Share

3. Tiga

KEJUTAN UNTUK SUAMIKU 3

"Apa maksudmu bilang mau pisah sama aku? Katakan apa salahku?" Mas Rey berlutut di kakiku. Hampir saja aku meneteskan air mata melihat lelaki yang selama ini kucintai dan kubanggakan tega berbuat seperti itu.

"Ya Allah, Mas, masih saja bilang apa salahmu? Sudah jelas kamu mengkhianatiku dengan menikah diam-diam masih saja mempertanyakan di mana salahmu. Astagfirullah." Aku mengurut  dada perlahan.

Kupandangi Mas Rey yang masih bersimpuh di kakiku dengan air mata yang terus membasahi pipinya. Tangan yang hendak terulur untuk menyekanya, kuurungkan lagi.

"Itu bukan aku, Sayang. Mungkin saja hanya wajahnya yang mirip." Mas Rey tetap bersikukuh tidak mau mengakui foto yang ada di ponselku.

"Ya Allah, Mas. Tidak ada orang yang benar-benar mirip seratus persen. Orang kembar saja masih ada perbedaaannya. Apa lagi jelas-jelas ini nama kamu." Aku menunjuk foto sebuah karangan bunga yang bertuliskan Reyhan Pratama.

"Em." Mas Rey menggaruk kepalanya.

"Kamu tidak bisa mengelak lagi, kan kalau yang ada di pelaminan ini memang kamu, wahai Reyhan Pratama." Bibirku bergetar saat memanggi namanya. Ini untuk pertama kalinya aku memanggilnya tanpa embel-embel atau langsung menyebut nama saja.

Almarhumah ibuku selalu mengajarkan untuk menghormati siapapun. Salah satunya dengan tidak menyebut langsung pada orang. Apalagi saat aku berada di pesantren, terbiasa menyebut 'mbak' pada teman-teman. Di sana tidak ada yang langsung memanggil nama saja, pasti memanggilnya dengan sebutan mbak meskipun dengan adik kelas.

Sejak pertama kali bertemu dengan Mas Rey, aku langsung memanggilnya Mas, selain untuk menghormati juga karena usianya lebih tua dariku.

"I--iya. Aku mengaku memang itu aku." Lelaki yang menikahiku enam tahun lalu itu menunduk.

Ada rasa nyeri di hati ini saat akhirnya ia mengakui kalau itu memang dia. Bulir bening ini lolos tanpa permisi dari sudut mata ini. Aku sudah berusaha untuk tegar, tetapi aku hanya wanita biasa yang tidak mempunyai hati sekuat baja.

"Kenapa kamu tega, Mas? Apa kamu lupa dengan janjimu dulu?" ucapku lirih. Aku menjauhinya. Aku mendongak untuk menahan air mata ini agar tidak keluar terlalu banyak.

"Aku hanya menikah siri dengannya, Dek." Mata Mas Rey berkaca-kaca.

"Mau nikah siri atau resmi sama saja tetap menorehkan luka di hatiku. Sakit rasanya, Mas," ucapku lirih.

Aku mengurut dada untuk meredam rasa salit yang kian membuncah di hati ini. Sungguh, ini adalah rasa sakit yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.

"Aku hanya nikah siri karena tidak mau kehilangan kamu. Ini semua atas permintaan ibu dan demi kebaikan kita juga. Kebaikan kamu, Dek. Demi keutuhan rumah tangga kita." 

"Maksudmu apa bilang demi kita? Demi aku? Jelas-jelas aku tersakiti dengan pernikahanmu yang diam-diam itu." Aku mendongak dan menatap matanya yang sembab. 

"Aku mohon kamu mau menerima Anisa sebagai madumu. Aku pulang sebenarnya juga mau minta izin untuk membawanya ke sini untuk tinggal bersama. Semoga kalian bisa akur sebagai madu," ucap Mas Rey.

Permintaan macam apa ini? Mana ada seorang istri yang mau dimadu. Itu hanya ada dalam dongeng dan tidak akan pernah terjadi di dunia nyata.

"Anisa? Oh, jadi wanita itu bernama Anisa?" Aku manggut-manggut.

"Jadi kamu setuju menjadikan dia sebagai adik madumu? Aku janji akan berlaku adil pada kalian berdua." Mas Rey mengusap pundakku dengan lembut.

"Aku tidak pernah membayangkan akan memiliki madu, Mas. Aku tidak mau!" Aku melengos dan tidak sanggup lagi menatap wajahnya.

