Share

2. Dua

KEJUTAN UNTUK SUAMIKU 2

Usai menaruh koper berisi pakaian Mas Rey di luar, aku masuk dan berdiri di belakang pintu. Tubuhku lemas hingga jatuh merosot. Tanpa sadar wajahku sudah basah oleh air mata. Aku menangis, tidak kusangka kata-kata manis yang keluar dari mulut suamiku waktu itu hanya palsu.

"Sayang, apapun yang terjadi aku tidak akan pernah meninggalkanmu," ucap Mas Rey waktu itu.

"Aku tidak pernah mempermasalahkan kamu yang tidak punya anak." Mas Rey mengusap pundakku dengan lembut kemudian tangannya terulur dan mengusap air mataku.

Aku adalah wanita paling beruntung di dunia, punya kekurangan, tetapi dipertemukan dengan lelaki berhati malaikat seperti Mas Rey yang mungkin hanya ada seribu banding satu di dunia ini.

"Bersabarlah, jika Allah berkehendak, kita pasti akan memiliki keturunan." Mas Rey tersenyum untuk menghibur hatiku yang gundah.

"Sekarang kita fokus saja untuk menyembuhkan penyakitmu dulu, setelah itu kita baru program kehamilan," ucap Mas Rey lagi. Aku hanya diam karena terharu. 

"Aku tidak akan pernah membiarkan kamu menangis, Sayang." Senyumannya semakin terlihat manis.

"Bersandarlah di pundakku agar kamu tenang." Lelaki bertubuh tegap itu meraih tubuhku dan aku menjatuhkan kepalaku di pundaknya.

"Tetaplah di sisiku sampai tua nanti." Mas Rey menggusuk punggungku dengan lembut.

"Aku bahagia menjadi istrimu, Mas." Aku berbisik lirih.

"Lebih baik kita mengadopsi anak dan kita akan membesarkannya bersama-sama dengan penuh kasih sayang," ucap Mas Rey mantap.

Kata-kata Mas Rey terngiang di telingaku. Mungkin ia sudah lupa dengan ucapannya waktu itu sehingga dengan mudah berpaling ke wanita lain. Aku memang tegar, tetapi tidak bisa dipungkiri, aku hanya wanita biasa yang memiliki rasa sakit. 

Ponselku di atas meja berdering disertai getar sehingga benda pipih yang canggih itu bergerak. Aku beranjak dari duduk dan mengambil benda itu, nama Mas Rey terpampang di layar, ia melakukan panggilan.

Kuusap air mata dan mencoba mengatur suara agar tidak kelihatan kalau aku baru saja menangis karena Mas Rey melakukan video call.

"Halo, Sayang." Mas Rey menyapa lembut dari seberang sana. Bisa-bisanya ia masih memanggiku sayang setelah berhasil membuatku menangis.

"Iya, ada apa, Mas?" Aku berusaha untuk menjawab sewajar mungkin. 

"Sayang, maaf, ya, Mas nanti pulangnya agak telat karena toko sedang rame," 

"Iya, Mas." 

Hatiku kembali merasa nyeri mendengar ucapan Mas Rey. Tak kusangka ia pandai bersilat lidah. Di depanku bersikap manis, tetapi di belakang berbuat jahat dengan menduakanku.

Aku tahu ia sedang berbohong, tetapi kubiarkan saja. Toh, aku sudah menyiapkan kejutan untuknya.

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh saat aku mendengar suara deru mobil milik Mas Rey. Biasanya aku akan berlari untuk membukakan pintu baginya dan menyiapkan senyum terbaikku untuk menyambutnya, tetapi kali ini tidak.

Mas Rey mengetuk pintu berkali-kali dan berteriak memanggilku, bahkan mengetuk jendela. Tidak hanya sampai di situ, ia bahkan berjalan ke arah samping untuk mengetuk jendela kamar.

"Sayang, kamu ada di rumah, kan? Kenapa tidak dibuka pintunya dan tidak menyambutku seperti biasa?" tanya Mas Rey sambil mengetuk jendela kamar. Aku tahu ia kebingungan meskipun aku tidak melihat wajahnya karena terhalang gorden.

"Sayang, itu kenapa ada koper di depan pintu. Itu milik siapa?" Mas Rey kembali mengetuk jendela kamar.

Aku tidak peduli dan memilih mengambil headset untuk menyumpal telinga agar tidak mendengar suaranya lagi.

Entah jam berapa aku tertelap. Aku terbangun saat mendengar suara azan bersahut-sahutan dari masjid setempat. Gegas aku bangun untuk mengambil wudhu dan melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslimah.

