan malu, semalu-malunya. Bagaimana tidak? Bisa apa dia menghadapi cercaan para pria dewasa itu. Tubuh kecilnya bangkit dalam keadaan sempoyongan, tubuhnya gemetar jantungnya Berdegup kencang.Tampak Kyai Nur Bei mendekati Ambigu, dan menolongnya berdiri.
PART_6 KYAI LANDEP"Nenek aku pulang! Nenek aku pulang," teriak Ambigu begitu riang. Sudah pasti dia bangga dengan pencapain hari ini. Ambigu menyusul nenek yang tengah berkutat di depan tungku kayu."UHUK ... UHUK ... " asap di dapur menguar di udara begitu menciptakan kabut kabut kecil di tungku itu. Rupanya kayu bakar Lestari basah jadi sejak tadi dirinya tidak berhasil menciptakan api."Astaga, Nek! Asapa apa ini? Apa Nenek membakar gubug kita?" Ambigu menutup mulut dan hidungnya dengan tangan."UHUK ... UHUK ... Kayu bakarnya basah semua Mbi, semalam nenek lupa tidak menyimpannya di dalam. Astaga!! Kamu sudah pulang tapi nenek belum punya nasi? Bagaimana ini apa kau lapar?" Lestari menatap cucunya begitu kawatir."Sudahlah nek lupakan saja, nanti kita bisa beli makanan banyak!! Lihatlah koin emas yang aku bawa!!" ucap Ambigu riang.Lestari mengeluarkan kayu itu dari tungkunya dan membawanya keluar. Dirinya membatalkan memasak. Asap suda
"Keris ini? Kenapa ada di sini?" gumam Ambigu bingung. Mata gadis itu menyipit melihat keris yang begitu kotor. Dalam hatinya bertanya bagaimana keris ini tiba-tiba tergeletak di atas balai-balai tempat tidurnya? Dirinya juga heran kenapa keris ini nggak ada warangkanya. Apa mungkin setelah keris itu membabat habis seluruh pohon di hutan itu kemudian dia terpisah dengan warangkanya? “Mbigu, kenapa kau bangun? Apa kau lapar Nak?” tanya Lestari kawatir. Wanita tua itu bangkit dari tidur kemudian membenarkan gelungan rambutnya. Lestari tidur di balai-balai sebelah Dewi Ambigu, ya gubuk itu tidak memiliki sekat. Di dalam gubuk itu ada dua balai-balai yang berjajar, kemudian satu buah meja kayu tempat menaruh makanan dan dapur mereka juga menjadi satu. Jadilah ruangan itu ruang serbaguna. Lestari mendekati cucunya yang mematung disinari cahaya yang sangat minim. Penerangan gubuk itu hanya menggunakan lampu minyak sebagai penerangan. “Ada apa, apa yang kau
Ambigu ketakutan dan memegang kembang setaman terbungkus daun pisang itu dengan erat. Tubuh gadis itu semakin bergetar karena kerumunan semakin banyak. Bahkan keringat dingin mengucur di seluruh tubuhnya. “Kita hancurkan saja gubuknya,” suara itu keras dan sangat dominan. Ambigu begitu hafal jika itu suara Wagu. Seorang nenek tampak tergopoh-gopoh menyibak kerumunan itu, dirinya baru saja pulang dari pasar menjual sayuran. ‘Ada apa ini?’ Pikirannya tidak enak takut jika dikerumunan itu ada cucunya. Benar saja dirinya melihat Ambigu ketakutan. Lestari segera maju ke depan memasang badan untuk melindungi cucunya. Tubuh bungkuk itu merengkuh Ambigu dalam pelukannya. “Apa yang dilakukan cucuku sehingga kalian berkerumun?” tanya Lestari dengan nada bergetar. Dalam hati takut jika saja cucunya berbuat kesalahan. “Ambigu tidak melakukan apa pun, nek!” ucap Ambigu membela diri. Wagu maju dari barisan itu dan mendekati Ambigu dan Lestari, “Jang
Setelah selesai makan Ambigu menyiapkan baskom sesuai perintah sang nenek. Mengingat pinggang sang nenek sedang sakit Ambigu harus melakukan semuanya sendiri. Baskom itu diisi air kemudian diisi kembang setaman. Selain itu Ambigu juga menyiapkan perasan jeruk limau dicampur dengan warang yang akan digunakan mengolesi keris itu sesudah dimandikan. “Sudah siap nek,” seru Ambigu riang gadis itu bertepuk tangan kegirangan. Mata beningnya berbinar demi menatap hasil pekerjaannya. “Cucu nenek, memang pintar,” lontar Lestari tersenyum sambil mengacungkan jempol tangannya. “sekarang segera di ambil kerisnya kemudian di cuci,” ujarnya kemudian. “Siap laksanakan nenekku sayang,” Ambigu segera mengambil Keris Kyai Landep yang ia temukan sewaktu tapa Brata itu. Kemudian dengan teliti memandikannya. “Kumandiin yang bersih ya, kek. Janji jangan marah-marah lagi,” ucap gadis kecil itu tanpa berpikir macam-macam. Intinya dia harus membuat keris itu bersih. Se
“Astaga Mas! Mengapa kamu bawa gembel ini ke sini?” tanya Wigati sambil mengibas-ibaskan tangannya. Sepertinya wanita itu terlalu jijik melihat Ambigu berada di rumahnya.Namanya Wigati Suparmini dia adalah istri dari Wagu.Setelah dicampakkan Jadmini. Tentu saja jiwa laki-laki Wagu meronta. Demi membuktikan bahwa dia bisa bangkit dari kisah cintanya bersama Jadmini. Satu-satunya cara, dia harus menikahi gadis lain.Wigati menjadi wanita pilihannya, meskipun cinta tidak tumbuh sedikit pun. Wagu tetap melepas masa lajangnya dan menikahi Wigati, dengan begitu dia bisa mengangkat kepala di depan orang-orang yang berhasil mempermalukannya.Wigati Suparmini seorang putri dari tuan tanah di wilayah Burgundi. Tentu saja dia tidak menutup mata dan telinga dengan kisah cinta tragis suaminya di masa lalu. Terlihat dia hanya di gunakan sebagai tumbal dalam masalah ini. Hanya sebagai topeng demi menutupi rasa sakit hati Wagu.Namun dia tidak menjal
Ambigu berlari sekuat tenaga dengan nafas memburu meninggalkan kediaman Wagu. Entah dibawa ke mana tubuh kecil itu dia tidak tahu lagi. Intinya pergi sejauh-jauhnya sehingga Wagu tidak menemukannya.Hati bocah itu teramat takut, bukan takut pada malam, bukan takut pada gelap, hanya saja dia takut Wagu menyadari kepergiannya dan mengejar. Jika sampai tertangkap tentu saja kali ini tamatlah riwayatnya. Laki-laki kejam itu pasti akan mengantar nyawanya menyusul kedua orang tuanya.Sesekali Ambigu tersandung dan jatuh, tapi dia tetap kembali berdiri dan terus berlari.Hingga, Kaki bocah itu berasa letih, degup jantungnya masih saja memburu. Ambigu menghentikan langkahnya. Gadis itu mengusap dadanya berulang kali bersama nafas yang terengah-engah.Kemudian dia mencari tempat untuk beristirahat. Bahkan dirinya baru menyadari jika tubuh itu sudah berada di tepi hutan Liliwung.Ambigu duduk menyandarkan diri di sebuah pohon besar.“Makanlah in