Sonya memanjangkan lehernya saat akan berjalan di lorong rumah sakit, dia sama sekali tidak mau bertemu dengan Awan. Fakta bila Awan sudah mengetahui mereka bertetangga membuat Sonya ketar ketir. Hampir seminggu ini Sonya berusaha untuk menjauh sejauh-jauhnya dari Awan.
Merasa sudah aman Sonya berjalan ke arah ruangannya, saat sudah sampai Sonya menyimpan semua barangnya termasuk menanggalkan snelli-nya, entah kenapa Sonya merasa sangat kepanasan saat itu hingga akhirnya membuat dirinya hanya mengenakan kemeja satin tipis.
"Kamu kenapa?" tanya Lidya yang kaget melihat betapa nelangsanya Sonya."Aku nggak sanggup lagi kerja di sini, apa aku harus resign?" sahut Sony sembari menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan mengentak-entakkan kakinya ke lantai. Ah ... Sonya tidak sanggup lagi bila harus bertemu Awan, lelaki itu benar-benar mampu membuat Sonya salah tingkat di setiap pertemuannya."Jangan bikin perkara kamu, Sonya, banyak banget yang mendapatkan posisi kamu sekarang. Terus kamu dengan bodohnya ingin resign? Kamu kenapa?" tanya Lidya sembari duduk berhadapan dengan Sonya. Lidya mengeluarkan bekal makan siangnya dan sebuah kantung plastik yang berisikan minuman kesukaan Sonya."Itu apa?" tanya Sonya dengan mata berbinar saat melihat minuman kesukaannya."Itu apa," ejek Lidya dengan mengulan
"Kenapa kamu blokir kartu kredit aku?" Sonya hampir terbahak saat mendengar perkataan suaminya itu, ternyata benar apa yang ia pikirkan kalau Emir baru akan menghubunginya bila berhubungan dengan uang. "Sejak kapan kamu punya kartu kredit, suamiku sayang," ejek Sonya sembari membereskan barang-barangnya karena sudah waktunya pulang, diliriknya jam di dinding yang sudah menunjukkan jam dua belas malam. Sepertinya, operasi jantung tadi benar-benar menyita waktunya. "Sonya dengar, aku butuh kartu kredit itu," ucap Emir dengan suara pelan. "Buat apa? Kamu butuh kartu kredit itu buat apa? Kamu kan punya penghasilan yang nggak pernah aku tahu nominalnya dan nggak pernah kamu kasih juga ke aku, itu semua cukup untuk kamu hidup." Sonya memasukkan dompet ke dalam tas berlogo huruf H
"Eka, aku pulang duluan, yah," ucap Awan sembari melambaikan tangannya."Eh ... kamu udah selesai shift-nya?" tanya Eka yang tidak terima karena ditinggalkan oleh Awan, padahal seingatnya jadwal jaga mereka sama."Udahlah, kan, aku dari pagi, Eka. Lupa kamu?" sahut Awan sembari berjalan meninggalkan Eka,"Wan ... woi, Awan, kalau kamu nggak ikut jaga aku bisa digempur pasien ini. Kamu lupa aku 'bau'?" tanya Eka panik."Itu problem kamu, Eka," jawab Awan yang tidak peduli dengan Eka yang akan dibanjiri pasien karena 'bau' miliknya.Awan tahu kalau Eka yang berjaga malam pasti akan banyak pasien yang datang dan membuat semua nakes (teNAga KESehatan) kewalahan dan akhirnya Eka selalu disebut 'bau' oleh semua rekan sejawatnya. Berbeda dengan Awan yang di setiap waktu jaganya akan jarang datang pasien dan membuat rekan sejawatnya bisa sedikit bersantai hingga memanggil Awan dengan sebutan 'wangi'."Wan ... sumpah, Wan ... tolonglah, aduh ...." Ek
"Mau pulang sama aku?" tanya Awan."Kalau aku pulang sama kamu, kamu nggak bakal mikir aneh-aneh?" Sonya balik bertanya."Mikir aneh apa? Aku hanya nggak suka liat perempuan pulang sendirian di tengah malam. Yah, kecuali kamu ada yang anter, suami kamu mungkin," sahut Awan sembari menatap ujung sepatunya, entah kenapa Awan merasa berat mengatakan kata suami pada Sonya. Andai Sonya belum memiliki suami mungkin saat ini Awan akan mendekati Sonya dengan kecepatan cahaya."Suami?" Sonya ingin tertawa sekeras-kerasnya, suami sialannya itu sama sekali tidak akan memikirkannya lagi. Mungkin Emir akan langsung mengadakan acara pesta bila terjadi sesuatu dengan dirinya. Karena, bila Sonya mati Emir bisa menikahi lonte sialan itu dan mengambil semua harta kekayaan yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil keringatnya sendiri.
