PART_6 KYAI LANDEP
"Nenek aku pulang! Nenek aku pulang," teriak Ambigu begitu riang. Sudah pasti dia bangga dengan pencapain hari ini. Ambigu menyusul nenek yang tengah berkutat di depan tungku kayu.
"UHUK ... UHUK ... " asap di dapur menguar di udara begitu menciptakan kabut kabut kecil di tungku itu. Rupanya kayu bakar Lestari basah jadi sejak tadi dirinya tidak berhasil menciptakan api.
"Astaga, Nek! Asapa apa ini? Apa Nenek membakar gubug kita?" Ambigu menutup mulut dan hidungnya dengan tangan.
"UHUK ... UHUK ... Kayu bakarnya basah semua Mbi, semalam nenek lupa tidak menyimpannya di dalam. Astaga!! Kamu sudah pulang tapi nenek belum punya nasi? Bagaimana ini apa kau lapar?" Lestari menatap cucunya begitu kawatir.
"Sudahlah nek lupakan saja, nanti kita bisa beli makanan banyak!! Lihatlah koin emas yang aku bawa!!" ucap Ambigu riang.
Lestari mengeluarkan kayu itu dari tungkunya dan membawanya keluar. Dirinya membatalkan memasak. Asap sudah mulai berkurang. kemudian tubuh renta itu menghampiri cucunya.
"Sini, nenek mau bicara," ujarnya membimbing Lestari duduk di balai-balai itu. Lestari sangat cemas dengan sikap cucunya sore ini. Tadi pagi lestari sengaja menyembunyikan semua senjata tajam baik, golok, kapak, dan lainnya. Berharap Ambigu mengurungkan niatnya untuk pergi ke hutan tapi apa yang terjadi dengan Ambigu? Bahkan dari pagi bocah itu sudah pergi dan pulang-pulang bawa koin emas. "Dari mana kamu dapat koin itu, Mbi? Apa kamu mencuri? Astaga Mbi, nenek tidak pernah mengajarimu mencuri! Kita memang miskin dan hanya perlu sabar!"
"Nenek itu bicara apa?" jawab Ambigu tidak terima. "Mbigu tadi ke hutan ikut rombongan Kyai Nur Bei, dan lihatlah nek 100 koin emas ini berhasil Mbigu dapatkan, bukan itu saja! Besok punggawa istana akan mengirimkan seratus domba untuk kita! Kita harus siapkan kandang kalau begitu Nek!"
"Jangan ngelantur kamu! Hidup itu tidak seindah mimpimu, cepat mandi sana! Badanmu asem banget!"
Kemudian Ambigu menceritakan peristiwa di hutan tadi, tentang perlakuan Wagu dan tentang keajaiban keris yang ia temukan, meskipun sampai sekarang keris itu lenyap. Tapi setidaknya Ambigu terselamatkan berkat keris itu. Suatu hari Mbigu akan mencari kakek itu dan meminta maaf karena kerisnya hilang.
Lestari terhenyak, kaget bukan kepalang demi mendengar penuturan Ambigu. Bocah keras kepala itu memberinya kejutan luar biasa.
"Astaga Mbigu!! Kalau seratus kambing mau di taruh dimana!! Besok pagi-pagi antar Nenek ke istana, kita minta 5 kambing saja. Kamu tahu nenek sudah tidak kuat mencari rumput banyak-banyak."
"Terserah nenek saja deh! Ini koinnya nenek simpan. Mbigu Ambil satu buat beli makan malam kita nek, Mbigu mau mandi dulu," ucap Mbigu berlalu.
Nasi opor bebek ini masakan paling istimewa yang ambigu makan selama sepuluh tahun hidup. Biasanya hanya rebusan daun singgkong dan ikan asin bakar. Bocah itu begitu lahap.
"Nenek jangan kawatir, setelah ini kita akan. Makan enak terus."
"Iya kamu istirahat setelah ini, jangan lupa cuci tangan."
Lestari menggeleng melihat tinggah cucunya. Benar sekali dirinya tidak pernah memberi kehidupan yang layak buat Ambigu. Selama ini hanya mengandalkan menjual sayur dari kebunnya di belakang rumah untuk di tukar dengan beras dan ikan asin. Kasihan di masa pertumbuhannya justru Ambigu hidup dalam kekurangan.