"Mas Rey." Aku terkejut saat mendapati ia tidur di depan pintu.

"Dek Ulfa. Akhirnya kamu membukakan pintu juga. Kenapa tadi malam kamu tidak membuka pintu untukku?" Mas Rey meraih tanganku, tetapi dengan cepat aku menepisnya.

"Aku kira kamu sudah tahu jawabannya apa sehingga aku membiarkan kamu tidur di luar seperti ini." Aku membelakanginya dan tanganku bersedekap.

Mas Rey bengong, entah memang tidak tahu atau hanya pura-pura tidak mengerti.

"Jadi kamu tahu aku pulang dan kamu memang sengaja tidak membukakan pintu untukku? Salahku apa?" Mas Rey menahanku saat aku ingin masuk dan menutup pintu.

"Ini salahmu, Mas?" Aku menunjukkan foto dirinya yang tengah tersenyum di pelaminan dengan seorang wanita.

"Ini siapa?" Mas Rey terperangah.

"Kamu lupa dengan wajah sendiri, Mas? Sudah jelas kalau ini kamu." Aku mendekatkan foto itu ke wajahnya agar ia lebih jelas.

"Kamu dapat foto itu dari mana? Itu pasti editan. Zaman sekarang teknologi sudah canggih untuk mengedit foto agar terlihat asli." Mas Rey tetap tidak mau mengakui kesalahannya.

"Ibu bukan editan, Mas. Ini asli." Aku kesal karena Mas Rey masih mencoba untuk mengelak. Tahu begini aku langsung melabraknya kemarin sehingga tidak perlu ada drama seperti ini.

Kata orang, penyesalan itu selalu ada di belakang dan kini aku telah membuktikannya. Ya, aku menyesal kenapa kemarin tidak langsung melabrak saja.

"Kamu belum jawab pertanyaanku, Sayang. Kamu dapat foto itu dari mana? Jangan-jangan ada orang yang sengaja ingin menghancurkan rumah tangga kita yang harmonis dengan mengirimkan foto ini padamu. Dek, kamu harus tahu, kita ini memang pasangan yang membuat iri banyak orang karena kita pasangan yang serasi. Kamu cantik dan aku tampan. Tidak heran jika ada orang yang tidak bertanggung jawab mengirimkan foto palsu itu. Kira-kira siapa pelakunya? Aku merasa selama ini tidak pernah punya musuh? Apa jangan-jangan mantan pacar kamu?" Mas Rey mencerocos.

"Foto ini bukan dari siapa-siapa. Aku kemarin datang ke pernikahanmu ini dan aku sendiri yang mengambil gambarnya," ucapku dengan nada tinggi.

Aku berusaha terlihat tegar dan bersikap setenang mungkin meskipun dada ini bergemuruh hebat.

"Apa? Kemarin kamu datang ke pesta pernikahanku? Maksudku ke pesta orang ini? Dengan siapa kamu ke sana? Kemarin aku di toko dan tidak pergi ke mana pun," ucap Mas Rey gugup.

"Sekali berbohong akan terus berbohong, Mas," ucapku sinis.

Dadaku bergemuruh saat mengucapkan kalimat itu. Baru kali ini aku bersikap sinis pada lelaki yang sangat kucintai ini.

"Apa maksudmu?" tanya Mas Rey lirih.

Mas Rey tidak meninggikan suaranya, ia terlihat lunglai.

"Bukankah kemarin kamu izin tidak ke toko karena menjenguk ibu yang sakit dan kamu juga bilang mau menginap, tetapi sekarang kamu bilang di toko seharian. Mana yang benar?" tanyaku.

Emosiku mulai naik ke ubun-ubun mendengar jawaban Mas Rey yang berubah-ubah. Beginilah reaksi orang yang bersalah, plin-plan.

"Iya, maksudku sepulang dari toko langsung ke rumah Ibu dan hendak menginap, tatapi Ibu tidak mengizinkan karena Ibu kasihan sama kamu jika ditinggal sendiri." Mas Rey menggaruk kepalanya yang mungkin memang gatal.

"Terus saja berbohong, Mas. Aku tidak akan percaya dengan ucapanmu itu. Mulai detik ini aku mau minta kita pisah dan karena rumah beserta semua aset sudah menjadi atas namaku, maka aku mau kamu yang pergi dari sini," ucapku tegas.

Hatiku memang sakit, tetapi aku tidak mau terlihat lemah di mata lelaki yang pernah kucintai ini.

"Apa?" Mata Mas Rey melotot.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status