"Pelan-pelan, Awan," pekik Sonya saat Awan menjalankan motornya dengan kecepatan yang membuat jantung Sonya berdetak lebih cepat."Ini pelan, Sonya," teriak Awan mengimbangi suara deru angin."Ampun, Awan ... aku masih mau hidup, nggak mau aku ketemu sama malaikat pencabut nyawa sekarang!?" pekik Sonya sembari mengeratkan pelukannya lebih erat lagi di pinggang Awan."Malaikat pencabut nyawanya minder kalau ketemu kamu, Sonya," sahut Awan sembari tersenyum."Mana ada malaikat pencabut nyawa minder? Gimana caranya? Kamu kadang suka ngaco." Sonya mencubit perut Awan yang keras dengan susah payah.Sonya mengelus perut Awan, menikmati setiap inci perut Awan yang hangat di ujung jemarinya, kelopak mata Sonya menutup serapat mungkin untuk menikmati dan membuai fantasi sensualnya."Sonya, besok aku boleh ke rumah kamu?" tanya Awan membuyarkan lamunan Sonya.&n
"Udah pergi?" tanya Awan."Udah, akhirnya dia pergi juga," ucap Sonya sembari mengintip dari belakang tirai."Suami kamu kasar, yah, apa waktu kecilnya nggak diajarin sopan santun?" tanya Awan yang merinding saat mengingat perkataan Emir yang menghina Sonya dan dirinya tadi."Kayanya tadi kamu lebih kasar, deh, Wan." Sonya mengingatkan kalimat akhir Awan yang membuat Sonya kaget dan Emir terpaku."Yang mana? Yang aku nggak mau berantem sama binatang?" tanya Awan sembari mengambil barang-barangnya yang tadi dia letakkan di meja ruang tamu rumah Sonya."Iya, aku kaget loh, belum pernah ada yang ngomong gitu sama Emir." Sonya membantu Awan mengambil barang-barangnya."Wah ... pantes dia sampai kaget, perdana dikasih t
Sonya melemparkan ponsel ke arah ranjang miliknya, dia kesal dengan Awan yang bilang kalau siluman yang mengajarkannya mengintip."Nyebelin kamu Awan," bisik Sonya sembari berjalan ke arah ranjangnya dan membaringkan tubuhnya berusaha untuk tidur.Kring ... kring ....Sonya mengambil ponselnya dan mendapati nama Lidya di layarnya, untuk apa Lidya menelepon dirinya jam satu subuh? Apakah ada sesuatu yang penting? Operasi, kah?"Iya ... ada apa, Lid?" tanya Sonya."Sonya, kamu habis berantem sama Emir?" tanya Lidya dengan nada suara panik."Tahu dari mana kamu?" tanya Sonya kaget."Tahu dari mana kamu, tahu dari mana kamu, kamu tahu Emir telepon aku dan bombardir sama pertanyaan mengenai Awan?" hardik Lidya kesal karena tidurnya terganggu cerocosan Emir."Ngapain Emir tel
Pagi Yang Menyebalkan Sonya mendesahkan nama Awan dan tanpa Sonya sadari tangannya melayang ke payudara miliknya, meraba bagian puncaknya yang sudah mengeras, sedangkan alat bantu miliknya bergerak liat di bagian luar ceruk kenikmatan miliknya. Sonya memejamkan matanya, menikmati setiap getaran yang dihasilkan alat bantu seksual miliknya yang sudah menyentuh bagian terkecil Sonya. Desahan demi desahan berloncatan dari mulutnya saat merasakan deburan kenikmatan yang diberikan alat bantu seksualnya dan menjalar ke seluruh tubuhnya, tanpa Sonya sadari pinggulnya terangkat seolah meminta lebih banyak lagi. Dalam pikirannya Sonya jemari tangan Sonya berubah menjadi jemari tangan Awan, jemari Awan yang panjang dan lembut bergerak meremas bagian payudara Sonya, ibu jari Awan seolah menggesek bagian puting Sonya memilinnya memberikan efek yang membuat Sonya mendesah. Tangan Awan yang lebar dengan lembut menangkup bagian pa