"Aku mohon, Dek. Aku yakin kalian pasti bisa akur. Maaf, sebenarnya aku mau minta izin dulu sama kamu sebelum pernikahan ini terjadi, tetapi ibu melarang, katanya lebih baik izinnya setelah nikah saja. Aku pikir kamu akan menerimanya karena istri yang mau dimadu itu akan mendapat pahala, kan?" 

"Aku tahu, Mas, tetapi mencari pahala tidak harus rela dimadu," ucapku dengan tangan bersedekap.

Entah apa yang ada di dalam otaknya sehingga bisa punya pemikiran seperti itu. Rela dimadu untuk mendapatkan pahala sama artinya dengan menyiiksa diri sendiri.

"Terus mau kamu apa sekarang?" 

"Lebih baik aku mundur dari pada harus dimadu," ucapku mantap

Semoga keputusanku ini benar meskipun alu belum bisa membayangkan jika harus hidup tanpa lelaki yang dulu sempat kuanggap sebagai cinta sejati itu.

"Maksudnya?" tanya Mas Rey dengan dahi mengernyit.

"Aku mau kita pisah, Mas."

"Aku tidak mau pisah dengamu karena aku mencintaimu. Aku tidak bisa membayangkan jika harus hidup tanpamu," ucap Mas Rey.

"Kalau kamu mencintaiku kenapa tega, Mas. Apa itu yang namanya cinta? Sengaja membuat orang  yang dicintai terluka?" tanyaku dengan nada tinggi.

"Sayang, dengarkan dulu penjelasanku," ucap Mas Rey.

Lelaki yang dulu kupuja itu mengulurkan tangan dan hendak meraihku, tetapi dengan cepat aku menepisnya.

"Tidak ada yang perlu dijelaskan, Mas. Aku tetap mau pisah sama aku," 

"Aku menikahi Anisa atas permintaan Ibu agar aku punya keturunan karena sepertinya kamu sudah tidak punya harapan untuk hamil." Mas Rey menunduk.

"Siapa bilang aku tidak punya harapan untuk hamil dan punya anak. Bukankah dokter sudah bilang kalau aku masih memiliki peluang untuk punya anak?" 

"Buktinya enam tahun kita menikah belum juga ada tanda-tanda kamu hamil. Aku tidak bisa menunggu lama lagi." 

Tak kusangka pikirannya bisa berubah secepat itu. Dulu ia bilang tidak masalah aku tidak punya anak, tetapi sekarang bilang seperti itu. Apakah semua lelaki plin-plan?

"Tapi, sekarang aku sedang hamil, Mas." Aku mengusap perutku yang masih rata.

"Itu pasti hanya halusinasimu saja. Seperti biasanya kan? Kamu selalu berkhayal kalau hamil padahal tidak." Mas Rey tersenyum sinis.

Wajar saja Mas Rey bilang seperti itu karena memang sudah sering aku bilang hamil dan ternyata tidak.

Aku sering mengalami tanda-tanda hamil seperti mual, muntah, dan masuk angin serta terlambat datang bulan.

Semua anggota keluarga sudah bahagia ketika aku terlambat datang bulan disertai dengan mual dan muntah, apalagi aku juga mendadak ingin makan yang seger-seger seperti orang ngidam. Kami menyangka Allah mengabulkan permohonan kami. 

"Yey, akhirnya aku akan punya cucu juga." Mama mertua bersorak kegirangan.

Semua bersuka cita menyambut kehamilanku, bahkan pernah juga diadakan sukuran. Aku dimanja dan diperlakukan bak seorang ratu yang selalu dituruti keinginannya.

Akan tetapi, kami harus kecewa, seminggu setelah syukuran aku datang bulan lagi. Tidak bisa dibayangkan betapa kecewanya ibu mertua dan Mas Rey karena memang begitu mendambakan seorang anak. 

"Sebenarnya kamu ini perempuan tulen nggak sih? Kok nggak bisa punya anak juga?" tanya mama waktu itu. Sebuah pertanyaan yang sangat menyakitkan.

Kejadian seperti itu tidak hanya terjadi sekali atau dua kali. Setiap kali aku terlambat menstruasi, mereka selalu berharap ada janin dalam rahimku. Padahal semenjak dokter menyatakan ada kista di rahimku, aku memang mengalami menstruasi yang tidak teratur.

Entah sudah berapa banyak aku melakukan test kehamilan, terlambat satu hari langsung test, hingga test pack itu sudah menumpuk dan hasilnya sama, garis satu atau negative.

Sekarang di saat aku benar-bebar hamil dan sudah dibuktikan dengan USG malah seperti ini keadaannya. 

Bagaimana ini? Apakah aku harus bertahan? Bukankah kehamilan ini yang selalu ditunggu ibu mertua dan Mas Rey?

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status