Sementara Ambigu segera merebahkan tubuhnya, sangat letih yang dirasaknya. Tubuh kecil itu meringkuk.
Tiba-tiba saja Ambigu melihat asap tebal yang masuk dari sela-sela celah rumahnya. Rumah ambigu berdinding anyaman bambu, sehingga asap itu begitu banyak menyerbu rumahnya masuk.
Kemudian asap itu berkumpul menjadi satu dan menampakkan wujud kakek tua bersurban putih.
"Ambigu ..., Kenapa kau menyuruh kakek bekerja seberat itu? Lihatlah sekarang tubuh kakek pegal semua!" ucapnya.
"Maksud kakek apa? Dan siapa nama kakek?"
"Aku kyai Landep. Kamu memanggilku untuk menebang seluruh pohon itu. Astaga Ambigu kenapa kau tega sekali, lihat lah aku sekarang badanku terasa sakit semua! Tulang ini terasa remuk!" Keluh kakek itu.
"Maafkan Mbigu, kek. Mbigu tidak tahu! Lalu kakek mau Mbigu pijitin?" tanya Mbigu.
"Tanganmu tidak cukup kuat untuk memijitku, aku ingin mandi biar badanku sehari, mandiin aku pake kembang tujuh rupa!"
"Astaga!! Jadi kakek ini hantu? Dari mana Mbigu dapat kembang tujuh rupa kek? Bukannya perjanjian kemarin kakek nggak minta apa-apa dan tidak akan mengganggu hidupku?"
"Bukan begitu Mbi? Kakek benar-benar lelah. Kakek capek, kalau tidak minta tolong sama kamu kakek minta tolong siapa coba?"
"Tapi badan kakek besar, Mbigu tidak mau memandikannya. Kenapa kakek tidak mandi sendiri, dan mencari kembang tujuh rupa itu sendiri. Ini merepotkan kek, ah Mbigu nggak mau! Siapa suruh ikut Mbigu!"
"Bukankah kamu sudah bertapa dan minta ijin memakai hutan Pilaler? Apa kau lupa? Dari semua orang yang bertapa aku hanya memilihmu, turuti kakek atau kakek akan marah!!'
"Iya kek! Jangan marah! Mbigu turuti," gumpalan asap itu kembali bergulung gulung berputar mengelilingi seluruh sudut rumah kemudian menghilang.
"KAKEK KAKEK ... jangan pergi!! Mbigu mau kek, jangan marah, kek ... Maafkan Mbigu??"
Brukkkk!!!!
Mbigu terjatuh dari balai-balai itu.
"Astaga aku hanya bermimpi," ucap Ambigu bangkit dan hendak melanjutkan tidurnya. Tapi niat itu tertunda ketika maniknya menatap benda berkilau di atas di sisi sebelah kanan balai-balai itu.
"Keris ini? Kenapa ada di sini?" gumam Ambigu.
***
BERSAMBUNG
"Keris ini? Kenapa ada di sini?" gumam Ambigu bingung. Mata gadis itu menyipit melihat keris yang begitu kotor. Dalam hatinya bertanya bagaimana keris ini tiba-tiba tergeletak di atas balai-balai tempat tidurnya? Dirinya juga heran kenapa keris ini nggak ada warangkanya. Apa mungkin setelah keris itu membabat habis seluruh pohon di hutan itu kemudian dia terpisah dengan warangkanya? “Mbigu, kenapa kau bangun? Apa kau lapar Nak?” tanya Lestari kawatir. Wanita tua itu bangkit dari tidur kemudian membenarkan gelungan rambutnya. Lestari tidur di balai-balai sebelah Dewi Ambigu, ya gubuk itu tidak memiliki sekat. Di dalam gubuk itu ada dua balai-balai yang berjajar, kemudian satu buah meja kayu tempat menaruh makanan dan dapur mereka juga menjadi satu. Jadilah ruangan itu ruang serbaguna. Lestari mendekati cucunya yang mematung disinari cahaya yang sangat minim. Penerangan gubuk itu hanya menggunakan lampu minyak sebagai penerangan. “Ada apa, apa yang kau
Ambigu ketakutan dan memegang kembang setaman terbungkus daun pisang itu dengan erat. Tubuh gadis itu semakin bergetar karena kerumunan semakin banyak. Bahkan keringat dingin mengucur di seluruh tubuhnya. “Kita hancurkan saja gubuknya,” suara itu keras dan sangat dominan. Ambigu begitu hafal jika itu suara Wagu. Seorang nenek tampak tergopoh-gopoh menyibak kerumunan itu, dirinya baru saja pulang dari pasar menjual sayuran. ‘Ada apa ini?’ Pikirannya tidak enak takut jika dikerumunan itu ada cucunya. Benar saja dirinya melihat Ambigu ketakutan. Lestari segera maju ke depan memasang badan untuk melindungi cucunya. Tubuh bungkuk itu merengkuh Ambigu dalam pelukannya. “Apa yang dilakukan cucuku sehingga kalian berkerumun?” tanya Lestari dengan nada bergetar. Dalam hati takut jika saja cucunya berbuat kesalahan. “Ambigu tidak melakukan apa pun, nek!” ucap Ambigu membela diri. Wagu maju dari barisan itu dan mendekati Ambigu dan Lestari, “Jang
Setelah selesai makan Ambigu menyiapkan baskom sesuai perintah sang nenek. Mengingat pinggang sang nenek sedang sakit Ambigu harus melakukan semuanya sendiri. Baskom itu diisi air kemudian diisi kembang setaman. Selain itu Ambigu juga menyiapkan perasan jeruk limau dicampur dengan warang yang akan digunakan mengolesi keris itu sesudah dimandikan. “Sudah siap nek,” seru Ambigu riang gadis itu bertepuk tangan kegirangan. Mata beningnya berbinar demi menatap hasil pekerjaannya. “Cucu nenek, memang pintar,” lontar Lestari tersenyum sambil mengacungkan jempol tangannya. “sekarang segera di ambil kerisnya kemudian di cuci,” ujarnya kemudian. “Siap laksanakan nenekku sayang,” Ambigu segera mengambil Keris Kyai Landep yang ia temukan sewaktu tapa Brata itu. Kemudian dengan teliti memandikannya. “Kumandiin yang bersih ya, kek. Janji jangan marah-marah lagi,” ucap gadis kecil itu tanpa berpikir macam-macam. Intinya dia harus membuat keris itu bersih. Se
“Astaga Mas! Mengapa kamu bawa gembel ini ke sini?” tanya Wigati sambil mengibas-ibaskan tangannya. Sepertinya wanita itu terlalu jijik melihat Ambigu berada di rumahnya.Namanya Wigati Suparmini dia adalah istri dari Wagu.Setelah dicampakkan Jadmini. Tentu saja jiwa laki-laki Wagu meronta. Demi membuktikan bahwa dia bisa bangkit dari kisah cintanya bersama Jadmini. Satu-satunya cara, dia harus menikahi gadis lain.Wigati menjadi wanita pilihannya, meskipun cinta tidak tumbuh sedikit pun. Wagu tetap melepas masa lajangnya dan menikahi Wigati, dengan begitu dia bisa mengangkat kepala di depan orang-orang yang berhasil mempermalukannya.Wigati Suparmini seorang putri dari tuan tanah di wilayah Burgundi. Tentu saja dia tidak menutup mata dan telinga dengan kisah cinta tragis suaminya di masa lalu. Terlihat dia hanya di gunakan sebagai tumbal dalam masalah ini. Hanya sebagai topeng demi menutupi rasa sakit hati Wagu.Namun dia tidak menjal
Ambigu berlari sekuat tenaga dengan nafas memburu meninggalkan kediaman Wagu. Entah dibawa ke mana tubuh kecil itu dia tidak tahu lagi. Intinya pergi sejauh-jauhnya sehingga Wagu tidak menemukannya.Hati bocah itu teramat takut, bukan takut pada malam, bukan takut pada gelap, hanya saja dia takut Wagu menyadari kepergiannya dan mengejar. Jika sampai tertangkap tentu saja kali ini tamatlah riwayatnya. Laki-laki kejam itu pasti akan mengantar nyawanya menyusul kedua orang tuanya.Sesekali Ambigu tersandung dan jatuh, tapi dia tetap kembali berdiri dan terus berlari.Hingga, Kaki bocah itu berasa letih, degup jantungnya masih saja memburu. Ambigu menghentikan langkahnya. Gadis itu mengusap dadanya berulang kali bersama nafas yang terengah-engah.Kemudian dia mencari tempat untuk beristirahat. Bahkan dirinya baru menyadari jika tubuh itu sudah berada di tepi hutan Liliwung.Ambigu duduk menyandarkan diri di sebuah pohon besar.“Makanlah in
Kedatangan Ambigu dan Lestari, disambut punggawa istana dengan baik. Mereka juga menerima alasan Lestari menolak Hadiah dimba sebanyak itu. Jadi lestari hanya minta sepuluh ekor domba saja. Sisanya Lestari meminta pihak istana untuk merenovasi gubugnya dan membuatkan kandang untuk ke sepuluh kambing itu. Mengingat jasa Ambigu begitu besar dalam babat alas Liliwung akhirnya pihak kerajaan mengabulkan permintaan lestari. Renovasi gubug dan membuat kandang itu permintaan yang sederhana."Nek, Lihatlah domba milik Ambigu, begitu sehat. Ambigu akan semangat mencari rumput untuk mereka. Mereka akan gemuk-gemuk, Nek!" ucap Ambigu penuh semangat. Lestari tersenyum memandang tingkah polos cucunya. Memandang senyum yang terbit dibibir kecil itu. "Gedung Biru, sudah mukai dibangun, Mbi! Apa kamu tidak ingin melihatnya?" tanya Lestari mengingatkan cucu kecilnya itu tentang mimpi yang lain. Iya. Ambigu mempunyai mimpi besar untuk dapat b
"Kamu lagi, kamu lagi! Tidak ada bosannya menggangguku, Paman!" ucap Ambigu dengan mata melotot sempurna menatap pria dewasa di depannya."Ha ... Ha ... Berani melototi orang tua, mau bola matamu itu aku congkel dan dijadikan cendol?!" gertak Wagu dengan balas menatap ambigu dengan galak. "Lagipula bocah gembel miskin, dekil, kusem, kayak kamu ngapain datang ke sini. Mau cari muka mentang-mentang bisa membabat hutan liliwung?" sentak pria itu."Biar saja aku gembel setidaknya pemberani. Tidak seperti paman ini beraninya nantangin anak kecil. Lihat saja jika gedung itu sudah berdiri dan Ambigu bekerja di sana, Paman! Aku akan menyaingi paman dalam segala rupa! Jadi jangan merasa sombong lantaran menjadi warga terkaya di kampung ini. Ingat! Harta tidak di bawa mati!" "Ingat ucapanku baik-baik! Meskipun gedung itu sudah berdiri dengan megahnya. Aku pastikan kakimu tidak akan berhasil masuk ke dalam sana.""Memangnya paman ini siapa sok berkuasa?" sinis Ambigu."Aku adalah mimpi burukmu
Tangan kecil Wagu mengambil potongan singkong rebus yang sudah tersaji di depannya. Singkong itu masih sedikit panas sehingga dirinya perlu meniupnya terlebih dahulu sebelum memasukannya ke dalam mulut. Rasanya tawar berbeda dengan singkong rebus bikinan neneknya. Ambigu lebih suka singkong bikinan lestari karena sewaktu merebus ditambahkan garam dan daun salam, agar ada rasa dan beraroma wangi. Terkadang juga Ambigu memakannya dengan ikan asin. Ya apa pun itu pemberian mereka meskipun rasanya berbeda Ambigu tetap saja mengunyahnya. Satu potong singkong berhasil masih perut dalam beberapa kali gigitan. Ambigu kemudian menuang air dalam kendi ke dalam gelas yang ada di sana. Segar tenggorokannya dan terasa kenyang perutnya. "Jadi Paman mau minta tolong apa?" tanya Ambigu pada Guntur yang masih duduk di depannya. Mendengar pertanyaan Ambigu pria itu meletakkan rokoknya ke dalam asbak. "Jadi Paman mau minta tolong. Apa kamu sanggup?" tanya Guntur kemudian. "Katakan saja, Pamam! Jik